Share

Ide Gila

Penulis: A. Senandika
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-02 21:41:11

"Percuma karir sukses tapi belum menikah." —Oknum Netizen Burung Biru.

"Mas Banyu siapa?" tanya Binar keheranan.

"Kamu enggak tahu Mas Banyu? Kata Raka, kalian sempat saling kenal?" 

Binar mulai membuka kotak memori masa lalunya, bertanya-tanya. Kalau soal mengingat nama, Binar memang yang paling payah, apalagi yang sudah lama sekali. Boleh jadi total nama teman yang telah ia lupakan sudah mencapai 70%. Entahlah, siapa tahu si Banyu-yang-entah-siapa ini masuk ke dalam persen sisanya.

Setelah berpikir keras, tiba-tiba saja bola lampu di kepala Binar menyala, disertai bola matanya yang membulat, "Astaga! Mas Banyu kakak kamu, Rak?" 

"Iya, Erlangga Banyu Biru Perdana, lebih tepatnya, Binar," terang Raka, lagi. "Lagipula, aku dan Nila enggak akan tahu berita ini kalau Banyu yang dimaksud adalah Banyu yang lain."

"Ah, benar juga, sih," kata Binar hampir mengutuk diri sendiri, merasa paling bodoh. Pasti Raka dan Nila mendengar kabar ini ketika mereka berdua berkunjung ke rumah orang tuanya Raka.

Bagaimana bisa orang tuanya main menjodohkannya begitu saja tanpa sepengetahuannya? Omel Binar tak habis pikir dalam hati.

Menyebalkan sekali, ada apa dengan orang tuanya? Apakah Binar adalah Siti Nurbaya yang tertukar?

Orang tuanya ini dapat ide dari mana untuk kemudian menjodohkannya? Jangan-jangan, Binar sedang berada di ruang waktu puluhan tahun yang lalu?

"Kamu masih ingat Mas Banyu?" tanya Raka, membangunkan Binar yang hampir hanyut dalam lamunannya.

"Eng ... samar-samar, sih. Kakak kamu yang kutu buku dan pendiam itu, kan?"

"Fyi, kalau kamu lupa, aku cuma punya kakak satu, sih. Jadi, yang kamu gambarkan barusan itu, pasti Mas Banyu," jawab Raka terkekeh, mulai mencairkan suasana.

"Kata Raka, kamu dulu suka sama Mas Banyu, ya?" tanya Nila ceplas-ceplos, mulai tersenyum usil.

"Mana mungkin aku ingat? Bisa jadi benar, sih, tapi kamu tahu sendiri lah, anak SD bisa menyukai siapa saja tanpa pikir panjang," jawab Binar sekenanya.

Dalam benak Binar, puzzle memori satu-persatu mulai terpasang kembali. Binar dan Raka adalah tetangga sekaligus sahabat masa kecil. Ketika SD, ia sering bermain ke rumah Raka, begitu pun sebaliknya, sehingga tidak jarang ia melihat Mas Banyu, yang telah memasuki SMP, tengah sibuk dengan bukunya. 

Sepengetahuan Binar, orang tua mereka bersahabat sampai memutuskan untuk bertetangga. Namun, tidak lama setelahnya, keluarga Raka memutuskan untuk pindah rumah karena urusan pekerjaan.

Binar bertemu lagi dengan Raka—dan bertemu Nila untuk pertama kalinya—ketika memasuki SMA dan melanjutkan persahabatannya sampai hari ini. 

Namun, untuk saat ini memori masa lalunya bukanlah yang terpenting. Berita perjodohan inilah yang harus ia pikirkan.

Saat kepalanya mulai pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, tangisan Aksa mulai terdengar dari balik kamar, memanggil ibunya yang segera sigap bergerak untuk menenangkan.

***

Banyu masih tidak habis pikir tentang apa yang baru saja didengarnya. Ibarat makanan, baru masuk kerongkongan sudah bikin tersedak, bagaimana mau dicerna? 

Bunda sudah gila, pikirnya. Oke, maaf, mungkin sedikit kasar.

Tapi benar, deh, orang tua mana yang masih menjodohkan anaknya di jaman yang apa-apa serba teknologi? Di kota metropolitan pula.

