Leon menghabiskan waktu dengan bekerja dan bekerja. Dia semakin bersikap dingin pada siapa pun semenjak Aeris pergi meninggalkannya."Aku beri kau waktu lima menit untuk memperbaiki laporan ini. Kalau kau tidak bisa menyelesaikannya, lebih baik kau angkat kaki dari kantor ini.""Ba-baik, Pak," ucap karyawan Leon dengan takut-takut. Dia segera melaksanakan perintah Leon jika tidak ingin dipecat.Brian mengerutkan dahi melihat Leon yang akhir-akhir ini berubah seperti Medusa. Sering marah dan suka membentak karyawannya."Kamu ada masalah, Le?""Tidak," sahut Leon datar.Lipatan di kening Brian semakin bertambah. "Aku tidak pernah melihat Aeris membawakanmu bekal makan siang. Apa kalian sedang bertengkar?"Mendengar nama Aeris membuat dada Leon bergemuruh karena marah. "Jangan sebut nama wanita itu di depanku," desisnya terdengar tajam."Memangnya kenapa?" tanya Brian ingin tahu.Leon malah melengos. Dia enggan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tangga pada Brian karena
Apertemen menjadi tujuan terakhir bagi Leon. Sebenarnya dia malas sekali pulang karena tiap sudut ruang di dalam apertemennya selalu mengingatkannya dengan Aeris. Semuanya.Leon berbaring miring di atas tempat tidurnya. Aroma tubuh Aeris tidak mau hilang. Masih melekat kuat di tempat tidur mereka. Pelan air mata turun membasahi pipinya. Leon sangat merindukan Aeris."Aku sangat merindukanmu, Aeris. Tapi aku juga membencimu ...," gumamnya menahan nyeri yang begitu mengimpit di dalam dada.Leon terus menangis karena merindukan Aeris hingga tidak sadar tertidur. Padahal dia biasanya baru bisa tidur jika sudah minum obat tidur.Leon mengerjapkan kedua matanya perlahan. Rasanya seperti ada batu seberat satu ton yang menimpa kepalanya saat dia membuka mata. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya karena semalam dia lupa ganti baju dan melepas sepatunya sebelum tidur. Aeris pasti marah dan akan terus mengomel jika tahu dia tidak membersihkan diri sebelum tidur."Ah ...." Leon mengusa
Aeris terus mencoba menjalani hidup tanpa Leon. Mencoba kembali ke kehidupannya sebelum menikah dengan keponakannya itu. Tidur sendiri, makan sendiri, tinggal sendiri, apa pun sendiri, semua serba sendiri. Namun, kembali hidup sendiri ternyata tidak semudah yang Aeris bayangkan. Aeris merasa hidupnya tidak lagi berwarna, begitu kosong, dan hampa. Udara yang dia hirup pun tidak lagi terasa segar. Dadanya sesak. Dia merasa begitu tersiksa hidup sendiri tanpa Leon. Aeris membuka jendela kamarnya lebar-lebar. Aroma tanah basah seketika menyeruak di indra penciumannya karena semalam turun hujan. Rumput-rumput terlihat basah karena embun. Matahari masih enggan menampakkan diri karena sinarnya terhalangi awan mendung. Semendung wajah Aeris sekarang. Kesedihan tergambar jelas di wajah cantiknya. Kebahagiaan Aeris seolah-olah lenyap setelah berpisah dari Leon. Aeris sangat merindukan Leon. Dia tidak sanggup hidup sendiri tanpa lelaki itu. Namun, dia malah menghancurkan rumah tangganya sendiri
Leon benar-benar tidak peduli lagi dengan Aeris meskipun Hana sudah ratusan, bahkan ribuan kali membujuknya untuk mencari wanita itu karena dia sudah terlanjur kecewa dan percaya dengan surat yang Aeris tinggalkan untuknya.Leon tidak akan menahan Aeris agar tetap berada di sisinya jika wanita itu merasa tidak bahagia hidup bersama dirinya. Jika dengan berpisah membuat Aeris bahagia, maka dia akan menuruti keinginan wanita itu untuk berpisah.Anne pun tidak kalah pusing dengan Hana. Wanita yang sedang dekat dengan Sean itu benar-benar terkejut karena Aeris tiba-tiba ingin berpisah dari Leon. Bahkan proses perceraian mereka tinggal menunggu keputusan hakim. Anne merasa sangat bersalah karena akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama Sean hingga kurang memperhatikan Aeris. "Aku pikir pernikahan mereka selama ini baik-baik saja, Sean." Anne menarik rambutnya kuat-kuat. Dia tidak percaya jika Aeris merasa tidak bahagia hidup bersama Leon. Sean mengembuskan napas panjang. D
Kening Kai berkerut dalam karena Alea banyak berubah semenjak kembali ke rumah. Meskipun emosinya sudah jauh lebih tenang, tapi Alea justru terlihat semakin aneh. Apa lagi penampilannya sekarang mirip sekali dengan Aeris. Semoga saja Alea tidak merencanakan hal yang berbahaya lagi."Alea hanya ingin tampil beda. Apa Alea salah?"Kai mendesah panjang. "Tidak ada yang salah kalau kamu ingin mengubah penampilan. Hanya saja ... penampilanmu sekarang mirip dengan Aeris."Wajah Alea mengeras, rahangnya pun mengatup rapat. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Aeris, Aeris, dan Aeris. Selalu saja Aeris. Alea benar-benar muak karena perhatian semua orang tertuju pada wanita bodoh itu. Apa salah jika dia mengubah sedikit penampilan untuk menarik perhatian Leon?"Perlu Kak Kai tahu, Alea tidak pernah meniru kak Aeris," sahut Alea terdengar dingin."Tapi, Alea—""Sudahlah, Alea mau pergi dulu." "Baiklah, hati-hati." Kai memerhatikan punggung Alea yang terlihat semakin menjauh. Kemudia
Leon pun memesan menu yang sama untuk Alea. Mereka saling bicara sambil menunggu pesanan datang. Namun, Alea terlihat lebih banyak bicara dari pada Leon. Gadis itu menceritakan kehidupannya sebagai seorang pianis terkenal. Leon hanya menanggapi sesekali, itu pun kalau dia ingin."Selamat menikmati makanan di resto kami."Leon mengerutkan dahi, lagi-lagi suara itu terdengar tidak asing di telinganya."Aeris, kangen. Bagaimana kabarmu?" Meeta tiba-tiba memeluk Alea dengan erat. Darah di dalam tubuh Alea seketika mendidih. Dia tidak suka jika Meeta menganggapnya sebagai Aeris. Dia pun segera melepaskan diri dari dekapan wanita berambut pirang itu."Maaf, sepertinya Anda salah orang," ucapnya terdengar ketus.Meeta memperhatikan Alea dari atas sampai bawah. Gadis yang duduk di hadapannya benar-benar mirip dengan Aeris. Dia pikir Leon datang bersama Aeris, tapi ternyata bersama gadis lain. Meeta pun beralih menatap Leon, bermaksud meminta penjelasan, tapi Leon malah asyik menikmati makana
Masih ada waktu enam hari sebelum sidang putusan cerai Aeris dan Leon digelar. Leon terus meyakinkan diri jika dia masih memiliki banyak waktu untuk mencari Aeris. Leon merasa sangat kecewa karena Aeris pergi meninggalkannya begitu saja, tapi dia merasa lebih kecewa pada diri sendirinya.Seharusnya Aeris memberi tahu dirinya kalau sedang hamil. Seharusnya sejak awal dia menuruti perintah Hana untuk mencari Aeris. Seharusnya ....Stop! Leon tidak ingin berandai-andai lagi. Tidak ada gunanya dia menyesali semuanya. Lebih baik dia segera mencari Aeris dan meminta wanita itu untuk tinggal lagi di sisinya.Meski terlambat, Hana merasa sangat besyukur karena Leon akhirnya mau mencari Aeris. Apa lagi Leon mengatakan jika Aeris sedang mengandung. Anne pun turut senang mendengarnya, tapi dia masih kesal karena Leon baru mencari Aeris sekarang."Kalau sampai terjadi sesuatu dengan Aeris. Kau orang kedua yang akan aku bunuh setelah Alea, Leon!" ancam Anne terdengar serius.Leon malah memutar bo
Alea mendengkus kesal lantas berbalik menatap lelaki yang berdiri tepat di belakangnya dengan malas. "Siapa yang membuat keributan, aku hanya ingin mengantar bekal makan siang untuk Leon."Brian mengembuskan napas panjang. "Berhentilah mengirim bekal makan siang karena Leon tidak pernah memakan makanan buatanmu, Alea."Kata-kata yang keluar dari mulut Brian terdengar sangat pedas dan menohok perasaan Alea karena Leon selama ini memang tidak pernah memakan bekal dari gadis itu."Aku tidak peduli. Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan hati Leon lagi." "Berhentilah, Alea. Aku kasihan padamu, Leon tidak akan pernah kembali lagi bersamamu karena dia sangat mencintai Aeris.""Bohong!" bantah Alea. "Sebentar lagi kak Aeris dan Leon akan segera bercerai. Aku yakin setelah ini Leon akan kembali ke pelukanku."Brian malah menyeringai. "Kamu terlalu percaya diri, Alea. Apa kamu tahu kenapa Leon sekarang rela meninggalkan pekerjaannya?"Alea tanpa sadar menggelengkan kepala. Setahu dia, Leon
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang