Rencana Feiza untuk segera bertemu dan bicara dengan Furqon tidak berjalan lancar seperti yang diinginkannya. Suaminya itu sangat sulit ditemui. Terlebih, setelah Furqon memberi keputusan sepihak agar Feiza tidak perlu lagi datang ke rumah kontrakan Furqon guna tinggal bersama. Feiza semakin sulit meski sekadar bertatap muka dengannya. Apalagi bicara empat mata.
Sebelumnya saat Feiza masih berkeharusan tinggal bersama Furqon selama empat hari dalam seminggu di rumah laki-laki itu, Feiza sudah cukup sulit berdialog karena Furqon yang sangat sibuk bulak-balik meninggalkan rumah untuk mengurus organisasi yang ia pimpin. Bagaimana saat Feiza sudah tidak memiliki kesempatan tinggal dengannya? Tentu bertemu berdua hanya menjadi angan-angan yang semakin susah direalisasikan.Lalu karena saat ini, siang menjelang sore hari di taman samping ndalem rumah keluarga Furqon di Kediri, ketika Feiza akhirnya bisa duduk berdua dengan Furqon setelah ayah dan ibu mertuanya pergi meni“Feiza?!”Suara terkejut itu berasal dari seseorang yang sejak sore tadi Feiza tunggu-tunggu kedatangannya.Itu suaminya.Muhammad Furqon Al-Akhyar. Orang yang beberapa waktu lalu membuka pintu depan rumah kontrakannya.“Kamu … di sini?” tanya laki-laki itu terdengar begitu terkejut sekaligus heran.Cepat, Feiza yang sudah mengangkat kepalanya yang tadi telungkup di atas meja makan menyeka kedua belah pipinya yang basah dengan gerakan yang cukup kasar.Gadis itu hanya menatap Furqon yang berdiri di bibir pintu penghubung ruang tamu dan ruang keluarga dengan kedua mata sembabnya, tanpa menyahut apa-apa.Diam.Hening.Yang terdengar hanya suara detak jam di dinding.Furqon yang terkesima selama beberapa sekon lantas berjalan menghampiri Feiza, berdiri di hadapannya. Ia benar-benar terkejut melihat presensi Feiza di dalam rumahnya dengan berbagai makanan yang terhidang di atas meja makannya.
Furqon ternyata tidak diam saja. Ia langsung menyusul Feiza masuk ke dalam kamarnya.Cek!“Tetap di sini, Feiza!”Furqon menahan tangan Feiza yang sedang memasukkan ponsel, charger, dan barang-barangnya ke dalam tas.“Tetap di sini,” ulang Furqon. “Aku minta maaf. Sekarang ayo bicara baik-baik,” tambahnya pelan.Feiza yang berdiri membelakangi Furqon tidak menjawab dan kembali mengusap air matanya.“Ayo bicara, Fe! Luapin semua amarah dan kekecewaan kamu selama ini ke aku supaya aku tahu. Ayo bicara,” ucap Furqon masih memegang tangan Feiza.“Aku mau pulang, Gus,” kata Feiza yang akhirnya mau kembali bersuara.“Sekarang sudah lewat tengah malam. Jangan pergi, Feiza! Kamu nggak boleh pergi.”Feiza langsung berbalik dan menepis tangan Furqon yang masih memegang tangannya dengan kencang.“Apa hak njenengan nyuruh aku nggak pulang? Nyuruh aku nggak pergi?” Feiza juga kembali merespons kata-kata Fur
