Bruk! Aufal keburu menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Azwa. Wanita itu memberontak keras berusaha melepaskan diri. Dia benar-benar takut kejadian itu terulang kembali. Akan tetapi, saat merasakan dahi Aufal yang terasa panas di lehernya ditambah dengan suhu tubuh suaminya yang meningkat, dia berhenti berontak dan terdiam. “Mas?” Azwa melonggarkan pelukan dan mendongak menatap wajah Aufal. Suaminya itu terlihat sangat pucat dengan tatapan sayu. Tangannya terulur menyentuh dahi Aufal. Dia membelalakkan matanya terkejut ketika merasakan panas di sana. Suaminya demam tinggi! “Astaghfirulloh…. Mas demam.” Aufal tak merespon hanya menampilkan senyum lemah. Tubuhnya terasa sangat lemas. Kalau saja Azwa tidak menahannya, mungkin dia sudah ambruk. Dia kembali menjatuhkan kepalanya di pundak perempuan itu. Azwa sekuat tenaga menahan tubuhnya dan tubuh Aufal agar tidak jatuh. “Mas, kita ke kamar, yuk. Mas harus istirahat.” “Hm,” gumam Aufal seraya melepaskan pelukannya dengan tubuh ya
“Azwa maafin. Jangan diulangi lagi. Janji?” “Mas nggak janji, tapi Mas akan berusaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama. Mas nggak berani mengumbar janji kalau Mas sendiri yang mengingkari.” Aufal menggenggam kedua tangan Azwa erat. Ditatapnya mata bulat sang istri lekat-lekat. “Mas sangat mencintaimu, Sayang. Apapun akan Mas lakukan demi membahagiakanmu, kalau perlu nyawa Mas sekalian.” “Tapi tolong, jangan minta Mas buat melepasmu. Mas nggak sanggup kehilanganmu, Dek.” Azwa terharu mendengar ungkapan tulus dari Aufal. Dia merasa bersalah karena belum bisa membalasnya. “Azwa nggak akan pernah minta dilepaskan karena Azwa sudah menjadi milik Mas seutuhnya. Azwa hanya milik Mas Ofa. Istrinya Mas.” Wanita itu menunduk membawa tangan Aufal di perutnya. “Ini adalah buktinya, Mas. Bukti kalau Azwa nggak akan pernah meninggalkan Mas.” Aufal membawa Azwa dalam dekapannya. “Mas mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu. Kamu milikku, Sayang.” Azwa mengangguk, semakin mempererat pe
“Dek, tunggu!” “Dek Azwa!” Azwa terus berjalan cepat dengan sedikit berlari keluar kantor tanpa memperdulikan Aufal yang mengejarnya di belakang. Tanpa terasa air matanya mengalir deras selama perjalanan. Sampai di luar gerbang kantor, wanita itu menghentikan langkah. Dia ingin memesan ojol, tapi pasti keduluan Aufal. “Ojek, Neng,” tawar seorang bapak berjaket hijau dengan mengendarai motornya berhenti di hadapannya. Azwa hanya mengangguk. Saat hendak menaiki motor, tangannya ditahan oleh Aufal. “Dek, dengerin penjelasan Mas dulu. Kamu salah paham,” ujar pria itu. “Nggak ada yang perlu dijelaskan. Lepas!” balas Azwa dingin sambil berusaha melepaskan cekalan Aufal yang sangat erat. Aufal menggeleng. “Kamu nggak boleh pergi kemana-mana.” “Mas, tolong lepaskan. Malu dilihat banyak orang.” Aufal mengedarkan pandangan ke sekeliling. Benar, keduanya menjadi tontonan orang-orang di sini. “Makanya kamu ikut ke ruangan Mas, ayo.” “Ini jadi naik nggak, Neng?” tanya bapak ojek menyela
Hari ini Azwa pulang larut malam karena harus menunggu kuenya jadi setelah dari mall. Selama perjalanan, dia terus berdoa dalam hati semoga Aufal belum pulang. Dia takut akan kemarahan suaminya. Namun sayang, kali ini keberuntungan tidak berpihak padanya. Saat tiba di rumah, Azwa melihat mobil Aufal sudah terparkir di garasi. Belum lagi lampu rumah yang menyala meski dalam keadaan pintu tertutup. Azwa berjalan dengan jantung yang berdegup kencang. Dia menarik napasnya dalam-dalam sebelum membuka pintu. “Assalamualaikum,” salamnya agak keras, lalu menutup pintu kembali serta menguncinya. Dia melanjutkan langkahnya menuju ruang keluarga dan…. Ya, ada Aufal di sana yang tengah mengerjakan sesuatu di laptopnya. “Wa'alaikumsalam,” jawab Aufal datar tanpa menoleh ataupun melirik sedikit pun ke arah Azwa. Jantung Azwa semakin tak terkendali, tapi dia tetap berusaha untuk tenang. Wanita itu langsung melangkah ke dapur guna menyembunyikan barang bawaannya secepat mungkin sebelum diketa
Aufal menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. “Kamu ini benar-benar….” “....Jahil banget sih, Dek,” lanjutnya seraya mencubit hidung Azwa gemas. Azwa mengangkat kepalanya menatap Aufal yang kini sedang tersenyum jenaka. Sontak, tangannya memukul-mukul bahu Aufal begitu tersadar jika dia hanya dikerjai. “Ih… Mas, nyebelin! Azwa udah takut Mas marah, malah dikerjain. Nyebelin nyebelin nyebelin!” Aufal menangkap tangan Azwa dan menggenggamnya. “Itu yang Mas rasakan tadi. Gimana? Enak nggak di-prank, hm?” tanyanya yang dijawab gelengan kepala oleh Azwa. “Makanya jangan prank kayak gitu lagi. Kamu boleh menjahili Mas, tapi jangan pakai kehamilanmu. Kamu sama Dedek itu sangat sensitif buat Mas. Mas beneran takut terjadi apa-apa sama kalian. Jangan diulangi lagi, ya, mengerti?” Azwa mengangguk pelan “Maaf….” “Mas maafkan.” Aufal tersenyum manis sambil mengusap air mata istrinya yang menetes. “Tentang kejutannya, makasih, Sayang. Mas benar-benar nggak nyangka kamu menyiapkan semu
“Siapa?” tanya Aufal datar. “Serius kamu mau tau?” “Ck! Nggak usah basa-basi. Cepat katakan siapa pelakunya!” balas Aufal dingin. Sheilla tersenyum miring. “Kamu nggak akan nyangka kalau tau pelakunya dan mungkin kamu nggak akan percaya sama aku.” Melihat tatapan Aufal yang semakin tajam dan terlihat tidak sabar, dia melanjutkan perkataannya. “Oke oke. Karena aku orangnya baik, aku kasih tau clue-nya.” Gadis itu mencondongkan tubuh mendekat ke arah Aufal yang berada di hadapannya. Dia melirik ke sekeliling sebelum berkata, “orang itu dekat denganmu. Yah, layaknya temanlah dan yang paling penting Dia bekerja di sekitarmu,” pelan seakan tak ingin didengar oleh siapapun kecuali Aufal. Aufal diam memikirkan ucapan Sheilla. Teman? Dekat? Siapa? Dia memijit pelipisnya pelan. Pria itu sudah pusing dengan pekerjaannya, ini malah ditambah lagi. “Udahlah, lo nggak usah ngarang cerita kalau lo sendiri pelakunya,” tuduhnya. “What's?! Aku? Hahaha….” Sheilla tertawa keras seolah apa yan
Waktu terus menggerakkan dentingnya. Tak terasa sudah berada di minggu terakhir bulan Agustus. Itu artinya tak lama lagi, kegiatan KKN Azwa akan usai.Selama di desa ini, ada beberapa kegiatan yang telah dirancang oleh sie acara dan wajib diikuti semua anggota. Ada juga kegiatan yang diminta oleh pihak desa, yaitu dinas harian di balai desa. Setiap hari selalu dibuat kelompok-kelompok kecil yang nantinya akan melakukan tugas sesuai agenda. Kelompok pertama berjumlah tiga orang melakukan dinas harian karena menjadi agenda wajib yang sudah pasti selalu ada setiap hari. Sementara kelompok lainnya ada yang melakukan branding produk ke beberapa usaha milik warga desa dan ada pula yang mengajar di sekolah. Malam hari, mereka khususnya perempuan memberikan les privat pada anak-anak di sekitar basecamp. Anak-anak yang diajar beragam, mulai dari PAUD sampai kelas 4 SD. Semakin hari jumlah anak-anaknya semakin banyak, bahkan tak jarang membuat Azwa kewalahan karena harus memegang empat anak
“Untuk sementara waktu, kamu bedrest, ya. Jangan dulu beraktivitas yang berat-berat. Pikirannya juga ditenangkan, nggak boleh stres,” saran Dokter Arfan kepada Azwa. “Bayi saya nggak papa kan, Dok?” tanya Azwa dengan ekspresi khawatir. Dokter Arfan tersenyum menenangkan. “Nggak papa kok. Kalau ada keluhan atau kejadian seperti ini lagi, langsung hubungi saya aja.” “Baik, Dokter,” jawab Azwa dan Aufal bersamaan. Setelah dirasa cukup, Dokter Arfan memberi kode pada Aufal untuk ikut bersamanya saat keluar kamar. Ada hal penting yang perlu dibicarakan tanpa sepengetahuan Azwa. “Terima kasih banyak, Dokter, sudah menyempatkan waktu ke sini,” ucap Aufal begitu sampai di teras. “Sama-sama, kayak sama siapa aja. Dan lagi, nggak usah terlalu formal sama gue. Ini bukan di rumah sakit.” “Hehehe…. Iya, Bang. Oh ya, katanya mau ngomong hal penting. Tentang apa?” Mimik wajah Dokter Arfan langsung berubah serius. “Gini, Fal. Apa yang dialami Azwa ini indikasi kandungan lemah.” “Gue lihat
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup