Huhm ... ternyata dah dibeliin rumah nih..
Lisa diajak masuk oleh Gandha ke dalam rumah itu. “Selamat datang di rumah,” bisiknya pada Lisa. “Mas ini … benar-benar rumah kita?” tanya Lisa lagi memastikan. “Ya, rumahmu lebih tepatnya.” Gandha berkata dengan senyuman lebar. Lisa membelalakkan matanya mendengar pernyataannya Gandha barusan. “Mas jangan bercanda.” “Aku sedang tidak bercanda. Rumah ini isinya masih seadanya, kamu bisa mengatur semuanya sesuai yang kamu sukai nanti. Kalau tidak suka bisa keluarkan saja,” ucap Gandha dengan sangat enteng. Sejujurya Lisa masih sangat terkejut dengan perubahan yang cukup drastis ini, apalagi sejak kepindahannya ke kota setelah terusir dari kampung halamannya. Gandha benar-benar berbeda, tidak seperti saat mereka di kampung. “Sebenarnya, aku ingin memperlihatkan ini nanti, setelah semua urusanmu selesai, tapi … aku tidak tega melihatmu untuk terus menderita, jadi ….” Gandha tidak meneruskan kalimatnya, hanya tersenyum sembari mengelus puncak kepala istrinya. “Mas, terima
Menyadari hal itu, tentu saja Lisa paham situasinya, dimana keduanya perlu bicara tanpa dirinya. “Bicara saja aku akan ke belakang.” Lisa berkata pada Gandha. Lisa lalu beranjak dari sofa itu dan melangkah masuk ke ruang tengah. Sayup-sayup terdengar pembicaraan keduanya. “Suasana makin kacau, tapi mereka sepertinya cukup puas karena kamu sudah dinyatakan … meninggal.” Tentu saja ucapan dari Nico sontak membuat Lisa menjadi khawatir. “Teruslah seperti itu, sekalian kamu juga tetap pantau pergerakan mereka.” Gandha berkata dengan suara tegas. “Kamu benar-benar menikah dengannya bukan karena ingin sesuatu yang–” “Bicaramu dijaga,” potong Gandha cepat. “Untuk sementara aku hanya mengawasi dulu dan hidup tenang sebagai seorang suami yang baik dari istriku.” “Jadi kali ini kamu benar-benar serius dengan wanita ini?” Pertanyaan dari Nico membuat jantung Lisa berpacu cepat, dia tidak sabar ingin mendengarkan jawaban Gandha atas pertanyaan ini. Entah kenapa, yang diucapkan Nic
Mendapati wajah Lisa yang memerah itu, Gandha malah menikmati momen itu. “Jadi, sudah dipilih mau yang mana?” tanya Gandha padanya.Lisa menggeleng. “Semuanya bagus sampai aku bingung mana yang harus aku pilih. Menurut Mas antara yang ini sama yang ini, bagus yang mana?” Lisa berkata cepat demi keluar dari situasi canggungnya.“Gabungkan saja kalau kamu bingung, nanti bilang dengan desainernya untuk menggabungkan dua elemennnya, mana tahu bisa jauh lebih bagus.” Gandha menjawab enteng.Mendengar hal itu dan juga banyak hal yang dilakukan Gandha beberapa hari terakhir membuat Lisa akhirnya meletakkan tablet itu di atas meja, menatap Gandha dengan tatapan dalam, membuat pria itu sedikit bingung.“Mas, sekarang katakan padaku, kamu sudah mengingat semuanya, kan? Mau tunggu sampai momen apa baru mau cerita denganku? Apa aku ini hanya hiburan saja untukmu?” pertanyaan Lisa ini membuat Gandha membeku sejenak. “Beberapa hari yang Mas katakan mau keluar itu mengurus semua ini?” tanya Lisa la
Namun, belum sempat mereka bicara lebih jauh lagi, ketukan pintu di kamar membuat keduanya diam, Gandha memasukkan beberapa lembar foto lama tersebut ke bawah bantal.“Masuklah,” ucap Duha. Mereka tahu saat ini jadwal Gandha untuk sarapan, karena itu Lisa masuk dan membawakan sarapan ke dalam kamar ini.“Ayah, aku akan memberinya makan. Tapi pagi ini hanya ada ini, Yasmin mengambil semua ikannya, dia bilang dia lapar.” Lisa berkata dengan mendesah ringan.“Tidak apa-apa, bantu ayah untuk mengurusnya,” ucap Duha sambil menepuk pelan pundak anaknya itu dan menemani Lisa menyuapi makan si pria gila ini sambil melihat ke arah luar jendela.Setelah Lisa selesai dengan tugasnya, Duha kembali melihat ke arah Gandha, tatapan mereka bertemu membuat Gandha akhirnya mengembuskan napas dalam. “Pak Duha maaf kalau untuk sementara saya masih terlihat seperti ini dulu.” Duha mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Nak Gandha, saya juga mencoba untuk membantumu. Saya pergi dulu.” Duha keluar dari tempat i
“Nak Gandha, saya tahu putri saya mungkin tidak setara dengan kehidupanmu, tidak pantas untuk keluargamu nantinya, tetapi saya mohon sekali saat bersamanya nanti jangan membuatnya menderita, karena sudah banyak sekali penderitaan yang dia terima selama ini,” Duha kembali memohon pada Gandha, matanya terlihat berkaca-kaca. “Bahkan sebagai kepala keluarga aku juga tidak bisa melindungi putriku sendiri,” ucapnya sambil mendongakkan wajah ke atas menahan kesedihan yang terdengar makin pilu.Gandha tidak bisa berkata-kata lagi, walaupun saat ini dia cukup tenang, karena hujan sudah mulai reda, tetapi dia merasakan bentuk tanggung jawab yang besar yang tiba-tiba saja mendarat di pundaknya.“Pak Duha, saya … saya pasti akan bertanggung jawab akan hal ini, percayakan pada saya kalau saya bisa menjaga putri anda dengan baik nantinya.” Gandha berkata dengan tegas.Ini hanya bentuk tanggung jawab, lagipula nanti kalau semuanya selesai dia bisa melepaskan wanita itu untuk mengambil pilihannya send
Setelah Gandha menunjukkan rumah mereka, dalam satu minggu Lisa sudah menempati rumah itu, tidak tanggung-tanggung Gandha juga sudah menyiapkan seorang asisten rumah tangga yang cukup bisa dipercaya.“Apa ini benar-benar nyata? Cepat sekali pengerjaannya…”Suara lirih itu ternyata cukup terdengar oleh Satria, pria berkacamata yang dikenal sebagai tangan kanan kepercayaan Gandha. Ia sedang berdiri tak jauh darinya, dan kini menoleh sambil menyunggingkan senyum kecil.“Seharusnya tidak terlalu heran, Nyonya,” sahut Satria ringan.Lisa memutar tubuhnya, menatap pria itu dengan alis sedikit terangkat. Tak biasanya seseorang bisa menangkap gumamannya yang sering ia lontarkan tanpa sadar.Satria melanjutkan, masih dengan nada santai, “Ini versi Tuan saya yang jauh lebih manusiawi. Dalam satu minggu harus selesai. Kalau Nyonya tahu kebiasaannya, dia pasti sudah keluarkan titah agar semua ini beres dalam satu malam.”Ia tertawa kecil sebelum menambahkan, “Kami bahkan menyebutnya PRJ—Proyek Ro
“Itu … tidak apa-apa kalau aku tidak boleh tahu.” Lisa berusaha untuk tidak memaksa.“Bukan-bukan, bukan begitu maksudku. Tuan Elvan itu adalah keponakan Tuan Gandha, mereka sangat dekat bahkan seperti terlihat keduanya itu bersaudara, karena jarak antara Tuan Gandha dan saudaranya terpaut cukup jauh dan hanya berbeda 5 tahun saja dari keponakannya. Dan mereka berdua adalah keturunan keluarga Wongso yang sangat cerdas hingga membuat orang-orang berusaha untuk melumpuhkan keduanya secara bersamaan.” Satria berkata dengan mendesah berat.“Apa maksudmu saat itu keponakannya yang bernama Elvan ada bersamaan saat kecelakaan yacth itu?” tanya Lisa cepat.Satria mengangguk, “Untungnya dia ditemukan oleh orang yang sedang memancing, jadi bisa selamat tapi keadaannya sekarang tidak cukup baik.” “Maksudmu?” Lisa penasaran.“Tuan Elvan merasa sangat trauma dengan kejadian itu, bahkan dia tidak keluar dari kamarnya karena merasa sangat kehilangan sekali karena dia menyangka kalau Tuang Gandha be
Di dalam tempat ini terdapat sebuah sofa kulit berwarna gelap, lalu sebuah lemari besi besar dengan kombinasi angka dan putaran di depannya. Jelas Lisa tahu kalau itu sebuah brankas besar, dia melihat ke arah Gandha yang kali ini menatapnya dengan senyuman.“Bukalah, tanggal lahirmu kombinasi pertamanya.” Gandha berkata santai membuat Lisa terperangah.“Ta-tapi ini,” ucap Lisa sedikit heran.“Lakukan saja,” tutur Gandha mempersilakan Lisa melakukannya.Dengan ragu-ragu Lisa menekan kombinasi angka itu, kemudian dia membukanya. Di dalam lemari besi itu tampak beberapa file dan juga beberapa emas batangan yang tentu nilainya tidak main-main.“Mas ini …?”“Semuanya milikmu mulai saat ini,” ucap Gandha dengan tegas.“A-apa?!” Lisa mematung. Matanya membelalak. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.“Mas… kamu—kamu nggak salah ngomong, kan?” Suaranya gemetar. Tubuhnya ikut menegang.“Maksudku…” Lisa menelan ludah. “Maksudku, mas beneran… kasih ini ke aku?” Suara terakhirnya ny
Beberapa hari berlalu, hubungan keduanya makin dekat, dan yang cukup berbeda saat ini adalah bahwa mereka sudah tidur dalam kamar yang sama. Ya, tentu saja selama ini, Gandha menghormati Lisa untuk tidak menyentuhnya sampai istrinya itu benar-benar siap, tetapi setelah kejadian waktu itu, mereka benar-benar sudah bercampur satu sama lain.“Selamat pagi, Cantik!” sapa Gandha saat melihat istrinya yang baru saja keluar dari kamar mandi.Lisa hanya tersenyum mendengarnya, Gandha selalu saja bisa membuatnya jatuh cinta setiap hari. Namun, pagi ini Gandha sudah sangat rapi dengan pakaian formalnya, hal ini membuat Lisa terkejut. Pasalnya, selama ini Gandha tidak pernah berpakaian formal seperti sekarang ini.“Mas … mau kemana?” tanya Lisa.“Ah, iya, semalam aku dihubungi oleh calon klien dari luar negeri untuk membicarakan masalah kerjasama terkait produk yang mereka sukai gagasan Pak Bastari itu. Aku mau bilang dari semalam cuma kamu sudah tidur lebih dulu." Gandha berkata santai."Oh," j
Ida terdiam saat Yasmin berteriak dengan keras.“Bu, Mas Andrian itu bilangnya ada urusan penting jadi dia cepet-cepet pergi, jadi Ibu jangan salah sangka dulu.” Yasmin membela Andrian.“Kamu yakin? Setelah semuaya tadi terjadi, kamu yakin si Andrian bicara begitu artinya dia benar-benar ada urusan?" Ida berkata dengan pelan kali ini, membuat Yasmin kembali berpikir ulang."Bisa jadi dia berusaha untuk menyelidiki semuanya. Bisa gawat kita kalo semuanya terbongkar! Apalagi uang kita akan tergerus kalau kita harus bayar pengacara.” Ida memperingatkan Yasmin/Yasmin memegang kepalanya merasa sangat frustrasi. “Ah!!!” teriaknya kesal. “Jadi, kita harus bagaimana, Bu?”“Kamu harus terus buat Andrian jangan sampai menyelidiki semuanya sendiri,” ucap Ida, suaranya kali ini jauh lebih tenang dibanding beberapa menit yang lalu. “Kamu harus tetap
Ida yang mengawasi dari jauh kejadian tadi sangat tercengang dengan apa yang dilihatnya. Dia tidak menyangka pria yang bersama dengan Lisa saat ini adalah pria gila yang dijuliki olehnya saat di kampung!"Ini tidak mungkin!" dia berdesis pelan."Bagaimana pria itu bisa menjadi seperti itu?" Ida berkata pada dirinya sendiri. Entah kenapa tiba-tiba tubuhnya mendadak bergetar.Beberapa kali dia melihat pria itu dari balik tembok dan memastikan, kalau dilihat lagi itu memang benar pria gila itu, tapi … kenapa bisa sampai seperti itu. Pun dari kejauhan dia melihat anaknya dan Andrian terlihat terlibat percakapan yang cukup serius.Lalu, detik berikutnya Gandha membawa Lisa pergi dari tempat itu ke arah mobil mewah lainnya."Apa dia benar-benar kaya?" Ida kembali tercengang dan menebak-nebak sendiri.Namun tidak ingin berlarut-larut dalam keterkejutannya ini, dia lalu melihat wanita yang bersama dengan Lisa tadi menuju ke mobil mewah tempat dimana
Di dalam mobil itu, terlihat Lisa sedang mengatur ritme napasnya, lalu setelah lebih tenang Lisa melihat ke arah Gandha yang sejak tadi pandangannya tak lepas dari istrinya sambil menopang dagu di tangannya.“Mas, kenapa Mas memukul Mas Andrian?” Pertanyaan Lisa barusan langsung membuat wajah Gandha tidak suka.“Kenapa, kamu bilang?” jelas terlihat rautan di kening pria itu.“B-bukan begitu, maksudku bagaimana kalau misalnya mereka melaporkan Mas Gandha karena kekerasan seperti yang dikatakan Yasmin tadi?" Lisa berkata dengan nada yang cukup khawatir."Di sana itu banyak kamera pengawas dan juga bisa membuat bukti untuk melaporkan hal ini. Bukankah ini akan sangat merepotkan?” Lisa menambahkan lagi karena tidak ingin Gandha salah paham
Yasmin segera menghampiri Andrian dan membantunya untuk berdiri, tetapi mereka sama-sama terpaku, tubuh mereka membeku saat mata mereka menangkap sosok pria yang berdiri dengan tatapan tajam dan postur tubuh penuh dominasi.“Jangan ikut campur kamu!” Teriak Yasmin pada Lisa dan Gandha. Hanya saja Andrian tidak banyak bicara, dia akhirnya mengenali dengan jelas siapa pria yang baru saja memukulnya ini. Ada rasa tidak percaya tapi tetap dia tahan.Lisa menyeringai, tatapannya menusuk, penuh perhitungan. “Ah, adikku sayang, apa kamu tidak mengenalinya?” katanya, nada suaranya menyentak Yasmin.Hal itu membuat Yasmin mengernyitkan keningnya."Apa sekarang suamiku sudah terlalu berbeda? Bukankah dia sudah mengatakan kalau aku ini istrinya?"Angin bertiup, membawa gelombang ketegangan yang menyesakkan. Yasmin merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, 'Apa mungkin?! Bahkan pria ini sangat jauh berbeda!'"Apa kalian lupa aku ini istri siapa?" Lisa berkata dengan nada tenang, tatapan matanya
“Nyonya?" Yasmin berkata dengan nyaris berbisik."Mbak apa kamu sudah dijual sama pria gila itu dan menjadi simpanan pria kaya?!” tanya Yasmin dengan nada pilu. “Mbak sudah Mbak, ayo kita pulang saja, aku dan ibu masih mau menerima Mbak Lisa kok, ayo Mbak kita mulai lagi dari awal dan–”“Yasmin hentikan mulut kotormu itu!" Lisa membentak dengan suara yang cukup keras."Iyam ayo kita pergi, buang-buang waktu kalau harus meladeni orang seperti itu," tambah Lisa lagi."Dan kamu Mas Andrian ….” Lisa tidak melanjutkan kalimatnya, dia menggantungnya begitu saja, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Andrian dengan tatapan yang cukup rumit.“Mas, bantu aku untuk membuat Mbak Lisa pulang dong, Aku yakin sekali pasti dia saat ini sedang dikuasai oleh pikiran buruk karena pengaruh pria gila yang menjadi suaminya itu.” Suara Yasmin terdengar sayup-sayup di telinga Lisa.Hal ini jelas membuat Iyam menjadi heran apalagi saat ini Lisa mengatur ritme napasnya untuk mengolah emosinya agar tidak
Lisa terkejut lantaran bertemu dengan Andrian di tempat ini. Pria itu menatap Lisa dengan pandangan kecewa yang terasa sangat dalam. “Ternyata benar, kamu adalah orang yang sangat jahat dengan keluargamu sendiri. Aku Kecewa padamu, Lis” Lisa mengernyitkan keningnya heran. 'Kenapa pria ini tiba-tiba berkata seperti itu?' tanya Lisa dalam hati. Akan tetapi, detik berikutnya dia membalas ucapan Andrian barusan dengan tatapan tajam, menyadari pasti semua ini berkaitan dengan Ibu dan juga saudara tirinya. Siapa lagi yang bisa memutar balikkan fakta dalam waktu singkat! Apalagi saat ini dia melihat ke sekitar kalau Ibu Ida yang mengikutinya tadi sudah tidak terlihat. “Mas,” ucap Lisa dengan suara berat dan berjalan mendekati pria itu. “Kuberikan saran padamu untuk berhenti mendengarkan sebelah, cepat atau lambat semua akan terbuka." Lisa berkata dengan suara bergetar. "Dan ... Satu hal lagi, yang ingin aku beritahukan padamu, yang seharusnya kecewa itu adalah aku. Aku benar-benar kece
Pernyataan pria itu sontak membuat Lisa terkejut."Apa yang Mas bilang barusan?" tanyanya sekali lagi, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Gandha memintanya untuk belanja apapun yang ia mau. Bagi Lisa, itu terdengar seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Bukankah hampir semua wanita menginginkan hal semacam ini?Dulu, ia pernah punya harapan yang sama. Tapi itu hanya sebatas angan yang akhirnya ia kubur dalam-dalam. Dan sekarang, Gandha—pria yang ia anggap jauh dari hal seperti ini—mengucapkannya padanya.Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?“Lanjutkan saja, Sayang," ucap Gandha dengan santai."Kata orang-orang yang kudengar, belanjamu tidak menarik kalau kamu masih melirik tag price," lanjut Gandha lagi.Hal ini tentu membuat Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria ini benar-benar ...!"Dan jangan lupa tunggu aku di sana, aku sudah di jalan untuk menjemputmu.” Setelah Gandha mengatakan hal itu, pria itu memutuskan sambungan teleponnya. Wajah Lisa ber
Beberapa saat sebelumnya, di dalam mobil.[Mas aku bertemu dengan Ibu dan Yasmin dan sepertinya mereka sedang mengikuti mobil kami, aku sudah bilang dengan Tono untuk berputar-putar dulu tidak langsung pulang ke rumah.]Pesan itu dikirim Lisa untuk Gandha. Dia tahu, suaminya sedang tenggelam dalam urusan yang pasti tidak sepele. Karena itu, Lisa memilih menahan diri—tidak ingin mengganggu dengan hal-hal kecil. Tapi sampai akhirnya dia memutuskan melangkah ke mall mewah ini pun, belum ada kabar balik dari Gandha.Beruntungnya sesaat setelah dia masuk ke dalam mall ini, ponselnya berdering, nama “Suami Gila” terpampang di layarnya. Lisa mengulas senyum lebar.“Lisa! Kamu nggak apa-apa?" Jelas terdengar suara Gandha terdengar panik saat ini."Aku tidak apa-apa-""Apa yang mereka lakukan padamu? Apa kamu terluka?" potong Gandha cepat."Aku-""Sekarang kamu di mana? Apa masih sama Iyam dan Tono?” Suara Gandha di seberang telepon terdengar panik, bertubi-tubi melemparkan pertanyaan tanpa men