“Fal,” panggil Andra sambil mengetuk pintu kamar mandi di kamar Aufal. “Lo nggak papa?”Tak ada sahutan, hanya terdengar suara orang muntah-muntah dari dalam membuat Andra semakin khawatir. Pasalnya, hampir setiap pagi sahabatnya selalu seperti ini. Sudah berkali-kali pula dia mengajak Aufal ke dokter, tapi ditolak mentah-mentah.CeklekPintu kamar mandi terbuka menampakkan Aufal dengan wajah pucat dan berpegangan pada tembok seraya memegangi perut. Tubuhnya terasa lemas. Perutnya juga masih mual, padahal tidak ada yang dikeluarkan.Andra membantu Aufal duduk di ranjang. “Lo kalau masih sakit, nggak usah masuk aja.”Aufal menggeleng. “Gue harus masuk. Kerjaan numpuk di kantor. Gue nggak mau dianggap nggak profesional dan lari dari masalah.”“Tapi lo sakit, Fal. Lo nggak boleh maksain diri.”“Ndra, harus berapa kali sih gue bilang? Gue beneran nggak papa. Jangan terlalu khawatir sama gue.”“Ya ya ya, serah lo, Fal, serah lo! Percuma gue ngomong panjang lebar, tapi nggak lo dengerin.”A
Masalah kantor perlahan-lahan mulai teratasi. Hal tersebut dikarenakan Aufal mengikuti semua saran dari ayahnya yang lebih berpengalaman. Selain itu dengan bantuan Sheilla, akhirnya dia berhasil menemukan letak kesalahannya. Oleh karena itu, Aufal mengadakan rapat besar bersama dengan jajaran manajer untuk mengambil tindakan tegas. Semua laporan harus diperiksa dahulu oleh Sheilla sebelum sampai di tangannya. Begitu pula dengan transaksi atau pendanaan yang hendak keluar juga harus melalui persetujuan Sheilla. Gadis itu bertanggung jawab untuk mengecek satu persatu transaksi, apakah sudah sesuai dengan kondisi lapangan yang sebenarnya atau bukan. Keputusan tersebut mendapatkan protes dari Danang. Tugas pengecekan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya kini dialihkan kepada Sheilla yang merupakan orang baru di kantor. Tentu saja dirinya tidak terima. “Lo udah nggak percaya sama kita lagi?” tanya Danang waktu itu bersama dengan Raya yang berdiri di sampingnya. Perempuan itu hany
Di salah satu perusahaan terkenal tepatnya di ruangan yang lumayan luas, terlihat seorang gadis cantik berdiri menghadap dinding kaca sedang menelepon seseorang. Dress selutut berwarna biru disertai blazer membalut tubuhnya dengan indah. Entah apa yang dibicarakan oleh si penelepon, raut wajahnya tampak menahan amarah. Mata indah gadis itu menatap tajam apa saja yang menjadi objek penglihatannya. Hingga beberapa saat kemudian, dia memutuskan sambungan teleponnya. “Shit! Gue kecolongan lagi!” marahnya dengan napas memburu. “Kalau kek gini ceritanya, gue nggak bisa ngapa-ngapain. Ah, si-al!” Tangan lentiknya menyentuh dagu tanda berpikir. Dia tersenyum sinis. “Licik juga caranya. Jadi dia ingin bermain secara halus? Oke, gue akan imbangi permainannya.” Tiba-tiba, terlintas di benaknya wajah lugu seseorang yang tak tahu apapun tentang ini. “Aarrgghh! Si-al! Si-al! Si-al! Gue harus pilih yang mana? Dasar Ular berbulu domba! Gue bakalan bikin lo hancur sehancur hancurnya!” Gadis bera
Azwa mematut dirinya di depan cermin bersiap pergi ke kampus. Sebenarnya, dia merasa pusing dan lelah. Matanya juga terlihat bengkak akibat terlalu lama menangis. Namun, dia tidak bisa meninggalkan matkul hari ini. Meski dalam hati ingin sekali membolos, tapi sisi baiknya menyadarkan bahwa masih banyak orang yang ingin berada di posisinya. Menjadi mahasiswa. Perempuan yang mengenakan kemeja hem berwarna tosca itu menarik napasnya, lalu memasukkan barang yang perlu dibawa. Saat tangannya memegang ponsel, dia terdiam. Dari semalem Azwa menonaktifkan ponselnya hingga sekarang pukul 09.10 pagi dan tidak ada niatan untuk mengaktifkan kembali. Dia juga tidak tahu apakah jadi ada kelas pukul setengah sepuluh nanti atau tidak. Namun, biasanya ada kelas karena dosennya yang meminta sendiri dan sudah disepakati dalam kontrak belajar. Ya sudah, bismillah saja. Semoga dia tidak sia-sia ke kampus jam segini. Azwa pun keluar kos dan mendapati Eliza yang menjemputnya seperti biasa. Padahal seb
Dua hari sudah berlalu. Namun, Azwa masih sangat sulit dihubungi membuat Aufal menjadi uring-uringan sendiri. Kalau bukan ponsel Azwa yang tidak aktif, ya, panggilan tak terjawab. Begitu terus hingga saat ini. Aufal benar-benar kalut memikirkan dan mengkhawatirkan istrinya. Belum lagi, sang ibu mertua yang berkali-kali menanyakan keberadaan Azwa kepadanya. Jadi, pria itu tidak punya pilihan lain selain berbohong. Dia tidak ingin membuat bundanya khawatir. Akan tetapi kalau sudah dua hari begini, dia tidak yakin Bunda akan percaya kepadanya lagi. Pintu kamar Aufal terbuka, memunculkan sosok Andra datang membawa makan malam untuk sahabatnya. Dia menghampiri Aufal yang terbaring lemah di atas ranjang. “Makan, Fal, biar cepet sembuh.” Lagi-lagi Aufal jatuh sakit karena terlalu memikirkan Azwa. Ditambah lagi dengan pekerjaan kantor yang selalu menumpuk dan tidak ada habisnya itu membuat tubuhnya kembali drop bahkan sempat demam tinggi tadi siang. Jadi, mau tidak mau dirinya harus pu
“Azwa! Dicari temenmu!” Azwa yang pagi ini tengah membaca cerita di aplikasi Moothy secara offline, langsung bangun dari rebahannya mendengar seruan dari ibu kos. “Iya, Bu!” balasnya. Kemudian beranjak mengenakan kerudung, meraih kunci kosnya, dan berjalan tergesa-gesa menuju depan. “Meyra?” tanya Azwa begitu sampai di teras. “Kamu ke sini? Sama siapa? Pagi-pagi banget lagi.” Perempuan itu menengok ke arah gerbang mencari seseorang. Biasanya Meyra datang bersama Bahira. “Aku ke sini bareng sama adik asramaku yang ada kelas pagi. Aku mau ngomong penting sama kamu. Adek kosmu udah berangkat kan?” Azwa mengangguk dan mempersilahkan Meyra masuk. “Hari ini nggak ada matkul kan, ya?” “Nggak ada. Makanya punya hape tuh di on-kan biar tau info penting di grup kelas.” Nada bicara Meyra agak sewot entah kenapa. “Ini aku bawain nasi. Kamu pasti belum sarapan kan? Dimakan.” Meyra menyodorkan kresek yang di dalamnya ada sekotak styrofoam berisi nasi lengkap sama lauknya. Azwa menerimanya
“Aku… aku…” Azwa menatap Meyra ragu. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya? “Aku marah sama Mas Ofa. Aku nggak ingin bicara sama dia. Rasanya sakit banget,” ungkapnya jujur. “Berarti dalam tiga hari ini kamu sama sekali nggak menghubungi Kak Aufal?” tanya Meyra terkejut. Azwa mengangguk pelan. “Iya.” “Ya Allah, Azwa…. Sampai segitunya?” Meyra menggelengkan kepalanya tak percaya. “Kamu tau nggak akibat perbuatanmu ini? Semua orang khawatir, Wa, terutama bundamu. Mungkin juga Kak Aufal sama khawatirnya.” “Buatmu ini memang hal sepele, tinggal mematikan data seluler atau menonaktifkan ponsel, tapi efek yang ditimbulkan sangat besar. Kita hidup jauh dari keluarga. Cuma lewat ponsel kita berkomunikasi dan bertukar kabar.” “Kalau ponsel nggak aktif, gimana mereka nggak khawatir? Kamu nggak mikir sampai situ? Cuma karena menghindari satu orang, kamu malah membuat semua orang menanggung akibatnya,” jelasnya secara tegas dan keras. Bukan apa-apa, dia ingin menyadarkan sahabatnya. A
“Nggak gitu, Dek. Kamu salah—” Tut Panggilan telepon yang dimatikan sepihak oleh istrinya membuat Aufal mengusap dada berkali-kali sambil menggumamkan kalimat istighfar. “Astaghfirullahaladzim, ya Allah Gusti. Berikan aku kesabaran penuh menghadapi karakter istriku, ya Allah. Dia yang kupilih untuk menjadi pendamping hidupku. Aku ridho, ya Allah,” ujarnya berusaha meraup kembali kesabaran dan menekan emosinya yang hampir saja meledak. Aufal meletakkan ponsel di meja ruang tamu berdampingan dengan laptopnya yang masih menyala. Dia memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya dan mematikan laptop. Percuma juga dilanjutkan karena dirinya sudah tidak fokus. Pria yang mengenakan kaos hitam itu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan mata terpejam. Jujur, Aufal juga kesal dengan sikap Azwa malam ini yang terkesan kekanakan. Istrinya itu sudah berani menuntut. Bukan secara sengaja dia mengabaikan pesan Azwa selama lima hari ini, melainkan tidak sempat karena pekerjaan yang sangat banyak. Bi
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup