Waktu terus menggerakkan dentingnya. Tak terasa sudah berada di minggu terakhir bulan Agustus. Itu artinya tak lama lagi, kegiatan KKN Azwa akan usai.Selama di desa ini, ada beberapa kegiatan yang telah dirancang oleh sie acara dan wajib diikuti semua anggota. Ada juga kegiatan yang diminta oleh pihak desa, yaitu dinas harian di balai desa. Setiap hari selalu dibuat kelompok-kelompok kecil yang nantinya akan melakukan tugas sesuai agenda. Kelompok pertama berjumlah tiga orang melakukan dinas harian karena menjadi agenda wajib yang sudah pasti selalu ada setiap hari. Sementara kelompok lainnya ada yang melakukan branding produk ke beberapa usaha milik warga desa dan ada pula yang mengajar di sekolah. Malam hari, mereka khususnya perempuan memberikan les privat pada anak-anak di sekitar basecamp. Anak-anak yang diajar beragam, mulai dari PAUD sampai kelas 4 SD. Semakin hari jumlah anak-anaknya semakin banyak, bahkan tak jarang membuat Azwa kewalahan karena harus memegang empat anak
“Untuk sementara waktu, kamu bedrest, ya. Jangan dulu beraktivitas yang berat-berat. Pikirannya juga ditenangkan, nggak boleh stres,” saran Dokter Arfan kepada Azwa. “Bayi saya nggak papa kan, Dok?” tanya Azwa dengan ekspresi khawatir. Dokter Arfan tersenyum menenangkan. “Nggak papa kok. Kalau ada keluhan atau kejadian seperti ini lagi, langsung hubungi saya aja.” “Baik, Dokter,” jawab Azwa dan Aufal bersamaan. Setelah dirasa cukup, Dokter Arfan memberi kode pada Aufal untuk ikut bersamanya saat keluar kamar. Ada hal penting yang perlu dibicarakan tanpa sepengetahuan Azwa. “Terima kasih banyak, Dokter, sudah menyempatkan waktu ke sini,” ucap Aufal begitu sampai di teras. “Sama-sama, kayak sama siapa aja. Dan lagi, nggak usah terlalu formal sama gue. Ini bukan di rumah sakit.” “Hehehe…. Iya, Bang. Oh ya, katanya mau ngomong hal penting. Tentang apa?” Mimik wajah Dokter Arfan langsung berubah serius. “Gini, Fal. Apa yang dialami Azwa ini indikasi kandungan lemah.” “Gue lihat
Azwa berjalan memasuki halaman fakultas setelah berpamitan dengan Pak Diman yang mengantarnya. Dia berhenti sejenak dan menatap Gedung Utama FEB di hadapannya. Semester tujuh telah dimulai. Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, kini dia tidak sendirian. Ada anak dalam rahimnya yang ikut menemani di semester ini. Meski ada sedikit rasa takut dalam benaknya, tapi dia tidak akan membiarkan ketakutan itu menghalangi jalannya. Tidak akan! Wanita mengenakan gamis maroon itu mengusap perutnya lembut. ‘Nak, di semester tujuh ini Bunda nggak sendirian. Ada kamu yang nemenin Bunda. Kita akan berjuang bareng-bareng. Temenin Bunda melewati semuanya ya, Sayang. Bunda sayang Dedek’, ucapnya dalam hati. Dia tersenyum merasakan tendangan halus dari dalam perutnya seolah si dedek mendengar suara hati ibunya. “Semoga hari ini lancar dan nggak ada kendala. Bantu Azwa, Ya Allah,” gumam Azwa lantas kembali melangkahkan kaki menuju kelasnya yang berada di GE2. Suasana kampus masih sepi hanya beberap
“Apa Acha masih ingin menjadikan Mbak sebagai kakak iparnya Acha?” “Masih dong. Acha pengen banget Mbak Azwa jadi kakak iparnya Acha biar Mbak di sini terus sama Acha dan menemani Acha. Papa sama Mas Can udah setuju kok.” Azwa sangat terkejut. Dia kira, permintaan Acha yang satu itu tidak serius. Jadi, dirinya menanggapi dengan santai dan dianggap hanya candaan belaka. “Acha, Mbak minta maaf, ya. Mbak nggak bisa jadi kakak iparnya Acha,” ucapnya. Sontak, Acha melepaskan diri dan menegakkan tubuhnya. Dia menatap Azwa sedih. “Kenapa?” “Karena ini.” Azwa menunduk seraya mengusap perutnya pelan lantas kembali menatap Acha. “Tak lama lagi, Mbak akan punya anak. Ada dedek yang akan lahir. Acha tau maknanya kan?” “Adik bayi pasti punya ayah dan ayahnya itu… suaminya Mbak Azwa?” “Iya, benar. Mbak udah punya suami, Sayang, ayahnya Dedek.” Azwa menarik napasnya sejenak sebelum melanjutkan, “Acha juga tau kan, untuk jadi kakak ipar syaratnya harus apa?” “Menikah dan jadi istrinya Mas Ca
