Aufal bungkam seribu bahasa. Dia tidak tahu apa yang tengah dirinya rasakan kini. Semua terasa campur aduk antara sedih, kecewa, malu, dan merasa berdosa telah membenci ayahnya sendiri tanpa mencari tahu akar penyebabnya. Dia terlalu fokus pada dirinya sendiri yang merasa dikekang dan kebebasannya direnggut tanpa mengetahui fakta yang sesungguhnya. Ternyata dibalik sikap ayahnya yang pemaksa tersimpan seribu kasih sayang untuknya.Aufal menatap sang ayah dengan haru. Dia bangkit menghampiri tempat duduk Papa Wirya dan langsung bersujud dan mencium kaki ayahnya. “Aufal minta maaf, Pa. Aufal salah udah membenci Papa selama ini. Maafin Aufal. Maaf....” ujarnya sambil menangis.Papa Wirya menarik tubuh putranya. “Bangun, Nak. Jangan kayak gini,” pintanya dengan suara bergetar.Aufal bangkit dari sujudnya dan berganti posisi menjadi duduk bersimpuh di hadapan Papa Wirya. Tangannya menggenggam kedua tangan ayahnya lalu diciumnya berkali-kali. “Aufal minta maaf.”Papa Wirya mengusap punggu
Aufal langsung kicep dan merenung. Dia sangat tau siapa orang yang berusaha menghancurkan rumah tangganya. Danang dan Raya, bukan Sheilla. Selama ini, Sheilla tidak pernah menggodanya yang mengarah pada perselingkuhan, baik secara langsung maupun lewat pesan. Gadis itu bersikap profesional dalam bekerja dan membantunya mengatasi masalah. “Mungkin gue pernah menawarkan diri jadi istri kedua lo. Tapi itu buat memancing Raya biar dia merasa punya saingan. Perlu lo tau, dia sangat terobsesi sama lo dari dulu, Fal,” lanjut Sheilla. Tatapannya mengarah pada air kolam yang memantulkan cahaya lampu di sekitarnya. “Sejak kembali ke Indonesia, gue sama sekali nggak berniat mengejar-ngejar lo lagi kayak dulu apalagi mendengar lo udah menikah.” “Waktu pertama kali kita ketemu, sebelumnya gue nggak sengaja dengar rencana jahat Raya sama Danang. Mereka akan membuat kekacauan di kantor sama bikin Azwa sengsara supaya hubungan kalian berantakan.” “Dari situ gue berusaha melindungi kalian berdua
Di kediaman keluarga Ariesandy terdapat sebuah ruangan rahasia yang hanya bisa diakses oleh pemiliknya, yakni Om Savian. Ruangan itu cukup luas dengan fasilitas lengkap. Namun sayang, pencahayaan yang redup membuat suasana di sana terkesan menyeramkan. Ditambah lagi, berbagai koleksi persenjataan membuat ruangan semakin mencekam. Di bagian tengah, terdapat meja meeting yang kini ditempati oleh tujuh orang pria. Mereka duduk mengelilingi meja menghadap depan tepatnya di layar monitor yang menampilkan 4 kotak tayangan layaknya CCTV. Masing-masing dari mereka memakai earpiece sebagai sarana komunikasi dengan orang suruhan yang berada di sana. Misi kali ini melibatkan anak buah Om Savian dan Papi Kafka yang bersatu untuk menangkap Darwin. Empat diantaranya membawa kamera tersembunyi yang terpasang pada tubuhnya. Kamera itu tidak disertai alat penyadap suara sehingga tidak bisa mendengarkan pembicaraan di sana. Tak apa, ini sudah menjadi bagian dari rencana agar tidak dicurigai. “
“Belum puas kah kau menghancurkan hidupku, Wirya?!”Papa Wirya mengernyitkan kening bingung. “Apa maksudmu?”Raya tertawa sarkas. “Jangan pura-pura tidak tahu. Apa kau tidak ingat dengan pria bernama Rusman Santoso?”Kerutan di dahi Papa Wirya semakin kentara mendengar nama yang tidak asing lagi baginya. Beberapa detik setelahnya, beliau mengingat seorang pria yang dulu pernah menjadi saingannya dalam sebuah tender yang dijalankan oleh perusahaan BUMN. “Dia, pria sangat kejam yang tega meninggalkan keluarga kecilnya demi kehidupan mewah. Dan semua itu karena kau, Wirya?!” Raya menunjuk ke arah Papa Wirya dengan jari telunjuknya.“Memang apa yang sudah saya lakukan sehingga dia meninggalkan keluarga kecilnya?” tanya Papa Wirya.“Kau merebut tender itu yang membuat perusahaan ayahku bangkrut. Tender itu satu-satunya harapan untuk menyelamatkan perusahaan kami dari pailit.”“Itu karena kesalahannya sendiri yang berbuat curang,” balas Papa Wirya.Pada awalnya, Rusman memang berhasil mem
“Mas beneran nggak ikut pulang besok?” Azwa tengah memasukkan pakaiannya juga pakaian Wafa ke dalam koper untuk dibawa pulang ke Semarang. Di depannya ada Aufal yang ikut membantu. “Mas masih ada beberapa urusan yang harus Mas selesaikan di sini sebelum benar-benar pindah ke Semarang. Kamu pulang duluan bareng Papa sama Mama, ya. Mas pasti langsung pulang kalau semuanya udah beres,” jawab Aufal. Azwa menghentikan aktivitasnya sejenak dan menatap Aufal. “Beneran loh, Mas. Jangan lama-lama pulangnya.” “Iya, Sayang.” Beberapa menit kemudian, keduanya sudah selesai packing. Kini, Azwa duduk di sofa sambil memperhatikan gerak-gerik suaminya yang sedang mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya. Aufal duduk di samping Azwa. “Ini untukmu,” ucapnya sambil menyodorkan dua buah kartu debit dan satu buku tabungan. “Apa ini Mas?” Azwa menerima tiga benda itu dengan heran. Aufal tersenyum lalu menunjuk salah satu kartu di tangan Azwa. “Ini kartu debit yang berisi gaji Mas yang langs
Sehabis Subuh sekitar pukul lima pagi, Azwa sedang video call dengan Aufal di kamar bersama Wafa. Sejak pulang dari Jakarta, Azwa memilih tinggal di rumahnya sendiri. Terhitung sudah empat hari dia di sini sembari menunggu Aufal pulang.“Papa jadi pulang hari ini kan?” Azwa mengarahkan ponselnya ke bawah agar wajahnya dan wajah Wafa bisa terlihat di layar ponsel. Di seberang sana, Aufal tampak sedang duduk di teras dengan pakaian yang sudah rapi. “Jadi dong, Bunda. Sekarang Papa lagi memanaskan mobil. Nih, lihat.”Layar berubah menjadi kamera belakang yang menyoroti sebuah mobil putih terparkir sempurna di halaman rumah. Hanya sebentar sebelum layar kembali menampilkan wajah tampan Aufal.“Tumben Wafa udah bangun jam segini?” tanyanya.“Nggak tau, tadi waktu mendengar suara Mas dia langsung bangun. Kangen bapaknya mungkin.” Azwa mencium gemas pucuk kepala putranya yang sudah ditumbuhi rambut cukup lebat.Wafa mengulurkan tangan, meraih ponsel, dan hadapkan ke wajahnya sendiri. “Papp
“Mas Ofa!”Azwa terbangun dari tidurnya dengan napas ngos-ngosan dan keringat membanjiri tubuh. Dia menatap sekeliling yang ternyata berada di kamarnya sendiri. Wanita itu menghela napas lega karena hanya mimpi. Mimpi yang terasa nyata dan tentunya sangat mengerikan dimana Aufal mengalami kecelakaan dan dinyatakan hilang.Azwa beranjak turun lantas mencari suaminya. Pasti sekarang sudah pulang. Aufal bilang akan langsung menjemputnya begitu tiba dari Jakarta.Dengan senyum merekah, dia mencari suaminya di seluruh penjuru rumah. “Mas Ofa,” panggilnya saat mencari di bagian dapur, tapi tidak menemukan keberadaan Aufal.Kembali ke depan, Azwa bertemu dengan ibunya. “Bunda tau nggak dimana Mas Ofa? Mas Ofa udah pulang kan, Bun?” tanyanya tidak sabar.Bunda Nawa tidak menjawab melainkan hanya diam dan menatapnya sendu. Sikap yang menurut Azwa aneh padahal dia cuma bertanya tentang Aufal saja.“Apa mampir dulu di rumah Mama, ya?” Azwa mengusap dagunya berpikir. “Iya, mungkin aja Mas Ofa ad
“Ayah!” Seorang anak laki-laki yang baru saja keluar dari kelas berlari saat melihat orang yang tak disangka datang menjemputnya. Dia sangat merindukan sosok itu karena beberapa hari ini tidak bertemu. Seorang pria mengenakan kemeja lengan panjang yang digulung berwarna navy tengah berlutut sambari merentangkan tangannya. Dia tak memedulikan pandangan orang-orang terhadapnya. Begitu sampai, bocah itu langsung menghambur dalam pelukan hangatnya. Dia tertawa dan membalas pelukan tak kalah erat. “Hai, little boy. Kangen banget ya?” Bocah itu mengangguk. “Wafa kangen Ayah. Beberapa hari ini Ayah nggak dateng.” “Ayah juga kangen banget sama Wafa. Ayah minta maaf, ya, Sayang. Pekerjaan Ayah banyak banget.” Pria itu melepaskan pelukannya lantas mengusap kepala sang anak penuh kasih sayang. “Wafa maafin, tapi jangan diulangi,” ucap anak laki-laki yang bernama Wafa. “Siap, Boy.” Pria itu mengangkat tubuh Wafa ke dalam gendongan dan membawanya menuju mobil. Dia mendudukkan Wafa di kur
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup