Telinga Salma panas mendengar ucapan ibu-ibu muda itu. Ia merasa tidak terima ketika harga dirinya direndahkan. Akan tetapi, memang serendah itu harga diri seorang Salma Utari. Wanita itu tega merusak kebahagiaan wanita lain demi hasrat liarnya."Kenapa wajah kamu sok sangar? Emang yang aku bilang bener 'kan?" tanya wanita itu dengan ketus."Apa maksud kalian ngomong kaya gitu ke aku? Aku bisa laporkan kalian atas tuduhan pencemaran nama baik pada polisi." Salma mengancam salah satu perempuan yang kini berdiri di dekat Gina."Laporkan saja. Aku juga akan melaporkan balik atas tuduhan perzinahan yang kamu lakukan di kampung ini. Gimana?" tanya si perempuan itu membuat Salma sangat terkejut dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu.Bagi Salma, perdebatan tidak akan selesai. Lebih baik meninggalkan mereka semua. Lagi pula, bahaya jika mereka tahu apa yang dilakukannya bersama Danu. Bukan hanya Salma yang kena, Danu pun akan kena. Salma pun memacu motornya menuju ke arah rumah."Huuuu ..
Gina tersenyum sinis mendengar pertanyaan dari sang mantan suami. Benarkah Guntara tidak tahu jika ibunya dan Aliyah tidak tahu masalah ini. Rasanya Salma ingin tertawa keras melihat wajah sang mantan suami yang dianggap pura-pura terkejut. Salma sudah kehilangan rasa percaya pada sosok laki-laki yang ada di depannya itu. "Kamu bisa baca surat keterangan Dokter itu. Kamu nggak buta huruf 'kan?" Salma menatap Guntara dengan sinis. "Dalam surat keterangan Dokter itu dijelaskan di rahim aku ada alat penunda kehamilan. Aku nggak merasa memasang alat itu. Toh, selama menjadi istri kamu, aku berjuang agar bisa hamil. Kenyataannya apa? Aku dicurangi oleh keluargamu. Aku wanita normal! Ah, sudahlah, aku nggak mau lagi memperdebatkan ini. Yang aku sesalkan, dulu mengapa aku nekat menikah dengan kamu yang nyatanya lahir dari seorang Ibu bernama Yulianti yang sangat jahat seperti iblis betina!" bentak Salma pada Guntara."Jaga omongan kamu! Dia ibuku!" Guntara merasa tidak suka dengan cara Salm
Danu terkesiap mendengar ucapan Sarni. Ia mengembuskan napas kasar lalu segera masuk ke dalam rumah. Danu mengusap wajah dengan kasar saat ini. Pikiran Danu mulai kacau saat ini.'Apa mereka sebenarnya sudah tahu? Ah, ya, pantas saja banyak pemuda yang saat ini berada di sekitar rumah Salma,' batin Danu yang saat ini sedikit merasa ketakutan. Pagi datang dengan cepat, Gina pulang bersama dengan Putri. Rumah kontrakan tidak terkunci dan gerobak milik Danu masih berada di halaman. Gina meletakkan semua barang yang dibawa dari rumah Arumi. Akan tetapi, ia menyembunyikan ponsel yang diberi oleh Dokter cantik itu. "Kamu udah pulang, Gin? Aku udah masak buat kamu. Kalo kamu mau istirahat dulu, silakan. Biar Putri sama aku. Aku sengaja nggak jualan hari ini," kata Danu seolah tidak terjadi apa-apa."Nggak usah. Aku udah istirahat di rumah Mbak Arumi," kata Gina dengan ketus lalu mengambil sayur dan lauk untuk dipanaskan. Danu hanya bisa menggaruk kepala yang tak gatal. Ketika sang istri m
Mas, kamu tahu nggak, semua harga kebutuhan kita naik semua. Beras, minyak, gas, token, bahkan tahu dan tempe juga ikan asin ikutan naik. Kamu usaha dong kerja lebih keras lagi! Kalo misal hanya jualan buah keliling saja nggak akan cukup. Lihat, mangga yang kamu bawa ke sana ke mari itu bahkan mau busuk!" Omelan Gina membuat Danu hanya bisa mengelus dada setiap pulang bekerja.Suara Gina menggelegar memenuhi rumah petak yang sengaja mereka sewa itu. Pertengkaran mereka sudah menjadi langganan. Tetangga hanya bisa diam karena tidak bisa memberikan solusi apa pun. Gina hanya ingin semua kebutuhan terpenuhi."Ya, kamu sabar dulu. Aku juga udah usaha maksimal." Danu berusaha tenang menanggapi omelan sang istri.Danu kini berusaha mengambil alih Putri semata wayangnya dari gendongan Gina. Anak mereka berusia satu setengah tahun dan sedang aktif-aktifnya. Gina dulu bekerja di pabrik, tetapi akhirnya memutuskan berhenti bekerja untuk mengasuh anak mereka. Orang tua Gina merasa keberatan jika
Tanpa pikir panjang, Gina segera pergi ke kantin. Kebetulan, di belakang puskesmas ini ada sebuah kantin. Kantin untuk anak sekolah dan umum. Gina menatap wajah Putri yang kini mulai memucat."Bu, yang jualan bubur di mana, ya?" tanya Gina pada penjual gorengan yang ada di dekat kantin."Coba deh ke ujung sana. Semoga masih ada, Mbak," jawab penjual gorengan sambil menunjuk ke arah tenda terpal berwarna orange."Terima kasih." Gegas Gina menuju ke arah tenda yang ditunjukkan oleh penjual gorengan itu. Masih rezeki, masih ada sedikit sisa bubur. Gina pun hendak membelinya untuk sarapan sang anak. Ternyata, penjual bubur pasangan paruh baya itu justru memberikannya; tidak perlu bayar. Bubur itu diberikan topping telur rebus dan suwiran ayam."Berapa ini?" tanya Gina sambil merogoh saku baju yang dipakainya."Bawa aja, Mbak. Ini sisa jualan kami. Sudah, segera suapin anak kamu," kata ibu penjual bubur itu.Lagi dan lagi, mata Gina sebak karena banyak orang baik. Setelah mengucapkan teri
Gina kini sudah berdiri sambil memeganggi pipinya. Emosi Danu sama sekali tidak bisa dikendalikan. Hampir saja Danu menendang perut Gina. Beruntung, ada tetangga yang menarik tubuh mungil Gina."Saya akan melaporkan pada pihak berwajib jika ada hal buruk terjadi pada Gina. Masalah rumah tangga itu bisa dibicarakan baik-baik. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah." Tetangga Danu mengatakan dengan tegas."Cukup! Lepaskan istri saya!" Danu menarik kuat lengan Gina lalu menutup pintu dengan keras. "Kamu pergi sesuka hati hanya karena aku tidak punya uang? Kamu memang wanita sialan!" teriak Danu tepat di depan wajah Gina.Tubuh Gina gemetar hebat pagi ini. Ia pulang karena harus mengambil pakaian bersih untuk Putri. Gina juga harus mandi dan berganti pakaian saat ini. Tubuhnya sangat lengket karena keringat. Putri di rumah sakit dititipkan pada perawat."Aku memang pergi, tapi bukan sesuka hati. Putri masuk rumah sakit." Jawaban Gina membuat Danu terkejut. "Aku tidak bisa mengabarimu
Gina tidak mengatakan apa pun pada sang suami. Danu kini sibuk menidurkan Putri hingga kedua orang Gina datang. Wajah Pak Syamsuri dan sang istri tampak masam. Gina memang meminta mereka untuk datang agar bisa bergantian jaga. "Kamu tahu 'kan, kami ini sudah tua, tidak seharusnya disuruh gantian jaga anak kamu. Baru anak satu udah merepotkan orang tua," kata Tuti--ibunda dari Gina yang merasa tidak suka ketika datang menjenguk cucu mereka. Dari empat anaknya, hanya Gina saja yang nasibnya tidak baik karena menikah dengan Danu. Ketiga kakak Gina sudah sukses semua. Lihat saja Gina, hidup jauh dari kata pas-pasan atau bahkan sangat kekurangan. Dulu Syamsuri menolak pernikahan mereka. "Saya hanya minta tolong, Pak, Bu." Gina menahan air matanya yang akan jatuh ke pipi. "Minta tolong? Lalu suami kamu sibuk apa? Kalian bisa bergantian jaga. Ibu itu anaknya empat, nggak pernah sekali pun merepotkan kakek dan nenekmu dulu." Tuti tampak sangat kesal karena harus jauh-jauh datang dari Bek
"Nggak usah dikembalikan uangnya, Dan. Anggap saja uang jajan buat Putri." Hanya itu yang bisa terdengar oleh Gina dari ujung pintu kamarnya."Nggak bisa gitu, Mbak Salma. Gina nggak pernah bilang kalo ada pinjam uang sama, Mbak. Saya sebagai suaminya harus tanggung jawab," lanjut Danu sambil mengeluarkan dompet dan mengambil empat lembar uang pecahan lima puluh ribuan.Gina menahan napas karena terkejut. Ternyata Salma datang ke rumah kontrakan ini karena mau menagih hutang. Gina tidak bisa berbuat banyak karena memang tidak ada uang saat itu. Ia butuh uang karena Putri harus segera berobat."Bukan gitu, Dan. Maksudku, pakai saja uangku itu. Toh, anggap saja rezekinya Putri. Mungkin Gina nggak ada pegang uang pas mau bawa anak kalian berobat," kata Salma menolak uang pemberian dari Danu.Napas Gina terengah menahan amarah. Ia tidak bisa lagi terus di dalam kamar. Uang itu masih tersisa separuhnya. Astaga! Kenapa hal ini membuat emosi."Bu Salma, maaf, kalo saya pinjam uang terlalu l