"Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, ide gila dibalas ide gila." —Petuah yang sudah dimodifikasi oleh Binar sendiri.
Banyu baru saja sampai apartemennya setelah mengantar Ayah dan Bunda pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya di sana—atau lebih tepatnya dihabiskan dengan mendengarkan nasihat-nasihat yang bersangkutan dengan yang baru saja Banyu sampaikan ketika acara perjodohan.
Meskipun ia sudah sering mendengar nasihat untuk-segera-menikah dari bertahun-tahun yang lalu, tidak serta-merta membuat Banyu nyaman dengan nasihat tersebut. Rasanya terlalu ... mengatur.
Tetapi Banyu tidak ingin memikirkan itu, dipikirkan juga percuma, pada akhirnya ia tidak bisa mengontrol pikiran orang-orang terhadapnya.
Setelah membersihkan diri, ia pergi ke ruang kerjanya untuk mengecek bahan meeting yang akan ia sampaikan esok hari.
Sembari menunggu komputernya menyala, ia mengecek ponsel kalau-kalau ada e-mail penting yang masuk. Ket
"Dikira hati itu mesin, bisa dinyalakan dan dimatikan sesuka hati?" —Nasihat salah satu sahabat. "Kalau dipikir-pikir, menarik, sih" jawab Banyu setelah merenung cukup lama, "Kalau dicoba enggak ada salahnya, win-win solution juga." Eh? Binar sudah biasa disebut gila oleh sahabatnya sendiri, bahkan ia mengakui bahwa jangan-jangan ia memang gila? Karena kalau ia menyampaikan ini ke kedua sahabatnya, pasti mereka akan terperangah setengah mati. Tapi, kok, pria di depannya langsung setuju-setuju saja? Padahal Binar sudah memikirkan berbagai kalimat untuk meyakinkan Mas Banyu agar ia setuju. Ternyata semudah itu, ya? Apa karena—dengar-dengar dari Ibu—Mas Banyu bekerja di perusahaan start-up sehingga ia biasa dituntut untuk punya ide di luar kepala? Apa menurut Mas Banyu, ide Binar ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja? "Oh, iya, okay," Binar tidak tahu harus jawab apa, ini tidak seperti yang ia ekspektasikan sebelumnya.
"Selamat hari jomblo sedunia!" —Jatuh pada 11 November. Asli, beneran ada. Kalau Mas sendiri, Mas Banyu bisa janji untuk enggak akan suka sama aku? Banyu mengulang pertanyaan Binar dalam kepalanya berkali-kali. Apa Binar mengerti apa yang dikatakannya barusan? Banyu ragu Binar mengerti. Apa ia tidak tahu bahwa perasaan itu tidak bisa sepenuhnya berada di bawah kontrol diri sendiri? Apa Binar tidak mengerti bahwa selalu ada probabilitas untuk segala sesuatu, sekecil apa pun itu? "Hm ... kalau untuk itu, kamu urus perasaan kamu sendiri saja, biar saya yang urus perasaan saya sendiri," jawab Banyu, sedikit dingin. Dahi Binar berkerut. Jadi, ini maksudnya bisa atau enggak? Ini, kan, pertanyaan yang butuh jawaban pasti, bukan jawaban yang abu-abu seperti ini. "Maksudnya gimana, ya?" "Ya, kayak tadi. Kita urus perasaan masing-masing saja," jawab Banyu masih tidak benar-benar menjawab. Binar mengh
"Punya pacar sama jomblo itu beda tipis. Punya pacar itu taken, kalau jomblo itu taken-an batin." —Netizen yang budiman. "Ngomong-ngomong, makasih, ya, karena udah mau jauh-jauh ke sini untuk mengabarkan ini ke aku," kata Binar, kini bibirnya tak bisa berhenti mengulum senyum setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dan detil dari Angga. Sampai-sampai Binar tak menyadari ia telah menghabiskan dua potong kue yang ia pesan. "Iya, santai," jawab Angga, dirinya mengambil jeda sebelum melanjutkan, "Kamu habis ini mau ke mana, Nar?" Binar mengedikkan bahu, "Entahlah, kayaknya aku mau langsung pulang untuk merevisi tulisan." "Wow, rajin sekali," Angga menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Abis ini mau nonton, enggak?" Bagaimana Binar bisa bermalas-malasan kalau hampir setiap hari Angga mengingatkan Binar untuk menyelesaikan naskahnya?! Dibanding kata 'mengingatkan', sepertinya lebih pantas disebut sebagai 'mener
"Aturan nomor satu: orang tua selalu benar. Kalau suatu hari mereka salah, balik lagi ke aturan nomor satu." —Anak yang penuh kasih sayang pada orang tuanya. "Ibu maafin kamu. Tapi, bukan berarti Ibu dan Bapak setuju dengan yang kamu bilang Minggu lalu, ya," tambah Ibu. Oh. Ya, tentu saja. Binar sudah menduganya. Kenapa ia malah sempat-sempatnya berharap? Binar menghembuskan napas dan memutar bola matanya. "Iya, Bu. Bu ... Minggu depan aku bisa ketemu Bapak dan Ibu? Aku mau ngomong sesuatu ... dan ... enggak bisa aku omongin lewat telepon," tanya Binar. "Boleh, dong. Meskipun Ibu dan Bapak masih kesal, tapi kamu tetap anak Ibu dan Bapak, kok. Memangnya ingin membicarakan apa?" "Tentang kelanjutan perjodohan kemarin, Bu. Nanti lengkapnya biar aku jelasin Minggu depan." Binar bisa merasakan Ibu menghela napasnya dari balik telepon. "Iya, nanti Ibu bilang sama Bapak. Kamu kalau ke sini bilang, ya. Biar Ibu
"Awas, hati-hati sama hati orang, hati sendiri lebih lagi." —(Bukan) Pakar Cinta. Binar menaikkan alisnya, terkejut. Kenapa tiba-tiba Mas Banyu ikut ditanya? Binar mengalihkan pandangannya menuju Mas Banyu, lalu ia menangkap mata Mas Banyu yang sudah menatapnya lekat dari tadi. Binar mengedipkan matanya cepat, tiba-tiba merasa gugup karena dipandangi seperti itu. Banyu, yang tanpa sadar sudah memandangi wanita di depannya cukup lama dengan tatapan yang lebih terlihat seperti terpesona, tiba-tiba tersadar bahwa ia sedang ditanya oleh Bunda ketika mata Binar—dan juga mungkin mata seisi ruangan—mengarah padanya. Banyu mengaburkan pandangannya, menelan ludah, dan kembali fokus pada percakapan, "Hah? I–iya, Bun," jawab Banyu terbata-bata. "Ah, kamu ini. Melihat Binar begini saja sudah grogi. Gimana kalau kalian nanti malam pertama? Yang ada kejang-kejang kamu, Banyu," balas Bunda santai. Banyu membelalakkan mata, Binar
"Biasanya, jatuh dari mata, lalu turun ke hati. Dari yang sudah-sudah, sih, seperti itu. Nanti kamu juga begitu." —Teman sesama jomlo yang tiba-tiba jadi ahli percintaan. "I—iya, aku mau." Banyu hanya bisa bereaksi pada jawaban wanita di depannya dengan tersenyum kecil. Tersenyum? Kenapa Banyu sampai tersenyum? Astaga, setelah dipikir-pikir, sudah tidak terhitung berapa kali ia mencuri pandang ke arah Binar sambil kesengsem tidak jelas. Sial, kenapa dandanan Binar jadi terlihat sangat cantik hari ini? Tunggu, kenapa malah Binar yang disalahkan? Ia sadar keduanya hanya menikah kontrak demi menyenangkan hati kedua orang tuanya. Tetapi, kenapa ia bahkan tidak bisa menahan senyumnya setelah mendengar jawaban Binar? Banyu menelan ludahnya. Ia tidak yakin kegaduhan macam apa yang terjadi di hatinya saat ini. "Nah, begitu, dong! Akhirnya kamu menuruti apa kata Bunda untuk menikah. Bunda senang sekali mendengarnya
Harap bersabar. Ini ujian." —Frasa yang terkenal pada jamannya. "Maksud kamu bagaimana, Banyu?" geram Bunda. Lalu melanjutkan, "Jangan bilang, kamu menghamili Binar, ya? Karena itu tiba-tiba kalian ingin menikah?" Karena perkataan Bunda, sontak situasi menjadi lebih menegangkan. Banyu panik, Binar jauh lebih panik. Seketika, semua tatapan mata langsung menuju Banyu dan Binar secara bergantian. "Eh, enggak, Tan. Enggak mungkin Binar hamil sama Mas Banyu! Lagian, kapan juga ngelakuinnya?! Maksudnya ... jelas enggak, dong! Serius! Enggak seperti yang Tante pikirin," Binar gelagapan sembari mengibaskan tangannya cepat. Lalu ia langsung menatap Banyu tajam, "Mas Banyu, gimana, sih?" Kok, jadi Banyu yang disalahkan? Yang menuduh Binar hamil, kan, Bunda? Selain itu, yang mengusulkan untuk tidak adanya pesta pernikahan bukannya Binar sendiri? Banyu menarik napas dalam-dalam, ia sudah menduga orang tuanya akan menu
"Minta didoakan bisa sama siapa saja. Siapa tahu doa dari orang yang enggak kita kira, yang justru dikabulkan?" —Guru ngaji setempat. "Terserah Mas aja," jawab Binar ketus, bola matanya masih mengarah ke kendaraan di samping jendela. "Jangan terserah, dong, jawabnya," balas Banyu tenang. Duh, Binar kalau bicara yang jelas, apa susahnya? Memangnya Banyu ini cenayang? Bahkan Banyu sendiri tidak yakin soal cenayang yang katanya benar-benar bisa membaca pikiran orang. "Ya, aku enggak tahu. Terserah Mas aja," Binar masih menghadap ke jendela di sampingnya.Banyu mencoba memancing jawaban Binar dengan pilihan ganda, "Mau langsung pulang? Atau ke tempat lain dulu?" "Ke tempat lain dulu," akhirnya Binar menjawab. Benar saja, memang yang seperti ini kudu dipancing dulu, pikir Banyu. "Ya, sudah. Kalau begitu maunya ke mana?" Banyu mengeluarkan pertanyaan selanjutnya. "Terserah Mas aja," ujar Binar untuk yang ke
"Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua yang terjadi berawal dari keputusan yang disadari." —Kutipan motivasi"Udah selesai, Mas?" Binar menyalakan microwave untuk memanaskan makanan instan yang biasa ia stok kalau-kalau ia sedang malas memasak. "Kita makan nasi teriyaki aja ya, Mas. Rasanya kayak bukan makanan instan, lho."Mas Banyu yang baru saja keluar dari toilet dan masuk ke dapur, hanya menyetujui apapun yang Binar siapkan. "Iya. Mas ikut kamu aja."Tunggu, kenapa Mas Banyu jadi menyebut dirinya 'Mas' lagi? Binar baru sadar sepanjang hari ini Mas Banyu menyebut dirinya dengan sebutan 'Mas'. Apakah karena status pernikahan mereka sudah legal di mata hukum?Binar mengambil nasi teriyaki instan dari microwave, lalu membawanya ke arah Mas Banyu yang tidak jauh di belakangnya. Tanpa ia sadari, kakinya tersangkut gaunnya sendiri—dan ia sempat lupa bahwa dirinya masih memakai gaun pernikahan dan belum menggantinya—yang pa
"Cie, udah ada ayank. Uhuk." —Teman nongkrong 'Saya nikahkan dan kawinkan Binar Jati Rahayu binti Adi Sucipto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.' Banyu terus merapalkan kalimat itu dalam hati, berkonsentrasi agar tidak terjadi kesalahan. Akad sebentar lagi akan dimulai. Keluarga dan kerabat sudah hadir di lokasi yang tidak jauh dari gedung tempat pesta pernikahan diadakan. Penghulu duduk di antara Banyu dan Om Adi yang duduk berhadapan. Hari itu akhirnya datang juga. Proses persiapan terasa begitu cepat walaupun cukup melelahkan. Banyu dan Binar memutuskan untuk menyewa gedung pernikahan yang cukup terkenal di kota. Gedungnya yang berwarna putih memiliki aksen elegan dan modern. Areanya yang cukup luas—setidaknya cukup luas untuk menampung tidak hanya kenalan Binar dan Banyu, namun juga kenalan orang tua keduanya yang terlampau banyak—memiliki dua bagian, yakni indoor dan outdoor. "Bapak, mohon lebih tenang, ya. Penguc
“Orang bertanya belum tentu bisa diartikan perhatian. Bisa jadi hanya penasaran biasa.” —Single yang tidak mudah terpengaruh oleh perasaan Suka mengatur dan suka ngambek sendiri? Wah, Mas Banyu ini benar-benar, ya. Belum menikah saja sudah mencari keributan. Apalagi nanti jika mereka sudah resmi menikah? Binar menatap lurus ke arah Mas Banyu. Matanya melotot. “Mas, mau gelut?” Alis Mas Banyu berkerut, pura-pura tidak mengerti. “Gelut? Yang mirip cacing itu?” Binar menganga. Oh, ini mas-mas bisa melucu juga, ya, ternyata?! Sontak tawa Angga meledak, tangannya menunjuk-nunjuk Mas Banyu. “HA HA HA! Bagus juga selera humor calon suami kamu, Nar!” “Mas, tolong, ya. Itu belut! Belut sama cacing apa miripnya, sih? Astaga,” Binar mendengus kesal, lalu memutar bola matanya. Mas Banyu yang kelihatannya masih belum puas menggoda Binar, berkata, “Emang enggak mirip, ya? Kan, sama-sama enggak punya k
“Siapa di dunia ini yang jalan dan makan hanya berdua dengan kakaknya teman? Status macam apa itu?” —Netizen kepo Binar dan Mas Banyu terdiam, memandang satu sama lain. Situasi apa ini? Kenapa tiba-tiba Binar tidak mampu berpikir? “Ca—“ sebelum menjawab, jawaban Mas Banyu terpotong. “Kakaknya teman. He he,” potong Binar mengambil alih. “Kakaknya teman? Siapa?” tanya Angga heran, alisnya berkerut. “Itu, loh. Raka. Kamu tahu Raka, kan?” kata Binar, berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya agak tidak masuk akal juga kalau dirinya makan berdua dengan … kakaknya Raka. Angga berpikir sesaat. Kemudian membalas, “Oh, Raka yang sering banget nempel sama kamu itu, ya? Sama siapa, tuh, satu lagi yang setengah bule? Nila, ya?” “Giliran cewek cakep aja. Cepat banget ingatnya,” sindir Binar. Lalu ia melanjutkan, “Oh, iya. Dia seperempat bule, bukan setengah. Hanya ingin membenarkan. Dia juga
“Segala yang dekat itu tidak selalu harus dimiliki.” —Pembelajar dari masa lalu.“Kalian, kok, bisa dekat?” tanya Banyu penasaran, berusaha menguatkan diri.Binar dan Angga menoleh ke arah satu sama lain, saling menatap, sama-sama berpikir. Hm … mulai dari mana, ya?“Kayak … biasa aja, sih, Mas. Seperti orang-orang yang dekat pada umumnya. Kita bisa dekat karena … terjadi secara natural aja,” jawab Binar mencoba memilah kata-kata, bingung antara ingin menjawab pertanyaan Mas Banyu atau mengalihkan fokus ke gurame asam manis di bawahnya.“Dari kuliah enggak, sih?” Angga menambahkan.“Iya benar,” Binar mencoba menyobek daging ayam kalasannya dengan garpu, “Pas itu kamu tiba-tiba bilang punya kenalan orang penerbitan. Kayaknya dari situ kita mulai dekat.”“Sebelumnya juga udah dekat enggak, sih?” Angga mengingat-
“Selera, selera. Emangnya Ind*mie!” —Orang yang sudah melepas masa jomlo, kepada jomlo yang sangat pemilih. Tampak seorang pria datang dari pintu masuk rumah makan. Penampilannya modis dari ujung kepala sampai kaki khas anak muda ibukota. Sepatu kets, celana khaki, kaos, jaket kulit, kacamata yang menggantung pada hidungnya yang lancip, dan rambut gondrong yang diikat ke belakang Wajahnya? Jangan ditanya. Banyu bahkan yakin kedatangan pria itu pasti sudah membuat semua wanita di restoran menoleh, berusaha mencuri-curi pandang. Pria itu terus berjalan. Semakin dekat, dan semakin dekat. Matanya terus mengarah pada meja makan yang ditempati Binar dan Banyu. Atau, lebih tepatnya, ke arah Binar. Tunggu, Banyu enggak salah lihat? “Ini Binar, kan?” sapa pria itu, berdiri tepat di samping Binar. Binar yang masih fokus menatap ponselnya, kepalanya menengadah mencari sumber suara. Binar terkejut, “
“Bukannya banyak mau, hanya mengikuti selera.” —Alasan jomlo bertahan dengan statusnya. “Kamu mau yang mana?” tanya Mas Banyu yang membuyarkan lamunan Binar. Binar menatap lekat salah satu cincin berlian di balik etalase yang menarik perhatiannya. Berliannya tidak begitu besar, juga tidak begitu kecil. Desainnya juga sederhana, tidak ada warna yang macam-macam. Pasti sangat pas jika cincin itu diselipkan pada jemarinya yang ramping. Bagus sekali. Ini tipe cincin yang Binar suka. Lalu ia melihat harga yang tertera di bawahnya, matanya serasa ingin keluar dari tengkoraknya. Lima puluh juta?! Oke, harga yang sebenarnya adalah empat puluh sembilan juta sembilan ratus ribu sekian. Tapi kalau dibulatkan tetap lima puluh juta, kan? Duit segitu bisa buat beli bakmi tiga ribu porsi lebih. Kalau sehari minimal makan satu bakmi, itu bakmi bakal abis setelah berapa tahun? Kepala Binar mulai pusing. Awalnya dia setuj
“Kenapa, ya, lebih enak dimasakin daripada masak sendiri?” —Frequently Asked Question dari para jomlo.“Ya sudah, nanti kita cari bareng aja, ya,” Begitu jawaban Binar ketika ditanya mengenai cincin oleh Mas Banyu melalui telepon, beberapa waktu lalu.Akhir-akhir ini ia sering menerima telepon dari Mas Banyu, tentunya untuk membicarakan pernikahan. Waktunya bisa kapan saja, semaunya Mas Banyu. Karena biasanya Mas Banyu yang mulai menghubungi.Binar sampai heran, ini orang apa emang enggak ada kerjaan kali, ya? Rajin banget menelepon Binar. Enggak kehabisan pulsa, Mas?Sudah beli paket telepon, ya, Mas? Jadi sayang kalau enggak dihabisin?Bahkan kemarin Mas Banyu menelepon Binar sampai lima kali.Tetapi wajar, sih. Waktu pernikahan mereka juga semakin dekat. Apa Binar salah, ya, kalau Binar terlalu santai?Binar menekan layar ponselnya, hendak mengirim pesan ke Mas Banyu.Bina
“Mencari waktu berduaan setelah punya anak itu sama susahnya dengan mencari jarum di tumpukkan jerami.” —Suami yang merindukan waktu berdua dengan sang istri.“Beb, menurut kamu aneh enggak, sih?” Nila tiba-tiba bertanya.Raka menekan tombol remot TV-nya, mencari acara yang menarik, “Aneh kenapa?”“Kok, tahu-tahu mereka setuju sama perjodohan itu, ya? Enggak tahu kenapa, aku curiga aja,” Nila berkata serius, lalu menunjuk layar TV, “Beb, ini aja acaranya seru.”“Wajar, kok. Mereka juga pasti merasa kalau di umur mereka sekarang memang sudah waktunya untuk menikah,” jawab Raka kalem, “Kamu dari tadi diam itu mikirin ini?”“Iya,” Nila mengambil jus jeruk dari meja di depannya, “Ah, masa, sih? Kamu tahu sendiri, kan, kalau Binar ini beda. Beda dalam artian segala hal. Dia bukan tipe yang iya-iya aja kalau dikasih tahu.&rdq