“Karena aku mencintaimu.” Deg! Azwa membelalakkan matanya terkejut. “Ma-maksud–” “Aku sangat mencintaimu, Azwa.” Candra mengubah posisinya menjadi serong menghadap Azwa. “Aku nggak pernah merasakan perasaan tulus kepada seseorang. Cuma sama kamu aku bisa seperti ini,” ungkapnya jujur. Azwa diam dengan jantung yang berdegup sangat cepat. Dia tak menyangka Candra memiliki perasaan lebih untuknya. Apa yang harus dilakukannya? Bersama Acha, dia bisa menjelaskan pelan-pelan dan memberi pengertian, tapi tidak dengan Candra. Ya Allah, bagaimana ini? “Tapi kamu juga yang menghancurkannya,” lanjut Candra melengos lantas kembali ke posisi semula. “Kau tau? Dengan sikapmu yang menyembunyikan status pernikahan, sama aja kamu memberiku harapan. Sayangnya, hanya harapan kosong yang sampai kapanpun nggak akan pernah bisa kudapatkan.” “Kakak,” panggil Azwa memberanikan diri untuk menjelaskan. “Aku nggak bermaksud membuat Kakak berharap kepadaku. Aku juga nggak menyembunyikan statusku.” “
“Harapan yang mana maksudmu?” tanya Om Tama heran. “Menjadi kakak ipar buat Acha.” “Oh…. Kalau soal itu, kamu sendiri kali yang kebawa perasaan.” Melihat putranya yang akan protes, Om Tama lekas melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya harapan itu kita sendiri yang ciptakan.” “Perbuatan yang seseorang lakukan membuat kita berharap lebih padanya, padahal dia melakukan itu karena memang seperti itulah dirinya.” “Dia nggak sadar akan sikapnya yang membuat kita menaruh harapan sebab dia menganggapnya wajar dan biasa saja. Kecuali kalau dia memberikan kode atau mengucapkan langsung terus dia bersama yang lain, itu baru ngasih harapan.” “Azwa juga gitu, Pa. Dia meminta Acha buat bilang sama Candra soal kakak ipar itu seolah memberi kode kepada Candra untuk melangkah maju.” “Apa itu namanya kalau bukan harapan, Pa? Kalau memang dia nggak bisa, nggak usah ngomong kayak gitu dan langsung aja bilang kalau udah menikah. Sampai situ beres, Pa.” “Candra akan membunuh perasaan ini dan akan menjauh
Azwa menjalankan rutinitas seperti biasa semenjak konfliknya dengan Candra. Dia masih bekerja sebagai guru privat Acha meski dengan suasana yang berbeda. Dengan kondisinya yang sedang hamil ini, wanita itu tidak diperbolehkan Om Tama datang setiap hari, melainkan hanya saat weekend saja seperti dulu.Selain bekerja sebagai guru privat, Azwa juga membantu Nazhan mengurus bisnis online. Dia bekerja dari jarak jauh sebagai penerima pesanan. Dikarenakan kinerjanya bagus, dia dipasrahi Nazhan menjadi admin akun Instagram. Tugasnya tak hanya menerima pesanan, tetapi juga membuat iklan promosi dalam bentuk gambar maupun video yang diunggah di Feed dan story. Semua itu dia lakukan sesuai dengan arahan Nazhan.Di kampus, semua orang sudah tahu tentang kehamilan Azwa. Mereka tidak mempermasalahkannya membuat Azwa merasa lega. Meski tak bisa dipungkiri ada beberapa orang yang menggunjingnya dengan dugaan-dugaan tak mendasar.Beruntung ada Meyra yang pasang badan serta Bahira yang memperingatka
Rooftop Tempat yang dipilih Candra untuk berbicara dengan perempuan asing itu karena tempatnya lebih privasi. Kini, keduanya berdiri di dekat pembatas sambil menikmati pemandangan kota Surabaya di malam hari. Untuk beberapa saat, suasana hening menyelimuti mereka. Candra berkali-kali melihat jam tangannya gusar. “Mohon maaf. Kalau memang tidak ada hal yang dibicarakan, lebih baik kita pulang.” “Hari semakin larut. Waktu saya jadi terbuang sia-sia hanya untuk menunggumu berbicara,” ujarnya sedikit pedas karena sudah merasa jengkel dan tidak sabar. Perempuan itu tersenyum. “Azwa Aila. Kamu tentu mengenal nama itu, bukan? Oh, bukan hanya sekedar mengenal, tapi sangat-sangat mengenalnya bahkan menjadi bagian terpenting dalam hidupmu. Right?” Dia menoleh untuk melihat ekspresi Candra yang terlihat sangat terkejut seperti dugaannya. “Dia bekerja sebagai guru privat adikmu yang bandel. Atas jerih payahnya, perlahan-lahan adikmu mulai berubah menjadi gadis baik-baik dan sholehah.” Rau
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup