Danu terkesiap mendengar ucapan Sarni. Ia mengembuskan napas kasar lalu segera masuk ke dalam rumah. Danu mengusap wajah dengan kasar saat ini. Pikiran Danu mulai kacau saat ini.'Apa mereka sebenarnya sudah tahu? Ah, ya, pantas saja banyak pemuda yang saat ini berada di sekitar rumah Salma,' batin Danu yang saat ini sedikit merasa ketakutan. Pagi datang dengan cepat, Gina pulang bersama dengan Putri. Rumah kontrakan tidak terkunci dan gerobak milik Danu masih berada di halaman. Gina meletakkan semua barang yang dibawa dari rumah Arumi. Akan tetapi, ia menyembunyikan ponsel yang diberi oleh Dokter cantik itu. "Kamu udah pulang, Gin? Aku udah masak buat kamu. Kalo kamu mau istirahat dulu, silakan. Biar Putri sama aku. Aku sengaja nggak jualan hari ini," kata Danu seolah tidak terjadi apa-apa."Nggak usah. Aku udah istirahat di rumah Mbak Arumi," kata Gina dengan ketus lalu mengambil sayur dan lauk untuk dipanaskan. Danu hanya bisa menggaruk kepala yang tak gatal. Ketika sang istri m
Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang redup menyusup melalui celah tirai rumah kecil di sudut gang sempit. Danu duduk termenung di kursi kayu teras rumah kontrakan. Tangan kasarnya menggenggam gelas berisi teh yang sudah dingin, namun ia tidak berniat meminumnya. Pikirannya bercabang ke berbagai arah, semua terpusat pada satu hal; permintaan Gina.Pagi tadi, Gina dengan nada datar namun tajam meminta kepastian. "Mas Danu, aku sudah putuskan. Aku akan pergi ke luar negeri dan Putri akan diasuh oleh orang tuaku juga kakakku " Suaranya tenang, tapi tatapannya dingin dan tajam seperti pisau."Ke luar negeri? Gina, uangnya dari mana?" Danu terperanjat saat itu, meski mencoba menyembunyikan kebingungannya.Gina hanya mendesah. "Aku sudah dapat uangnya. Jangan tanya dari mana. Kalau kamu tidak mau ikut, aku juga tidak memaksa."Kata-kata itu terus terngiang di kepala Danu. Ia tahu hubungan mereka sudah lama retak, tetapi tidak menyangka Gina akan mengambil langkah sejauh ini. Ia mer
Malam itu, udara terasa dingin, seakan menjadi cerminan hubungan dingin antara Danu dan Gina. Di teras rumah kontrakan sederhana mereka, Danu duduk termenung di atas kursi kayu yang sudah mulai lapuk. Angin malam menggesek dedaunan di pohon jambu yang menaungi halaman, menghasilkan suara gesekan yang lirih dan monoton. Danu memeluk lututnya, matanya menatap kosong ke pekarangan yang remang karena hanya diterangi satu bohlam tua yang menggantung di sudut teras.'Apa yang bisa aku lakukan biar Gina nggak jadi pergi ke luar negeri?' Pertanyaan itu menghantui pikiran Danu malam ini tanpa tahu apa jawabannya.Tidak ada solusi sama sekali karena keuangan Danu tidak memungkinkan. Uang pemberian Salma juga tidak ingin ia keluarkan. Danu kembali mendesah panjang. Hubungannya dengan Gina juga tidak baik-baik saja saat ini.Di dalam rumah, Gina sedang sibuk membereskan piring di dapur. Suara piring beradu dengan air di wastafel sesekali terdengar ke teras, mengisi keheningan. Tatapan sinis Gina
Suasana malam di rumah Gina dan Danu semakin dingin, seiring pertengkaran yang memanas di antara mereka. Danu berdiri di tengah ruang tamu, wajahnya memerah, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Gina duduk di tikar dengan tatapan tajam yang menusuk. Ketegangan memancar dari setiap gestur tubuh mereka, membuat udara di dalam ruangan terasa sesak.Beruntung anak mereka sudah terlelap. Putri tidak harus menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Malang, balita berusia hampir tiga tahun itu punya keluarga yang tidak harmonis. Pemicu utama pertengkaran kedua orang tua Putri adalah masalah ekonomi. “Gina, sampai kapan kamu akan seperti ini?” Danu memulai lagi dengan nada tinggi. Suaranya menggema di ruangan yang sepi. “Aku sudah berusaha, tapi kamu terus saja menjauhiku! Apa aku tidak pantas diberi kesempatan kedua?”Gina mendongak perlahan, menatap Danu dengan sorot mata yang penuh luka. “Kesempatan kedua?” ia bertanya, suaranya dingin seperti es. “Danu, kamu pikir kesalahanmu bis
"Ibu mengizinkan atau tidak, aku akan tetap ke rumah Salma. Mungkin setelah ini, aku akan lebih sering bersama Salma." Setelah mengatakan hal itu pada Yulianti, Guntara langsung menutup sambungan teleponnya. Percuma berdebat dengan wanita yang telah melahirkannya. Guntara sudah patuh, tetapi rasa cinta itu tidak bisa hilang. Ia mencintai Salma hingga saat ini.Malam itu begitu sunyi di kompleks tempat tinggal Salma. Lampu jalan yang temaram memancarkan cahaya kuning, menambah suasana melankolis di sepanjang trotoar yang sepi. Angin malam yang dingin berhembus pelan, membawa serta bau tanah basah setelah hujan sore tadi. Dari kejauhan, Guntara berjalan cepat setelah memarkir mobilnya jauh di luar gerbang kompleks. Ia menggenggam sebuah kantong plastik berisi makanan kesukaan Salma, aroma hangat nasi goreng seafood yang masih mengepul terasa menenangkan. Namun, wajah Guntara tampak serius, pikirannya penuh dengan apa yang akan ia bicarakan dengan Salma malam ini."Maaf, Pak, saya mau a
Guntara tidak tahu banyak perihal alat penunda kehamilan yang terpasang pada tubuh Salma. Entahlah, siapa saja yang terlibat dalam masalah ini. Kenyataannya, Guntara tidak menemukan jawaban. Bolehkah curiga pada sang ibu?Suasana malam itu begitu sepi. Jalanan yang biasanya ramai dengan kendaraan kini hanya sesekali dilalui mobil atau motor. Lampu jalanan redup, dan udara dingin menyelimuti kota. Guntara menghentikan laju mobilnya di depan sebuah kedai kopi yang buka dua puluh empat jam. Sebuah papan nama neon yang berkedip-kedip mempertegas keberadaan tempat itu. Tanpa berpikir panjang, ia memarkir mobilnya dan masuk ke dalam kedai.Dentingan lonceng di pintu masuk berbunyi saat Guntara melangkah masuk. Kedai itu sepi, hanya ada seorang pria tua yang sedang membaca koran di sudut ruangan dan seorang barista muda yang berdiri di balik meja kasir. Aroma kopi yang kuat memenuhi udara, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan dinginnya malam di luar. Guntara memilih duduk di dekat
'Tidak ada yang benar sembuh karena luka perceraian, Mas. Aku hanya berusaha bahagia saja untuk diriku sendiri.'Ucapan Salma sebelum Guntara pulang sangat mengusik. Mereka dalam keadaan tidak baik-baik saja selama ini. Guntara tidak bahagia dengan pernikahannya. Pun dengan Salma yang selalu berusaha menyembuhkan luka, tetapi gagal. Matahari mulai naik, mengusir sisa embun yang masih menempel di dedaunan. Suasana rumah Yulianti masih lengang, hanya suara burung gereja yang memecah keheningan. Guntara duduk di ruang tamu, dengan wajah kusut. Kopi hitam yang baru saja dibuat Aliyah di atas meja kecil hanya dihirup aromanya tanpa disentuh. Pikirannya bercabang, kusut seperti benang yang tak tahu ujungnya di mana."Mas, ada Ibu. Tidak enak jika kita saling diam." Aliyah masih mencoba berbicara ramah pada Guntara setelah mereka hanya diam."Lalu aku harus apa? Tertawa? Marah-marah? Atau mengamuk agar rumah ini ramai? Sudah aku katakan, menjauh saja dariku," usir Guntara dan sukses membuat
Aliyah merasa sangat frustrasi ketika bertengkar dengan Guntara. Ia tidak akan menang melawan sang suami. Ah, ya, memenangkan apa? Hati Guntara? Tidak akan.Selamanya, hati Guntara hanya untuk Salma. Fakta menyakitkan itu harus diterima Salma. Seperti apa pun berjuang meraih hati sang suami, tetap saja pemenangnya adalah Salma. Sakit? Entahlah, rasa sakit itu nyatanya tidak bisa membuat Aliyah menyerah. Sudah malam ketika Aliyah pulang ke rumah. Hujan rintik-rintik di luar menciptakan genangan kecil di halaman depan. Udara terasa dingin menusuk, tetapi bukan cuaca yang membuat Aliyah menggigil. Dadanya terasa sesak. Ia baru saja kembali dari perjalanan panjang setelah memergoki Salma bersama Danu di sebuah restoran kecil di pinggir kota.Aliyah berhenti di depan pintu rumahnya. Ia menatap pintu kayu cokelat itu lama, seolah membayangkan bagaimana Guntara akan bereaksi pada foto yang ia simpan di ponselnya. Rasa marah dan kecewa berkecamuk dalam dirinya, namun ada juga rasa takut. Apa
"Maksud, Bang Reza bagaimana?" Gina mengusap air mata dengan cepat."Ya, aku paham. Kamu tidak bisa seperti ini. Kalian harus bicara. Status pernikahan kalian menggantung. Tidak ada ketegasan sama sekali."Wajah Gina seketika menegang mendengar ucapan kakak pertamanya itu. Ia tahu, sang kakak sudah memikirkan banyak hal. Akan tetapi, dari dalam hati yang terdalam, Gina belum siap jika ada perceraian. Ia masih ingin bertahan demi Putri."Aku sudah menghubungi Danu. Sebentar lagi, dia akan datang." Ucapan Reza membuat bulu kuduk Gina meremang seketika. Pagi itu, suasana rumah keluarga Gina terasa tegang. Matahari sudah meninggi, tetapi hawa dingin dari angin pagi terasa menusuk tulang. Di ruang tamu yang sederhana namun bersih, Reza duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya mengeras, rahangnya tegang. Di depannya, Danu berdiri dengan sikap defensif, wajahnya penuh amarah yang sulit ditutupi.“Jadi ini rencanamu? Membiarkan Gina pergi ke luar negeri hanya karena kau tak mam
Pagi itu, Gina berdiri di depan jendela kamarnya. Matanya menerawang ke luar, memandang dedaunan yang bergoyang pelan diterpa angin. Namun, hatinya tidak tenang. Di tangannya, sebuah cangkir kopi yang sudah dingin digenggam tanpa minat. Pikiran Gina terus melayang pada sosok Danu. Sudah berhari-hari Danu tidak memberi kabar apa pun. Meski kadang pesan atau panggilan dari Danu diabaikan, tetapi Gina saat ini merasa sangat sakit. Apa yang dilakukan oleh Danu seolah membenarkan jika kabar kedekatan mereka benar. Ya, Salma sudah mengatakan semua beberapa waktu yang lalu. Gina meraba dada, sakit sekali rasanya.Gina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Akan tetapi, bagaimana mungkin ia bisa tenang? Di luar sana, desas-desus tentang kedekatan Danu dengan Salma terus menghantui pikirannya. Apakah gosip itu benar? Gina merasa hatinya seperti diremas. Ia mencoba percaya, mencoba berpikir bahwa semua itu hanya kebohongan. Namun, sikap Danu yang dingin dan menghindar membuat harapan
Sejak kejadian itu, Salma lebih sering menghabiskan waktu di kafe. Ada agenda tersendiri untuk pergi ke kafe. Jika hari kerja, maka sepulang kerja akan mendatangi kafe langganannya. Salma merasa tenang saat berada di tempat itu. Senja sudah menutup hari sejak lama ketika Salma melangkah keluar dari sebuah kafe kecil di sudut kota. Aroma kopi masih melekat di udara, bercampur dengan bau tanah basah setelah hujan. Langit berwarna oranye keemasan, dan angin sepoi-sepoi membuat rambut Salma sedikit berantakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikiran yang sejak tadi berputar-putar tentang langkah selanjutnya dalam rencananya.Namun, langkahnya terhenti saat sebuah suara memanggilnya. “Salma?”Salma menoleh perlahan. Di sana, berdiri seorang pria dengan jas abu-abu rapi, wajahnya tak asing. Arif. Mata mereka bertemu sejenak, membawa kenangan yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Salma mengerutkan kening, berusaha menenangkan dirinya yang tiba-tiba diliputi rasa tak nyaman.“A
"Ibu kenapa hanya diam? Dulu, aku patuh ketika harus ikut melakukan hal buruk pada Mbak Salma. Sekarang, aku hanya minta, Ibu membantu bicara pada Mas Guntara tentang Mbak Salma. Mbak Salma tidak sebaik yang dikira oleh Mas Guntara, Bu. Ibu bisa melihat semua foto itu." Ucapan Aliyah jelas sangat mempengaruhi Yulianti saat itu.Malam itu, rumah Yulianti yang biasanya hangat kini terasa dingin. Lampu ruang tamu yang temaram memantulkan bayangan tubuhnya yang gelisah di dinding. Yulianti duduk di sofa, menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin. Sesekali, matanya menatap pintu depan seolah menunggu seseorang masuk. Napasnya terdengar berat, dan tangannya sedikit gemetar.Di lantai atas, Aliyah mengurung diri di kamar. Ia sudah kehabisan tenaga untuk menangis. Foto yang tadi siang ditemukan masih tergenggam erat di tangannya, sementara pikirannya dipenuhi prasangka buruk. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah benar Yulianti akan menasehati Guntara seperti yang dijanjikan? Namun, instin
"Aku sebenarnya tidak sudi untuk datang ke sini. Apa lagi, Gina sudah pulang ke rumah kami," kata Reza dengan nada dingin. Rumah kontrakan Gina dan Danu sore itu terasa begitu hening, tetapi udara di dalamnya seakan penuh dengan ketegangan yang tidak terlihat. Reza, kakak pertama Gina, duduk dengan posisi tegap di karpet ruang tamu. Wajahnya memancarkan ketegasan yang tidak bisa ditawar. Di meja di depannya, tergeletak selembar kertas kontrak kerja yang sudah ditandatangani Gina, menunggu persetujuan Danu. Gina tahu, jika meminta tanda tangan sang suami pasti akan dipersulit."Bang, tapi ini terlalu sulit untukku." Danu mencoba berkompromi dengan sang kakak ipar."Terlalu sulit? Kau yang sudah menyulitkan keadaan dan adikku," kata Reza dengan nada dingin dan rahang yang sudah mengeras. Danu duduk di hadapan Reza, tubuhnya bersandar lemas di dinding setengah permanen. Matanya terus terpaku pada kertas itu, tetapi pikirannya melayang. Ia merasa seolah-olah berada di persimpangan jalan
"Gina nggak akan pergi kalo dia benar mencintai kamu, Danu. Rumah tangga itu wajar jika diuji dalam banyak hal. Ekonomi, anak, dan masih banyak lagi. Tapi, dia memilih untuk pergi. Apa itu pantas untuk dipertahankan?" Salma masih mengoceh saat Gina sudah pergi dari rumah kontrakan. Ia tidak peduli bagaimana perasaan Danu saat ini. Danu tidak butuh ocehan yang tidak bermutu. Pikiran laki-laki itu mendadak menjadi lebih kacau. Danu duduk di ruang tamu rumah kontrakan yang sederhana, wajahnya terlihat gelap. Tangan kanan ayah Putri menggenggam segelas kopi yang sudah mulai dingin, sementara pikirannya terombang-ambing oleh kata-kata Salma yang terus terngiang. Ucapan wanita itu tadi siang masih menekan dadanya, membuat emosi yang selama ini ia coba tahan mulai mendidih perlahan. Bukan hanya memprovokasi, tetapi janda Guntara itu sengaja membuat kesalahpahaman Danu dan Gina semakin meruncing.“Kalau Gina benar-benar seorang istri yang baik, mana mungkin dia tega meninggalkan Putri?” Sal
"Aku nggak punya pilihan, Dan. Aku ingin mereka tahu. Aku serius sama kamu. Persetan dengan semua gosip murahan itu. Aku nggak peduli!"Ucapan Salma di telepon membuat Danu sakit kepala. Sekarang, bukan hanya menghadapi gosip-gosip murahan meski itu adalah kebenaran. Hal yang paling mengerikan adalah menghadapi keluarga besar Gina. Mereka tidak akan pernah tinggal diam.Danu duduk di karpet ruang tamu dengan napas berat. Lampu di rumahnya yang berwarna kuning redup semakin menambah kesan sunyi dan mencekam di tengah malam itu. Sepeda motor matic milik Salma terparkir di sudut ruangan, menciptakan bayangan panjang di dinding. Ponsel Danu masih digenggam erat di tangan kanannya, sementara layar ponsel menampilkan pesan terakhir dari Gina.Gina : "Kalau memang kamu lebih memilih Salma, kita bercerai saja. Aku sudah lelah, Mas Danu."Sudah sejak tiga setengah jam yang lalu pesan itu masuk. Danu baru saja membukanya. Ia terlalu sibuk melamun di atas motor Salma. Danu memikirkan bagaimana s
Langit mendung menggantung di atas rumah besar keluarga Guntara. Angin sepoi-sepoi bertiup membawa aroma hujan yang semakin mendekat. Di ruang tamu yang luas dan penuh dengan perabotan mewah, Aliyah duduk di sofa dengan posisi tubuh tegap. Ia memandang lurus ke depan, wajahnya penuh ketenangan yang berlapis dengan kekecewaan mendalam. Sepasang suami dan istri itu tampak bersikap dingin satu dengan lainnya. Tangan Aliyah memegang sebuah ponsel dengan erat. Sebuah video yang dikirimkan oleh salah seorang kenalan keluarga menunjukkan Salma dan Danu yang sedang berbincang akrab di rumah orang tua Gina. Adegan itu terlalu jelas untuk dianggap sebagai upaya “membantu.” Bahkan, Salma tak segan meraih lengan Danu, sementara pria itu tak menolak.'Menyelesaikan masalah seperti apa yang dia maksud?' Aliyah tersenyum sinis setelah melihat video itu.Aliyah mendengar langkah kaki mendekat. Guntara baru saja pulang, masih mengenakan jas abu-abu gelap yang rapi. Wajahnya lelah, tetapi sorot matany
"Danu... aku hanya ingin jelaskan pada mereka. Aku nggak ingin ada yang menuduh kita. Meski apa yang kita lakukan itu salah. Ya, tapi percayalah, aku hanya ingin membantu agar kamu dan Gina tidak lagi seperti ini."Salma berhasil meyakinkan Danu malam itu. Nada bicara Salma sangat serius dan sangat meyakinkan. Setelah menimbang banyak hal, akhirnya Danu pun setuju. Pagi harinya, Salma sudah siap dan berada di depan rumah kontrakan Danu.Pagi itu, suasana di rumah keluarga Gina terasa mencekam. Setelah peristiwa kedatangan Danu bersama Salma, keheningan yang semula menenangkan berubah menjadi penuh ketegangan. Gina duduk di ruang tengah dengan mata yang sembab, tangannya gemetar memegang cangkir teh yang sudah dingin. Ia belum bisa memercayai apa yang baru saja terjadi. Danu, pria yang dulu ia percayai sepenuh hati, benar-benar menghancurkan sisa-sisa kepercayaan yang masih ia coba pertahankan.Di sudut ruangan, Reza berdiri dengan kedua tangannya terlipat di dada, sorot matanya penuh