"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat.
"Iya?" sahut Feiza yang kini sibuk memasukkan pentol goreng tusuk ke dalam mulut dan mulai mengunyahnya."Jadi, kamu belum pernah pacaran, ya?"Uhuk!Feiza hampir tersedak."Fahmiii." Gadis itu langsung memelototi Fahmi dan menggeram. "Aku lagi makan!" protesnya.Fahmi menahan senyumnya. "Jawab aja, Fe," katanya.Feiza langsung menyambar gelas teh tawarnya dan menenggaknya tanpa sisa. "Iya lah. Kenapa tanya-tanya?" jawabnya kemudian dengan begitu tidak santainya. "Masa iya calon istrinya laki-laki salih, kaya, penyayang, cerdas, perhatian, dan yang gantengnya jiddan jiddan gini punya mantan? Nggak dong. Makasiih."Feiza kemudian kembali menyuap sebuah pentol goreng ke dalam mulutnya dan mengunyahnya.Fahmi dibuat tertawa sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan gadis yang ada di depannya itu. "Sombong amat," ejeknya.Feiza tidak menghiraukannya. "Biarin. Bodo amat." Feiza tetap menyantap pentol gorengnya dengan tenang. "Sombong dalam hal kebaikan itu jaaauh lebih baik daripada sombong dalam kemaksiatan," tambahnya melirik sebentar ke sejoli non-halal beberapa meter di sisi kanannya.Fahmi mengikuti arah pandang Feiza lalu lagi-lagi mengulas senyum kecilnya."Tahu, nggak, Fe? Kamu yang terus ngomongin Wisnu sama Tiara itu kayak cewek yang lagi cemburu," ucap Fahmi."Hah? Enak aja! Buat apa cemburu sama mereka?" Feiza langsung tidak terima.Lagi-lagi Fahmi memasang senyum cerahnya. "Semua orang tahu, Wisnu dulu nyoba deketin kamu ketika Maba."Feiza merotasikan bola matanya. "Nggak usah bahas itu deh. Udah berlalu juga."Fahmi malah terkikik mendengarnya. "Nah, kamu julidin Wisnu sama Tiara karena masih nggak nyangka kan kalau setelah kamu tolak Wisnu malah jadian sama Tiara?"Feiza diam tidak mau membalasnya."Kamu suka Wisnu, ya? Nyesel udah nolak pernyataan cintanya? Kamu sebenernya pengen nyobain yang namanya pacaran juga kan, Fe?""Ya, enggak lah," bantah Feiza cepat atas pertanyaan beruntun yang dilontarkan Fahmi kepadanya. "Kalau aku mau pacaran, udah dari dulu kali, Mi," gumamnya.Fahmi menganggukkan kepala."Aku heran, kenapa, ya, banyak banget yang menormalisasi pacaran? Padahal sebenernya mereka ngerti, loh, gimana hukumnya." Feiza menopangkan kepalanya di atas meja dengan tangan kanannya. Gestur yang tanpa disadarinya membuat Fahmi tersenyum kecil menatapnya yang menatap ke arah lain, seolah menerawang."Hm." Fahmi memberi tanggapan hanya dengan menggumam dan masih menatap gadis yang ada di depannya."Di kalangan santri-santri pondok aja, behh gila, kebanyakan mereka pacaran padahal tahu aturannya. Aku nggak habis pikir soal itu." Feiza melanjutkan. "Padahal di pondok malah ada hukumannya dari pengurus juga lho kalau ketahuan, tapi kok masih banyak yang nggak jera."Tidak mendengar sahutan dari orang yang diajaknya bicara, Feiza menghentikan acara topang dagunya, menatap laki-laki yang ada di depannya sembari menegakkan duduknya kembali."Ngapain lihat aku kayak gitu?" tanyanya dengan gestur antipati kepada Fahmi."Nggak pa-pa." Laki-laki itu menggeleng. "Aku jadi bertanya-tanya, oh jadi ini yang bikin Nurul Faizah nggak mau pacaran?" Ia mengulas senyuman."Em." Feiza kembali mengangguk."Tapi kamu pernah mikir nggak sih, Fe?" Fahmi sengaja menjeda. "Bisa aja, orang yang kita kira pacaran malah udah punya hubungan yang lebih jauh dari itu? Ya, cuma nggak di-publish aja. Contohnya Wisnu dan Tiara, siapa tahu mereka udah tunangan dan dikhitbah. Husnuzan aja. Atau, bisa jadi udah sah menikah, cuma kita aja yang nggak tahu. Makanya mereka berani berbuat mesra seperti itu."Feiza mengerutkan kening. "Hipotesis yang bagus," pujinya. "Masuk akal," bibir kemerahannya melengkungkan senyuman. "Tapi tetep sih, maaf, aku orang yang suka nyinyir kalau ada anak tokoh agama pacaran. Nggak make sense banget buat aku. Ya, karena aku nggak mau menormalisasi hal itu."Fahmi terkekeh. "Lalu kalau bukan anak tokoh agama, nggak pa-pa gitu, ya?""Ya, bukannya gitu. Sama aja maksiat namanya.""Tapi buktinya kuperhatiin beberapa temen deket kamu pacaran tuh. Gimana kalau itu? Kamu nyinyir nggak?"Feiza diam sebentar. "Enggak sih. Cuma mbatin aja. Aku nggak mau ngerusak hubungan pertemananku," jawabnya lirih."Kalau gitu kamu naif, Fe. Kamu menerapkan standar ganda namanya. Kamu menormalisasi temen-temenmu sendiri yang pacaran. Tapi kamu mengutuk orang lain melakukan hal yang sama, dengan dalih, orang lain itu anak tokoh agama yang seharusnya paham bagaimana hukumnya. Padahal nggak menutup kemungkinan, temen-temenmu yang katanya 'orang awam' juga sebetulnya paham, hukum laki-laki dan perempuan menjalin kasih sebelum sahnya ikatan pernikahan. Cuma mungkin, mereka nggak peduli aja kalah sama hawa nafsunya."Feiza menatap Fahmi sambil menggigit pipi bagian dalamnya. Apa yang dikatakan laki-laki berwajah tegas yang ada di hadapannya ini terasa seperti tamparan telak untuk dirinya.Kepala Feiza sedikit tertunduk. "Aku cuma nggak mau kehilangan temenku lagi," lirihnya. "Dulu, aku udah tahu gimana rasanya," lanjutnya lagi.Fahmi diam menatap Feiza."Bukan temen sih. Tapi saudari sepupuku sendiri." Feiza melanjutkan. "Sejak kecil kami selalu bersama ke mana-mana. Kayak anak kembar. Setelah beranjak dewasa dan aku tahu dia pacaran sama seorang cowok, aku nggak terima. Aku marahin dia. Negur sih, sebenernya. Tapi kemudian, aku dikatain sok paling alim dan suci. Kami bermusuhan selama beberapa hari. Akhirnya tetep damai. Dia ngelanjutin hubungannya sama cowok yang menjadi pacarnya. Tapi, semenjak itu hubungan kami udah nggak sama lagi. Meski pada akhirnya, sepupuku itu putus juga sama pacarnya setelah beberapa bulan." Feiza menutup ceritanya dengan seulas senyuman sembari menatap Fahmi. "Karena itu, aku nggak pernah nyinyir langsung sama temen-temenku. Cuma, aku tetep berusaha ngingetin mereka semampuku dan negur mereka kalau tindakan pacarannya keterlaluan. Dengan cara yang halus tentu aja."Fahmi manggut-manggut menganggukkan kepala. Laki-laki itu meraih cangkir kopinya di atas meja dan pelan menyesapnya.Diam."Inspiratif sekali cerita Anda, Nona," ucap Fahmi kemudian bernada jenaka sambil kembali meletakkan gelasnya.Feiza pun langsung dibuat tertawa mendengarnya. "Nggak usah ngece yaa, Anda!" cicitnya sambil menyipitkan mata.Fahmi langsung memasang ekspresi pura-pura takut, lantas bersama, keduanya sama-sama tertawa.Tbc."Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat saling diam lagi. "Pernah denger kalimat kalau seseorang yang pacaran lalu dia bertaubat, dan tidak pernah berpikir untuk mengulang lagi, maka dia lebih mahal dari berlian?" tanyanya."Pernah." Feiza mengangguk. "Apa lagi kalau nggak pernah pacaran, ya, kan?" lanjutnya.Fahmi terkekeh. "Jadi, kamu bener-bener nggak mau pacaran, ya, Fe?""Hem. Bisa dibilang gitu sih, Mi. Untuk saat ini."Fahmi langsung mengerutkan dahi. "Untuk saat ini?" pekaunya mempertanyakan kalimat terakhir dari jawaban Feiza."Iya." Feiza menganggukkan kepala. "Aku nggak mau dicap munafik, sok alim ataupun sok suci." Jeda. "Setelah ngobrol sama kamu hari ini, aku mengakui kalau aku orang yang sangat naif sekali, Mi. Jadi, aku mau menjawab pertanyaan kamu dengan rasioal aja."Dari mengerutkan dahinya, Fahmi kini mengangkat sebelah alisnya karena tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Feiza."Manusia adalah makhluk yang dinamis. Sifatnya fluktuatif. Sekarang bisa aja aku bi
"Kamu sendiri gimana, Mi?" ucap Feiza kemudian. "Apa termasuk orang yang berpandangan kalau pacaran itu seperti taaruf kayak yang kamu bilang tadi?" lanjutnya."Hm. Mungkin?" jawab Fahmi."Wah." Feiza langsung berseru. "Kamu pernah pacaran?" tanyanya.Fahmi menatap lekat mata Feiza. "Jujur, bisa dibilang iya."Feiza kembali berseru 'wah' lantas membekap mulutnya. Bukannya ekspresi antipati, wajah terkejut Feiza malah seperti menatap tidak percaya, tidak menyangka, sekaligus takjub kepada Fahmi. Semuanya campur baur."Cuma cinta monyet. Pacarannya pun nggak aneh-aneh kok, Fe. Cuma SMS-an sama Inbox-an di jaman itu. Waktu itu aku SMP. Nggak pernah jalan berdua, pegangan tangan, ataupun lainnya," jelas Fahmi tanpa diminta."Emm." Feiza mengangguk kecil. "Temen sepondok kamu?" tanyanya."Iya.""Seangkatan ... atau adik tingkat?""Seangkatan.""Sekelas?""Enggak.""Ohh."Tercipta keheningan."Fe," panggil Fahmi setelah beberapa lama."Iya?" sahut Feiza yang kini tampak kembali menyuap pent
Feiza menyeka kedua matanya yang basah oleh cairan larikma. Untuk ke sekian kalinya.Kini, gadis cantik itu sedang duduk di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya setelah ayahnya yang bekerja di pabrik pulang beberapa jam yang lalu.Jam analog di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 7 malam selepas Isya. Feiza, ayahnya, dan ibunya. Mereka bertiga duduk di atas lantai semen yang dilapisi karpet berwarna hijau tua ruang keluarga.Ayah Feiza duduk bersisian dengan ibunya sedangkan Feiza bersimpuh di hadapan keduanya.Feiza buka suara setelah berusaha menenangkan diri. "Kenapa Ayah begitu tega sama Feiza, Yah?" tanya gadis itu dengan suara sengau menatap ayahnya. "Kenapa Ayah nikahin aku sama seseorang yang bahkan nggak Fe kenal? Kenapa, Yah? Kenapa?"Tes tes tes.Feiza sudah berusaha keras menahan air matanya. Namun, cairan itu tetap meluncur juga dengan deras di kedua belah pipinya.Gadis itu benar-benar merasakan kesedihan yang tak terkira karena keputusan sepihak kedua orang tuany
Pemandangan seperti ini tidak pernah dibayangkan sama sekali oleh Feiza sebelumnya. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan rumahnya dan seorang laki-laki yang dikenalnya keluar dari dalamnya.Ya Allah Gusti, apa pun maksud dan tujuan kedatangan laki-laki ini, semoga tidak seperti apa yang dipikirkan Feiza dan menjadi dugaannya.Gadis itu berpikir ia tidak akan kuasa jika kemunculan laki-laki itu sepagi ini di rumahnya sama seperti yang ada di pikirannya. Feiza tidak akan bisa."Assalamu'alaikum." Laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan mengucap salam dengan suaranya yang berat dan tegas.Feiza yang sempat mematung selama beberapa detik langsung kelabakan menjawab salam laki-laki itu. "Wa-waalaikumussalam." Ia sampai tergagap.Laki-laki itu pun mengulas senyum di wajahnya. "Ayah dan Ibu di mana?" tanyanya.Feiza langsung tercenung mendengarnya.Ayah dan Ibu? Ayah dan ibu siapa yang dimaksudnya? Ayah dan Ibu Feiza? Tapi, kenapa laki-laki itu menyebutnya
Feiza tidak dapat mendeskripsikan perasaannya. Entah terkejut, sedih, kecewa, takut, terluka, atau bahkan perasaan lainnya. Yang jelas perasaan campur aduk itu ia yakini bukanlah perasaan bahagia.Feiza merasa ingin menghilang saja dari dunia saat ini juga. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang kini ada di hadapannya. Hanya berdua.Ya, hanya ada mereka berdua di ruang tamu berukuran 4 x 6 meter itu. Ayah dan ibu Feiza baru saja pergi beberapa menit yang lalu dengan alasan hendak ke pasar untuk berbelanja. Padahal Feiza rasa, tidak ada kebutuhan rumah atau dapur yang harus ibunya beli hari ini. Semuanya masih mencukupi."Feiza," panggil laki-laki itu lembut. "Kamu melamun?" tanyanya penuh perhatian menatap ke arah Feiza.Feiza mengerjapkan matanya, balas menatap laki-laki yang duduk tepat di depannya hanya berbataskan meja kayu ruang tamu dengan bentangan jarak berkisar satu meteran itu lalu menundukkan kepala.Feiza tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatak
"Setelah ini bersiaplah, Fe," ucap Furqon tak lama setelah Feiza mengambil kotak berisi cincinnya."Siap-siap? Apa, Gus?" balas gadis itu terdengar malas tak bertenaga.Kenyataan bahwa Furqon adalah laki-laki yang dinikahkan dengannya menyedot habis tenaganya, bahkan bisa dibilang, gairah hidup Feiza. Gadis itu sudah bisa membayangkan hari-hari berat yang akan dialaminya dan menunggunya di depan mata karena menjadi istri Furqon."Aku mau mengajakmu jalan-jalan seperti yang sudah kusampaikan ke Ayah," balas Furqon. "Semua barang yang mau kamu bawa kembali ke Plosojati, kamu bawa sekalian. Setelah jalan-jalan kita akan langsung kembali ke sana."Feiza diam tidak bisa berkata-kata. Ia benar-benar masih syok dan terkejut.Plosojati yang dimaksud Furqon ialah nama daerah tempat berdirinya kampus mereka di kota rantauan. Dan kebanyakan mahasiswa memang memilih tinggal dan menetap di daerah itu entah di kontrakan atau indekosnya masing-masing.Sekarang, Feiza masih terkejut karena Furqon ben
Sepanjang perjalanan, Feiza terus diam dengan Furqon yang juga tampak mengemudi dengan tenang di sisi kanannya. Tidak ada seorang pun yang bicara.Entah ke mana tujuan mereka, Feiza masih belum tahu. Furqon benar-benar tidak berniat memberitahunya. Membuat gadis itu hanya bisa menghela napasnya beberapa kali dengan pelan namun gusar sembari menatap pemandangan yang ada di luar mobil dari kaca jendela yang ada di sisi kirinya.Yang Feiza tahu dengan pasti, mereka masih berada di daerah kota tempat tinggalnya. Itu saja.Ponsel sebenarnya bisa menjadi distraksi terbaik untuk memusatkan perhatian Feiza agar tidak terlalu merasakan keheningan yang tercipta dalam mobil sedan berwarna putih itu. Namun, Feiza memilih tidak melakukannya. Ia takut melewatkan akan ke mana sebenernya Furqon membawanya, hingga beberapa saat setelahnya, laki-laki jangkung itu membelokkan mobilnya masuk ke dalam basement salah satu mal di kota.Feiza sedikit mengernyitkan dahi, ia sama sekali tidak menyangka jika Fu
Setelah membeli beberapa jajanan oleh-oleh, Furqon membawa Feiza ke sebuah toko perhiasan dan membelikan sebuah cincin emas untuk gadis itu. Katanya Feiza harus memakainya jika belum mau memakai cincin nikah berlian yang diberikannya.Sebenarnya Feiza tidak mau menerimanya, tapi lagi-lagi demi misinya yang belum tercapai, Feiza mengiyakan dan langsung mengenakan cincin emas dua puluh empat karat dengan berat 3,5 gram itu.Terlalu besar menurut Feiza, dan tentu terlihat sangat mencolok di jari manis kecil tangan kanannya yang notabenenya mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa. Namun, apa mau dikata. Untuk saat ini Feiza terpaksa harus mengenakannya agar Furqon merasa senang.Setelah membeli cincin, Furqon hendak mengajak Feiza ke gerai ponsel dan membelikan iPhone terbaru untuk gadis itu. Tapi untuk satu hal itu Feiza langsung menolak dengan alasan ia masih terlalu eman dengan ponsel Android kesayangannya yang sudah lama menemani Feiza semenjak masih menjadi Maba alias mahasiswa baru