“Azwa! Dicari temenmu!” Azwa yang pagi ini tengah membaca cerita di aplikasi Moothy secara offline, langsung bangun dari rebahannya mendengar seruan dari ibu kos. “Iya, Bu!” balasnya. Kemudian beranjak mengenakan kerudung, meraih kunci kosnya, dan berjalan tergesa-gesa menuju depan. “Meyra?” tanya Azwa begitu sampai di teras. “Kamu ke sini? Sama siapa? Pagi-pagi banget lagi.” Perempuan itu menengok ke arah gerbang mencari seseorang. Biasanya Meyra datang bersama Bahira. “Aku ke sini bareng sama adik asramaku yang ada kelas pagi. Aku mau ngomong penting sama kamu. Adek kosmu udah berangkat kan?” Azwa mengangguk dan mempersilahkan Meyra masuk. “Hari ini nggak ada matkul kan, ya?” “Nggak ada. Makanya punya hape tuh di on-kan biar tau info penting di grup kelas.” Nada bicara Meyra agak sewot entah kenapa. “Ini aku bawain nasi. Kamu pasti belum sarapan kan? Dimakan.” Meyra menyodorkan kresek yang di dalamnya ada sekotak styrofoam berisi nasi lengkap sama lauknya. Azwa menerimanya
“Aku… aku…” Azwa menatap Meyra ragu. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya? “Aku marah sama Mas Ofa. Aku nggak ingin bicara sama dia. Rasanya sakit banget,” ungkapnya jujur. “Berarti dalam tiga hari ini kamu sama sekali nggak menghubungi Kak Aufal?” tanya Meyra terkejut. Azwa mengangguk pelan. “Iya.” “Ya Allah, Azwa…. Sampai segitunya?” Meyra menggelengkan kepalanya tak percaya. “Kamu tau nggak akibat perbuatanmu ini? Semua orang khawatir, Wa, terutama bundamu. Mungkin juga Kak Aufal sama khawatirnya.” “Buatmu ini memang hal sepele, tinggal mematikan data seluler atau menonaktifkan ponsel, tapi efek yang ditimbulkan sangat besar. Kita hidup jauh dari keluarga. Cuma lewat ponsel kita berkomunikasi dan bertukar kabar.” “Kalau ponsel nggak aktif, gimana mereka nggak khawatir? Kamu nggak mikir sampai situ? Cuma karena menghindari satu orang, kamu malah membuat semua orang menanggung akibatnya,” jelasnya secara tegas dan keras. Bukan apa-apa, dia ingin menyadarkan sahabatnya. A
“Nggak gitu, Dek. Kamu salah—” Tut Panggilan telepon yang dimatikan sepihak oleh istrinya membuat Aufal mengusap dada berkali-kali sambil menggumamkan kalimat istighfar. “Astaghfirullahaladzim, ya Allah Gusti. Berikan aku kesabaran penuh menghadapi karakter istriku, ya Allah. Dia yang kupilih untuk menjadi pendamping hidupku. Aku ridho, ya Allah,” ujarnya berusaha meraup kembali kesabaran dan menekan emosinya yang hampir saja meledak. Aufal meletakkan ponsel di meja ruang tamu berdampingan dengan laptopnya yang masih menyala. Dia memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya dan mematikan laptop. Percuma juga dilanjutkan karena dirinya sudah tidak fokus. Pria yang mengenakan kaos hitam itu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan mata terpejam. Jujur, Aufal juga kesal dengan sikap Azwa malam ini yang terkesan kekanakan. Istrinya itu sudah berani menuntut. Bukan secara sengaja dia mengabaikan pesan Azwa selama lima hari ini, melainkan tidak sempat karena pekerjaan yang sangat banyak. Bi
Satu minggu telah berlalu. Hubungan Aufal dan Azwa kembali seperti semula. Meski komunikasi tak sesering dulu karena kesibukan masing-masing, tetapi tidak membuat keharmonisan keduanya berkurang. Mereka sudah saling memahami kondisi satu sama lain. Di Surabaya, Azwa sedang disibukkan dengan perkuliahan semester enam disertai tugas yang semakin banyak karena tak lama lagi akan dilaksanakan UAS. Untuk masalah pernikahannya yang terbongkar, istri dari Aufal itu sudah tidak peduli lagi. Toh, Azwa menikah secara sah, bukan menikah siri ataupun menjadi simpanan. Jadi, tiada yang perlu dikhawatirkan. Biarlah orang lain memandangnya seperti apa. Yang terpenting hubungannya dengan Aufal baik-baik saja. “Kamu kenapa, Wa?” tanya Bahira melihat sahabatnya yang tampak tidak bersemangat. “Perutku rasanya kembung banget.” Azwa bersandar di kursi dengan posisi setengah berbaring, lalu menepuk-nepuk perutnya. “Kebanyakan makan kali,” sahut Meyra. “Ho'oh. Tadi aja kamu beli banyak makanan. Nasi
Ramadhan, bulan suci yang sangat dinanti-nanti oleh seluruh umat Islam karena merupakan bulan penuh berkah dan kesempatan bagi mereka untuk lebih meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Ramadhan tahun ini juga merupakan Ramadhan pertama bagi Aufal dan Azwa setelah sah menjadi suami-istri. Istimewa? Pastinya. Namun sayang, mereka belum bisa bersama karena masih dalam masa LDR. Tak apa, yang terpenting komunikasi tetap terjaga. “Kamu jadi PKL di perusahaan Papi, Dek?” tanya Aufal seraya mendudukkan dirinya di kursi teras belakang rumah Kahfi. Seperti biasa, setiap malam pria itu akan menghubungi sang istri. Bedanya kali ini, dia berada di rumah Kahfi untuk menginap sekaligus membantu persiapan pernikahan sahabatnya. “Jadi, dong. Azwa udah buat surat pengantar dari fakultas tadi siang. Udah buat proposalnya juga.” “Bagus, nanti Mas bakal bilang ke Papi.” “Sebenarnya Azwa masih pengen banget PKL di kantor Mas biar kita bisa lebih dekat gitu.” “Ya mau gimana lagi, Sayang. Perusa
Acha mengangguk dan tersenyum senang. Sementara Candra tersenyum malu dengan muka yang memerah. Namun, berbeda dengan Azwa yang hanya tersenyum ramah tanpa tahu arti terselubung dari ucapan Om Tama. Om Tama juga meminta Azwa untuk ikut buka bersama di rumah ini. Sempat ditolak karena merasa tidak enak. Namun berkat rayuan maut Acha yang tentu saja tidak bisa ditolak, Azwa akhirnya bersedia. Kini, mereka duduk di ruang makan menikmati berbagai macam hidangan yang tersaji di atas meja seusai menunaikan sholat Maghrib berjamaah. Candra sesekali mencuri pandang ke arah Azwa yang duduk tepat di hadapannya. Dia tersenyum kecil melihat Azwa yang makan tanpa ada jaim-jaimnya. Apalagi ditambah dengan Acha yang merecoki perempuan itu. Kompak, benar-benar seperti adik-kakak sungguhan. Dia semakin yakin menjadikan Azwa sebagai pujaan hatinya dan kalau bisa calon istri. “Azwa,” panggil Om Tama memulai obrolan setelah makan malam selesai. “Makasih banyak, ya. Berkat kamu, Acha perlahan-lahan
Mendekati hari lebaran biasanya semua aktivitas diliburkan alias cuti bersama. Mereka yang rumahnya jauh berbondong-bondong pulang ke kampung halaman masing-masing guna berkumpul bersama keluarga. Begitu pula dengan Azwa yang saat ini tengah menikmati masa liburan tanpa harus memikirkan tugas mata kuliah. Sudah empat hari dia berada di rumahnya sendiri. Selama itu, dia menghabiskan waktu bersama keluarganya sambil menunggu kedatangan Aufal. Malam ini, Azwa sudah siap berangkat tarawih dengan mukena yang membalut tubuh, tak lupa sajadah yang tersampir di tangannya. “Bunda….! Cepetan! Entar ketinggalan jamaah!” teriak Azwa dari luar rumah. “Hush! Anak perempuan nggak boleh teriak-teriak. Nggak pantes didengar tetangga,” tegur Diaz yang baru keluar rumah lengkap dengan baju muslimnya. “Adek bukan anak-anak lagi, tapi seorang istri,” balas Azwa. “Nah, apalagi seorang istri. Nggak baik.” Azwa berdecak sebal. “Bunda….!” teriaknya lagi tak menghiraukan teguran sang kakak. “Iya! Adek
Allaahu akbar…. Allaahu akbar…. Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar. Allaahu akbar walillaahil hamd. Gema takbir di malam lebaran terdengar saling bersahutan di berbagai penjuru tempat, menandakan bahwa Ramadhan telah berakhir. Pada malam lebaran ini, semua anggota keluarga di rumah Azwa melakukan sungkeman, maaf-maafan, dan saling mendoakan yang terbaik untuk kedepannya. Hal tersebut sudah menjadi tradisi yang setiap tahun selalu dijalankan. Seperti di tahun-tahun sebelumnya, keluarga Azwa bersilaturahmi ke rumah nenek, baik di pihak ayah maupun ibu. Kalau biasanya Azwa bisa berlama-lama di sana, tapi kali ini dia harus ikut suaminya ke rumah mertua. Kini, Azwa, Aufal, beserta keluarganya tengah berbincang seru di ruang tengah, minus Razan. Kakak pertama Aufal itu tidak bisa mudik tahun ini karena istrinya baru saja melahirkan beberapa hari yang lalu. Anak perempuan, cantik sekali membuat Azwa ingin memiliki satu yang seperti itu. “Kamu gimana, Sayang? Udah isi bel
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup