Brian menarik napas panjang, berusaha meredam amarahnya agar tidak memaki Leon karena membuat wajahnya lengket.
"Mau pergi ke mana kamu?" tanya Brian karena Leon tiba-tiba berdiri.Leon berjalan dengan cepat menghampiri Aeris dan Daniel mengabaikan pertanyaan Brian karena tantenya itu sudah sangat mabuk hingga tidak menyadari jika Daniel berbuat kurang ajar."Singkirkan tangan kotormu itu darinya." Leon menahan tangan Daniel yang ingin menyentuh Aeris, kedua matanya menatap Daniel tajam."Memangnya siapa kamu?""Aku keponakannya."Daniel malah tertawa. "Kamu pikir aku percaya? Mana mungkin Aeris punya keponakan yang sudah besar seperti kamu. Sebaiknya kamu cari wanita lain karena malam ini dia milikku."Daniel menarik tubuh Aeris ke dalam dekapan, lalu mengecup pipi gadis itu singkat.Wajah Leon mengeras, rahangnya pun mengatup rapat. Leon sangat membenci lelaki hidung belang yang suka merendahkan wanita.Bugh!Leon melayangkan sebuah pukulan tepat di pipi Daniel hingga membuat lelaki itu jatuh tersungkur. Dia segera meraih tubuh Aeris dalam dekapan agar tidak ikut jatuh."Sudah aku bilang kalau dia tanteku," tandasnya terdengar dingin.Daniel mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Pipi kanannya terasa nyeri karena pukulan Leon sangat keras. Keributan yang terjadi di antara mereka berhasil menarik perhatian pengunjung kelab hingga berkumpul mengelilingi mereka."Ada apa ini? Astaga, Aeris?!" pekik Anne saat melihat Aeris tidak sadarkan diri dalam gendongan Leon."Jadi kamu yang membawa tante Aeris ke sini?"Anne melirik Leon dengan takut-takut karena keponakan Aeris itu terlihat sangat menyeramkan saat marah."Bilang ke Si Berengsek itu kalau aku memang keponakan tante Aeris."Daniel sontak menatap Anne, meminta penjelasan."Di-dia memang keponakan Aeris," ucap Anne takut-takut.Daniel tercengang mendengar ucapan Anne barusan. Ternyata Leon berkata jujur jika Aeris adalah tantenya.Leon membetulkan posisi Aeris dalam gendongannya. "Minggir!" perintahnya agar pengunjung kelab memberi jalan. Dia akan mengantar gadis itu pulang."Tante ...?" gumam Brian saat punggung Leon sudah menjauh dari pandangannya. Dia baru tahu jika Leon memiliki tante yang terlihat lebih muda darinya."Dasar merepotkan," gumam Leon sambil mendudukkan Aeris di kursi samping kemudi. Tanpa sadar dia menelan ludah saat melihat penampilan Aeris. Pantas saja Daniel ingin sekali menyeret Aeris ke ranjang karena tantenya itu terlihat sangat seksi malam ini.Leon berani bersumpah, Aeris pasti bisa membangkitkan gairah siapa pun lelaki yang melihatnya. Dia pun melepas jas yang dipakainya untuk menutupi tubuh Aeris."Papa jangan, Aeris takut. Jangan, Pa ...."Leon menatap Aeris dengan lekat. Air mata menetes dari sudut mata gadis itu. Apa Aeris sedang mimpi buruk?Entahlah, Leon tidak tahu. Lebih baik dia segera mengantar Aeris pulang."Berapa nomor kunci apartemen, Tante?" tanya Leon saat tiba di apartemen Aeris.Aeris malah memejamkan kedua matanya erat-erat karena kepalanya terasa pusing. Pikiran gadis itu mendadak kosong. Aeris lupa berapa nomor kunci apartemennya."Berapa, Tante?" desah Leon tidak sabar karena Aeris tidak kunjung menjawab pertanyaannya."Aku tidak tahu." Aeris menyingkirkan tangan Leon dari bahunya, lalu meringkuk di depan pintu seperti anak kucing.Leon mengehela napas panjang. Akhirnya dia menekan sembarang angka karena tidak tega membiarkan Aeris tidur di luar. "Satu, empat, delapan, lima."Klik.Leon tercengang karena pintu di hadapannya terbuka saat dia menekan tanggal ketika dia bertemu dengan Alea untuk pertama kalinya. Semua ini mungkin hanya kebetulan. Leon pun berjongkok, tangan kirinya terulur mengguncang bahu Aeris pelan."Tante, bangun!"Aeris malah meracau tidak jelas. Dia tidak kuat berdiri karena kepalanya semakin terasa berat.Helaan napas panjang kembali lolos dari bibie Leon. Akhirnyaa dia membantu Aeris masuk ke apartemen karena tidak mempunyai pilihan lain.Aroma apel manis seketika menyeruak di indra penciuman Leon saat memasuki apartemen Aeris yang dindingnya didominasi cat berwarna putih. Sebuah rak buku menghiasi bagian tengah ruangan, memisahkan antara ruang santai dan kamar tidur. Satu kata untuk menggambarkan apartemen Aeris. Nyaman.Aeris meringis karena perutnya tiba-tiba terasa sangat mual. Dia ingin muntah."Ugh!""Tante jangan muntah di sini!" pekik Leon panik sambil melihat ke kanan kiri mencari kamar mandi Aeris."Ugh!" Perut Aeris semakin terasa mual. Dia ingin muntah karena sudah tidak tahan lagi menahan mual di perutnya. Leon pun membekap mulut Aeris agar tidak muntah karena dia belum menemukan kamar mandi gadis itu."Tahan sebentar, Tante.""Hoek ...."Leon bergeming karena Aeris mengeluarkan semua isi di perutnya hingga membuat baju mereka kotor. Lemas. Aeris tergeletak di lantai setelah muntah.Leon lagi-lagi mendesah panjang, rasanya dia ingin sekali memaki Aeris karena sudah membuat pakaiannya kotor. Namun, dia tidak mungkin memaki Aeris karena gadis itu sedang tidak sadarkan diri.Leon pun menggendong Aeris ke kamar lalu membaringkan gadis itu dengan hati-hati di atas tempat tidurnya. Dia ingin pulang untuk membersihkan diri karena sudah membawa Aeris pulang dengan selamat. Namun, dia tiba-tiba berhenti melangkah karena menyadari jika baju Aeris kotor dan bau karena terkena muntahan. Dia tidak mungkin membiarkan Aeris tidur memakai baju kotor. Mau tidak mau dia harus melepas gaun tersebut."Tenang, Le. Apa yang kamu lakukan ini demi kebaikan tantemu." Tangan Leon terlihat gemetar saat menurunkan resleting gaun Aeris. Jantungnya pun berdetak dua kali lebih cepat. Dengan satu tarikan cepat gaun itu akhirnya terlepas dari tubuh Aeris.Rasa panas sontak menjalari wajah tampan Leon bahkan merambat hingga ke telinga. Dia cepat-cepat meraih selimut yang ada di dekatnya untuk menutupi tubuh polos Aeris lantas beranjak beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi Leon memutuskan untuk berbaring di sofa. Dia ingin beristirahat sebentar sebelum pulang sambil menunggu kemejanya kering.***"Sshh ...." Aeris meringis sambil memegangi kepalanya. Rasanya seperti ada batu seberat satu ton yang menimpa kepalanya saat pertama kali dia membuka mata. Aeris beranjak ke dapur untuk mengambil minum karena tenggorokannya terasa kering."Ah!" Aeris berteriak keras karena melihat seorang lelaki yang sedang tidur di sofanya sambil bertelanjang dada. Sedetik kemudian dia kembali berteriak saat menyadari penampilannya hanya memakai celana dalam.Leon mengerjabkan kedua mata perlahan karena mendengar teriakan Aeris yang sangat nyaring. Aeris pun segera bersembunyi di balik rak buku agar Leon tidak bisa melihatnya."
Aeris meremas ujung kemeja yang dipakainya karena gugup. Sementara Leon yang duduk di sebelahnya tampak tenang-tenang saja."Ibu sudah mengambil keputusan, kalian akan menikah Minggu depan.""Apa?! Menikah?!" Aeris sontak berdiri dari tempat duduknya dan menggebrak meja lumayan keras."Nenek tidak boleh mengambil keputusan sepihak seperti itu." Leon yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara. Bagaimana mungkin Hana menyuruhnya dan Aeris untuk menikah karena menangkap basah dirinya sedang mencium Aeris di parkiran.Apa wanita itu itu sudah kehilangan akal?"Ini demi kebaikan kalian. Coba kalau nenek tadi tidak datang tepat waktu, nenek tidak bisa membayangkan apa yang akan kalian berdua lakukan selanjutnya." Hana tersenyum penuh arti, entah apa yang wanita itu pikirkan.Leon mendesah panjang. Masa depannya bisa hancur jika harus menghabiskan sisa hidup dengan gadis abnormal seperti Aeris.Aeris melayangkan tatapan membunuh ke Leon. Hana tidak mungkin menyuruh mereka untuk menikah jika
Anne menyemburkan es kopi yang sedang diminumnya karena melihat Aeris. Untuk apa sahabatnya itu datang ke tempatnya bekerja. Apa Aeris ingin memutilasi tubuhnya? Anne tanpa sadar beringsut mundur saat Aeris mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di hadapannya. Dia takut Aeris benar-benar akan mencincang tubuhnya untuk dijadikan makanan anjing. "Aku tidak datang menemuimu, tolong jangan mutilasi aku," ucapnya takut-takut. "Aku mau kawin, hue ...," teriak Aeris lumayan keras hingga membuat karyawan di tempat Anne bekerja mengalihkan pandang ke arahnya. Anne tertawa keras mendengar ucapan Aeris barusan. "April Mop masih jauh, Aeris. Bercandamu tidak lucu sama sekali." Aeris pun menunjukan sebuah undangan berwarna biru navy dihiasi pita berwarna emas ke Anne. Di undangan tersebut tertulis jelas nama kedua calon pengantin, Aeris dan Leon. Anne tercengang melihat undangan tersebut. "Gila, dua belas Januari?! Bukankah itu tujuh hari lagi?" Aeris menyambar es kopi milik Anne lalu me
Aeris berjalan dengan gontai menuju mobilnya yang berada di parkiran. Tangannya tiba-tiba gemetar saat ingin membuka pintu karena kepalanya terasa sangat berat. Aeris pun bersandar pada mobilnya agar tidak jatuh."Kamu baik-baik saja, Aeris?"Aeris mengangkat kepala perlahan, menatap lelaki berkulit tan yang menghampirinya. "Kai?""Kamu sakit?" tanya Kai terdengar khawatir karena wajah Aeris terlihat sedikit pucat.Aeris menggeleng pelan. Dia tidak boleh sakit karena ada urusan yang harus diselesaikan dengan Leon."Apa kamu ingin pergi?"Aeris malah masuk ke dalam mobilnya begitu saja. Dia merasa malu karena Kai melihatnya berciuman dengan Leon di parkiran."Kai, apa yang—" Aeris berteriak karena Kai tiba-tiba membuka pintu mobilnya lalu menggendongnya ala brydal style. Dia sontak mengalungkan kedua lengannya di leher Kai karena takut jatuh."Turunkan aku, Kai."Kai hanya diam. Dia malah membawa Aeris menuju mobilnya lalu mendudukkan gadis itu di kursi samping kemudi. "Kamu ingin per
Hari itu akhirnya tiba, Aeris terlihat cantik memakai gaun pengantin model sabrin yang menjuntai hingga ujung kaki. Gaun pengantin model tersebut sangat cocok dipakai Aeris karena memiliki postur tubuh tidak terlalu tinggi. Sebuah mahkota yang terbuat dari perak berhias batu berlian membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Aeris meremas ujung kerudung pengantinnya karena gugup. Perutnya seperti dililit sebuah tali yang tidak terlihat. Mulas. Waktu pemberkatan sebentar lagi akan dimulai, tapi sampai sekarang Leon belum juga datang. Di mana keponakannya itu? Apa Leon kabur meninggalkannya sendirian di hari pernikahan mereka?"Kamu sudah coba menghubungi Leon, Aeris?" Hana tidak kalah panik. Sebentar lagi Aeris dan Leon harus menjalani proses pemberkatan. Namun, cucu tertuanya itu sampai sekarang belum juga datang. Dia takut Leon dan Aeris batal menikah."Sudah, Bu, tapi ponsel Leon tidak aktif," jawab Aeris lesu.Hana menggeram kesal. "Dasar anak nakal, Ibu akan menjewer te
"Kamu itu sudah menikah. Kenapa ingin ikut ibu pulang, Aeris?"Aeris memasang wajah sesedih mungkin agar Hana mengizinkannya ikut pulang ke rumah. Malam ini sang ibu sengaja memesan sebuah kamar hotel untuknya dan Leon setelah acara resepsi pernikahan mereka."Tapi, Bu ...." Aeris terus memohon.Hana menggeleng. "Kamu boleh pulang setelah memberi ibu cucu.""Ibu!" Aeris melotot. Hari ini Hana berhasil membuatnya menikah dengan Leon. Wanita tua itu sekarang malah menginginkan cucu darinya. Aeris benar-benar tidak menyangka Hana setega itu pada dirinya. Apa Hana tidak menyayanginya lagi?"Nikmati malam pertamamu, Sayang." Hana mengecup kedua pipi Aeris sekilas sebelum pergi.Aeris menutup pintu lumayan keras untuk melampiaskan kekesalan. "Ibu lama-lama bisa membuatku gila!""Tante nggak mandi?" Leon keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Butiran air menetes dari rambutnya yang sedikit basah, membasahi dada bidang dan perutnya yang kotak-kotak.
Leon mengerjabkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari masuk melalui celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Helaan napas panjang sontak keluar dari bibirnya ketika melihat seonggok manusia yang tertidur lelap di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Semalam dia memang memindahkan Aeris ke tempat tidur karena tidak tega melihat gadis itu tiba-tiba berteriak ketakutan. Leon tidak tahu kejadian buruk apa yang dialami Aeris di masa lalu. Dia hanya tahu jika Aeris anak angkat neneknya. Karena alasan itulah seluruh keluarga menyetujui pernikahan mereka. Banyak pesan masuk di ponsel Leon setelah aktif. Dua belas pesan dari Brian, tiga dari Aerin, dan satu dari Dio. Leon mengerutkan dahi, merasa heran karena adik laki-lakinya itu jarang sekali mengirim pesan. Dan tidak lama kemudian Dio menelepon.Ada perlu apa Dio meneleponnya? Apa ada hal penting yang ingin anak itu sampaikan?"Ya, Dio?" "Nenek Hana menuju ke kamar kakak. Lima menit lagi di
"Aku sengaja melakukannya agar Nenek percaya kalau kita sudah melakukan hubungan suami istri." "Sungguh?" tanya Aeris polos. "Iya." Leon mengangguk. Semoga saja Aeris percaya dengan ucapannya. "Ah, benar juga, ya. Ibu jadi percaya kalau semalam kita sudah bercinta." Leon sontak mengembuskan napas lega. Untung saja Aeris percaya dengan ucapannya. Dasar polos. *** Aeris tercengang menatap bangunan kokoh yang berdiri di hadapan. Apartemen Leon. Mulai sekarang dia akan tinggal di apartemen keponakannya itu. Aeris segera turun, lalu mengambil kopernya yang berada di bagasi. Gadis itu tampak kerepotan menyeret tiga buah koper yang berukuran lumayan besar, tapi Leon berjalan begitu saja tanpa berniat membantu. "Leon, bantuin." "Tidak mau," katanya tanpa berbalik menatap Aeris. Aeris menghentak-hentakkan kaki kesal. Entah dosa apa yang sudah dia lakukan di masa lalu hingga Tuhan memberinya suami yang sangat menyebalkan seperti Leon. "Kamu tidak berperikemanusiaan sama sekali. Dasar
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang