"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat saling diam lagi. "Pernah denger kalimat kalau seseorang yang pacaran lalu dia bertaubat, dan tidak pernah berpikir untuk mengulang lagi, maka dia lebih mahal dari berlian?" tanyanya.
"Pernah." Feiza mengangguk. "Apa lagi kalau nggak pernah pacaran, ya, kan?" lanjutnya.Fahmi terkekeh. "Jadi, kamu bener-bener nggak mau pacaran, ya, Fe?""Hem. Bisa dibilang gitu sih, Mi. Untuk saat ini."Fahmi langsung mengerutkan dahi. "Untuk saat ini?" pekaunya mempertanyakan kalimat terakhir dari jawaban Feiza."Iya." Feiza menganggukkan kepala. "Aku nggak mau dicap munafik, sok alim ataupun sok suci." Jeda. "Setelah ngobrol sama kamu hari ini, aku mengakui kalau aku orang yang sangat naif sekali, Mi. Jadi, aku mau menjawab pertanyaan kamu dengan rasioal aja."Dari mengerutkan dahinya, Fahmi kini mengangkat sebelah alisnya karena tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Feiza."Manusia adalah makhluk yang dinamis. Sifatnya fluktuatif. Sekarang bisa aja aku bilang nggak mau pacaran. Tapi, siapa yang bakal tahu di masa depan? Bisa aja di kemudian hari aku malah pacaran dan jilat kata-kataku sendiri hari ini," kata Feiza lagi. "Karena itu aku bilang iya, aku nggak mau pacaran, untuk saat ini."Fahmi menatap Feiza dengan full senyum kali ini. Kedua mata hitamnya sampai seolah terlihat berbinar-binar karenanya."Yang jelas, yaa," lanjut Feiza. "Aku akan berusaha istiqamah menempuhnya." Ia mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas pelan dari hidungnya.Fahmi mengangguk-ngangguk. "Karena itu aku tertarik sama kamu," gumamnya kelewat lirih dengan senyuman kecil. Ia meraih cangkir kopinya dan menyeruput cairan kafein itu lagi."Hah? Kamu bilang apa?" tanya Feiza yang tidak bisa mendengar dengan jelas kata-kata Fahmi. Kalimat yang tadi diucapkan Fahmi benar-benar terdengar seperti suara dengungan nyamuk di telinganya.Fahmi menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu memilih kembali menegakkan duduknya menatap Feiza."Fe," katanya."Hm?" Feiza menyahut."Bagi beberapa orang, pacaran itu diartikan sebagai taaruf.""Hah? Emang iya?" Feiza bertanya tidak percaya."Em." Fahmi sedikit manggut. "Itu yang kutahu. Makanya, ada orang yang meski katanya pacaran, mereka tetep berdiri di dalam garisnya. Nggak ada skinship, atau yang lainnya. Nggak ada sleep call berjam-jam. Nggak ada perhatian berlebihan. Nggak ada hak dan kewajiban yang mengikat atau ini itu.""Masa sih?" Feiza benar-benar tidak percaya. "Emang ada yang kayak gituan?"Fahmi lagi-lagi mengangguk."Gagasan siapa itu? Aku baru denger," celetuk Feiza dengan tawa kecil di bibirnya. "Terus esensinya apa? Ngapain ada orang yang katanya pacaran tapi kayak gitu?""Esensinya ... dua orang itu saling berkomitmen satu sama lain, Fe. Mereka sama-sama tahu kalau saling suka. Dan mereka akan berusaha melabuhkan rasa suka itu pada hubungan yang benar-benar direstui-Nya setelah saling mengenal. Makanya kubilang ada orang yang mengartikan pacaran seperti taaruf.""Duh." Feiza kemudian terkikik lagi. "Trus ujungnya di mana?" Ia melontarkan tanya lagi."Tentu di pernikahan." Fahmi menjawabnya."Kalau enggak? Rugi dong!"Feiza lantas meraih tasnya dan mengeluarkan sebotol air mineral dari dalamnya. Membuka botol air yang masih tersegel itu lalu menenggaknya setelah melirik sebentar ke kiri-kanan.Es teh tawarnya sudah habis, jadi, terpaksa gadis itu harus mengeluarkan air menaral dari tasnya untuk membasahi kerongkongannya yang kering.Fahmi tersenyum tipis melihat perilaku Feiza. "Mau dipesenin minum lagi?" tawarnya."Nggak usah. Makasih." Feiza menolak sambil tersenyum, kemudian memasukkan botol air mineralnya kembali ke dalam tas."Hm, oke." Karena tidak ingin memaksa, Fahmi pun mengiyakannya."Sampai mana tadi, Mi?" tanya Feiza ganti."Sampai kamu bilang, kalau enggak, rugi dong," terang Fahmi meniru kata-kata Feiza yang langsung membuat si gadis tertawa."Hm, iya." Feiza mengangguk dengan senyum cerahnya. "Kalau misal ternyata ujungnya bukan menikah, rugi banget dong, Mi. Meski katanya pacarannya tanpa menuntut hak dan kewajiban ini itu, namanya apa nggak tetep taqrobuz zina? Memberi ruang, waktu, perasaan, bahkan mungkin tenaga bagi orang lain yang bukan siapa-siapa dan tidak halal di hidup kita. Itu bukannya termasuk zina hati? Aku nggak nyebut zina mata bukan berarti nggak termasuk, yaa. Tentu termasuk juga! Zina mata nggak kusebut karena aku menyadari, aku sendiri nggak lepas dari itu. Seperti saat ini ketika aku menatap kamu. Atau, bahkan menatap laki-laki lain yang juga ajnabi di sekitarku. Karena ini pilihanku. Aku menganggap, menatap orang lain saat berbicara adalah kesopanan yang harus kulakukan sebagai bentuk penghargaanku terhadap orang yang bicara denganku. Dan tentu, sebisa mungkin aku mengendalikan perasaanku agar jangan sampai zina mata itu berlanjut ke zina hati. Of course, aku tahu kalau aku naif sekali."Fahmi menatap Feiza tanpa mengedipkan matanya. Ia seolah tidak menutupi manik hitamnya yang seperti menatap memuja ke arah gadis yang ada di depannya itu."Ngobrol sama kamu seru, ya? Kayak lagi bahtsul masail." Fahmi terkekeh.Bukannya merasa dipuji, Feiza malah merasa jika Fahmi sedang meledeknya. "Mulai lagi deh ngece-nya!""Enggak. Aku nggak ngece kamu, Fe. Aku memuji." Fahmi terkekeh lagi."Hilih." Feiza yang tidak mau percaya memilih merotasikan bola matanya.Tbc."Kamu sendiri gimana, Mi?" ucap Feiza kemudian. "Apa termasuk orang yang berpandangan kalau pacaran itu seperti taaruf kayak yang kamu bilang tadi?" lanjutnya."Hm. Mungkin?" jawab Fahmi."Wah." Feiza langsung berseru. "Kamu pernah pacaran?" tanyanya.Fahmi menatap lekat mata Feiza. "Jujur, bisa dibilang iya."Feiza kembali berseru 'wah' lantas membekap mulutnya. Bukannya ekspresi antipati, wajah terkejut Feiza malah seperti menatap tidak percaya, tidak menyangka, sekaligus takjub kepada Fahmi. Semuanya campur baur."Cuma cinta monyet. Pacarannya pun nggak aneh-aneh kok, Fe. Cuma SMS-an sama Inbox-an di jaman itu. Waktu itu aku SMP. Nggak pernah jalan berdua, pegangan tangan, ataupun lainnya," jelas Fahmi tanpa diminta."Emm." Feiza mengangguk kecil. "Temen sepondok kamu?" tanyanya."Iya.""Seangkatan ... atau adik tingkat?""Seangkatan.""Sekelas?""Enggak.""Ohh."Tercipta keheningan."Fe," panggil Fahmi setelah beberapa lama."Iya?" sahut Feiza yang kini tampak kembali menyuap pent
Feiza menyeka kedua matanya yang basah oleh cairan larikma. Untuk ke sekian kalinya.Kini, gadis cantik itu sedang duduk di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya setelah ayahnya yang bekerja di pabrik pulang beberapa jam yang lalu.Jam analog di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 7 malam selepas Isya. Feiza, ayahnya, dan ibunya. Mereka bertiga duduk di atas lantai semen yang dilapisi karpet berwarna hijau tua ruang keluarga.Ayah Feiza duduk bersisian dengan ibunya sedangkan Feiza bersimpuh di hadapan keduanya.Feiza buka suara setelah berusaha menenangkan diri. "Kenapa Ayah begitu tega sama Feiza, Yah?" tanya gadis itu dengan suara sengau menatap ayahnya. "Kenapa Ayah nikahin aku sama seseorang yang bahkan nggak Fe kenal? Kenapa, Yah? Kenapa?"Tes tes tes.Feiza sudah berusaha keras menahan air matanya. Namun, cairan itu tetap meluncur juga dengan deras di kedua belah pipinya.Gadis itu benar-benar merasakan kesedihan yang tak terkira karena keputusan sepihak kedua orang tuany
Pemandangan seperti ini tidak pernah dibayangkan sama sekali oleh Feiza sebelumnya. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan rumahnya dan seorang laki-laki yang dikenalnya keluar dari dalamnya.Ya Allah Gusti, apa pun maksud dan tujuan kedatangan laki-laki ini, semoga tidak seperti apa yang dipikirkan Feiza dan menjadi dugaannya.Gadis itu berpikir ia tidak akan kuasa jika kemunculan laki-laki itu sepagi ini di rumahnya sama seperti yang ada di pikirannya. Feiza tidak akan bisa."Assalamu'alaikum." Laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan mengucap salam dengan suaranya yang berat dan tegas.Feiza yang sempat mematung selama beberapa detik langsung kelabakan menjawab salam laki-laki itu. "Wa-waalaikumussalam." Ia sampai tergagap.Laki-laki itu pun mengulas senyum di wajahnya. "Ayah dan Ibu di mana?" tanyanya.Feiza langsung tercenung mendengarnya.Ayah dan Ibu? Ayah dan ibu siapa yang dimaksudnya? Ayah dan Ibu Feiza? Tapi, kenapa laki-laki itu menyebutnya
Feiza tidak dapat mendeskripsikan perasaannya. Entah terkejut, sedih, kecewa, takut, terluka, atau bahkan perasaan lainnya. Yang jelas perasaan campur aduk itu ia yakini bukanlah perasaan bahagia.Feiza merasa ingin menghilang saja dari dunia saat ini juga. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang kini ada di hadapannya. Hanya berdua.Ya, hanya ada mereka berdua di ruang tamu berukuran 4 x 6 meter itu. Ayah dan ibu Feiza baru saja pergi beberapa menit yang lalu dengan alasan hendak ke pasar untuk berbelanja. Padahal Feiza rasa, tidak ada kebutuhan rumah atau dapur yang harus ibunya beli hari ini. Semuanya masih mencukupi."Feiza," panggil laki-laki itu lembut. "Kamu melamun?" tanyanya penuh perhatian menatap ke arah Feiza.Feiza mengerjapkan matanya, balas menatap laki-laki yang duduk tepat di depannya hanya berbataskan meja kayu ruang tamu dengan bentangan jarak berkisar satu meteran itu lalu menundukkan kepala.Feiza tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatak
"Setelah ini bersiaplah, Fe," ucap Furqon tak lama setelah Feiza mengambil kotak berisi cincinnya."Siap-siap? Apa, Gus?" balas gadis itu terdengar malas tak bertenaga.Kenyataan bahwa Furqon adalah laki-laki yang dinikahkan dengannya menyedot habis tenaganya, bahkan bisa dibilang, gairah hidup Feiza. Gadis itu sudah bisa membayangkan hari-hari berat yang akan dialaminya dan menunggunya di depan mata karena menjadi istri Furqon."Aku mau mengajakmu jalan-jalan seperti yang sudah kusampaikan ke Ayah," balas Furqon. "Semua barang yang mau kamu bawa kembali ke Plosojati, kamu bawa sekalian. Setelah jalan-jalan kita akan langsung kembali ke sana."Feiza diam tidak bisa berkata-kata. Ia benar-benar masih syok dan terkejut.Plosojati yang dimaksud Furqon ialah nama daerah tempat berdirinya kampus mereka di kota rantauan. Dan kebanyakan mahasiswa memang memilih tinggal dan menetap di daerah itu entah di kontrakan atau indekosnya masing-masing.Sekarang, Feiza masih terkejut karena Furqon ben
Sepanjang perjalanan, Feiza terus diam dengan Furqon yang juga tampak mengemudi dengan tenang di sisi kanannya. Tidak ada seorang pun yang bicara.Entah ke mana tujuan mereka, Feiza masih belum tahu. Furqon benar-benar tidak berniat memberitahunya. Membuat gadis itu hanya bisa menghela napasnya beberapa kali dengan pelan namun gusar sembari menatap pemandangan yang ada di luar mobil dari kaca jendela yang ada di sisi kirinya.Yang Feiza tahu dengan pasti, mereka masih berada di daerah kota tempat tinggalnya. Itu saja.Ponsel sebenarnya bisa menjadi distraksi terbaik untuk memusatkan perhatian Feiza agar tidak terlalu merasakan keheningan yang tercipta dalam mobil sedan berwarna putih itu. Namun, Feiza memilih tidak melakukannya. Ia takut melewatkan akan ke mana sebenernya Furqon membawanya, hingga beberapa saat setelahnya, laki-laki jangkung itu membelokkan mobilnya masuk ke dalam basement salah satu mal di kota.Feiza sedikit mengernyitkan dahi, ia sama sekali tidak menyangka jika Fu
Setelah membeli beberapa jajanan oleh-oleh, Furqon membawa Feiza ke sebuah toko perhiasan dan membelikan sebuah cincin emas untuk gadis itu. Katanya Feiza harus memakainya jika belum mau memakai cincin nikah berlian yang diberikannya.Sebenarnya Feiza tidak mau menerimanya, tapi lagi-lagi demi misinya yang belum tercapai, Feiza mengiyakan dan langsung mengenakan cincin emas dua puluh empat karat dengan berat 3,5 gram itu.Terlalu besar menurut Feiza, dan tentu terlihat sangat mencolok di jari manis kecil tangan kanannya yang notabenenya mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa. Namun, apa mau dikata. Untuk saat ini Feiza terpaksa harus mengenakannya agar Furqon merasa senang.Setelah membeli cincin, Furqon hendak mengajak Feiza ke gerai ponsel dan membelikan iPhone terbaru untuk gadis itu. Tapi untuk satu hal itu Feiza langsung menolak dengan alasan ia masih terlalu eman dengan ponsel Android kesayangannya yang sudah lama menemani Feiza semenjak masih menjadi Maba alias mahasiswa baru
Furqon membawa Feiza masuk ke dalam sebuah bangunan rumah yang begitu besar dan megah setelah melepas alas kaki masing-masing di depan teras rumah yang berundak. Tembok rumah itu berwarna cream nyaris putih tulang senada dengan lantai keramiknya dengan pintu dan jendela yang berbahankan kayu jati bercatkan warna cokelat tua.Sofa yang ada di ruang tamu berwarna putih gading dengan beberapa kaligrafi indah yang menghiasi dinding, juga sabuah gambar Ka'bah berukuran besar di salah satu sisinya. Karpet dan permadani yang tak kalah bagusnya juga menyelimuti lantai pada sebagian besar ruangan berukuran 5 x 6 meter itu."Assalamu'alaikum."Furqon berujar mengucapkan salam. Tangan kirinya masih menggenggam tangan kanan Feiza dengan tangan kanan laki-laki itu yang menenteng kresek dan paper bag berisi oleh-oleh jajanan khas Jombang yang sebelumnya telah dibelinya."Assalamu'alaikum, Umi." Furqon mengucap salamnya lagi."Wa'alaikumussalam."Tak berselang lama, suara seorang wanita menyahut kem
Nurul Faizah Az-Zahra POV"Ada lagi yang mau kamu beli, Nduk?" tanya Umi kepadaku setelah kami berkeliling dengan banyak belanjaan yang dibeli Umi dan kini dibawakan oleh Kang Malik dengan kedua tangannya—yang mana sebagian besar belanjaan itu diperuntukkan Umi Farah untukku.Cepat, tentu aku segera menggelengkan kepala. "Tidak, Umi. Sudah tidak ada," jawabku mantap."Beneran?""Nggeh, Umi." Aku merekahkan senyuman mencoba meyakinkan."Ha ha ha ha ha." Umi langsung menggelakkan tawa yang terdengar begitu renyah dan menyenangkan di telinga. "Ya sudah. Sekarang, kalau begitu mari kita pulang!"Aku kembali tersenyum. Senang. "Nggeh, Umi," balasku."Kang Malik, ayo kita pulang!" ujar Umi kemudian, ganti kepada Kang Malik yang berdiri di belakang kami."Ah, enggeh. Baik, Bu Nyai." Laki-laki yang menurutku masih seumuran dengan Gus Furqon itu mengangguk.Sedetik setelahnya, kami sama-sama mengayunkan tungkai kaki kami pergi menuju jalan keluar plaza."Umi, sebentar," ucapku tak lama setelah
Nurul Faizah Az-Zahra POVSepanjang perjalanan, Umi terus mengajakku berbicara, hingga mobil sedan yang disopiri salah satu santri putra abdi ndalem pesantren keluarga Gus Furqon yang baru kutahu namanya Kang Malik—karena Umi memanggilnya begitu tadi ketika keduanya berbincang sebentar—membelokkan mobil yang kami naiki masuk ke dalam area pesantren.Setelah beberapa waktu menempuh perjalanan, kami telah tiba di pondok pesantren asuhan Umi dan Abah Gus Furqon di Kediri.Saat itu aku baru sadar, aku sama sekali tidak membawa masker sekarang, sehingga wajahku tidak dapat kusembunyikan.Bukankah beberapa santri sudah pernah melihat wajahku sebelumnya ketika diajak Umi salat berjemaah di musala pondok putri?Ya, jawabannya adalah iya. Namun, ketika itu mereka pasti hanya melihatnya sekilas. Setidaknya itu yang aku yakini. Dan lagi pula, saat itu di ruangan tertutup sehingga meski ada yang melihat, mestinya tidak banyak.Berbeda jauh jika melihatku di ruang terbuka. Di halaman ndalem kesepu
"Zahra," panggil Bu Nyai Farah halus pada Feiza yang kini duduk manis di sampingnya pada kursi penumpang belakang sebuah mobil sedan berwarna hitam yang melaju di jalan raya. "Nggeh, Mi?" balas Feiza segera. Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya. "Ada yang mau Umi tanyakan?" Jantung Feiza langsung berdebar-debar. "Ta-tanya apa, Umi?" balas Feiza pelan dengan perasaan yang entah mengapa menjadi was-was dalam seketika. Bu Nyai Farah mendekatkan dirinya ke arah Feiza—hal yang membuat jantung Feiza semakin berdebar tidak karuan—lantas berbisik pelan ke telinga menantunya itu. "Umi perhatikan wajah kamu sedikit pucat, Zahra. Sedang tidak enak badan?" Feiza merasa kembali dikejutkan. Bukan karena pertanyaan yang diajukan Bu Nyai Farah kepadanya. Namun, sebab apa yang diduga, dipikirkan, dan ditakutkannya ternyata meleset. Perempuan cantik itu diam-diam menghela napasnya dengan penuh kelegaan. Pikiran buruk yang sebelumnya bercokol di kepalanya tidak terjadi. Bu Nyai Farah t
"Masyaallah, cantiknya putri menantuku ...." Bu Nyai Farah mengembangkan senyumnya sembari terpana memandang Feiza yang muncul dari dapur dengan sebuah nampan kecil berisi tiga buah cawan teh hangat di tangannya. "Monggo diminum dulu, Umi," ucap Feiza sembari menyajikan teh yang baru dibuatnya itu ke atas meja. "Iya, Zahra." Bu Nyai Farah menganggukkan kepala lalu meraih cawan teh yang ada di depannya yang baru saja disajikan Feiza kemudian pelan menyeruputnya. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Bu Nyai Farah sebelum meminum cairan berwarna kecokelatan itu. "Enak, Nduk." Kemudian pujinya. "He he, terima kasih, Umi." Bu Nyai Farah menganggukkan kepalanya sekali. Kedua netranya menatap sang menantu dalam-dalam. "Kamu terlihat lebih cantik dari yang terakhir kali Umi lihat, Zahra." Tak lama, Bu Nyai Farah kembali melempar pujian untuk Feiza yang kini sudah duduk di sebuah sofa yang tepat berada di depan perempuan paruh baya itu. "Aamiin. Umi bisa saja he he," ucap Feiza. "
"Iya, aku memang ngeselin, Feiza. Tapi cuma ke kamu aku seperti ini," ucap Furqon sembari menatap Feiza dalam-dalam. Tangan kanannya bergerak menggenggam tangan kanan istrinya itu perlahan. "Kamu pasanganku. Mungkin memang jodohnya, laki-laki tengil dan menyebalkan sepertiku menikah dengan perempuan galak dan keras kepala seperti kamu."Plak!"Aduh!"Tanpa aba-aba, Feiza memukul lengan Furqon yang ada di depannya dengan tangan kirinya."Sakit, Sayang," lirih Furqon menatap dalam Feiza sembari menampilkan ringisan di wajah tampannya."Rasain," balas Feiza dengan wajah cemberut."Ha ha." Furqon kembali tertawa melihat wajah istrinya yang menurutnya terkesan lucu itu. "Sayang banget aku sama kamu," lirihnya lalu mengecup tangan kanan Feiza yang ada di genggamannya."Katanya aku galak?" desau Feiza."Iya, tapi aku sayang.""Berarti nyebelin dong? Kenapa masih sayang?""Karena ngangenin," balas Furq
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Usai salat, Furqon mengangkat kedua tangannya ke udara, memimpin doa kemudian langsung berbalik menoleh ke arah Feiza yang ada di belakangnya. "Mas." Feiza mendekat lalu meraih tangan Furqon dan menciumnya. Furqon merekahkan senyum. Tangan kirinya yang bebas tidak dicium Feiza bergerak mengusap lembut puncak kepala sang istri yang masih berbalutkan kain mukena. "Aku akan rindu kamu, Fe," tutur Furqon. Selesai bersalaman, Feiza menegakkan duduknya lagi dan sedikit mendongakkan kepala agar dapat menatap lurus wajah tampan Furqon yang ada di hadapannya. "Cuma dua hari, Mas," sahut Feiza. "Iya. Tapi aku akan sekarat merinduimu." "Ha ha ha ha." Feiza langsung memecahkan tawa mendengar itu. "Gombal banget, sih, Mas," tukasnya. Furqon kembali memasang senyum menatap perempuan yang ada di depannya. "Itu kenyataannya, Fe. Aku akan kangen banget sama kamu." "Chessy, ih. Gombal," respons Feiza sekali lagi. "Nggak p
Furqon masih diam tidak mengatakan apa-apa. "Aku masih kangen kamu padahal, Feiza," sahut Furqon akhirnya ketika bersuara. "Tapi aku juga nggak bisa nolak Umi tadi," lanjutnya. Feiza memasang senyum tipis, berusaha mengajak Furqon tersenyum juga bersamanya. "Cuma dua hari aja kok, Mas. Nggak lama," hibur perempuan itu. "Kita masih bisa hubungan, telepon atau mungkin video call." "Hm." Furqon menyahut dengan wajah sendu. Ia mengalihkan tatapannya dari Feiza lalu melanjutkan acara makannya yang sejak tadi sebetulnya tanpa selera. "Njenengan kurang suka ayam panggangnya?" tanya Feiza setelah memperhatikan cara makan Furqon. "Mau kumasakin sesuatu yang lain?" Furqon segera menoleh dan memberikan gelengan. "Nggak usah." Feiza mengangguk. Ia terus memperhatikan bagaimana Furqon makan sembari menyantap m
"Assalamualaikum. Feiza." Feiza baru saja selesai menunaikan ibadah salat Magribnya ketika Furqon terdengar mengucap salam dan memanggil namanya dari luar. Segera, perempuan itu pun melipat mukena dan sajadahnya lantas memasangnya di hanger kayu lalu mengantungnya di gagang lemari baju. "Feiza ...." Sekali lagi Furqon terdengar menyerukan nama Feiza. "Iya, Mas." Feiza keluar kamar dan menghampiri Furqon. "Waalaikumussalam." Ia menjawab salam Furqon yang tadi lalu khidmat mencium tangan sang suami. "Barang pesananku mana?" tanya Feiza lalu memperhatikan Furqon yang ada di depannya. "Ini. Sudah kubeli," balas Furqon, menenteng dua buah kresek berukuran sedang di tangan kirinya. Dua bungkus es degan beserta sedotannya di kresek yang lebih kecil dan dua kotak nasi di kresek satunya. Dua-duanya kresek bening sehingga siapa pun bisa melihat dengan jelas apa yang Furqon bawa. "Yeay! Makasih, Mas," seru Feiza girang lalu mengambil alih makanan dan minuman yang sudah dibawaka
Fahmi PGMI-A Feiza mengernyitkan keningnya melihat nama siapa yang tertera di layar ponselnya. "Fahmi? Kenapa tiba-tiba nelepon?" gumamnya kemudian mengangkat panggilan teman sekelas sekaligus wakil ketuanya di ormawa himpunan mahasiswa itu. "Assalamu'alaikum, Fahmi. Ada apa?" tanya Feiza tanpa berbasa-basi meskipun posisinya adalah si penerima telepon. "Wa'alaikumussalam." Dengan suara beratnya, Fahmi menyahut dari seberang. "Feiza," ucap Fahmi. "Apa?" Feiza merespons. "Aku sekarang ada di depan kosan kamu." Kedua bola mata Feiza langsung melotot mendengar perkataan Fahmi itu. "Hah? Ngapain?" Terkejut, tanya Feiza. Fahmi terdengar terkekeh lirih di seberang sana. "Lagian aku lagi nggak ada di kos, Mi." Feiza menambahi. "Ngapain kamu ke kosanku?" Perempuan cantik itu terdengar menggerutu. "Loh, beneran nggak ada di kos?" Fahmi melempar tanya dengan nada santai. "Hm. Iya," jawab Feiza pendek. "Padahal ada suatu hal yang mau kubicarain sama kamu, Fe." Feiza diam tidak lang