Kalau Banyu berasal dari keluarga, yang setidaknya, sepuluh besar konglomerat terkaya di negeri ini dan hendak memperluas kekayaan bisnis keluarga dengan meminang putri dari konglomerat sebelah, mungkin masuk akal saja.

Tapi masalahnya, keluarga Banyu, sebut saja, tidak 'seberuntung' itu.

Namun, Banyu sedikit paham perasaan Bundanya. Karir Banyu sudah cukup mapan, yang menurut Bundanya, sudah bisa menafkahi istri dan anak, yang tentu saja, hanya bisa tercapai jika Banyu berniat menikah.

Punya kekasih saja tidak, bagaimana mau meminang? Terlebih lagi, Banyu tidak punya waktu.

Jujur saja, Banyu tidak punya waktu untuk hal-hal selain pekerjaannya. Dari dua puluh empat jam dalam sehari, ia menghabiskan lebih dari setengahnya di kantor. Dari tujuh hari dalam seminggu, ia benar-benar mau 'full-time' di rumah hanya di hari Minggu. Mungkin bisa saja ia meliburkan diri di hari Sabtu, tetapi untuk seorang Banyu, rasanya aneh sekali.

Ia bahkan jarang mengambil cuti, karena menurutnya, untuk apa juga? Banyu tidak pernah punya rencana di hari libur, atau boleh dibilang, ia tidak tahu cara berlibur seperti manusia normal.

Secara gamblang, orang-orang di sekitar Banyu menyebutnya telah mengawini pekerjaannya sendiri.

Lalu, Banyu kalau lagi libur ngapain? Oh, tentu saja ke rumah orang tuanya, itu juga kalau ada yang menyuruh. Untuk perkara itu, biar Bunda yang mengatur.

Ditambah, Banyu sudah dilangkahi oleh adiknya, Raka, dalam hal membangun rumah tangga. Mungkin itu juga yang membuat orang tuanya—terutama Bunda—menjadi panik, khawatir anak sulungnya enggak akan ada yang mau kalau sudah ketuaan.

Tapi, toh, Banyu merasa dirinya oke-oke saja, sehat-sehat saja. Apa yang dikhawatirkan oleh orang tuanya dirasa Banyu agak berlebihan. Mungkin Banyu bisa memahaminya, meskipun tidak akan pernah seratus persen.

Banyu hanya bisa terduduk di ruang kantornya. Masih memutar ulang percakapan Bunda dan dirinya beberapa jam yang lalu di kepalanya.

"Banyu, Bunda ingin bertanya ke Banyu, tapi Banyu jawab sejujurnya saja, ya," kata Bunda melalui telepon

"Iya, ada apa, Bunda?" jawab Banyu.

"Banyu gimana kabarnya? Sudah ada yang mau dikenalin ke Bunda?" 

"Belum ada, Bun. Banyu masih belum punya waktu untuk itu," jawab Banyu seadanya.

"Kalau tidak mau meluangkan waktu untuk mencari gimana mau dapat—" terdengar suara Bunda menghela napas pelan, "Banyu, kamu masih suka perempuan, kan?" 

"Bun, jangan mulai lagi, ya," ujar Banyu, tanpa sadar ikut menghela napas pelan.

"Banyu, kamu masih ingat Binar anaknya Tante Ratna dan Om Adi? Tante Ratna dan Om Adi sahabatnya Bunda dan Ayah, yang dulunya sempat jadi tetangga kita," tanya Bunda, mengatur nadanya sestabil mungkin.

Binar yang sahabatan sama Raka dan adik iparnya? Kalau tidak salah ingat, sepertinya Banyu terakhir melihatnya di acara resepsi pernikahan adiknya beberapa tahun lalu.

"Ingat, Bun," jawab Banyu singkat.

"Menurut kamu Binar gimana? Cantik?" tanya Bunda. Kali ini membuat perasaan Banyu tidak nyaman.

Sepertinya Banyu tahu akan diarahkan ke mana pembicaraan ini.

"Ya ... cantik, Bun. Namanya juga perempuan," jawab Banyu. Tapi, ya, jujur saja, Binar ini memang cantik menurut siapa saja yang melihat, bukan hanya menurutnya pribadi.

Mungkin tidak sampai membuat semua orang memandang layaknya aktris ibukota, tapi bisa dibilang, cantiknya perempuan Indonesia tulen. 

"Bagus kalau begitu," ujar Bunda menarik napas lega.

Apanya yang bagus? Sepertinya pendapat Banyu soal kecantikan Binar tidak begitu penting. Toh, yang namanya perempuan, kan, ya memang cantik.

Belum sempat Banyu bertanya, Bunda melanjutkan, "Kamu Minggu ini harus balik ke sini, ya. Setelah ngomong sama Tante Ratna dan Om Adi minggu lalu, Bunda dan Ayah memutuskan ingin menjodohkan kamu dengan Binar."

Deg!

Oke, ini tidak seperti yang Banyu pikirkan. Sebelumnya ia berpikir Bunda hanya berusaha menggodanya untuk mendekati anak sahabat lamanya itu, tidak sampai benar-benar menjodohkannya begini.

Banyu menyandarkan kepalanya, kemudian memejamkan mata. Semakin dipikir, ia semakin yakin Bundanya benar-benar sudah gila.

Bab terkait

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Tunor (Tuntutan Orangtua)

    "Bersakit-sakit dahulu, menikah kemudian." —Budak Korporat. Binar berangkat menuju rumah orang tuanya pagi-pagi sekali. Mungkin kalau ia berangkat sepagi ini, ia bisa segera menghentikan perjodohan ini sebelum keluarga Mas Banyu datang ke rumah, memberi pengertian ke Ibu dan Bapak bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi. Setelah memaksa Ibunya untuk jujur perihal perjodohan kemarin hari, akhirnya Ibu mau mengaku juga. Tetapi, ternyata hal itu tidak cukup untuk memaksa Ibu mau menghentikannya sekaligus. Kata Ibu, kalau itu maunya Binar, artinya Binar harus datang Minggu ini. Huft, untung Ibu sendiri, pikirnya. Binar menengok jam tangannya, menunjukkan waktu masih pukul 07.20 pagi. Setelah menyerahkan helm ke Bapak Ojol, ia beranjak menuju pelataran rumahnya, dan mendapati mobil dan sandal-sepatu yang tidak familiar dimatanya. Tunggu, please, jangan bilang ... Binar berharap apa yang dipikirkannya tidak terjadi.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-02
  • Menikah Jalur Orang Dalam   Tunor Bagian 2

    "Emangnya enggak iri melihat yang lain sudah pada nikah dan punya anak?" —Mayoritas teman di reuni angkatan. "Ayu sayang, kami bukannya ingin kalian menikah hari ini atau besok, kalian menikah tahun depan juga tidak masalah. Tetapi alangkah baiknya untuk direncanakan dari sekarang. Lebih cepat direncanakan lebih baik," jawab Ibu. "Bukan, Bu. Maksudnya, Ayu memang tidak ada niat untuk menikah. Maksudnya ... Ayu enggak akan menikah." Tiba-tiba suasana menjadi hening. Tidak ada yang mengeluarkan komentar dalam beberapa jeda. Bapak, Ibu, Om Danu, dan Tante Ratih hanya mematung untuk sesaat. Binar tidak berani melihat sisanya, tidak bisa membayangkan reaksi apa yang akan ia terima. "Maksudnya, Nak?" tanya Bapak. "Ayu hanya ... tidak ingin menikah, Pak, Bu. Ayu sudah merasa nyaman dan aman dengan kehidupan Ayu yang sekarang. Ayu sudah merasa sangat cukup," terang Binar, masih sehalus dan sesopan mungkin. Tentu saja, B

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-03
  • Menikah Jalur Orang Dalam   Pascaperang

    "Nasib anak bungsu: dianggap masih kecil dan dipanggil Adek meskipun sudah kepala tiga." —Binar, berdasarkan pengalaman pribadi. "Kita sama-sama tahu lah, ya, kalau kamu orang paling enggak waras di antara kita bertiga, tapi aku enggak pernah tahu kalau kamu bisa segila ini," ujar Raka menggeleng-geleng kepala, membuka pembicaraan. Selepas acara perjodohan yang tidak berjalan sesuai rencana—setidaknya, bagi orang tua Banyu dan Binar—Raka, Nila, Binar, dan, tentu saja, Aksa, memutuskan langsung cabut ke rumah kontrakan Binar, tempat yang jaraknya cukup dekat dari rumah orang tua Binar. "Ya, mau bagaimana lagi?" balas Binar seraya mengedikkan bahu. "Ha ha ha, Binar emang the best! Keren banget kamu, Nar, aku sudah menyangka pasti bakal ada sesuatu di luar dugaan," timpal Nila sambil mengacungkan jempol ke arah Binar, memamerkan gigi putihnya. Lalu ia melanjutkan, "Eh, aku sudah pernah bilang belum, ya? Temenan sama kamu itu engga

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-07
  • Menikah Jalur Orang Dalam   Ide Gila, Kali Ini Dari Binar

    "Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, ide gila dibalas ide gila." —Petuah yang sudah dimodifikasi oleh Binar sendiri. Banyu baru saja sampai apartemennya setelah mengantar Ayah dan Bunda pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya di sana—atau lebih tepatnya dihabiskan dengan mendengarkan nasihat-nasihat yang bersangkutan dengan yang baru saja Banyu sampaikan ketika acara perjodohan. Meskipun ia sudah sering mendengar nasihat untuk-segera-menikah dari bertahun-tahun yang lalu, tidak serta-merta membuat Banyu nyaman dengan nasihat tersebut. Rasanya terlalu ... mengatur. Tetapi Banyu tidak ingin memikirkan itu, dipikirkan juga percuma, pada akhirnya ia tidak bisa mengontrol pikiran orang-orang terhadapnya. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke ruang kerjanya untuk mengecek bahan meeting yang akan ia sampaikan esok hari. Sembari menunggu komputernya menyala, ia mengecek ponsel kalau-kalau ada e-mail penting yang masuk. Ket

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-10
  • Menikah Jalur Orang Dalam   Langkah Selanjutnya?

    "Dikira hati itu mesin, bisa dinyalakan dan dimatikan sesuka hati?" —Nasihat salah satu sahabat. "Kalau dipikir-pikir, menarik, sih" jawab Banyu setelah merenung cukup lama, "Kalau dicoba enggak ada salahnya, win-win solution juga." Eh? Binar sudah biasa disebut gila oleh sahabatnya sendiri, bahkan ia mengakui bahwa jangan-jangan ia memang gila? Karena kalau ia menyampaikan ini ke kedua sahabatnya, pasti mereka akan terperangah setengah mati. Tapi, kok, pria di depannya langsung setuju-setuju saja? Padahal Binar sudah memikirkan berbagai kalimat untuk meyakinkan Mas Banyu agar ia setuju. Ternyata semudah itu, ya? Apa karena—dengar-dengar dari Ibu—Mas Banyu bekerja di perusahaan start-up sehingga ia biasa dituntut untuk punya ide di luar kepala? Apa menurut Mas Banyu, ide Binar ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja? "Oh, iya, okay," Binar tidak tahu harus jawab apa, ini tidak seperti yang ia ekspektasikan sebelumnya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-10
  • Menikah Jalur Orang Dalam   Kabar Gembira

    "Selamat hari jomblo sedunia!" —Jatuh pada 11 November. Asli, beneran ada. Kalau Mas sendiri, Mas Banyu bisa janji untuk enggak akan suka sama aku? Banyu mengulang pertanyaan Binar dalam kepalanya berkali-kali. Apa Binar mengerti apa yang dikatakannya barusan? Banyu ragu Binar mengerti. Apa ia tidak tahu bahwa perasaan itu tidak bisa sepenuhnya berada di bawah kontrol diri sendiri? Apa Binar tidak mengerti bahwa selalu ada probabilitas untuk segala sesuatu, sekecil apa pun itu? "Hm ... kalau untuk itu, kamu urus perasaan kamu sendiri saja, biar saya yang urus perasaan saya sendiri," jawab Banyu, sedikit dingin. Dahi Binar berkerut. Jadi, ini maksudnya bisa atau enggak? Ini, kan, pertanyaan yang butuh jawaban pasti, bukan jawaban yang abu-abu seperti ini. "Maksudnya gimana, ya?" "Ya, kayak tadi. Kita urus perasaan masing-masing saja," jawab Banyu masih tidak benar-benar menjawab. Binar mengh

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-12
  • Menikah Jalur Orang Dalam   Awas Ada Buaya

    "Punya pacar sama jomblo itu beda tipis. Punya pacar itu taken, kalau jomblo itu taken-an batin." —Netizen yang budiman. "Ngomong-ngomong, makasih, ya, karena udah mau jauh-jauh ke sini untuk mengabarkan ini ke aku," kata Binar, kini bibirnya tak bisa berhenti mengulum senyum setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dan detil dari Angga. Sampai-sampai Binar tak menyadari ia telah menghabiskan dua potong kue yang ia pesan. "Iya, santai," jawab Angga, dirinya mengambil jeda sebelum melanjutkan, "Kamu habis ini mau ke mana, Nar?" Binar mengedikkan bahu, "Entahlah, kayaknya aku mau langsung pulang untuk merevisi tulisan." "Wow, rajin sekali," Angga menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Abis ini mau nonton, enggak?" Bagaimana Binar bisa bermalas-malasan kalau hampir setiap hari Angga mengingatkan Binar untuk menyelesaikan naskahnya?! Dibanding kata 'mengingatkan', sepertinya lebih pantas disebut sebagai 'mener

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-16
  • Menikah Jalur Orang Dalam   Jangan Berharap, Binar

    "Aturan nomor satu: orang tua selalu benar. Kalau suatu hari mereka salah, balik lagi ke aturan nomor satu." —Anak yang penuh kasih sayang pada orang tuanya. "Ibu maafin kamu. Tapi, bukan berarti Ibu dan Bapak setuju dengan yang kamu bilang Minggu lalu, ya," tambah Ibu. Oh. Ya, tentu saja. Binar sudah menduganya. Kenapa ia malah sempat-sempatnya berharap? Binar menghembuskan napas dan memutar bola matanya. "Iya, Bu. Bu ... Minggu depan aku bisa ketemu Bapak dan Ibu? Aku mau ngomong sesuatu ... dan ... enggak bisa aku omongin lewat telepon," tanya Binar. "Boleh, dong. Meskipun Ibu dan Bapak masih kesal, tapi kamu tetap anak Ibu dan Bapak, kok. Memangnya ingin membicarakan apa?" "Tentang kelanjutan perjodohan kemarin, Bu. Nanti lengkapnya biar aku jelasin Minggu depan." Binar bisa merasakan Ibu menghela napasnya dari balik telepon. "Iya, nanti Ibu bilang sama Bapak. Kamu kalau ke sini bilang, ya. Biar Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-24

Bab terbaru

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Sebuah Kecelakaan

    "Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua yang terjadi berawal dari keputusan yang disadari." —Kutipan motivasi"Udah selesai, Mas?" Binar menyalakan microwave untuk memanaskan makanan instan yang biasa ia stok kalau-kalau ia sedang malas memasak. "Kita makan nasi teriyaki aja ya, Mas. Rasanya kayak bukan makanan instan, lho."Mas Banyu yang baru saja keluar dari toilet dan masuk ke dapur, hanya menyetujui apapun yang Binar siapkan. "Iya. Mas ikut kamu aja."Tunggu, kenapa Mas Banyu jadi menyebut dirinya 'Mas' lagi? Binar baru sadar sepanjang hari ini Mas Banyu menyebut dirinya dengan sebutan 'Mas'. Apakah karena status pernikahan mereka sudah legal di mata hukum?Binar mengambil nasi teriyaki instan dari microwave, lalu membawanya ke arah Mas Banyu yang tidak jauh di belakangnya. Tanpa ia sadari, kakinya tersangkut gaunnya sendiri—dan ia sempat lupa bahwa dirinya masih memakai gaun pernikahan dan belum menggantinya—yang pa

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Menikah Jalur Orang Dalam

    "Cie, udah ada ayank. Uhuk." —Teman nongkrong 'Saya nikahkan dan kawinkan Binar Jati Rahayu binti Adi Sucipto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.' Banyu terus merapalkan kalimat itu dalam hati, berkonsentrasi agar tidak terjadi kesalahan. Akad sebentar lagi akan dimulai. Keluarga dan kerabat sudah hadir di lokasi yang tidak jauh dari gedung tempat pesta pernikahan diadakan. Penghulu duduk di antara Banyu dan Om Adi yang duduk berhadapan. Hari itu akhirnya datang juga. Proses persiapan terasa begitu cepat walaupun cukup melelahkan. Banyu dan Binar memutuskan untuk menyewa gedung pernikahan yang cukup terkenal di kota. Gedungnya yang berwarna putih memiliki aksen elegan dan modern. Areanya yang cukup luas—setidaknya cukup luas untuk menampung tidak hanya kenalan Binar dan Banyu, namun juga kenalan orang tua keduanya yang terlampau banyak—memiliki dua bagian, yakni indoor dan outdoor. "Bapak, mohon lebih tenang, ya. Penguc

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Penasaran Banget, Mas?

    “Orang bertanya belum tentu bisa diartikan perhatian. Bisa jadi hanya penasaran biasa.” —Single yang tidak mudah terpengaruh oleh perasaan Suka mengatur dan suka ngambek sendiri? Wah, Mas Banyu ini benar-benar, ya. Belum menikah saja sudah mencari keributan. Apalagi nanti jika mereka sudah resmi menikah? Binar menatap lurus ke arah Mas Banyu. Matanya melotot. “Mas, mau gelut?” Alis Mas Banyu berkerut, pura-pura tidak mengerti. “Gelut? Yang mirip cacing itu?” Binar menganga. Oh, ini mas-mas bisa melucu juga, ya, ternyata?! Sontak tawa Angga meledak, tangannya menunjuk-nunjuk Mas Banyu. “HA HA HA! Bagus juga selera humor calon suami kamu, Nar!” “Mas, tolong, ya. Itu belut! Belut sama cacing apa miripnya, sih? Astaga,” Binar mendengus kesal, lalu memutar bola matanya. Mas Banyu yang kelihatannya masih belum puas menggoda Binar, berkata, “Emang enggak mirip, ya? Kan, sama-sama enggak punya k

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Apa Itu Kakaknya Teman?

    “Siapa di dunia ini yang jalan dan makan hanya berdua dengan kakaknya teman? Status macam apa itu?” —Netizen kepo Binar dan Mas Banyu terdiam, memandang satu sama lain. Situasi apa ini? Kenapa tiba-tiba Binar tidak mampu berpikir? “Ca—“ sebelum menjawab, jawaban Mas Banyu terpotong. “Kakaknya teman. He he,” potong Binar mengambil alih. “Kakaknya teman? Siapa?” tanya Angga heran, alisnya berkerut. “Itu, loh. Raka. Kamu tahu Raka, kan?” kata Binar, berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya agak tidak masuk akal juga kalau dirinya makan berdua dengan … kakaknya Raka. Angga berpikir sesaat. Kemudian membalas, “Oh, Raka yang sering banget nempel sama kamu itu, ya? Sama siapa, tuh, satu lagi yang setengah bule? Nila, ya?” “Giliran cewek cakep aja. Cepat banget ingatnya,” sindir Binar. Lalu ia melanjutkan, “Oh, iya. Dia seperempat bule, bukan setengah. Hanya ingin membenarkan. Dia juga

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Tenang, Cuma Kating

    “Segala yang dekat itu tidak selalu harus dimiliki.” —Pembelajar dari masa lalu.“Kalian, kok, bisa dekat?” tanya Banyu penasaran, berusaha menguatkan diri.Binar dan Angga menoleh ke arah satu sama lain, saling menatap, sama-sama berpikir. Hm … mulai dari mana, ya?“Kayak … biasa aja, sih, Mas. Seperti orang-orang yang dekat pada umumnya. Kita bisa dekat karena … terjadi secara natural aja,” jawab Binar mencoba memilah kata-kata, bingung antara ingin menjawab pertanyaan Mas Banyu atau mengalihkan fokus ke gurame asam manis di bawahnya.“Dari kuliah enggak, sih?” Angga menambahkan.“Iya benar,” Binar mencoba menyobek daging ayam kalasannya dengan garpu, “Pas itu kamu tiba-tiba bilang punya kenalan orang penerbitan. Kayaknya dari situ kita mulai dekat.”“Sebelumnya juga udah dekat enggak, sih?” Angga mengingat-

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Eh, Ketemu Buaya

    “Selera, selera. Emangnya Ind*mie!” —Orang yang sudah melepas masa jomlo, kepada jomlo yang sangat pemilih. Tampak seorang pria datang dari pintu masuk rumah makan. Penampilannya modis dari ujung kepala sampai kaki khas anak muda ibukota. Sepatu kets, celana khaki, kaos, jaket kulit, kacamata yang menggantung pada hidungnya yang lancip, dan rambut gondrong yang diikat ke belakang Wajahnya? Jangan ditanya. Banyu bahkan yakin kedatangan pria itu pasti sudah membuat semua wanita di restoran menoleh, berusaha mencuri-curi pandang. Pria itu terus berjalan. Semakin dekat, dan semakin dekat. Matanya terus mengarah pada meja makan yang ditempati Binar dan Banyu. Atau, lebih tepatnya, ke arah Binar. Tunggu, Banyu enggak salah lihat? “Ini Binar, kan?” sapa pria itu, berdiri tepat di samping Binar. Binar yang masih fokus menatap ponselnya, kepalanya menengadah mencari sumber suara. Binar terkejut, “

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Cincin di Jari Si Manis

    “Bukannya banyak mau, hanya mengikuti selera.” —Alasan jomlo bertahan dengan statusnya. “Kamu mau yang mana?” tanya Mas Banyu yang membuyarkan lamunan Binar. Binar menatap lekat salah satu cincin berlian di balik etalase yang menarik perhatiannya. Berliannya tidak begitu besar, juga tidak begitu kecil. Desainnya juga sederhana, tidak ada warna yang macam-macam. Pasti sangat pas jika cincin itu diselipkan pada jemarinya yang ramping. Bagus sekali. Ini tipe cincin yang Binar suka. Lalu ia melihat harga yang tertera di bawahnya, matanya serasa ingin keluar dari tengkoraknya. Lima puluh juta?! Oke, harga yang sebenarnya adalah empat puluh sembilan juta sembilan ratus ribu sekian. Tapi kalau dibulatkan tetap lima puluh juta, kan? Duit segitu bisa buat beli bakmi tiga ribu porsi lebih. Kalau sehari minimal makan satu bakmi, itu bakmi bakal abis setelah berapa tahun? Kepala Binar mulai pusing. Awalnya dia setuj

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Masakan Calon Istri

    “Kenapa, ya, lebih enak dimasakin daripada masak sendiri?” —Frequently Asked Question dari para jomlo.“Ya sudah, nanti kita cari bareng aja, ya,” Begitu jawaban Binar ketika ditanya mengenai cincin oleh Mas Banyu melalui telepon, beberapa waktu lalu.Akhir-akhir ini ia sering menerima telepon dari Mas Banyu, tentunya untuk membicarakan pernikahan. Waktunya bisa kapan saja, semaunya Mas Banyu. Karena biasanya Mas Banyu yang mulai menghubungi.Binar sampai heran, ini orang apa emang enggak ada kerjaan kali, ya? Rajin banget menelepon Binar. Enggak kehabisan pulsa, Mas?Sudah beli paket telepon, ya, Mas? Jadi sayang kalau enggak dihabisin?Bahkan kemarin Mas Banyu menelepon Binar sampai lima kali.Tetapi wajar, sih. Waktu pernikahan mereka juga semakin dekat. Apa Binar salah, ya, kalau Binar terlalu santai?Binar menekan layar ponselnya, hendak mengirim pesan ke Mas Banyu.Bina

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Waktu Berdua

    “Mencari waktu berduaan setelah punya anak itu sama susahnya dengan mencari jarum di tumpukkan jerami.” —Suami yang merindukan waktu berdua dengan sang istri.“Beb, menurut kamu aneh enggak, sih?” Nila tiba-tiba bertanya.Raka menekan tombol remot TV-nya, mencari acara yang menarik, “Aneh kenapa?”“Kok, tahu-tahu mereka setuju sama perjodohan itu, ya? Enggak tahu kenapa, aku curiga aja,” Nila berkata serius, lalu menunjuk layar TV, “Beb, ini aja acaranya seru.”“Wajar, kok. Mereka juga pasti merasa kalau di umur mereka sekarang memang sudah waktunya untuk menikah,” jawab Raka kalem, “Kamu dari tadi diam itu mikirin ini?”“Iya,” Nila mengambil jus jeruk dari meja di depannya, “Ah, masa, sih? Kamu tahu sendiri, kan, kalau Binar ini beda. Beda dalam artian segala hal. Dia bukan tipe yang iya-iya aja kalau dikasih tahu.&rdq

DMCA.com Protection Status