“Assalamualaikum, El.”“Wa'alaikumsalam, ngapain kalian ke sini?” tanya Eliza datar saat tahu siapa yang berkunjung.“Ada yang ingin kami bicarakan,” jawab Bahira.“Kalau kalian ingin membicarakan tentang Azwa, mending pulang aja. Aku sedang nggak mood.”“Kami ke sini jauh-jauh cari alamat rumah ini dan kamu dengan gampangnya mengusir kami?” tanya Meyra tak menyangka. “Kamu–”“Please, El. Kali ini aja dengarkan kami. Kami hanya ingin masalah ini cepat selesai. Tolong, beri kami waktu. Setelah itu, terserah kamu mau apa,” ujar Bahira memotong ucapan Meyra.Eliza mengangguk dan membawa keduanya duduk lesehan di teras rumah. Sebelum memulai pembicaraan, gadis itu mengambilkan cemilan serta minuman untuk sahabatnya.“Sebelumnya aku mau tanya, Azwa salah apa sih sama kamu sampai kamu berbuat sesadis itu?” tanya Bahira dengan tenang mengawali obrolan.Eliza tersenyum miring. “Kan udah jelas. Dia menusukku dari belakang dengan–”“Merebut Kak Aufal darimu,” potong Meyra sambil menatap tajam E
“Sebelum kejadian itu Azwa pernah bilang sama kami…”‘Apapun yang terjadi sama aku dan Eliza, kalian jangan pernah putus pertemanan sama dia, ya. Eliza pasti butuh kalian. Jangan hanya karena aku, kalian ikutan musuhin dia. Cukup aku aja.’“... Bahkan Azwa masih memikirkanmu. Dia nggak ingin kamu sendirian, El.”Air mata Eliza tak henti-hentinya mengalir apalagi setelah mendengar penuturan Bahira barusan. Sungguh, dia sangat menyesal.“Aku sangat tau seberapa dekat hubunganmu dengan Azwa. Kalian udah seperti kakak beradik. Kamu yang paling peduli sama Azwa. Tapi kamu juga yang tega melukai dan menghancurkan Azwa,” ucap Bahira lagi.“Apa yang dialami Azwa itu sungguh kejam. Misalkan kamu ada di posisinya, belum tentu kamu bisa melaluinya!” sahut Meyra geram karena sudah tidak tahan.“Kamu tau, kondisi Azwa setelah kejadian itu?” tanya Bahira dengan suara bergetar menahan tangis.Eliza menoleh menatap Bahira. “Azwa… kenapa?”“Azwa….” Bahira menarik napasnya dalam-dalam. “Azwa kehilangan
“Aku minta maaf, Azwa.” Eliza melangkah maju mendekati Azwa. Namun, respons dari wanita itu diluar dugaannya.Azwa mundur tidak ingin didekati oleh Eliza. “Aku udah maafin, tapi bukan berarti bisa melupakan semua perbuatanmu,” balasnya datar.Dia berbalik badan hendak masuk ke dalam rumah. “Cepet masuk, Mas. Jangan lama-lama di luar,” ucapnya kepada sang suami sebelum berlalu dari sana.Aufal hanya menatap kepergian Azwa dalam diam tanpa mampu mencegah ataupun memaksa untuk bertahan. Dia lantas mempersilahkan Eliza duduk di kursi teras rumah.Meski masih ada rasa kecewa, mau bagaimanapun Eliza adalah tamu yang wajib dijamu dengan baik. Apalagi gadis itu datang jauh-jauh dari luar kota. Pastinya ada hal penting yang ingin disampaikan selain minta maaf.“Kak Aufal, tolong sampaikan maafku kepada Azwa, ya. Aku sadar, perbuatanku memang sangat keterlaluan,” kata Eliza membuka pembicaraan.“Akan kusampaikan. Maaf juga buat sikap Azwa tadi, ya,” balas Aufal.“Nggak papa, Kak, aku memaklumin
