Double update nih .... Happy reading xixi . . . Nurul Faizah Az-Zahra POV Gus Furqon tidak bisa dihubungi. Setelah berdebat dengan diri sendiri perihal haruskah aku menghubunginya dan bagaimana caranya, aku akhirnya berusaha mendial nomor teleponnya. Namun, beberapa kali aku mencoba meneleponnya, ia tidak menjawab panggilannya sama sekali. Pesan demi pesan W******p yang kukirim juga tidak berbalas. Hanya centang dua tanpa berubah warna karena telah terkirim tetapi tidak dibaca oleh si penerima. Gus Furqon ... apakah pada akhirnya dia benar-benar mengabaikanku? Aku meringis saat menyadari semua yang terjadi adalah karena keinginan dan permintaanku. Aku yang meminta Gus Furqon agar menjaga jaraknya dariku. Aku juga yang menginginkan supaya ia tidak sering-sering menghubungiku. Namun, bagaimana dengan Umi? Umi ingin aku melakukan panggilan video lagi dengannya saat Gus Furqon ada di sisiku—berkat kebohonganku. Beliau ingin bicara dengan putranya tapi dengan ponselku sebagai
"Ada apa, Feiza?"Lidah Feiza langsung terasa kelu mendengar suara bernada dingin yang mengalun dari seberang teleponnya itu."Halo?"Suara berat yang tidak lain adalah milik Furqon itu kembali mengudara."Feiza?!"Feiza mengerjapkan mata, menghela napas, baru menyahuti suara Furqon yang memanggil namanya.Tidak. Feiza tidak boleh merasa sakit atau kecewa mendengar nada yang digunakan Furqon ketika berbicara dengannya.Sebab ini, kan, yang memang diinginkannya?Feiza benar-benar telah menegarkan dirinya ketika menanggapi ucapan Furqon. "Assalamualaikum, Mas.” Ia mengulang salamnya lagi yang sebelumnya belum mendapat sahutan.Tercipta jeda."Waalaikumussalam."Lalu terdengar jawaban salam dari orang yang menjadi mitra tutur Feiza. Furqon, suaminya."Ha ha ha." Feiza berusaha sedikit tertawa dengan suara riang. "Ya gitu dong, Mas. Kalau ada yang salam dijawab," celetuknya.Furqon tidak menyahut apa-apa."Ada apa, Feiza?" gumam Furqon tak berselang lama dengan nada yang tidak sedingin se
"Mas Furqon," sebut Feiza dengan suara pelan melihat presensi Furqon yang akhirnya mendatanginya.Keduanya ada di depan bangunan musala yang tidak terlalu jauh dari tempat angkringan tempat mereka berdua mengadakan rapat dengan organisasi mereka masing-masing.Saat Furqon benar-benar sudah berdiri di depan Feiza, tanpa aba-aba Feiza langsung meraih punggung tangan kanan Furqon lalu menciumnya.Furqon diam tidak bereaksi apa-apa. Pun tidak berkata-kata."Umi mau video call degan kita," tutur Feiza selesai menyalami tangan Furqon, berupaya memecah sepi."Hn." Furqon menganggukkan kepala sekali lantas beranjak mencari tempat duduk di emperan musala.Feiza menghela napas sedikit lega lalu cepat menyusul Furqon dengan duduk di samping kirinya. Dengan jarak dua jengkal kiranya."Aku ... VC Umi ya, Mas?" kata perempuan cantik itu menoleh ke arah Furqon dengan kepala yang sedikit mendongak agar dapat saling pandang."Hm." Sekali lagi pendek Furqon memberi jawaban.Meski begitu, Feiza langsung
Double update!_"Sudah Umi bilang Umi sudah tahu, Nduk. Setiap hari bahkan di akhir pekan kamu sering ditinggal Furqon ke basecamp DEMA-nya. Putri Umi yang cantik ini malah dibiarkan di rumah sendirian. Umi sering nelepon dan VC Furqon. Tapi dia selalu nggak ada di rumah saat Umi hubungi. Selaluu saja cari-cari alasan saat Umi tanya kenapa kamu ditinggal sendirian saja. Katanya sibuk sama persiapan acara organisasinya lah, dan kamu nggak pa-pa ditinggal sendirian saja lah. Namanya perempuan, meski di mulut bilang nggak pa-pa pasti tetep merasa sedih juga karena ditinggal sendiri. Kesepian."Feiza kembali menggelengkan kepalanya perlahan.Tidak.Semua itu tidak benar.Tidak seharusnya ibu mertuanya berpikiran seperti itu mengenai putra kandungnya.Furqon tidak seperti itu."Tapi, Umi. Sungguh, Mas Furqon tidak seperti itu. Umi pasti hanya salah paham." Feiza berusaha meyakinkan."Zahraa. Sudah Umi bilang jangan kamu tutupi kelakuannya," kata Bu Nyai Farah. "Lihat, Furqon! Bagaimana ba
Innalhamdalillah nasta'inuhu wanastaghfiruh wana'udzubillahi min sururi anfusina wamin sayyiati a'malina .... Furqon dengan fasih dan energik memberi sambutan di atas podium panggung Aula Gedung B yang menjadi tempat terselenggaranya acara organisasinya. Para tamu undangan dan peserta acara telah duduk di tempatnya masing-masing. Begitu juga para panitia. Semua standby menempati masing-masing posisinya. "Masyaallah. Betapa indahnya ciptaan-Mu, ya Allah. Jika berkenan, mohon sandingkanlah hamba dengan orang yang sepertinya atau bahkan dirinya. Hamba akan sangat sangat sangat mensyukurinya, ya Robb." Telinga Feiza gatal mendengar gumaman seorang gadis yang duduk tepat di baris belakangnya, salah satu peserta di acara ormawa Furqon yang Feiza tidak tahu bagaimana rupanya. Sebab, ia yang duduk di kursi tamu ketua atau delegasi himpunan mahasiswa tentu harus menoleh untuk melihat sosok gadis itu. "Aduh, Siti Markonah. Aamiin, deh, meski doa kita sama. Aku juga mau punya cowok kay
"Kukira ada sedikit bantuan Pak Pres Furqon, Tum Feiza, HMJ PGMI bisa pinjam Aula Gedung Pascasarjana?" "Ahaha." Feiza tertawa. "Tidak ada, Tum," geleng Feiza lirih. "Entah bagaimana, mas wakilku yang bergerak dan mendapatkan izinnya." Milhan diam menatap Feiza dengan tatapan tak terbaca. "Kalau Tum Milhan benar-benar penasaran, silakan tanya sendiri ke Fahmi. Fahmi suka banget kalau ada yang ngajakin ngopi." Lagi, Milhan menatap Feiza dengan tatapan tak terbacanya. "Oh, iya, Tum Feiza," sahutnya kemudian tak berselang lama disusul senyuman. "Iya, Tum," balas Feiza ikut tersenyum. "Maaf, Tum, kalau mungkin pertanyaanku sedikit mengganggu," ucap Milhan tiba-tiba. "Mengganggu? Enggak. Kenapa, Tum?" Feiza menyahut heran. "Sebetulnya aku pribadi merasa penasaran. Biasa ... rasa penasaran rekan seperjuangan ormawa kepada aktivis ormawa lainnya yang memiliki tupoksi sama di lembaganya." Feiza mengangguk kecil mendengar pernyataan Milhan. Laki-laki itu masih melanjutkan
"Jadi, acara sampean nanti jam berapa, Tum?" "Eh?" Feiza yang sempat mematung tersadar setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan laki-laki yang ada di sampingnya. "Iya, Tum?" Feiza balik bertanya menatap Milhan, si penanya. Secara tidak langsung meminta agar laki-laki itu bersedia mengulangi pertanyaannya. Milhan tersenyum kecil. "Jadi, acara sampean nanti jam berapa, Tum Feiza?" Laki-laki itu mengulangi pertanyaannya lagi dengan senang hati. "Oh. Setelah ini, Tum." Feiza membalas sambil mengulas senyum. "Setelah Bu Dekan pergi dari acara DEMA." "Oh ...." Milhan menganggukkan kepalanya. "Jadi, karena itu Tum Feiza memilih datang sendiri ke acara ini? Sekalian menunggu Bu Dekan?" "He he. Iya, Tum Milhan. Sekalian menjemput Bu Dekan. Kalau bisa sekali dayung dua pulau terlampau, mengapa tidak bukan?!" "Ha ha ha ha." Milhan tertawa sembari mengangguk-anggukkan kep
"Feiza? Kenapa?!" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Nisa yang bertemu Feiza di lobi Gedung B lantai dasar. Gadis itu memang hendak menghampiri Feiza tadinya. Berniat menjemput perempuan yang menjabat sebagai ketua umum himpunan mahasiswa mereka itu di Aula Gedung B yang ada di lantai 6 untuk kembali ke acara HMJ mereka sendiri yang diselenggarakan di Aula Gedung Pascasarjana. Namun, ketika Nisa sedang menunggu antrean lift turun, ia malah mendapati sosok Feiza muncul dari atas tangga dengan mata berairnya. Feiza tampak berjalan seorang diri menuruni tangga. Dengan cepat, Nisa pun berjalan menghampiri teman cantiknya itu setelah menyerukan namanya. "Nisa?!" Feiza yang dihampiri Nisa langsung menampilkan wajah terkejut. "Kamu kenapa, Fe?" Nisa kembali berseru sembari mencekal lengan kiri Feiza. "Matamu sembab," lanjutnya khawatir. Cepat, Feiza pun mengelap kedua kelopak matanya yang memang masih berair. "Ah, nggak kenapa-napa kok. Tadi efek ngantuk aja. Kamu tahu, kan, ka
"Assalamualaikum. Ada apa, Furqon?" ucap Bu Nyai Farah ketika mengangkat telepon sang putra. "....""Gimana?""...."Feiza tidak dapat mendengar jawaban Furqon sebab Bu Nyai Farah tidak me-loud speaker panggilan teleponnya."Zahra? Zahra sedang sama Umi, Le. Kenapa?""...."Setelah diam beberapa saat mendengar sahutan Furqon lagi, Bu Nyai Farah kini menatap lurus ke arah Feiza. "Kamu bawa HP, Nduk?" ujarnya sembari menjauhkan ponsel dari sisi kepala."Bawa, Umi. Ada apa?" balas Feiza lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempang kecil miliknya yang ditaruhnya di atas meja."Furqon bilang kamu ndak bisa dihubungi, Zahra. Katanya dia habis nelepon kamu."Cepat, Feiza pun menyalakan ponselnya itu.Benar. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Furqon sejak setengah jam yang lalu.Feiza tidak menyadarinya karena ia mengatur ponselnya dalam mode silent alias diam.Ketika membuka aplikasi perpesanan, Furqon juga mengirim beberapa pesan untuk Feiza.Gus Furqon: Sedang apa Fe? Angkat
Feiza memberengut melihat tampilan ruang obrolannya dengan Furqon.Masalahnya satu. Ia belum selesai bicara, tapi Furqon memilih mengakhiri panggilan telepon mereka.Perempuan itu menghela napas berusaha mengusir kekesalan lalu membaringkan diri di atas tempat tidur kamar sang suami."Semoga nggak ada hal buruk yang terjadi," gumamnya lirih.Tak berselang lama, ia menghela napasnya lagi dengan lebih keras lalu bangkit berdiri, membawa kakinya melangkah ke sekeliling kamar sembari mengamati segala piranti yang ada di dalam kamar Furqon.Detik ini bukan kali pertamanya berada di ruangan berukuran cukup besar dengan AC itu. Sudah yang kedua kali. Namun, Feiza baru merasa nyaman pada kesempatan kali ini.Pasalnya ketika pertama kali, Feiza masih belum bisa menerima status pernikahannya dengan Furqon yang terlalu tiba-tiba. Selain itu, Furqon hanya orang asing yang dalam keseharian cukup menyebalkan menurut penilaiannya.Tentu Feiza merasa tidak nyaman karena segala situasinya. Termasuk be
Drtt ... Drtt .... Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Feiza. Gus Furqon: Balas Fe Pesan itu dari Furqon, suaminya. Drtt ... Drtt .... Pesan Furqon masuk lagi. Gus Furqon: Kenapa dari tadi cuma dibaca Fe? Drtt ... Drtt .... Gus Furqon: Kamu sedang apa? Feiza mengulas senyum kecil membacanya. Furqon ini ternyata pribadi yang masuk golongan orang tidak sabaran. Sebenarnya, tidak juga, sih. Namun, Feiza merasa begitu karena Furqon yang sejak tadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan serupa perihal di mana dan apa yang sedang dilakukan Feiza. Salah Feiza juga sebenarnya karena tidak segera membalas. Namun, bagaimana lagi? Feiza sebetulnya hendak membalas, tapi ada saja yang harus ia lakukan bersama Bu Nyai Farah sang ibu mertua, hingga sejak tadi, pesan Furqon terpaksa perempuan cantik itu abaikan. Drtt ... Drtt ....Feiza baru saja mengaktifkan keypad ponselnya, hendak mengetik pesan balasan ketika pesan Furqon kembali datang.Gus Furqon: Aku rindu kamuBibir
Nurul Faizah Az-Zahra POV"Ada lagi yang mau kamu beli, Nduk?" tanya Umi kepadaku setelah kami berkeliling dengan banyak belanjaan yang dibeli Umi dan kini dibawakan oleh Kang Malik dengan kedua tangannya—yang mana sebagian besar belanjaan itu diperuntukkan Umi Farah untukku.Cepat, tentu aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Umi. Sudah tidak ada," jawabku mantap."Beneran?""Nggeh, Umi." Aku merekahkan senyuman mencoba meyakinkan."Ha ha ha ha ha." Umi langsung menggelakkan tawa yang terdengar begitu renyah dan menyenangkan di telinga. "Ya sudah. Sekarang, kalau begitu mari kita pulang!"Aku kembali tersenyum. Senang. "Nggeh, Umi," balasku."Kang Malik, ayo kita pulang!" ujar Umi kemudian, ganti kepada Kang Malik yang berdiri di belakang kami."Ah, enggeh. Baik, Bu Nyai." Laki-laki yang menurutku masih seumuran dengan Gus Furqon itu mengangguk.Sedetik setelahnya, kami sama-sama mengayunkan tungkai kaki kami pergi menuju jalan keluar plaza."Umi, sebentar," ucapku tak lama setelah
Nurul Faizah Az-Zahra POVSepanjang perjalanan, Umi terus mengajakku berbicara, hingga mobil sedan yang disopiri salah satu santri putra abdi ndalem pesantren keluarga Gus Furqon yang baru kutahu namanya Kang Malik—karena Umi memanggilnya begitu tadi ketika keduanya berbincang sebentar—membelokkan mobil yang kami naiki masuk ke dalam area pesantren.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, kami telah tiba di pondok pesantren asuhan Umi dan Abah Gus Furqon di Kediri.Saat itu aku baru sadar, aku sama sekali tidak membawa masker sekarang, sehingga wajahku tidak dapat kusembunyikan.Bukankah beberapa santri sudah pernah melihat wajahku sebelumnya ketika diajak Umi salat berjemaah di musala pondok putri?Ya, jawabannya adalah iya. Namun, ketika itu mereka pasti hanya melihatnya sekilas. Setidaknya itu yang aku yakini. Dan lagi pula, saat itu di ruangan tertutup sehingga meski ada yang melihat, mestinya tidak banyak.Berbeda jauh jika melihatku di ruang terbuka. Di halaman ndalem kesepu
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p