"Fe," panggil Fahmi setelah beberapa saat saling diam lagi. "Pernah denger kalimat kalau seseorang yang pacaran lalu dia bertaubat, dan tidak pernah berpikir untuk mengulang lagi, maka dia lebih mahal dari berlian?" tanyanya.
"Pernah." Feiza mengangguk. "Apa lagi kalau nggak pernah pacaran, ya, kan?" lanjutnya.Fahmi terkekeh. "Jadi, kamu bener-bener nggak mau pacaran, ya, Fe?""Hem. Bisa dibilang gitu sih, Mi. Untuk saat ini."Fahmi langsung mengerutkan dahi. "Untuk saat ini?" pekaunya mempertanyakan kalimat terakhir dari jawaban Feiza."Iya." Feiza menganggukkan kepala. "Aku nggak mau dicap munafik, sok alim ataupun sok suci." Jeda. "Setelah ngobrol sama kamu hari ini, aku mengakui kalau aku orang yang sangat naif sekali, Mi. Jadi, aku mau menjawab pertanyaan kamu dengan rasioal aja."Dari mengerutkan dahinya, Fahmi kini mengangkat sebelah alisnya karena tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Feiza."Manusia adalah makhluk yang dinamis. Sifatnya fluktuatif. Sekarang bisa aja aku bilang nggak mau pacaran. Tapi, siapa yang bakal tahu di masa depan? Bisa aja di kemudian hari aku malah pacaran dan jilat kata-kataku sendiri hari ini," kata Feiza lagi. "Karena itu aku bilang iya, aku nggak mau pacaran, untuk saat ini."Fahmi menatap Feiza dengan full senyum kali ini. Kedua mata hitamnya sampai seolah terlihat berbinar-binar karenanya."Yang jelas, yaa," lanjut Feiza. "Aku akan berusaha istiqamah menempuhnya." Ia mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas pelan dari hidungnya.Fahmi mengangguk-ngangguk. "Karena itu aku tertarik sama kamu," gumamnya kelewat lirih dengan senyuman kecil. Ia meraih cangkir kopinya dan menyeruput cairan kafein itu lagi."Hah? Kamu bilang apa?" tanya Feiza yang tidak bisa mendengar dengan jelas kata-kata Fahmi. Kalimat yang tadi diucapkan Fahmi benar-benar terdengar seperti suara dengungan nyamuk di telinganya.Fahmi menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu memilih kembali menegakkan duduknya menatap Feiza."Fe," katanya."Hm?" Feiza menyahut."Bagi beberapa orang, pacaran itu diartikan sebagai taaruf.""Hah? Emang iya?" Feiza bertanya tidak percaya."Em." Fahmi sedikit manggut. "Itu yang kutahu. Makanya, ada orang yang meski katanya pacaran, mereka tetep berdiri di dalam garisnya. Nggak ada skinship, atau yang lainnya. Nggak ada sleep call berjam-jam. Nggak ada perhatian berlebihan. Nggak ada hak dan kewajiban yang mengikat atau ini itu.""Masa sih?" Feiza benar-benar tidak percaya. "Emang ada yang kayak gituan?"Fahmi lagi-lagi mengangguk."Gagasan siapa itu? Aku baru denger," celetuk Feiza dengan tawa kecil di bibirnya. "Terus esensinya apa? Ngapain ada orang yang katanya pacaran tapi kayak gitu?""Esensinya ... dua orang itu saling berkomitmen satu sama lain, Fe. Mereka sama-sama tahu kalau saling suka. Dan mereka akan berusaha melabuhkan rasa suka itu pada hubungan yang benar-benar direstui-Nya setelah saling mengenal. Makanya kubilang ada orang yang mengartikan pacaran seperti taaruf.""Duh." Feiza kemudian terkikik lagi. "Trus ujungnya di mana?" Ia melontarkan tanya lagi."Tentu di pernikahan." Fahmi menjawabnya."Kalau enggak? Rugi dong!"Feiza lantas meraih tasnya dan mengeluarkan sebotol air mineral dari dalamnya. Membuka botol air yang masih tersegel itu lalu menenggaknya setelah melirik sebentar ke kiri-kanan.Es teh tawarnya sudah habis, jadi, terpaksa gadis itu harus mengeluarkan air menaral dari tasnya untuk membasahi kerongkongannya yang kering.Fahmi tersenyum tipis melihat perilaku Feiza. "Mau dipesenin minum lagi?" tawarnya."Nggak usah. Makasih." Feiza menolak sambil tersenyum, kemudian memasukkan botol air mineralnya kembali ke dalam tas."Hm, oke." Karena tidak ingin memaksa, Fahmi pun mengiyakannya."Sampai mana tadi, Mi?" tanya Feiza ganti."Sampai kamu bilang, kalau enggak, rugi dong," terang Fahmi meniru kata-kata Feiza yang langsung membuat si gadis tertawa."Hm, iya." Feiza mengangguk dengan senyum cerahnya. "Kalau misal ternyata ujungnya bukan menikah, rugi banget dong, Mi. Meski katanya pacarannya tanpa menuntut hak dan kewajiban ini itu, namanya apa nggak tetep taqrobuz zina? Memberi ruang, waktu, perasaan, bahkan mungkin tenaga bagi orang lain yang bukan siapa-siapa dan tidak halal di hidup kita. Itu bukannya termasuk zina hati? Aku nggak nyebut zina mata bukan berarti nggak termasuk, yaa. Tentu termasuk juga! Zina mata nggak kusebut karena aku menyadari, aku sendiri nggak lepas dari itu. Seperti saat ini ketika aku menatap kamu. Atau, bahkan menatap laki-laki lain yang juga ajnabi di sekitarku. Karena ini pilihanku. Aku menganggap, menatap orang lain saat berbicara adalah kesopanan yang harus kulakukan sebagai bentuk penghargaanku terhadap orang yang bicara denganku. Dan tentu, sebisa mungkin aku mengendalikan perasaanku agar jangan sampai zina mata itu berlanjut ke zina hati. Of course, aku tahu kalau aku naif sekali."Fahmi menatap Feiza tanpa mengedipkan matanya. Ia seolah tidak menutupi manik hitamnya yang seperti menatap memuja ke arah gadis yang ada di depannya itu."Ngobrol sama kamu seru, ya? Kayak lagi bahtsul masail." Fahmi terkekeh.Bukannya merasa dipuji, Feiza malah merasa jika Fahmi sedang meledeknya. "Mulai lagi deh ngece-nya!""Enggak. Aku nggak ngece kamu, Fe. Aku memuji." Fahmi terkekeh lagi."Hilih." Feiza yang tidak mau percaya memilih merotasikan bola matanya.Tbc."Kamu sendiri gimana, Mi?" ucap Feiza kemudian. "Apa termasuk orang yang berpandangan kalau pacaran itu seperti taaruf kayak yang kamu bilang tadi?" lanjutnya."Hm. Mungkin?" jawab Fahmi."Wah." Feiza langsung berseru. "Kamu pernah pacaran?" tanyanya.Fahmi menatap lekat mata Feiza. "Jujur, bisa dibilang iya."Feiza kembali berseru 'wah' lantas membekap mulutnya. Bukannya ekspresi antipati, wajah terkejut Feiza malah seperti menatap tidak percaya, tidak menyangka, sekaligus takjub kepada Fahmi. Semuanya campur baur."Cuma cinta monyet. Pacarannya pun nggak aneh-aneh kok, Fe. Cuma SMS-an sama Inbox-an di jaman itu. Waktu itu aku SMP. Nggak pernah jalan berdua, pegangan tangan, ataupun lainnya," jelas Fahmi tanpa diminta."Emm." Feiza mengangguk kecil. "Temen sepondok kamu?" tanyanya."Iya.""Seangkatan ... atau adik tingkat?""Seangkatan.""Sekelas?""Enggak.""Ohh."Tercipta keheningan."Fe," panggil Fahmi setelah beberapa lama."Iya?" sahut Feiza yang kini tampak kembali menyuap pent
Feiza menyeka kedua matanya yang basah oleh cairan larikma. Untuk ke sekian kalinya.Kini, gadis cantik itu sedang duduk di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya setelah ayahnya yang bekerja di pabrik pulang beberapa jam yang lalu.Jam analog di dinding ruangan itu menunjukkan pukul 7 malam selepas Isya. Feiza, ayahnya, dan ibunya. Mereka bertiga duduk di atas lantai semen yang dilapisi karpet berwarna hijau tua ruang keluarga.Ayah Feiza duduk bersisian dengan ibunya sedangkan Feiza bersimpuh di hadapan keduanya.Feiza buka suara setelah berusaha menenangkan diri. "Kenapa Ayah begitu tega sama Feiza, Yah?" tanya gadis itu dengan suara sengau menatap ayahnya. "Kenapa Ayah nikahin aku sama seseorang yang bahkan nggak Fe kenal? Kenapa, Yah? Kenapa?"Tes tes tes.Feiza sudah berusaha keras menahan air matanya. Namun, cairan itu tetap meluncur juga dengan deras di kedua belah pipinya.Gadis itu benar-benar merasakan kesedihan yang tak terkira karena keputusan sepihak kedua orang tuany
Pemandangan seperti ini tidak pernah dibayangkan sama sekali oleh Feiza sebelumnya. Sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan rumahnya dan seorang laki-laki yang dikenalnya keluar dari dalamnya.Ya Allah Gusti, apa pun maksud dan tujuan kedatangan laki-laki ini, semoga tidak seperti apa yang dipikirkan Feiza dan menjadi dugaannya.Gadis itu berpikir ia tidak akan kuasa jika kemunculan laki-laki itu sepagi ini di rumahnya sama seperti yang ada di pikirannya. Feiza tidak akan bisa."Assalamu'alaikum." Laki-laki itu tiba-tiba sudah berdiri di depannya dan mengucap salam dengan suaranya yang berat dan tegas.Feiza yang sempat mematung selama beberapa detik langsung kelabakan menjawab salam laki-laki itu. "Wa-waalaikumussalam." Ia sampai tergagap.Laki-laki itu pun mengulas senyum di wajahnya. "Ayah dan Ibu di mana?" tanyanya.Feiza langsung tercenung mendengarnya.Ayah dan Ibu? Ayah dan ibu siapa yang dimaksudnya? Ayah dan Ibu Feiza? Tapi, kenapa laki-laki itu menyebutnya
Feiza tidak dapat mendeskripsikan perasaannya. Entah terkejut, sedih, kecewa, takut, terluka, atau bahkan perasaan lainnya. Yang jelas perasaan campur aduk itu ia yakini bukanlah perasaan bahagia.Feiza merasa ingin menghilang saja dari dunia saat ini juga. Ia benar-benar tidak ingin berurusan dengan laki-laki yang kini ada di hadapannya. Hanya berdua.Ya, hanya ada mereka berdua di ruang tamu berukuran 4 x 6 meter itu. Ayah dan ibu Feiza baru saja pergi beberapa menit yang lalu dengan alasan hendak ke pasar untuk berbelanja. Padahal Feiza rasa, tidak ada kebutuhan rumah atau dapur yang harus ibunya beli hari ini. Semuanya masih mencukupi."Feiza," panggil laki-laki itu lembut. "Kamu melamun?" tanyanya penuh perhatian menatap ke arah Feiza.Feiza mengerjapkan matanya, balas menatap laki-laki yang duduk tepat di depannya hanya berbataskan meja kayu ruang tamu dengan bentangan jarak berkisar satu meteran itu lalu menundukkan kepala.Feiza tidak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatak
"Setelah ini bersiaplah, Fe," ucap Furqon tak lama setelah Feiza mengambil kotak berisi cincinnya."Siap-siap? Apa, Gus?" balas gadis itu terdengar malas tak bertenaga.Kenyataan bahwa Furqon adalah laki-laki yang dinikahkan dengannya menyedot habis tenaganya, bahkan bisa dibilang, gairah hidup Feiza. Gadis itu sudah bisa membayangkan hari-hari berat yang akan dialaminya dan menunggunya di depan mata karena menjadi istri Furqon."Aku mau mengajakmu jalan-jalan seperti yang sudah kusampaikan ke Ayah," balas Furqon. "Semua barang yang mau kamu bawa kembali ke Plosojati, kamu bawa sekalian. Setelah jalan-jalan kita akan langsung kembali ke sana."Feiza diam tidak bisa berkata-kata. Ia benar-benar masih syok dan terkejut.Plosojati yang dimaksud Furqon ialah nama daerah tempat berdirinya kampus mereka di kota rantauan. Dan kebanyakan mahasiswa memang memilih tinggal dan menetap di daerah itu entah di kontrakan atau indekosnya masing-masing.Sekarang, Feiza masih terkejut karena Furqon ben