Aufal mendekati Azwa dan duduk di sampingnya. “Eliza tadi bermaksud minta maaf sama kamu, Dek, tapi kamunya malah pergi. Yaudah, Mas yang temui dia sebagai tamu.”Azwa tersenyum miring. “Itu sama aja Mas ngasih dia harapan. Mas nggak lupa kan kalau dia cinta sama Mas?”“Mas nggak akan pernah lupa, Sayang. Dia datang ke sini baik-baik loh. Nggak ada maksud tertentu, niatnya cuma pengen minta maaf sama kamu doang. Seharusnya kita menghargai itikad baiknya itu,” jelas Aufal dengan tenang.“Bisa aja kan dia cuma pura-pura biar dapat simpati dari Mas?”“Dia benar-benar tulus minta maaf sama kamu, Sayang. Nggak ada unsur kepura-puraan.”“Oh, sekarang Mas berani belain dia? Atau jangan-jangan Mas udah mulai ada rasa sama dia, iya?!” tuduh Azwa.“Astaghfirullahaladzim, nggak gitu, Dek.” Aufal menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya guna mengisi stok kesabaran. Dia menggenggam erat tangan Azwa. “Dengarkan penjelasan Mas dulu, ya, Sayang. Adek mau kan?” tanyanya lembut yang jawab angguka
“Anak?”“Iya, dia anakku. Namanya Wafa. Usianya satu tahun.” Azwa beralih ke putranya yang sedang asyik bermain sendiri. “Ayo, Sayang, salim dulu sama Om Azhan.”Wanita itu mengulurkan tangan kecil Wafa ke arah Nazhan untuk bersalaman sekaligus mengajarkan sopan santun. “Pintarnya anak Bunda.”Nazhan melihat pemandangan di depannya dengan tatapan sulit diartikan. “Kamu ke sini sama siapa? Sendirian?” tanyanya berusaha biasa saja.“Nggak, tapi sama suamiku. Dia lagi mengangkat telepon temannya sebentar di luar.” Azwa celingak-celinguk memandang ke arah pintu masuk. Dia tersenyum begitu melihat eksistensi Aufal.“Nah, itu dia.” Wanita itu mengangkat sebelah tangan menunjukkan keberadaannya pada sang suami.Aufal langsung mengambil tempat duduk di samping Azwa saat sudah tiba. Dia tersenyum menyapa Nazhan.“Mas, kenalin ini Nazhan, teman Azwa yang udah Azwa ceritakan ke Mas,” ucap Azwa mengenalkan kemudian beralih ke Nazhan. “Ini suamiku, namanya Mas Aufal.”Kedua laki-laki itu bersalama
“Terus perasaanmu ke aku sekarang gimana?” tanya Nazhan.Azwa tersenyum manis hingga menampilkan lesung pipinya di sudut bibir. “Lebih ke melepaskan sih. Aku merasa lega banget udah jujur sama kamu. Sekarang ini, perasaanku, ya, untuk suamiku.”Dia mengalihkan pandangannya ke arah Aufal yang tengah mengajak Wafa bermain perosotan. Ibu satu anak itu melambaikan tangan kecil ketika mereka menatap ke arah sini.“Aku sangat menyayangi Mas Aufal bahkan udah mulai cinta.” Azwa kembali fokus ke Nazhan. Dapat dirinya tangkap perubahan ekspresi wajah cowok itu ketika dia mengatakan hal tersebut.Nazhan menghela napas panjang. “Ternyata kita saling mencintai. Tapi sayang, cinta kita nggak bisa bersatu,” ucapnya pelan.Azwa jadi merasa tidak enak setelah mendengar itu. Namun, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima takdir yang digariskan untuknya.“Nazhan, kisah kita cukup sampai sini, ya. Aku sama kamu ini cuma masa lalu. Aku udah bahagia bersama keluarga kecilku.” Nazhan membalas
Aufal menatap layar laptop di hadapannya dengan tatapan kosong. Pikirannya berkelana pada pembicaraan Raya dan Danang. Kenapa mereka melakukan semua itu? Apa tujuannya?Kemarin, Sheilla belum sempat menjawab pertanyaannya karena ada telepon masuk yang ternyata dari sang ayah. Setelahnya, gadis itu buru-buru pergi meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Dan lagi mengenai kehancuran mereka. Mereka yang dimaksud itu siapa? Apakah keluarga Ar-Rasyid? Tapi kenapa harus keluarganya? Apa karena dendam?Aufal menjadi pusing sendiri memikirkan semua itu. Apapun rencana mereka, dia tidak akan membiarkan mereka menyentuh keluarga kecilnya meski seujung kuku pun.“Aufal!”Panggil keras itu membuat lamunannya buyar. Dia menoleh ke arah sang ayah yang duduk di sofa.Saking larutnya, dia sampai melupakan keberadaan Papa Wirya. Beliau datang ke Jakarta karena ada urusan penting dan baru bisa mampir ke kantor hari ini.“Kamu dengerin Papa nggak sih?”Aufal menatap ayahnya yang tampak kesal. “Maaf, P