“Aku tidak akan mungkin melakukan itu,” kata Furqon. Feiza menghela napas. “Gus ….” Nada suara gadis itu penuh permohonan. Furqon pun hanya diam. “Hahh,” hela napas Furqon kemudian. Jika Feiza tadi menghela napas pelan, Furqon barusan menghembuskan napasnya kencang. “Kenapa kamu berpikir aku akan menceraikanmu demi menikah dengan perempuan lain, Fe?” tanya Furqon. “Dan Ziyana? Ini sangat konyol.” “Lalu mau njenengan bagaimana?” jawab Feiza dengan tanya juga. “Njenengan mau menikahi Mbak Ziyana Nafisa tanpa menceraikanku? Aku nggak mau, Gus. Tolong, talak saja aku.” Furqon menggeleng mendengar kalimat Feiza itu. “Aku tidak akan menceraikan kamu!” Feiza kembali menangis tersedu. “Terus gimana?” racaunya. “Aku nggak mau dimadu, Gus! Lebih baik aku nggak menikah seumur hidupku!” “Kamu ini bicara apa, Feiza?” tanya Furqon dengan wajah yang kini terlihat s
Ciuman itu terhenti ketika Furqon sedikit menarik dirinya, untuk sama-sama mengambil napas dan pasokan udara.“Aku benar-benar mencintaimu, Feiza,” lirihnya menatap dalam manik mongoloid Feiza kemudian kembali mengikis jarak di antara mereka dan hendak kembali mencium Feiza.Dug!Tanpa diduga, Feiza tiba-tiba mendorong dada Furqon kemudian beringsut mundur di atas sofa panjang yang sejak tadi mereka duduki.“Njenengan jangan membuatku bingung, Gus!” tukas gadis itu.Furqon sangat terkejut melihat respons Feiza itu. “Bingung?” herannya tak berselang lama. “Bingung bagaimana?”Feiza menatap tajam Furqon yang ada di depannya. “Njenengan tidak benar-benar mencintaiku,” kata Feiza pelan. “Baiklah jika njenengan tidak mencintai Mbak Ziyana Nafisa, tapi tolong, jangan menipuku dengan mengatakan njenengan mencintaiku. Itu sangat buruk.”Furqon melebarkan kedua kelopak matanya, menatap Feiza dengan tatapan tidak percaya. “Menipu?
“Kamu adalah satu-satunya perempuan yang ingin aku nikahi, Fe. Sebelum menikah denganmu, aku membuat kesepakatan dengan Ayah dan Ibu kalau kita tidak akan berencana punya anak, sampai pernikahan kita disahkan negara,” ucap Furqon. “Hal itu bertujuan untuk kebaikan semua orang terutama calon anak kita nantinya. Karena itu, aku tidak ingin menyentuhmu, Feiza. Terlebih tanpa kamu yang menginginkan dan mengizinkannya.” Feiza yang mendengarnya langsung menatap Furqon dengan pandangan tidak percaya. “Hah? Tapi, Ibuku ….” “Itu lain cerita,” jawab Furqon. “Karena Ibu pikir kita menggunakan kontrasepsi,” lanjutnya pelan. Tempo hari hubungan ranjang Furqon dengan Feiza memang sempat dijadikan pembahasan oleh ibu mertuanya ketika menginap di Jombang. Wajah Feiza langsung memerah. Ia menggigit pelan bibir bawahnya sembari melempar tatap ke arah lain. Furqon yang menyadarinya menahan senyumny
“Feiza.” Feiza meremas-remas jemari tangannya sampai suara Furqon terdengar memanggil namanya dari bilik kamar mandi. “Iya, Gus?” sahut Feiza segera menghampiri dan berdiri di depan pintu kamar mandi itu. “Ada apa?” tanyanya. Furqon melongokkan kepalanya dari dalam melalui pintu kayu kamar mandi yang sedikit dibukanya. “Tolong ambilkan baju gantiku,” pintanya. Feiza menelan air ludahnya sebentar melihat wajah dan rambut basah Furqon. Ia kemudian mengangguk dan segera menuju lemari Furqon guna mengambilkan baju. “Terima kasih,” ucap Furqon menerima uluran baju dari Feiza. Feiza hanya menganggukkan kepala lalu kembali mendudukkan diri di sofa. “Masih punya wudu?” tanya Furqon sekeluarnya laki-laki itu dari kamar mandi. Ia tampak sudah memakai setelan sarung biru dengan atasan kaus putih lengan pendek yang sebelumnya diambilkan oleh Feiza.
Furqon menatap Feiza yang masih terlelap dalam tidurnya di hadapannya.Ia tidak menyangka, perempuan yang menjadi cinta pertamanya itu kini benar-benar ada di depannya, terlelap di sisinya, satu ruangan dan satu tempat tidur dengan dirinya, berstatus sebagai istrinya, dan baru saja mereguk kenikmatan surga dunia bersama-sama dengannya.Secara sepenuhnya, Feiza telah menerima Furqon sebagai suaminya dan itu adalah kado ulang tahun terbaik Furqon selama dua puluh satu tahun dirinya hidup.Sejak beberapa menit yang lalu terhitung dari Furqon yang kembali terjaga, laki-laki itu sama sekali tidak ingin mengedipkan kedua netranya, takut-takut kalau Feiza yang ada di depannya ini tidak nyata dan hanya ilusi.Furqon khawatir jika ia berkedip, gadis cantik yang beberapa saat lalu sudah ia ubah menjadi wanita itu akan menghilang. Lenyap dari pandangan.Sangat perlahan, Furqon kemudian menggerakkan tangannya dan menggunakan jemarinya untuk menyentuh wajah Feiza. Merasakan hangat kulitnya lalu pe
“Guss … aku mau tidur, ih. Jangan ganggu!” ucap Feiza mencoba kembali memejamkan kedua matanya. Sungguh, meski saat ini matahari semakin tinggi mengudara dan sangkala akan segera sampai pada tengah hari, Feiza benar-benar hanya ingin tidur saat ini. Tubuhnya perlu istirahat. Bukan yang lain. Namun, Furqon yang sejak tadi ada di sisi Feiza seolah tidak pernah membiarkannya karena tangannya yang Feiza rasa selalu usil dan terus menjailinya. “Guss ….” Sekali lagi rengek Feiza. “Apa, Feiza?” sahut Furqon. “Tangannya jangan usil!” Furqon terkekeh. “Usil bagaimana?” Ia balik bertanya. “Cuma mau peluk doang,” lanjutnya sembari masih melingkarkan lengannya di tubuh Feiza. “Iyaa. Tapi geli, Gus. Aku ngantuk, mau tidur,” sahut Feiza dengan nada sebal. “Iya sudah, tidur saja, Sayang,” ujar Furqon masih belum mau melepaskan rangkulan. Feiza mencebik. “Ndak bisa,” katanya lalu berbalik menghadap Furqon sepenuhnya. Furqon langsung memasang senyum cerah menatap Feiza. “Kenapa?” ta
"Assalamualaikum. Ada apa, Furqon?" ucap Bu Nyai Farah ketika mengangkat telepon sang putra. "....""Gimana?""...."Feiza tidak dapat mendengar jawaban Furqon sebab Bu Nyai Farah tidak me-loud speaker panggilan teleponnya."Zahra? Zahra sedang sama Umi, Le. Kenapa?""...."Setelah diam beberapa saat mendengar sahutan Furqon lagi, Bu Nyai Farah kini menatap lurus ke arah Feiza. "Kamu bawa HP, Nduk?" ujarnya sembari menjauhkan ponsel dari sisi kepala."Bawa, Umi. Ada apa?" balas Feiza lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam tas selempang kecil miliknya yang ditaruhnya di atas meja."Furqon bilang kamu ndak bisa dihubungi, Zahra. Katanya dia habis nelepon kamu."Cepat, Feiza pun menyalakan ponselnya itu.Benar. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Furqon sejak setengah jam yang lalu.Feiza tidak menyadarinya karena ia mengatur ponselnya dalam mode silent alias diam.Ketika membuka aplikasi perpesanan, Furqon juga mengirim beberapa pesan untuk Feiza.Gus Furqon: Sedang apa Fe? Angkat
Feiza memberengut melihat tampilan ruang obrolannya dengan Furqon.Masalahnya satu. Ia belum selesai bicara, tapi Furqon memilih mengakhiri panggilan telepon mereka.Perempuan itu menghela napas berusaha mengusir kekesalan lalu membaringkan diri di atas tempat tidur kamar sang suami."Semoga nggak ada hal buruk yang terjadi," gumamnya lirih.Tak berselang lama, ia menghela napasnya lagi dengan lebih keras lalu bangkit berdiri, membawa kakinya melangkah ke sekeliling kamar sembari mengamati segala piranti yang ada di dalam kamar Furqon.Detik ini bukan kali pertamanya berada di ruangan berukuran cukup besar dengan AC itu. Sudah yang kedua kali. Namun, Feiza baru merasa nyaman pada kesempatan kali ini.Pasalnya ketika pertama kali, Feiza masih belum bisa menerima status pernikahannya dengan Furqon yang terlalu tiba-tiba. Selain itu, Furqon hanya orang asing yang dalam keseharian cukup menyebalkan menurut penilaiannya.Tentu Feiza merasa tidak nyaman karena segala situasinya. Termasuk be
Drtt ... Drtt .... Sebuah pesan kembali masuk ke dalam ponsel Feiza. Gus Furqon: Balas Fe Pesan itu dari Furqon, suaminya. Drtt ... Drtt .... Pesan Furqon masuk lagi. Gus Furqon: Kenapa dari tadi cuma dibaca Fe? Drtt ... Drtt .... Gus Furqon: Kamu sedang apa? Feiza mengulas senyum kecil membacanya. Furqon ini ternyata pribadi yang masuk golongan orang tidak sabaran. Sebenarnya, tidak juga, sih. Namun, Feiza merasa begitu karena Furqon yang sejak tadi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan serupa perihal di mana dan apa yang sedang dilakukan Feiza. Salah Feiza juga sebenarnya karena tidak segera membalas. Namun, bagaimana lagi? Feiza sebetulnya hendak membalas, tapi ada saja yang harus ia lakukan bersama Bu Nyai Farah sang ibu mertua, hingga sejak tadi, pesan Furqon terpaksa perempuan cantik itu abaikan. Drtt ... Drtt ....Feiza baru saja mengaktifkan keypad ponselnya, hendak mengetik pesan balasan ketika pesan Furqon kembali datang.Gus Furqon: Aku rindu kamuBibir
Nurul Faizah Az-Zahra POV"Ada lagi yang mau kamu beli, Nduk?" tanya Umi kepadaku setelah kami berkeliling dengan banyak belanjaan yang dibeli Umi dan kini dibawakan oleh Kang Malik dengan kedua tangannya—yang mana sebagian besar belanjaan itu diperuntukkan Umi Farah untukku.Cepat, tentu aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Umi. Sudah tidak ada," jawabku mantap."Beneran?""Nggeh, Umi." Aku merekahkan senyuman mencoba meyakinkan."Ha ha ha ha ha." Umi langsung menggelakkan tawa yang terdengar begitu renyah dan menyenangkan di telinga. "Ya sudah. Sekarang, kalau begitu mari kita pulang!"Aku kembali tersenyum. Senang. "Nggeh, Umi," balasku."Kang Malik, ayo kita pulang!" ujar Umi kemudian, ganti kepada Kang Malik yang berdiri di belakang kami."Ah, enggeh. Baik, Bu Nyai." Laki-laki yang menurutku masih seumuran dengan Gus Furqon itu mengangguk.Sedetik setelahnya, kami sama-sama mengayunkan tungkai kaki kami pergi menuju jalan keluar plaza."Umi, sebentar," ucapku tak lama setelah
Nurul Faizah Az-Zahra POVSepanjang perjalanan, Umi terus mengajakku berbicara, hingga mobil sedan yang disopiri salah satu santri putra abdi ndalem pesantren keluarga Gus Furqon yang baru kutahu namanya Kang Malik—karena Umi memanggilnya begitu tadi ketika keduanya berbincang sebentar—membelokkan mobil yang kami naiki masuk ke dalam area pesantren.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, kami telah tiba di pondok pesantren asuhan Umi dan Abah Gus Furqon di Kediri.Saat itu aku baru sadar, aku sama sekali tidak membawa masker sekarang, sehingga wajahku tidak dapat kusembunyikan.Bukankah beberapa santri sudah pernah melihat wajahku sebelumnya ketika diajak Umi salat berjemaah di musala pondok putri?Ya, jawabannya adalah iya. Namun, ketika itu mereka pasti hanya melihatnya sekilas. Setidaknya itu yang aku yakini. Dan lagi pula, saat itu di ruangan tertutup sehingga meski ada yang melihat, mestinya tidak banyak.Berbeda jauh jika melihatku di ruang terbuka. Di halaman ndalem kesepu
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p