Sepanjang perjalanan, Feiza terus diam dengan Furqon yang juga tampak mengemudi dengan tenang di sisi kanannya. Tidak ada seorang pun yang bicara.Entah ke mana tujuan mereka, Feiza masih belum tahu. Furqon benar-benar tidak berniat memberitahunya. Membuat gadis itu hanya bisa menghela napasnya beberapa kali dengan pelan namun gusar sembari menatap pemandangan yang ada di luar mobil dari kaca jendela yang ada di sisi kirinya.Yang Feiza tahu dengan pasti, mereka masih berada di daerah kota tempat tinggalnya. Itu saja.Ponsel sebenarnya bisa menjadi distraksi terbaik untuk memusatkan perhatian Feiza agar tidak terlalu merasakan keheningan yang tercipta dalam mobil sedan berwarna putih itu. Namun, Feiza memilih tidak melakukannya. Ia takut melewatkan akan ke mana sebenernya Furqon membawanya, hingga beberapa saat setelahnya, laki-laki jangkung itu membelokkan mobilnya masuk ke dalam basement salah satu mal di kota.Feiza sedikit mengernyitkan dahi, ia sama sekali tidak menyangka jika Fu
Setelah membeli beberapa jajanan oleh-oleh, Furqon membawa Feiza ke sebuah toko perhiasan dan membelikan sebuah cincin emas untuk gadis itu. Katanya Feiza harus memakainya jika belum mau memakai cincin nikah berlian yang diberikannya.Sebenarnya Feiza tidak mau menerimanya, tapi lagi-lagi demi misinya yang belum tercapai, Feiza mengiyakan dan langsung mengenakan cincin emas dua puluh empat karat dengan berat 3,5 gram itu.Terlalu besar menurut Feiza, dan tentu terlihat sangat mencolok di jari manis kecil tangan kanannya yang notabenenya mahasiswa yang berkuliah dengan beasiswa. Namun, apa mau dikata. Untuk saat ini Feiza terpaksa harus mengenakannya agar Furqon merasa senang.Setelah membeli cincin, Furqon hendak mengajak Feiza ke gerai ponsel dan membelikan iPhone terbaru untuk gadis itu. Tapi untuk satu hal itu Feiza langsung menolak dengan alasan ia masih terlalu eman dengan ponsel Android kesayangannya yang sudah lama menemani Feiza semenjak masih menjadi Maba alias mahasiswa baru
Furqon membawa Feiza masuk ke dalam sebuah bangunan rumah yang begitu besar dan megah setelah melepas alas kaki masing-masing di depan teras rumah yang berundak. Tembok rumah itu berwarna cream nyaris putih tulang senada dengan lantai keramiknya dengan pintu dan jendela yang berbahankan kayu jati bercatkan warna cokelat tua.Sofa yang ada di ruang tamu berwarna putih gading dengan beberapa kaligrafi indah yang menghiasi dinding, juga sabuah gambar Ka'bah berukuran besar di salah satu sisinya. Karpet dan permadani yang tak kalah bagusnya juga menyelimuti lantai pada sebagian besar ruangan berukuran 5 x 6 meter itu."Assalamu'alaikum."Furqon berujar mengucapkan salam. Tangan kirinya masih menggenggam tangan kanan Feiza dengan tangan kanan laki-laki itu yang menenteng kresek dan paper bag berisi oleh-oleh jajanan khas Jombang yang sebelumnya telah dibelinya."Assalamu'alaikum, Umi." Furqon mengucap salamnya lagi."Wa'alaikumussalam."Tak berselang lama, suara seorang wanita menyahut kem