"Hemat pangkal kaya, rajin pangkal pandai, nurut Emak pangkal masuk surga." —Single yang bosan ditanya kapan nikah.
Binar baru saja selesai menulis bab baru untuk novel barunya ketika ponselnya bergetar. Ibu, lagi. Sebagai putri semata wayang, ia sudah bisa meramal topik yang akan dibahas sore ini, dan sore-sore berikutnya. Sebagai penulis, ia bisa menebak tiap perkataan dan mengimajinasikan raut wajah Ibu di balik teleponnya, dengan jelas sekali.
"Halo, Nak. Gimana kabarnya?" tanya Ibu di seberang telepon.
"Baik, Bu. Ibu sendiri gimana? Maaf ya, Bu, belum bisa menelepon seminggu ini. Ibu tahu sendiri, kan, aku kalau lagi ngejar deadline nulis kayak gimana," jawab Binar diisi perasaan bersalah. Terikat kontrak menulis dengan penerbit major membuatnya sibuk bukan kepalang, sampai tidak sempat untuk menelepon Ibu.
"Enggak papa, Nak. Ibu paham, kok. Tapi Minggu ini kamu bakal pulang kan, ya? Kamu sudah tidak pulang sebulan lebih, padahal tempatmu tinggal masih satu kota sama rumah di sini. Apa kamu enggak kangen? Bapak aja sudah nanyain kamu."
"Minggu ini, Bu?" Binar menimbang-nimbang. Tidak ada salahnya untuk pulang sebentar, melepas kangen dengan Ibu dan Bapak di rumah. Urusan menulis masih bisa diatur. "Sepertinya bisa, Bu."
"Ya sudah, kalau gitu Ibu sama Bapak tunggu di rumah, ya," ujar Ibu sembari menutup telepon.
Binar menutup ponselnya. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh namun tidak tahu apa. Tunggu, tumben Ibu tidak menanyakan soal kapan aku nikah? Pikirnya. Tapi masuk akal juga sih, mungkin Ibu sudah lelah bertanya setelah bertahun-tahun menerima jawaban yang sama: 'masih sibuk menulis, Bu.'
Itu yang selalu dikatakan Binar ketika ditanya Ibu dan anggota keluarga lainnya tentang menikah. Walaupun kelihatannya bukan alasan yang kuat, setidaknya cukup untuk memutus percakapan yang enggan ia bicarakan.
Meskipun setelahnya ada saja yang melanjutkannya dengan kalimat seperti, "Nanti kalau jadi perawan tua gimana? Kamu enggak takut?" "Buruan cari laki, nanti kalau udah tua enggak ada yang mau, lo!" "Nikah jangan ketuaan, nanti susah punya anak emangnya kamu mau?"
Masalahnya, pernikahan tidak pernah terpikirkan oleh Binar, punya anak apalagi. Namun, ia tak pernah berani menyebutnya secara terang-terangan mengingat pemikiran keluarganya yang cenderung konservatif.
Ia khawatir, bisa-bisa keputusannya ini menimbulkan perpecahan di keluarganya, lalu berakhir dengan munculnya gosip-gosip aneh.
Binar merasa cukup hanya dengan kehidupannya yang sekarang. Sangat cukup, bahkan. Waktunya sudah habis untuk menulis, pulang untuk memasakkan makanan dan mengobrol dengan Ibu dan Bapak yang sudah lanjut usia, bermain bersama keponakan-keponakannya ketika berkunjung ke tempat tinggal ketiga abangnya yang jaraknya saling berjauhan, berkunjung ke rumah sahabatnya, dan tidak lupa, menyisakan waktunya untuk 'quality time' dengan diri sendiri.
Quality time dengan diri sendiri, atau yang biasa disebut 'me-time', adalah salah satu cara untuk membuat pikirannya tetap waras setelah ditagih oleh Bapak Editor yang sedikit-sedikit galak.
Me-time ini bisa dilakukan dengan olahraga, nonton bioskop, makan menu enak (dan mahal!) di restoran favorit, dan makan dessert yang banyak, semua ini tentunya dilakukan oleh, dari, dan untuk Binar seorang.
Ngomong-ngomong soal me-time, Binar jadi ingat kalau belum makan dari pagi. Sambil memijit kepalanya yang mulai pusing karena setengah harinya dihabiskan di depan layar komputer, Binar memutuskan untuk beranjak dari kursinya dan hendak ke dapur.
Oh, memasak juga salah satu agenda me-time ala Binar. Menurutnya, memasak membuat pikirannya lebih jernih dan terpusat pada masa kini, membuat pikirannya beristirahat tanpa berisik soal imajinasi-imajinasinya yang seringkali susah untuk berhenti.
Setelah selesai memasak nasi, sayur capcay, menggoreng ayam kuning yang sudah diungkep pada malam sebelumnya, dan mulai menatanya di meja makan di ruang makan yang tidak begitu luas, terdengar suara bel dari pintu masuk. Binar menghampiri ke arah suara dan kemudian membuka pintu, muncul kedua sahabatnya—yang kini menjadi sepasang suami-istri—bersama anaknya yang mungil.
Wajah keduanya tidak bisa terbaca oleh Binar. Raka, yang tengah menggendong Aksa, anaknya yang sudah terlelap, hanya tersenyum tertahan, ingin segera melepas tawa. Nila, berdiri di sebelah Raka, juga menunjukkan raut wajah yang sama, hanya saja dengan pandangan yang sedikit usil.
"Dilihat dari mukanya, kayaknya ini anak enggak tahu apa-apa, deh," ujar Nila pura-pura berbisik pada Raka, memulai pembicaraan setelah keduanya duduk berhadapan dengan Binar di meja makan yang hanya cukup untuk 4 kursi, meninggalkan Aksa yang sedang sibuk dalam mimpi tidurnya di kamar Binar.
"Iya lah, kalau ini anak tahu, pasti sekarang sudah panik parah," balas Raka, juga pura-pura berbisik.
"Tahu apa?" tanya Binar polos, yang disambut dengan raut muka kedua sahabatnya yang semakin usil.
"Kita boleh bocorin enggak, sih, beb?" tanya Nila, semakin gemas.
"Kasih tahu apa?" tanya Binar, masih sabar.
"Jangan dulu, nanti dia juga tahu sendiri," jawab Raka sekenanya.
"Astaga, Raka Adiyaksa Agung Pramana, Nila Kamala, tolong ya, kalian ini lagi ngomongin apa?" tanya Binar mulai kehilangan kesabaran.
Raka dan Nila saling berpandangan, seakan-akan sedang mengirim sinyal ke satu sama lain tentang siapa yang akan memberitahu Binar perihal berita paling mengejutkan dan terpanas yang baru saja mereka dengar siang tadi.
"Kamu akan dijodohin, Nar," jawab Nila, singkat dan ragu.
"Haha, ya elah, emangnya aku bakal percaya?" balas Binar seraya tertawa. "Udah, deh, kalian jangan suka mengarang bebas, biar aku saja yang suka mengarang bebas," lanjutnya, bercanda.
Namun, tampak air muka Raka dan Nila yang mulai diam dan serius, membuat Binar merasakan sesuatu yang tidak enak.
"Oke, kalau emang benar, kalian kata siapa? Kalian dapat info ini dari mana? Kok aku enggak tahu? Kok kalian bisa tahu?" Binar mulai memburu kedua sahabatnya dengar pertanyaan. "Tunggu, sebelum kalian jawab yang tadi, emangnya aku mau dijodohin sama siapa?"
"Kamu bakal dijodohin sama Mas Banyu, Binar," terang Raka kalem.
"Percuma karir sukses tapi belum menikah." —Oknum Netizen Burung Biru. "Mas Banyu siapa?" tanya Binar keheranan. "Kamu enggak tahu Mas Banyu? Kata Raka, kalian sempat saling kenal?" Binar mulai membuka kotak memori masa lalunya, bertanya-tanya. Kalau soal mengingat nama, Binar memang yang paling payah, apalagi yang sudah lama sekali. Boleh jadi total nama teman yang telah ia lupakan sudah mencapai 70%. Entahlah, siapa tahu si Banyu-yang-entah-siapa ini masuk ke dalam persen sisanya. Setelah berpikir keras, tiba-tiba saja bola lampu di kepala Binar menyala, disertai bola matanya yang membulat, "Astaga! Mas Banyu kakak kamu, Rak?" "Iya, Erlangga Banyu Biru Perdana, lebih tepatnya, Binar," terang Raka, lagi. "Lagipula, aku dan Nila enggak akan tahu berita ini kalau Banyu yang dimaksud adalah Banyu yang lain." "Ah, benar juga, sih," kata Binar hampir mengutuk diri sendiri, merasa paling bodoh. Pasti Raka
"Bersakit-sakit dahulu, menikah kemudian." —Budak Korporat. Binar berangkat menuju rumah orang tuanya pagi-pagi sekali. Mungkin kalau ia berangkat sepagi ini, ia bisa segera menghentikan perjodohan ini sebelum keluarga Mas Banyu datang ke rumah, memberi pengertian ke Ibu dan Bapak bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi. Setelah memaksa Ibunya untuk jujur perihal perjodohan kemarin hari, akhirnya Ibu mau mengaku juga. Tetapi, ternyata hal itu tidak cukup untuk memaksa Ibu mau menghentikannya sekaligus. Kata Ibu, kalau itu maunya Binar, artinya Binar harus datang Minggu ini. Huft, untung Ibu sendiri, pikirnya. Binar menengok jam tangannya, menunjukkan waktu masih pukul 07.20 pagi. Setelah menyerahkan helm ke Bapak Ojol, ia beranjak menuju pelataran rumahnya, dan mendapati mobil dan sandal-sepatu yang tidak familiar dimatanya. Tunggu, please, jangan bilang ... Binar berharap apa yang dipikirkannya tidak terjadi.
"Emangnya enggak iri melihat yang lain sudah pada nikah dan punya anak?" —Mayoritas teman di reuni angkatan. "Ayu sayang, kami bukannya ingin kalian menikah hari ini atau besok, kalian menikah tahun depan juga tidak masalah. Tetapi alangkah baiknya untuk direncanakan dari sekarang. Lebih cepat direncanakan lebih baik," jawab Ibu. "Bukan, Bu. Maksudnya, Ayu memang tidak ada niat untuk menikah. Maksudnya ... Ayu enggak akan menikah." Tiba-tiba suasana menjadi hening. Tidak ada yang mengeluarkan komentar dalam beberapa jeda. Bapak, Ibu, Om Danu, dan Tante Ratih hanya mematung untuk sesaat. Binar tidak berani melihat sisanya, tidak bisa membayangkan reaksi apa yang akan ia terima. "Maksudnya, Nak?" tanya Bapak. "Ayu hanya ... tidak ingin menikah, Pak, Bu. Ayu sudah merasa nyaman dan aman dengan kehidupan Ayu yang sekarang. Ayu sudah merasa sangat cukup," terang Binar, masih sehalus dan sesopan mungkin. Tentu saja, B
"Nasib anak bungsu: dianggap masih kecil dan dipanggil Adek meskipun sudah kepala tiga." —Binar, berdasarkan pengalaman pribadi. "Kita sama-sama tahu lah, ya, kalau kamu orang paling enggak waras di antara kita bertiga, tapi aku enggak pernah tahu kalau kamu bisa segila ini," ujar Raka menggeleng-geleng kepala, membuka pembicaraan. Selepas acara perjodohan yang tidak berjalan sesuai rencana—setidaknya, bagi orang tua Banyu dan Binar—Raka, Nila, Binar, dan, tentu saja, Aksa, memutuskan langsung cabut ke rumah kontrakan Binar, tempat yang jaraknya cukup dekat dari rumah orang tua Binar. "Ya, mau bagaimana lagi?" balas Binar seraya mengedikkan bahu. "Ha ha ha, Binar emang the best! Keren banget kamu, Nar, aku sudah menyangka pasti bakal ada sesuatu di luar dugaan," timpal Nila sambil mengacungkan jempol ke arah Binar, memamerkan gigi putihnya. Lalu ia melanjutkan, "Eh, aku sudah pernah bilang belum, ya? Temenan sama kamu itu engga
"Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, ide gila dibalas ide gila." —Petuah yang sudah dimodifikasi oleh Binar sendiri. Banyu baru saja sampai apartemennya setelah mengantar Ayah dan Bunda pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya di sana—atau lebih tepatnya dihabiskan dengan mendengarkan nasihat-nasihat yang bersangkutan dengan yang baru saja Banyu sampaikan ketika acara perjodohan. Meskipun ia sudah sering mendengar nasihat untuk-segera-menikah dari bertahun-tahun yang lalu, tidak serta-merta membuat Banyu nyaman dengan nasihat tersebut. Rasanya terlalu ... mengatur. Tetapi Banyu tidak ingin memikirkan itu, dipikirkan juga percuma, pada akhirnya ia tidak bisa mengontrol pikiran orang-orang terhadapnya. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke ruang kerjanya untuk mengecek bahan meeting yang akan ia sampaikan esok hari. Sembari menunggu komputernya menyala, ia mengecek ponsel kalau-kalau ada e-mail penting yang masuk. Ket
"Dikira hati itu mesin, bisa dinyalakan dan dimatikan sesuka hati?" —Nasihat salah satu sahabat. "Kalau dipikir-pikir, menarik, sih" jawab Banyu setelah merenung cukup lama, "Kalau dicoba enggak ada salahnya, win-win solution juga." Eh? Binar sudah biasa disebut gila oleh sahabatnya sendiri, bahkan ia mengakui bahwa jangan-jangan ia memang gila? Karena kalau ia menyampaikan ini ke kedua sahabatnya, pasti mereka akan terperangah setengah mati. Tapi, kok, pria di depannya langsung setuju-setuju saja? Padahal Binar sudah memikirkan berbagai kalimat untuk meyakinkan Mas Banyu agar ia setuju. Ternyata semudah itu, ya? Apa karena—dengar-dengar dari Ibu—Mas Banyu bekerja di perusahaan start-up sehingga ia biasa dituntut untuk punya ide di luar kepala? Apa menurut Mas Banyu, ide Binar ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja? "Oh, iya, okay," Binar tidak tahu harus jawab apa, ini tidak seperti yang ia ekspektasikan sebelumnya.
"Selamat hari jomblo sedunia!" —Jatuh pada 11 November. Asli, beneran ada. Kalau Mas sendiri, Mas Banyu bisa janji untuk enggak akan suka sama aku? Banyu mengulang pertanyaan Binar dalam kepalanya berkali-kali. Apa Binar mengerti apa yang dikatakannya barusan? Banyu ragu Binar mengerti. Apa ia tidak tahu bahwa perasaan itu tidak bisa sepenuhnya berada di bawah kontrol diri sendiri? Apa Binar tidak mengerti bahwa selalu ada probabilitas untuk segala sesuatu, sekecil apa pun itu? "Hm ... kalau untuk itu, kamu urus perasaan kamu sendiri saja, biar saya yang urus perasaan saya sendiri," jawab Banyu, sedikit dingin. Dahi Binar berkerut. Jadi, ini maksudnya bisa atau enggak? Ini, kan, pertanyaan yang butuh jawaban pasti, bukan jawaban yang abu-abu seperti ini. "Maksudnya gimana, ya?" "Ya, kayak tadi. Kita urus perasaan masing-masing saja," jawab Banyu masih tidak benar-benar menjawab. Binar mengh
"Punya pacar sama jomblo itu beda tipis. Punya pacar itu taken, kalau jomblo itu taken-an batin." —Netizen yang budiman. "Ngomong-ngomong, makasih, ya, karena udah mau jauh-jauh ke sini untuk mengabarkan ini ke aku," kata Binar, kini bibirnya tak bisa berhenti mengulum senyum setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dan detil dari Angga. Sampai-sampai Binar tak menyadari ia telah menghabiskan dua potong kue yang ia pesan. "Iya, santai," jawab Angga, dirinya mengambil jeda sebelum melanjutkan, "Kamu habis ini mau ke mana, Nar?" Binar mengedikkan bahu, "Entahlah, kayaknya aku mau langsung pulang untuk merevisi tulisan." "Wow, rajin sekali," Angga menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Abis ini mau nonton, enggak?" Bagaimana Binar bisa bermalas-malasan kalau hampir setiap hari Angga mengingatkan Binar untuk menyelesaikan naskahnya?! Dibanding kata 'mengingatkan', sepertinya lebih pantas disebut sebagai 'mener
"Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua yang terjadi berawal dari keputusan yang disadari." —Kutipan motivasi"Udah selesai, Mas?" Binar menyalakan microwave untuk memanaskan makanan instan yang biasa ia stok kalau-kalau ia sedang malas memasak. "Kita makan nasi teriyaki aja ya, Mas. Rasanya kayak bukan makanan instan, lho."Mas Banyu yang baru saja keluar dari toilet dan masuk ke dapur, hanya menyetujui apapun yang Binar siapkan. "Iya. Mas ikut kamu aja."Tunggu, kenapa Mas Banyu jadi menyebut dirinya 'Mas' lagi? Binar baru sadar sepanjang hari ini Mas Banyu menyebut dirinya dengan sebutan 'Mas'. Apakah karena status pernikahan mereka sudah legal di mata hukum?Binar mengambil nasi teriyaki instan dari microwave, lalu membawanya ke arah Mas Banyu yang tidak jauh di belakangnya. Tanpa ia sadari, kakinya tersangkut gaunnya sendiri—dan ia sempat lupa bahwa dirinya masih memakai gaun pernikahan dan belum menggantinya—yang pa
"Cie, udah ada ayank. Uhuk." —Teman nongkrong 'Saya nikahkan dan kawinkan Binar Jati Rahayu binti Adi Sucipto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.' Banyu terus merapalkan kalimat itu dalam hati, berkonsentrasi agar tidak terjadi kesalahan. Akad sebentar lagi akan dimulai. Keluarga dan kerabat sudah hadir di lokasi yang tidak jauh dari gedung tempat pesta pernikahan diadakan. Penghulu duduk di antara Banyu dan Om Adi yang duduk berhadapan. Hari itu akhirnya datang juga. Proses persiapan terasa begitu cepat walaupun cukup melelahkan. Banyu dan Binar memutuskan untuk menyewa gedung pernikahan yang cukup terkenal di kota. Gedungnya yang berwarna putih memiliki aksen elegan dan modern. Areanya yang cukup luas—setidaknya cukup luas untuk menampung tidak hanya kenalan Binar dan Banyu, namun juga kenalan orang tua keduanya yang terlampau banyak—memiliki dua bagian, yakni indoor dan outdoor. "Bapak, mohon lebih tenang, ya. Penguc
“Orang bertanya belum tentu bisa diartikan perhatian. Bisa jadi hanya penasaran biasa.” —Single yang tidak mudah terpengaruh oleh perasaan Suka mengatur dan suka ngambek sendiri? Wah, Mas Banyu ini benar-benar, ya. Belum menikah saja sudah mencari keributan. Apalagi nanti jika mereka sudah resmi menikah? Binar menatap lurus ke arah Mas Banyu. Matanya melotot. “Mas, mau gelut?” Alis Mas Banyu berkerut, pura-pura tidak mengerti. “Gelut? Yang mirip cacing itu?” Binar menganga. Oh, ini mas-mas bisa melucu juga, ya, ternyata?! Sontak tawa Angga meledak, tangannya menunjuk-nunjuk Mas Banyu. “HA HA HA! Bagus juga selera humor calon suami kamu, Nar!” “Mas, tolong, ya. Itu belut! Belut sama cacing apa miripnya, sih? Astaga,” Binar mendengus kesal, lalu memutar bola matanya. Mas Banyu yang kelihatannya masih belum puas menggoda Binar, berkata, “Emang enggak mirip, ya? Kan, sama-sama enggak punya k
“Siapa di dunia ini yang jalan dan makan hanya berdua dengan kakaknya teman? Status macam apa itu?” —Netizen kepo Binar dan Mas Banyu terdiam, memandang satu sama lain. Situasi apa ini? Kenapa tiba-tiba Binar tidak mampu berpikir? “Ca—“ sebelum menjawab, jawaban Mas Banyu terpotong. “Kakaknya teman. He he,” potong Binar mengambil alih. “Kakaknya teman? Siapa?” tanya Angga heran, alisnya berkerut. “Itu, loh. Raka. Kamu tahu Raka, kan?” kata Binar, berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya agak tidak masuk akal juga kalau dirinya makan berdua dengan … kakaknya Raka. Angga berpikir sesaat. Kemudian membalas, “Oh, Raka yang sering banget nempel sama kamu itu, ya? Sama siapa, tuh, satu lagi yang setengah bule? Nila, ya?” “Giliran cewek cakep aja. Cepat banget ingatnya,” sindir Binar. Lalu ia melanjutkan, “Oh, iya. Dia seperempat bule, bukan setengah. Hanya ingin membenarkan. Dia juga
“Segala yang dekat itu tidak selalu harus dimiliki.” —Pembelajar dari masa lalu.“Kalian, kok, bisa dekat?” tanya Banyu penasaran, berusaha menguatkan diri.Binar dan Angga menoleh ke arah satu sama lain, saling menatap, sama-sama berpikir. Hm … mulai dari mana, ya?“Kayak … biasa aja, sih, Mas. Seperti orang-orang yang dekat pada umumnya. Kita bisa dekat karena … terjadi secara natural aja,” jawab Binar mencoba memilah kata-kata, bingung antara ingin menjawab pertanyaan Mas Banyu atau mengalihkan fokus ke gurame asam manis di bawahnya.“Dari kuliah enggak, sih?” Angga menambahkan.“Iya benar,” Binar mencoba menyobek daging ayam kalasannya dengan garpu, “Pas itu kamu tiba-tiba bilang punya kenalan orang penerbitan. Kayaknya dari situ kita mulai dekat.”“Sebelumnya juga udah dekat enggak, sih?” Angga mengingat-
“Selera, selera. Emangnya Ind*mie!” —Orang yang sudah melepas masa jomlo, kepada jomlo yang sangat pemilih. Tampak seorang pria datang dari pintu masuk rumah makan. Penampilannya modis dari ujung kepala sampai kaki khas anak muda ibukota. Sepatu kets, celana khaki, kaos, jaket kulit, kacamata yang menggantung pada hidungnya yang lancip, dan rambut gondrong yang diikat ke belakang Wajahnya? Jangan ditanya. Banyu bahkan yakin kedatangan pria itu pasti sudah membuat semua wanita di restoran menoleh, berusaha mencuri-curi pandang. Pria itu terus berjalan. Semakin dekat, dan semakin dekat. Matanya terus mengarah pada meja makan yang ditempati Binar dan Banyu. Atau, lebih tepatnya, ke arah Binar. Tunggu, Banyu enggak salah lihat? “Ini Binar, kan?” sapa pria itu, berdiri tepat di samping Binar. Binar yang masih fokus menatap ponselnya, kepalanya menengadah mencari sumber suara. Binar terkejut, “
“Bukannya banyak mau, hanya mengikuti selera.” —Alasan jomlo bertahan dengan statusnya. “Kamu mau yang mana?” tanya Mas Banyu yang membuyarkan lamunan Binar. Binar menatap lekat salah satu cincin berlian di balik etalase yang menarik perhatiannya. Berliannya tidak begitu besar, juga tidak begitu kecil. Desainnya juga sederhana, tidak ada warna yang macam-macam. Pasti sangat pas jika cincin itu diselipkan pada jemarinya yang ramping. Bagus sekali. Ini tipe cincin yang Binar suka. Lalu ia melihat harga yang tertera di bawahnya, matanya serasa ingin keluar dari tengkoraknya. Lima puluh juta?! Oke, harga yang sebenarnya adalah empat puluh sembilan juta sembilan ratus ribu sekian. Tapi kalau dibulatkan tetap lima puluh juta, kan? Duit segitu bisa buat beli bakmi tiga ribu porsi lebih. Kalau sehari minimal makan satu bakmi, itu bakmi bakal abis setelah berapa tahun? Kepala Binar mulai pusing. Awalnya dia setuj
“Kenapa, ya, lebih enak dimasakin daripada masak sendiri?” —Frequently Asked Question dari para jomlo.“Ya sudah, nanti kita cari bareng aja, ya,” Begitu jawaban Binar ketika ditanya mengenai cincin oleh Mas Banyu melalui telepon, beberapa waktu lalu.Akhir-akhir ini ia sering menerima telepon dari Mas Banyu, tentunya untuk membicarakan pernikahan. Waktunya bisa kapan saja, semaunya Mas Banyu. Karena biasanya Mas Banyu yang mulai menghubungi.Binar sampai heran, ini orang apa emang enggak ada kerjaan kali, ya? Rajin banget menelepon Binar. Enggak kehabisan pulsa, Mas?Sudah beli paket telepon, ya, Mas? Jadi sayang kalau enggak dihabisin?Bahkan kemarin Mas Banyu menelepon Binar sampai lima kali.Tetapi wajar, sih. Waktu pernikahan mereka juga semakin dekat. Apa Binar salah, ya, kalau Binar terlalu santai?Binar menekan layar ponselnya, hendak mengirim pesan ke Mas Banyu.Bina
“Mencari waktu berduaan setelah punya anak itu sama susahnya dengan mencari jarum di tumpukkan jerami.” —Suami yang merindukan waktu berdua dengan sang istri.“Beb, menurut kamu aneh enggak, sih?” Nila tiba-tiba bertanya.Raka menekan tombol remot TV-nya, mencari acara yang menarik, “Aneh kenapa?”“Kok, tahu-tahu mereka setuju sama perjodohan itu, ya? Enggak tahu kenapa, aku curiga aja,” Nila berkata serius, lalu menunjuk layar TV, “Beb, ini aja acaranya seru.”“Wajar, kok. Mereka juga pasti merasa kalau di umur mereka sekarang memang sudah waktunya untuk menikah,” jawab Raka kalem, “Kamu dari tadi diam itu mikirin ini?”“Iya,” Nila mengambil jus jeruk dari meja di depannya, “Ah, masa, sih? Kamu tahu sendiri, kan, kalau Binar ini beda. Beda dalam artian segala hal. Dia bukan tipe yang iya-iya aja kalau dikasih tahu.&rdq