Imam sampai di kampus untuk menjemput Salsa. Lelaki itu membuka helem setelah menepikan motor. Mengeluarkan ponsel dari saku jaket mencoba menghubungi istrinya. Salsa ke luar gerbang universitas diikuti Albyan di sampingnya. Imam melihat dan merasa kejadian itu dejavu. Lelaki yang bersama istrinya kukuh mau mengantar pulang. "Aku cuma mau anterin kamu aja, Sa." Albyan menyentuh tangan Salsa dari atas motor besarnya. Menahan langkah gadis itu. "Gak usah, Kak." Salsa menjauhkan tangan Albyan."Yang jemput kamu juga belum datang, kan? Dari pada lama nunggu, pulang sama aku aja."Imam turun dari motor. Salsa melihatnya sudah datang melebarkan mata. Suaminya itu mendekat. Salsa menjauh dari Albyan berpindah ke sisinya. "Bisa tidak, jangan ganggu, Salsa?" Imam berbicara tegas pada Albyan. Pemuda yang memberi Salsa hadiah tempo hari. "Jauhi, Salsa." Dia menekankan ucapannya seraya menatap tajam sosoknya. "Suaminya?" "Ya." "Kenapa waktu itu lo ngaku abangnya? Malu karna istrinya jauh
Imam lekas menarik tangannya dari Anita. Melewati perempuan itu menghampiri sang istri yang tiba-tiba datang. "Waalaikumsalam. Loh, Sa, udah pulang? Kok gak minta jemput?" Imam langsung bersikap ramah. Tersenyum menyembunyikan rasa tak enak akibat kepergok dekat dengan Anita. Meski itu bukan salahnya. "Aku dianterin Rahma sama Alifa." Salsa berkata datar. Dia sengaja tidak minta dijemput, tidak ingin mengganggu suaminya. Dia meminta diturunkan sebelum bengkel, berniat memberi Imam kejutan akan kedatangannya. Tidak disangka malah melihat pemandangan tidak mengenakan.Anita bersikap biasa saja. Dia tersenyum saat Salsa memandangnya. "Baru pulang kuliah, Sa?"Salsa mengangguk. Dia melewati Imam membuka lemari pendingin minuman, mengambil satu botol teh pucuk harum. Membuka tutup cepat dan meneguknya. Melepaskan dahaga dan gerah karna suatu hal. "Kamu belum isi, ya, Sa?" Anita tiba-tiba menyentuh perut Salsa. "Belum." "Make KB?""Nggak.""Jangan make KB dulu, nanti bisa lama punya an
Sudah pukul tujuh lewat Imam belum juga menjemput. Salsa sudah bersiap-siap dan menunggu. Gadis itu tengah duduk di sofa ruang tengah. Imam mengabari sore tadi masih ada perlu. Dia akan datang sehabis magrib. Nyatanya sudah mau waktu isya belum juga ada. Salsa menghela napas. Dia mengambil ponsel dalam tas mengirim pesan lagi pada Imam [Aa Mpi udah berangkat belum?] Hanya centang dua abu-abu. Melakukan panggilan pun tidak diangkat. "Ish, di mana sih si Aa tuh?" Gadis itu menggerutu sendiri. "Mungkin lagi di jalan, Sa." Salsa melirik ibunya yang bergabung duduk, kemudian menunda tas yang tersampir di bahunya. "Apa aku bawa motor sendiri aja ke sana?" "Kamu harus tanya Imam dulu. Kalo dia mau jemput ya jangan bawa motor." "Mau nanya gimana? Di telepon juga gak diangkat." "Kalo Imam gak datang nginep aja di sini." "Ibu ... besok aku harus kuliah. Laptop, buku-buku, dan tugas ada di sana." "Yasudah, sabar dulu. Sebentar lagi pasti datang." Azan isya berkumandang dari Masjid. K
Kenapa suaminya bilang hanya teman? Kenapa Anita sering datang ke bengkelnya? Apa mungkin perempuan itu menyukai A Imam? Entah kenapa, Salsa malah memikirkan itu. "Bukannya dia punya suami?" "Sekarang, dia udah janda, Teh.""Hah! Janda?" Kalau bukan dari Wawan, Salsa tidak akan tahu Anita sebenarnya siapa. Dia mantan Imam dan sudah jadi janda. Kenapa suaminya tidak mau terus terang? "Sa, mau makan sekarang atau nanti?" Dari dapur Imam memanggil. Membuyarkan Salsa yang berdiam dari lamunan. Buku yang tengah dipegang ditutup. Dia tidak membacanya. Pandangannya hanya menerawang kosong. Salsa beranjak dari tempat tidur melihat suaminya. Suara gemercik minyak panas terdengar. Imam sedang mengoreng ayam."Emangnya udah selesai?" Lelaki itu menoleh. Tersenyum. "Tinggal yang dipenggorengan doang kok." Lalu berbalik lagi membalikkan ayam goreng.Imam mengerti Salsa yang masih takut-takut saat menggoreng ayam atau ikan. Dia rela mengambil alih tugas itu. Membiarkan istrinya untuk diam saj
Pukul sebelas lewat lima belas menit Salsa sudah pulang. Imam sengaja membawanya ke bengkel tidak langsung ke rumah. Turun dari motor gadis itu langsung ke dalam, disusul Imam. "Aa mau jum'atan dulu sama Wawan, kamu jaga di sini, ya?" "Iya." "Kalo laper atau mau beli sesuatu di sekitar sini, ambil sendiri uangnya di tas Aa." "Uang yang tadi pagi Aa kasih ke aku masih ada kok.""Gak apa-apa kalo masih ada. Kalo kurang ambil di tas Aa di belakang etalase." "Iya, Aa.""Kalo ada yang datang untuk servis atau apapun, suruh tunggu aja."Imam berbalik menghadap Wawan. "Kita jum'atan dulu, Wan." Lelaki itu berdiri menghentikan pekerjaannya. "Jadi gak tutup?""Gak usah." Mereka beres-beres peralatan untuk tidak terlalu berserak. Salsa duduk memperhatikan sambil mengotak-atik ponselnya sendiri. Dia tidak keberatan membantu Imam menunggui bengkel di hari jum'at ini. Dari pada buka-tutup ribet. Toh, hanya sebentar. "Sa, A pulang dulu, ya.""Ya." Imam dan Wawan keluar dari area bengkel. I
"Astagfirullah ... kamu bicara apa?" Salsa berdiri. Menatap menantang Imam. "Aku bicara fakta. Kamu sering melakukannya dengan Anita!" Salsa enggan menyebut 'Aa' mengganti dengan kata 'kamu' ketika marah besar. "Melakukan apa?" "Kamu dan Anita pacaran lama dan sangat dekat. Kalian sudah banyak melakukan kontak fisik." Terngiang percakapan di telepon bersama Anita di telinga Salsa. "Kami sering jalan malam. Pelukan dan ciuman adalah hal biasa kami lakukan." Anita juga mengatakan, Imam pernah menggesek-gesekkan kemaluannya pada kemaluan Anita hingga ke luar mani. Salsa langsung mematikan telepon dengan dada yang bergemuruh. "Kamu sudah banyak berzina dengannya." "Demi Allah, aku tidak pernah berzina.""Pegangan tangan, pelukan, ciuman, bersama lawan jenis bukan mahram, apa itu bukan zina? Kamu sering melakukannya dengan Anita." Imam membelalak. Dia langsung mengusap wajah gusar seraya berpaling. Aibnya di masa lalu kini diketahui. "Kamu juga menggesekkan kemaluanmu pada Anita
Salsabila Putri senang ketika pagi-pagi sudah berada di kampus. Artinya dia bisa melupakan persoalan rumah tangganya. Terlepas dari segala tugas, universitas ini bagai rumah kedua. Salsa betah dan menyukai setiap sudut tempat. Dia berjalan menikmati pemandangan sekitar. Melihat gedung fakultas dan taman yang luas. Menghirup udara segar sebelum jam pelajaran mulai. Salsa menyukai pemandangan mahasiswa yang sedang mengobrol seru dan tertawa. Lalu dia akan tersenyum sendiri karna ikut terhibur. Sungguh, seperti tanpa beban.Ada sepasang kaki lain yang tiba-tiba menemani langkahnya. Salsa menoleh. "Hai, Sa."Itu Albyan. "Ada apa Kak Al?" "Gak ada apa-apa." Jika sebelumnya Salsa langsung pamit undur diri saat di dekatinya, kali ini tidak. Terus berjalan, tidak peduli Albyan tetap bersama di sampingnya. Salsa memutuskan duduk di kursi panjang terdekat, Albyan mengikuti. Gadis itu diam. Albyan tersenyum Salsa tidak menjauhinya. Dia ingin sekali mengajak mengobrol. "Liana belum datang?
Area Time Zone di Plaza cukup ramai pengunjung. Tidak hanya anak-anak, diantaranya ada orang dewasa. Keceriaan dan rasa gemas dipertunjukkan mereka yang tengah bermain. "Kamu udah ijin kan, Sa?" Liana melemparkan bola basket ke ring tapi meleset. Dia melirik Salsa sekilas di samping. Gadis itu pun sama tengah bermain bola basket dan sedang melemparkan ke keranjang. "Udah." Salsa menjawab gemas, bola basketnya sama meleset. Pandangannya terus fokus ke depan. Dia mencobanya lagi memasukkan lebih cepat, Liana juga. Mereka berseru saat bola bisa masuk dan gemas saat meleset. Backsound yang terus mengalun di sekitar mampu membakar semangat dan menciptakan rasa bahagia tersendiri. "Gimana, seru kan, Sa?" Albyan sama sedang menikmati game basket di sisi Salsa satunya. Dia sudah banyak memasukkan bola dan dapat poin banyak. Salsa mengangguk seraya tersenyum lebar pada lelaki itu. Dialah dalang yang sudah mengajak pergi. Salsa dan Liana bisa main sepuasnya gratis. Albyan yang membelikan m