Aufal tetap melanjutkan langkah menuju kamar tanpa menghiraukan panggilan ayahnya. Dia mengambil beberapa barang lalu kembali lagi menemui orang tuanya yang sekarang berada di ruang tengah.Laki-laki itu meletakkan secara kasar barang bawaannya di meja. Ada kunci motor dan mobil, kartu kredit, serta ponsel yang dulu dibelikan sebagai hadiah ulang tahun. Dia masih mempunyai satu ponsel hasil jerih payahnya sendiri.“Silakan Papa ambil semuanya. Aufal nggak butuh!” ujarnya.Papa Wirya tersenyum miring. “Kamu pikir mudah hidup merantau tanpa membawa apapun? Papa yakin kamu nggak akan bisa bertahan.”“Aufal nggak takut! Lebih baik Aufal hidup terlunta-lunta di kota orang daripada hidup bagai neraka di rumah sendiri!” balas Aufal sengit lantas kembali ke kamar.Itu adalah pertengkaran terakhirnya bersama sang ayah karena keesokan harinya Aufal langsung merantau ke Jakarta. Cowok itu memulai hidup baru dari nol di sana dengan bekerja part time. Dia juga tidak sudi memakan uang haram hasil d
“Anak bungsu lo. Jadi, kami bisa mengasuhnya dari bayi biar berasa punya baby newborn,” jawab Kahfi seraya menatap intens ke arah Dedek Aya di pangkuan ibunya. “Nggak boleh!” sahut Azwa langsung. Dia memeluk bayi perempuannya posesif. “Dedek Aya nggak bisa jauh dari Azwa karena dia butuh banget ASI eksklusif.” “Putri gue ini kayak masnya Wafa yang punya alergi susu formula. Nutrisinya harus dari ASI, nggak boleh dari yang lain,” timpal Aufal ketika melihat Kahfi yang ingin bersuara. “Mungkin bisa pakai ASI perah, tapi kan rumah lo ada di Jakarta. Nggak mungkin lo bolak balik Jakarta-Semarang cuma untuk mengambil ASI perah doang.” “Gue tau, lo nggak segabut itu. Kalau misalnya lo tinggal di kota ini, mungkin permintaan lo bisa kami pertimbangkan. Ya kan, Dek?” Pria itu menoleh ke arah istrinya meminta pendapat. Azwa mengangguk setuju karena memang itulah alasan utamanya. “Dedek Aya punya alergi cukup serius, jadi nggak bisa makan atau minum sembarangan.” Kahfi menyandarkan tubuh
“Fal, lo kan udah punya empat anak, sedangkan gue, satu aja belum punya. Boleh nggak kalau gue adopsi salah satu anak lo?” tanya Kahfi.“Apa? Lo gila?!” Aufal membelalakkan mata terkejut. Tangannya mengepal geram mendengar permintaan tak masuk akal Kahfi. “Gue masih sangat sanggup membesarkan dan mengasuh anak gue sendiri,” balasnya ngegas.“Gue tau.” Kahfi mengalihkan pandangannya ke depan. “Gue benar-benar ingin mengasuh anak lo, Fal. Gue pengen banget ngerasain gimana rasanya menjadi orang tua.”“Kenapa lo tiba-tiba berpikiran kayak gitu?” tanya Aufal dengan nada lebih rendah. Dia merasa, permasalahan yang Kahfi hadapi tidak sesederhana itu.Kahfi menghela napas panjang dan kembali menatap Aufal. “Lo pasti tau, permasalahan yang selama ini gue hadapi itu apa. Tentang anak yang sampai detik ini belum hadir diantara kami.”“Dan sekarang muncul masalah baru. Khanza desak gue buat menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan. Padahal gue sama sekali nggak masalah kalau nggak ada anak,
“Astaga! Kenapa kalian berantakin lagi?!” Azwa memekik terkejut melihat mainan yang kembali berserakan padahal sebelumnya sudah dibereskan agar mudah disapu. Baru ditinggal sebentar untuk menyapu halaman rumah, anak-anaknya kembali berulah. Dia menatap satu-persatu ketiga anaknya yang hanya diam mematung. “Bunda kan udah bilang sebelumnya, jangan diberantakin lagi. Mau Bunda sapu lantainya. Kalau ingin main lagi, nanti aja habis Bunda nyapu,” omelnya. “Kalau kayak gini, Bunda jadinya kerja dua kali. Kalian kan udah berkali-kali Bunda bilangin, habis main itu dibereskan mainannya biar rapi dan nggak kececeran.” Azwa masih terus mengomeli anak-anaknya yang kini menunduk takut. Wanita itu menyandarkan sapu di dinding. Dia hendak membereskan lagi mainan mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang. Baru satu mainan yang masuk, terdengar suara tangisan bayi berasal dari dalam kamarnya. Azwa menghela napas lelah lalu menatap putra-putrinya. “Bunda nggak mau tau pokoknya kalian bereska
“Kenapa, Sayang? Papa ingin peluk Aarash loh.” Azwa mengusap lembut rambut Aarash. Dia sangat mengerti bila putranya sudah seperti ini. “Aarash takut?” tanyanya yang dijawab anggukan oleh Aarash. “Nggak papa, Nak. Papa itu orangnya baik kok. Papa sayang banget sama Aarash.” Aarash tetap menggeleng dan malah berlari menuju opanya menyusul kedua saudaranya yang lebih dulu ke sana. Azwa menghela napas dan tersenyum tidak enak kepada Aufal. “Namanya Aarash Nazhief Putra Ar-Rasyid kembarannya Aresha. Dia memang begitu kalau sama orang baru. Harap maklum, ya, Mas,” ucapnya. “Nggak papa, Dek. Mas mengerti kok. Mereka pasti bingung dengan kehadiran Mas. Nggak pernah bertemu wajar kalau merasa asing dan takut,” balas Aufal. Azwa memandang sendu Aarash yang sedang bercanda dengan Papa Wirya. “Aarash mengalami yang namanya speech delay, Mas, membuat dia lebih banyak diam. Dia mengerti bahasa yang kita ucapkan.” “Tapi, untuk mengucapkannya sendiri dia agak kesulitan kalau nggak dipan
Bukan hanya Azwa saja yang terkejut, melainkan orang tua Aufal pun tak kalah kagetnya. “Yang bener kamu, Andra? Sejak kapan?” tanya Mama Erina. “Beneran, Tante. Kami udah menikah empat tahun yang lalu,” jawab Andra. Aufal terkekeh kecil melihat respons mereka. “Aufal awalnya juga sangat kaget sama kayak kalian. Pasalnya setau Aufal, Andra ini benci banget sama Sheilla. Eh, nggak taunya malah udah nikah dan punya anak.” “Gue kemakan omongan sendiri, Fal. Dari yang mulanya benci banget berubah jadi cinta. Sekarang mah kami saling mencintai bahkan udah bucin. Iya kan, Sayang?” Andra mengedipkan sebelah matanya pada Sheilla bermaksud menggoda. Sheilla membalas dengan mata melotot sambil mencubit keras pinggang suaminya lalu kembali tersenyum ke arah semua orang. “Pernikahan kami ini sebenarnya masih ada kaitannya sama kondisi Aufal yang koma,” timpalnya. Dia berdehem sejenak dan memperbaiki posisi duduknya untuk memulai bercerita. “Jadi, gini. Kami sebetulnya udah dekat sejak Azwa
“Nggak, Dek, nggak ada perceraian diantara kita.” Aufal masih terus membujuk Azwa agar bersedia mendengarkan penjelasannya. Dia bahkan sampai berlutut di depan pintu kamar Azwa dengan kening yang menyentuh daun pintu. “Mas mohon, buka pintunya, Sayang. Beri Mas kesempatan buat menjelaskan semuanya ke kamu. Tolong, Dek,” ucapnya dengan suara yang semakin parau. Di dalam kamar, Azwa yang duduk di balik pintu menutup mulutnya rapat-rapat guna meredam suara isaknya. Dia sebenarnya tidak tega mendengar nada melas dan parau milik Aufal. Namun, dirinya belum siap apabila penjelasan itu tidak sesuai harapannya. “Pergilah, Mas.” “Mas nggak akan pergi sebelum kamu membuka pintu. Mas akan menunggumu sampai kamu mau mendengarkan penjelasan Mas,” balas Aufal. Azwa tidak sampai hati membiarkan Aufal terus berada di sana dan memohon seperti itu. Dia mengusap air matanya, menarik napas dalam-dalam, sebelum bangkit berdiri. Tangannya memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya. Aufal juga ikut be
“Kita ini sebenarnya mau kemana, Ma?” “Ke acara ulang tahun cucu teman Papa yang tahun ini dirayakan di sini.” Azwa bersama Mama Erina sedang dalam perjalanan menuju lokasi berlangsungnya acara. Beberapa menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di parkiran sebuah restoran cukup mewah. Keduanya turun lalu berjalan beriringan memasuki area restoran yang sudah di reservasi penuh untuk acara ulang tahun ini. Di dekat pintu masuk terdapat stand banner berwarna biru bertuliskan, Happy 3th Birthday Haisha Raveline Andriana Disertai dengan foto seorang anak perempuan yang tampak sangat cantik dan menggemaskan. Acara ini bertemakan Frozen terlihat dari hiasannya berwarna biru dan putih disertai karakter Elsa. “Lihat, Ma. Ternyata anak yang ulang tahun seumuran dengan si kembar. Azwa kira anak remaja,” komentar Azwa setelah membaca isi banner. “Mama juga ngiranya begitu. Papa nggak memberitahu Mama siapa yang berulang tahun. Untung kadonya udah disiapin Papa sebelumnya,” bal
“Buna, mau itu.” Echa menunjuk ke arah salah satu kotak bekal. “Iya, Sayang.” Azwa mengambil roti yang sudah diolesi selai lantas menyerahkan pada putrinya. “Ini untuk Echa. Aarash mau?” tanyanya dengan menatap kembaran Echa lalu dibalas anggukan oleh Aarash. Dia juga memberikan roti itu untuk kedua putranya. “Ayah mau juga nggak?” Wafa menawarkan rotinya kepada Nazhan. “Buat Wafa aja. Nanti Ayah bakal minta sama Buna,” balas Nazhan melirik Azwa yang sibuk menata barang bawaannya. Hari libur, Azwa mengajak anak-anaknya melakukan piknik kecil-kecilan di sebuah taman. Saat akan berangkat tadi, tiba-tiba Nazhan datang dan memaksa ikut. Kini, mereka semua duduk di karpet dengan berbagai macam cemilan berada di tengah-tengah. Orang lain yang melihat pasti akan mengira mereka adalah keluarga kecil yang bahagia dan harmonis. “Nazhan!” Dua orang dewasa itu menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju batik formal serta hijab segi empat berjalan mendekat. “Ib
“Sampai Mas Aufal ditemukan, baik dalam keadaan hidup maupun meninggal. Selama apapun itu Adek akan setia menunggunya, Bun,” jawab Azwa.Bunda Nawa merasa prihatin dengan nasib putrinya. “Ya Allah, Dek, jangan gitu. Udah saatnya Adek buka hati untuk orang lain yang ingin mendekat. Adek jangan menutup diri seperti ini. Udah empat tahun loh, Dek.”Azwa menghela napas panjang. Memang benar, sudah empat tahun berlalu dan Aufal belum juga ditemukan bahkan pencariannya dihentikan sejak tiga tahun lalu. Aufal menghilang tanpa jejak bagaikan ditelan bumi. Entah masih hidup ataupun sudah meninggal, Azwa pun tak tahu. Namun, dia tetap meyakini bahwa suaminya masih hidup dan pasti akan kembali lagi suatu saat nanti.“Bagaimana bisa Adek buka hati sementara hati Adek udah terpaut sempurna sama Mas Aufal, Bun? Adek nggak bisa menggantikan posisi Mas Aufal,” balasnya pelan.Bunda Nawa masih setia mengusap kepalanya. “Bunda paham. Tapi kita ndak tau, keadaan Mas Aufal itu gimana. Apakah masih hidup