Setelah mengemasi semua barang, mereka berdiri di depan pintu, di sana masih ada Pak Munir yang menunggu mereka keluar. “Ini kunci rumahnya, Pak.” Lisa berkata pada Munir menitipkan aset peninggalan ayahnya itu. Dia melihat rumah itu sekali lagi dengan perasaan yang sangat sedih, Gandha tahu itu tidak mudah untuk Lisa, dia lalu merangkul Lisa dengan memberikan kenyamanan dan perlindungan untuk istrinya. Munir menatap mereka dengan tatapan penuh keprihatinan, dia tahu kalau cerita yang merebak di kampung ini tidak seperti itu, tetapi untuk saat ini dia tidak bisa membantu banyak, karena ini jalan yang paling tepat untuk semuanya. “Pak Munir,” kata Gandha, “terima kasih atas segala bantuan dan pengertian Anda.” Munir mengangguk. “Hati-hati di jalan. Saya harap kalian bisa menemukan kedamaian di tempat baru. Jika suatu hari keadaan membaik, kalian selalu bisa kembali.” Lisa tersenyum pahit, dalam hatinya, dia sanksi apa mungkin dia bisa kembali lagi ke tempat ini? Rasanya ini s
Sementara itu, di tempat Ratmi.Ida memasang wajah sedihnya, dia membawa koper besar dan juga masih menangis sesegukan.“Dasar anak durhaka itu benar-benar sudah kelewatan! Tega-teganya dia mengusir ibunya! Walaupun kamu bukan ibu kandungnya, tapi kamu sudah menyayangi Lisa seperti anakmu sendiri, Da!” Ratmi berkata dengan sangat geram sekali.“Sudahlah Rat, aku sudah mengikhlaskan semuanya, sejak dulu dia memang kurang suka aku menikah dengan ayahnya.” Ida berkata dengan suara pilu membuat siapa saja yang mendengarnya sangat percaya pada kepiawaian bermain kata-katanya ini.“Ah, kamu tidak tahu saja, tadi saat warga mengusirnya dari rumah itu, suaminya yang gila itu tiba-tiba datang seolah dia adalah pahlawan, sayangnya dia adalah pahlawan kesiangan! Dia sok-sokan mau membela istrinya, padahal sendirinya saja sudah sangat menyedihkan!” Ratmi kembali berkata dengan nada gusar.“Benar, dia sangat sombong, tapi bisa jadi dia hanya berpura-pura saja selama ini untuk mendekati Lisa dan me
Bus yang membawa Gandha dan juga Lisa sudah sampai di pemberhentian terakhir di kota besar tujuan mereka. “Lisa, bangun.” Gandha membangunkan Lisa yang tengah tertidur pulas di sebelahnya. “Mas, kita sudah sampai, ya?” tanya Lisa dengan setengah sadar. Rasanya pusing sekali kepalanya setelah perjalanan yang cukup jauh ini. Gandha mengangguk pelan, kemudian dia membantu Lisa untuk bangkit dari tempat duduknya. “Pelan-pelan,” ucap Gandha lagi. “Mas, kita mau kemana?” tanya Lisa saat mereka sudah turun dari bus. Suaranya terdengar putus asa. Jelas dia tidak ada tujuan yang pasti setibanya di tempat ini. Gandha diam sejenak lalu melihat catatan yang diberikan oleh Pak Bastari padanya. Lisa mengamati suaminya. "Apa kita mau menemui orang ini?” tanya Lisa lagi. Terlihat Gandha menghela napas berat. “Sudah malam, kita lebih baik cari penginapan dulu saja.” “Tapi Mas, uang kita–” “Tidak usah dikhawatirkan.” Gandha memotong ucapan Lisa dan menenangkannya. "Aku tidak akan membawamu ke
Pagi itu, udara masih terasa dingin ketika Lisa bangun dengan mata yang masih berat. Namun, pandangannya langsung terkejut ketika melihat Gandha sudah berdiri rapi, siap dengan pakaian peninggalan almarhum ayahnya. Meski agak longgar di beberapa bagian dan juga terlihat kependekan karena postur tubuhnya yang cukup tinggi dari orang kebanyakan, tapi itu tampak lumayan. “Mas, kamu sudah siap?” Lisa bertanya dengan suara pelan, masih setengah mengantuk. Gandha menoleh pada Lisa yang duduk baru saja bangun dari tidurnya. “Maaf kalau aku membangunkanmu.” Lisa cepat-cepat menggeleng, rasa kantuknya mendadak hilang. “Tidak-tidak, bukan begitu, aku yang harusnya minta maaf karena sepertinya aku tidur bangunnya kesiangan. Aku akan segera mandi dan bersiap!” ucapnya sambil buru-buru melangkah ke kamar mandi. Gandha hanya tersenyum tipis, memperhatikan langkahnya yang terburu-buru. Saat itu, tatapannya beralih ke luar jendela, pandangannya tampak jauh. Sementara Lisa sibuk di kamar mandi, k
Udara pagi yang semula sejuk mulai dipenuhi oleh hiruk-pikuk kota. Deru kendaraan, klakson bersahutan, dan aroma khas jajanan kaki lima menyatu dalam alunan kehidupan yang terus bergerak. Lisa menyesuaikan langkahnya dengan Gandha, matanya sesekali melirik papan nama toko dan bangunan yang mereka lewati. Perasaan tak nyaman menyelusup, entah karena kepadatan kota atau kegelisahan yang diam-diam menyesakkan dadanya.“Mas, aku merasa kita sudah cukup dekat dengan tempatnya,” kata Lisa, suaranya lirih namun penuh harap.Gandha tak langsung menanggapi. Dia masih sibuk berbicara dengan seorang bapak tua di tepi jalan, menanyakan alamat yang mereka cari. Lisa menghembuskan napas perlahan, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, pandangannya tiba-tiba tertuju pada sebuah warung kaki lima di seberang jalan. Dan di sanalah—seperti ilusi buruk yang menyeruak dari masa lalu—dia melihat Yasmin dan Andrian.Lisa menegang. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Yasmin duduk santai, sesekali me
Mereka tiba di depan sebuah ruko servis komputer dan alat-alat elektronik. Meskipun bangunannya kecil dan sederhana, papan nama dengan tulisan "Linggo Teknologi" tampak bersih dan rapi, memberikan kesan profesional. Dari kaca jendela, terlihat beberapa rak yang penuh dengan komponen komputer, namun suasana di dalamnya sunyi, seolah-olah tempat itu menyimpan rahasia yang lebih besar dari sekadar reparasi alat elektronik.Saat mereka masuk ke tempat itu Gandha langsung bertanya pada pria paruh baya yang terlihat sibuk di depan laptopnya.“Permisi, apa saya bisa bertemu dengan Pak Linggo?” tanya Gandha padanya.Pria itu mendongak perlahan, tatapan matanya tajam seperti mata elang yang memindai mangsanya. Seketika udara di dalam ruangan terasa dingin dan tegang. Lisa yang berdiri di belakang Gandha merasakan bulu kuduknya meremang, langkah kecilnya tanpa sadar bergeser mundur, berusaha menjauh dari sorot intimidasi pria tersebut."Apa kau ingin mencari tahu sesuatu?" suara pria itu serak,
Linggo berjalan lebih dulu, disusul oleh Gandha dan Lisa mengikuti di belakang, melangkah perlahan, mata mereka berkeliling, menyerap setiap detail dari tempat itu. Aroma debu menguar dari sudut-sudut ruangan yang dipenuhi kabel berserakan, motherboard usang, dan layar komputer tua yang bertumpuk di meja-meja besi.“Maaf tempatnya sedikit kurang nyaman,” Linggo berkata, suaranya datar, seolah sudah terbiasa dengan kesan pertama yang diberikan tempat ini.Ruangan itu luas, tetapi jauh dari kata rapi. Komponen komputer berceceran di beberapa sudut, beberapa terbuka dengan kabel-kabel mencuat seperti akar yang menjalar. Di ujung ruangan, terdapat ruang khusus bersekat kaca, cukup besar untuk menampung beberapa rak server yang berdiri kokoh, lampu indikatornya berkedip pelan dalam ritme yang teratur. Sekilas, ruangan itu tampak seperti pusat kendali tersembunyi.Gandha berdiri mematung, matanya terpaku pada sekat kaca itu. Ada sesuatu yang akrab dalam setiap detailnya, sesuatu yang menari
Lisa menelan ludah. Napasnya tersendat saat matanya beralih pada Gandha, yang tetap berdiri tanpa ekspresi. Tidak ada keterkejutan di wajahnya, hanya kebimbangan yang dalam—seolah-olah kata-kata itu bukanlah kejutan melainkan sesuatu yang telah lama bersemayam di sudut pikirannya, menunggu untuk diungkapkan."Mas, apa kamu ingat?" suaranya nyaris berbisik, ragu-ragu.Lux Tech Group.Nama itu bukan sekadar nama. Itu adalah simbol kekuasaan. Perusahaan yang menguasai pasar elektronik di Indonesia selama beberapa dekade terakhir. L Tekno—merek dagang yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat. Dan baru-baru ini, perusahaan itu meluncurkan layanan internet fiber optik yang hampir menjangkau seluruh pulau besar di Indonesia.Lisa merasa perutnya mengencang. Tidak mungkin ini hanya kebetulan. Tidak mungkin."Pak Linggo, apa Bapak tidak salah?" suaranya bergetar, matanya kembali menatap Gandha yang masih diam, seakan berada dalam dunia lain.Gandha menarik napas dalam, memejamkan mata. Rah
Yasmin segera menghampiri Andrian dan membantunya untuk berdiri, tetapi mereka sama-sama terpaku, tubuh mereka membeku saat mata mereka menangkap sosok pria yang berdiri dengan tatapan tajam dan postur tubuh penuh dominasi.“Jangan ikut campur kamu!” Teriak Yasmin pada Lisa dan Gandha. Hanya saja Andrian tidak banyak bicara, dia akhirnya mengenali dengan jelas siapa pria yang baru saja memukulnya ini. Ada rasa tidak percaya tapi tetap dia tahan.Lisa menyeringai, tatapannya menusuk, penuh perhitungan. “Ah, adikku sayang, apa kamu tidak mengenalinya?” katanya, nada suaranya menyentak Yasmin.Hal itu membuat Yasmin mengernyitkan keningnya."Apa sekarang suamiku sudah terlalu berbeda? Bukankah dia sudah mengatakan kalau aku ini istrinya?"Angin bertiup, membawa gelombang ketegangan yang menyesakkan. Yasmin merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, 'Apa mungkin?! Bahkan pria ini sangat jauh berbeda!'"Apa kalian lupa aku ini istri siapa?" Lisa berkata dengan nada tenang, tatapan matanya
“Nyonya?" Yasmin berkata dengan nyaris berbisik."Mbak apa kamu sudah dijual sama pria gila itu dan menjadi simpanan pria kaya?!” tanya Yasmin dengan nada pilu. “Mbak sudah Mbak, ayo kita pulang saja, aku dan ibu masih mau menerima Mbak Lisa kok, ayo Mbak kita mulai lagi dari awal dan–”“Yasmin hentikan mulut kotormu itu!" Lisa membentak dengan suara yang cukup keras."Iyam ayo kita pergi, buang-buang waktu kalau harus meladeni orang seperti itu," tambah Lisa lagi."Dan kamu Mas Andrian ….” Lisa tidak melanjutkan kalimatnya, dia menggantungnya begitu saja, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Andrian dengan tatapan yang cukup rumit.“Mas, bantu aku untuk membuat Mbak Lisa pulang dong, Aku yakin sekali pasti dia saat ini sedang dikuasai oleh pikiran buruk karena pengaruh pria gila yang menjadi suaminya itu.” Suara Yasmin terdengar sayup-sayup di telinga Lisa.Hal ini jelas membuat Iyam menjadi heran apalagi saat ini Lisa mengatur ritme napasnya untuk mengolah emosinya agar tidak
Lisa terkejut lantaran bertemu dengan Andrian di tempat ini. Pria itu menatap Lisa dengan pandangan kecewa yang terasa sangat dalam. “Ternyata benar, kamu adalah orang yang sangat jahat dengan keluargamu sendiri. Aku Kecewa padamu, Lis” Lisa mengernyitkan keningnya heran. 'Kenapa pria ini tiba-tiba berkata seperti itu?' tanya Lisa dalam hati. Akan tetapi, detik berikutnya dia membalas ucapan Andrian barusan dengan tatapan tajam, menyadari pasti semua ini berkaitan dengan Ibu dan juga saudara tirinya. Siapa lagi yang bisa memutar balikkan fakta dalam waktu singkat! Apalagi saat ini dia melihat ke sekitar kalau Ibu Ida yang mengikutinya tadi sudah tidak terlihat. “Mas,” ucap Lisa dengan suara berat dan berjalan mendekati pria itu. “Kuberikan saran padamu untuk berhenti mendengarkan sebelah, cepat atau lambat semua akan terbuka." Lisa berkata dengan suara bergetar. "Dan ... Satu hal lagi, yang ingin aku beritahukan padamu, yang seharusnya kecewa itu adalah aku. Aku benar-benar kece
Pernyataan pria itu sontak membuat Lisa terkejut."Apa yang Mas bilang barusan?" tanyanya sekali lagi, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Gandha memintanya untuk belanja apapun yang ia mau. Bagi Lisa, itu terdengar seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Bukankah hampir semua wanita menginginkan hal semacam ini?Dulu, ia pernah punya harapan yang sama. Tapi itu hanya sebatas angan yang akhirnya ia kubur dalam-dalam. Dan sekarang, Gandha—pria yang ia anggap jauh dari hal seperti ini—mengucapkannya padanya.Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?“Lanjutkan saja, Sayang," ucap Gandha dengan santai."Kata orang-orang yang kudengar, belanjamu tidak menarik kalau kamu masih melirik tag price," lanjut Gandha lagi.Hal ini tentu membuat Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria ini benar-benar ...!"Dan jangan lupa tunggu aku di sana, aku sudah di jalan untuk menjemputmu.” Setelah Gandha mengatakan hal itu, pria itu memutuskan sambungan teleponnya. Wajah Lisa ber
Beberapa saat sebelumnya, di dalam mobil.[Mas aku bertemu dengan Ibu dan Yasmin dan sepertinya mereka sedang mengikuti mobil kami, aku sudah bilang dengan Tono untuk berputar-putar dulu tidak langsung pulang ke rumah.]Pesan itu dikirim Lisa untuk Gandha. Dia tahu, suaminya sedang tenggelam dalam urusan yang pasti tidak sepele. Karena itu, Lisa memilih menahan diri—tidak ingin mengganggu dengan hal-hal kecil. Tapi sampai akhirnya dia memutuskan melangkah ke mall mewah ini pun, belum ada kabar balik dari Gandha.Beruntungnya sesaat setelah dia masuk ke dalam mall ini, ponselnya berdering, nama “Suami Gila” terpampang di layarnya. Lisa mengulas senyum lebar.“Lisa! Kamu nggak apa-apa?" Jelas terdengar suara Gandha terdengar panik saat ini."Aku tidak apa-apa-""Apa yang mereka lakukan padamu? Apa kamu terluka?" potong Gandha cepat."Aku-""Sekarang kamu di mana? Apa masih sama Iyam dan Tono?” Suara Gandha di seberang telepon terdengar panik, bertubi-tubi melemparkan pertanyaan tanpa men
Walaupun wanita itu menggunakan pakaian yang sangat berbeda, tetap saja wajah itu tidak berubah.“Eh iya bener, Bu! Kok dia bisa keluar dari sana? Terus itu kayaknya penampilannya beda banget?” Yasmin mengerutkan keningnya."Kita harus menemuinya sekarang, kita harus tahu darimana dia punya kekuatan untuk melaporkan kita!" Ida berkata dengan nada keras.Ida lalu menarik Yasmin keluar dengan cepat dan meraih es kopi milik Yasmin yang belum sempat diminumnya. “Kita cegat dia sekarang!”Keduanya berjalan cepat hingga akhirnya Yasmin lebih dulu berdiri di depan Lisa. Seperti dugaan Yasmin dia pasti sangat terkejut melihat mereka berdua.“Y-Yasmin?!” Melihat Lisa yang seperti ini, jelas sekali Yasmin berpikir kalau Lisa akan sangat ketakutan, apalagi dia sudah berani-beraninya melaporkan mereka berdua ke polisi.Lalu Ida menyiram Lisa dengan es kopi itu, Yasmin menyeringai saat melihat Lisa sudah dalam keadaan kotor seperti saat ini, dan dia Seperti biasanya, mulai bicara untuk merendahka
Selesai menjalani pemeriksaan di kantor polisi, langkah Ida terasa limbung. Meski dia bersama dengan Yasmin dan juga pengacara, matanya terus menelisik sekeliling—seolah merasa ada yang mengikuti dari belakang. Yasmin, yang biasanya cerewet, hanya terdiam menunduk, wajahnya tegang, nyaris pucat."Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Yasmin saat mereka ada di dalam mobil setelah pulang dari pemeriksaan itu."Tentu saja Ibu harus bak-baik saja." Ida berkata dengan nada sedikit meninggi."Bu, apa yang dikatakan Pak Munir semalam benar?" tanya Yasmin lagi.Semalam, memang Ida menghubungi Munir di kampung. Pernyataan Munir sangat membuatnya terkejut, karena pria itu mengatakan kalau Gandha, pria gila yang menikahi Lisa itu, saat diusir dari kampung, caranya bicara sangat berbeda dari sebelumnya.Dia seperti orang yang normal dan terlihat sangat berwibawa, terlepas dari wajahnya yang masih berantakan dan tidak enak untuk dilihat."Apa jangan-jangan pria itu ...." Yasmin menggantung kalimatnya
Benar saja, keesokan harinya tanpa menunggu lama Andrian membawa keduanya pada seorang pengacara terkenal yang bisa membantu mereka, keduanya sangat senang dengan bantuan yang diberikan oleh Andrian. Ucapan manipulasi dari mulut keduanya memberikan keyakinan yang sangat dalam untuk Andrian. Mereka juga mengatakan kalau hal ini tidak terbukti mereka harus balik menuntut Lisa.“Benar, kami harus menuntut balik Lisa agar dia mendapatkan pelajaran dari perbuatannya ini.” Andrian berkata dengan geram.“Masalah itu, akan dilakukan bertahap, Pak Andrian, saat ini kita harus membuat rencana untuk menghadapi kasus ini terlebih dahulu.” Pengacara itu berkata dengan tenang.“Selama klien bisa memberikan keterangan yang jujur dan benar serta bisa menyangkal semuanya, saya akan pastikan kita memenangkan kasus ini. Lalu, selanjutnya baru kita ke tahap berikutnya.” Kembali pria itu menjelaskan, Andrian menganggukkan kepalanya.Sementara, Ida mengepalkan tangannya di bawah meja, karena tatapan pengac
Beberapa hari sebelumnya di kediaman Ida dan Yasmin.“Berani sekali Lisa melakukan hal ini pada kita!” Ida berkata dengan meremas surat panggilan dari kantor polisi untuk penyelidikan kasus kematian suaminya.“Apa Ibu tahu dia sekarang tinggal dimana? Kita datangi saja dia, seenaknya dia berbuat seperti ini.” Yasmin turut geram dengan hal ini, badannya yang masih pegal-pegal karena pulang dari jaga malam di rumah sakit terasa makin sakit saja.Ida meletakkan gelas dengan kasar di atas meja, nadanya penuh frustrasi. "Kita harus minta tolong sama Andrian."Ia melirik tajam ke arah Yasmin yang duduk di seberangnya. "Dia pasti punya kenalan… orang-orang yang bisa kita manfaatin buat nekan Lisa."Wajahnya mengeras, penuh amarah yang nyaris tak tertahan. "Dasar anak itu!. Dia pikir dia bisa menang lawan kita?!"Dengan kesal, Ida meneguk habis minumannya. Matanya masih menyala, seperti belum puas memuntahkan kekesalan yang sudah lama mendidih.“Aku akan hubungi Mas Adrian, Bu, tenang saja, L