Alea mendengkus kesal lantas berbalik menatap lelaki yang berdiri tepat di belakangnya dengan malas. "Siapa yang membuat keributan, aku hanya ingin mengantar bekal makan siang untuk Leon."Brian mengembuskan napas panjang. "Berhentilah mengirim bekal makan siang karena Leon tidak pernah memakan makanan buatanmu, Alea."Kata-kata yang keluar dari mulut Brian terdengar sangat pedas dan menohok perasaan Alea karena Leon selama ini memang tidak pernah memakan bekal dari gadis itu."Aku tidak peduli. Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan hati Leon lagi." "Berhentilah, Alea. Aku kasihan padamu, Leon tidak akan pernah kembali lagi bersamamu karena dia sangat mencintai Aeris.""Bohong!" bantah Alea. "Sebentar lagi kak Aeris dan Leon akan segera bercerai. Aku yakin setelah ini Leon akan kembali ke pelukanku."Brian malah menyeringai. "Kamu terlalu percaya diri, Alea. Apa kamu tahu kenapa Leon sekarang rela meninggalkan pekerjaannya?"Alea tanpa sadar menggelengkan kepala. Setahu dia, Leon
Leon mengembuskan napas panjang. Harus ke mana lagi dia mencari Aeris? Leon merasa sangat lelah, bahkan nyaris menyerah. Namun, bayangan Aeris yang ketakutan dan hidup sendirian di luar sana kembali melintas di pikirannya. Sejak kecil Aeris sudah sangat menderita karena sering mendapat perlakuan kasar dari Kris. Sekarang, sudah waktunya bagi dirinya untuk membahagiakan Aeris sesuai dengan janji yang telah dia ucapakan di hadapan Tuhan, pada Hana, pun pada dirinya sendiri. "Aku tidak boleh menyerah." Leon seolah-olah mendapat kekuatan besar untuk mencari Aeris lagi.Dia menghentikan mobilnya karena lampu tepat menyala merah. Para pedagang asongan segera mendekati beberapa mobil yang berhenti untuk menawarkan dagangan mereka, termasuk mobilnya. Anak-anak jalanan pun mulai memainkan alat musik sederhana yang mereka bawa. Penampilan mereka terlihat begitu kusam dan kotor. Seharusnya, anak seusia mereka sedang memperhatikan guru yang sedang menyampaikan materi pelajaran di kelas. Namun, m
Aeris mengusap sudut matanya yang berair setelah melihat foto USG kandungannya. Dua kacang kecilnya tumbuh sehat di dalam rahimnya. Aeris begitu terharu karena dia sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Dia akan berusaha menjaga kacang kecilnya dengan baik sampai lahir ke dunia.Setelah memeriksakan kandungan, Aeris mampir ke minimarket untuk membeli susu khusus ibu hamil dan kebutuhan dapur yang lain. Aeris biasanya selalu membeli susu rasa vanila, tapi entah kenapa dia sekarang melilih susu rasa pisang. Mungkin calon buah hatinya sedang ingin minum susu favorit ayahnya. "Ah ...." Aeris mendesah panjang karena lagi-lagi memikirkan Leon. Dia harus membiasakan diri hidup tanpa Leon mulai sekarang. Dia harus bisa.Ponsel Aeris yang berada di dalam tas tiba-tiba sjaa bergetar saat dia sedang asyik memilih buah. Aeris pun segera mengambil ponselnya.Senyum tipis menghiasi bibirnya ketika melihat pesan dari Alea.Aeris hanya memberi tahu nomor ponsel yang baru dan tempat tinggalnya yang
Aeris meringis sambil memegangi perut bagian bawahnya yang terasa sangat sakit. Cairan anyir berwarna merah kental keluar dari tubuh bagian bawahnya, menggenang mengotori lantai. Aeris ingin memanggil Leon agar berhenti memarahi Alea, tapi perut bagian bawahnya semakin terasa sakit. Aeris takut terjadi sesuatu yang buruk pada kedua kacang kecilnya.'Tuhan, selamatkan bayiku.'Leon begitu terkejut melihat darah yang merembes di kaki Aeris. Wajah Aeris terlihat sangat pucat, keringat dingin pun keluar membasahi tubuhnya."Bangsat! Aku bersumpah akan membunuhmu jika terjadi sesuatu pada Aeris dan calon buah hati kami, Alea!" Leon mendorong Alea dengan cukup keras hingga mundur beberapa langkah.Wajah Alea pun tidak kalah pucat.Buah hati kami? Apa Aeris sedang hamil? Anak Leon?"Bertahanlah, Sayang. Aku akan membawamu ke rumah sakit." Leon meletakkan kedua tangannya di antara punggung dan lutut Aeris."Erngh ...." Aeris kembali merintih. "Le-Leon, sakit.""Bertahanlah, Sayang ...." Air m
Bunyi berisik yang berasal dari dapur memaksa Leon untuk membuka mata. Dia meraba-raba samping tempat tidur dengan wajah mengantuk. Aeris sudah tidak ada di sampingnya. Istrinya itu pasti sedang sibuk memasak di dapur sekarang.Leon tidak pernah menyangka keajaiban itu nyata dan benar adanya. Beberapa bulan yang lalu dia nyaris kehilangan Aeris untuk selama-lamanya. Namun, Aeris ternyata wanita yang benar-benar kuat. Dia berjuang sangat keras agar tetap hidup demi mempertahankan buah hatinya.Leon pun beranjak lantas bersandar di daun pintu dapur sambil memperhatikan Aeris yang sedang membuat omelete sambil bersenandung kecil. Rambut hitam Aeris diikat asal, menyisakan beberapa helai anak rambut yang menutupi leher jenjangnya. Perut yang sudah besar tidak menyulitkan Aeris untuk menyiapkan sarapan. Padahal dia sudah berulang kali melarang Aeris memasak, apa lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, Aeris sangat keras kepala. Istrinya itu selalu saja membantah perintahnya.Sepasang tang
Alea mengangkat kepala perlahan, menatap seorang wanita yang sedang tersenyum hangat kepada dirinya. Entah kenapa senyum wanita itu begitu melukai hatinya. Rasanya seperti ada pisau tumpul yang menyayat hatinya, sakit karena penyesalan yang begitu dalam."Hari ini kakak masak kari ayam dan sambal goreng tempe, semoga kamu suka, ya?" Aeris sering datang mejenguk Alea dan membawa makanan. Namun, Alea selalu menolak makanan yang dia bawa, bahkan tidak mau menanggapi ucapannya.Aela tertegun, di antara semua orang yang pergi menjauh hanya Aeris satu-satunya yang masih peduli pada dirinya. Padahal dia sudah menyakiti Aeris begitu dalam, bahkan pernah menyuruh Aeris untuk pergi meninggalkan Leon. Ternyata Aeris bukan wanita bodoh seperti yang dia pikirkan. Aeris wanita yang amat sangat baik. Dia bahkan rela menghancurkan kebahagiaanya sendiri demi kebahagian orang lain. Terbuat dari apa hati Aeris sebenarnya?"Hari ini papa pergi ke kantor seperti biasa, mama Azura selalu sibuk dengan teman
Tidak ada hal lain yang bisa membuat Leon bahagia selain memiliki pendamping hidup wanita sebaik Aeris. Sekarang, wajah Aerislah yang akan selalu dia lihat saat pertama kali membuka mata, pun sebelum tidur. Tidak ada hal lain yang lebih membahagiakan bagi Leon dari pada hal itu. Apa lagi si kembar akan lahir ke dunia. Tangis mereka akan menambah ramai suasana keluarga kecilnya.Leon mengerjabkan kedua matanya perlahan karena sinar matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Aeris masih tertidur lelap di sampingnya. Wajah istrinya itu terlihat sangat menggemaskan dan polos saat tidur.Aeris biasanya sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka di dapur sekarang. Akan tetapi wanita itu malah masih tidur. Aeris mungkin lelah karena kandungannya yang sudah semakin membesar. Leon pun jadi tidak tega untuk membangunkannya.Leon mengecup kening Aeris sekilas sebelum turun dari atas tempat tidur. Dia turun dengan hati-hati karena takut membangun
Ada sekitar dua puluh wanita yang sedang antre memeriksakan kandungan seperti Aeris. Beruntung Aeris mendapat nomor awal sehingga dia tidak perlu menunggu terlalu lama agar bisa pulang lebih cepat.Aeris pun memberi tahu Leon kalau dia sudah selesai memeriksa kandungan. Beruntung Leon baru saja selesai rapat. Dia menanyakan bagaimana perkembangan si kembar dan segera meluncur ke rumah sakit untuk menjemput Aeris sesuai janjinya.Aeris menunggu Leon di tempat pengambilan obat sambil melihat potret si kembar yang masih berada di dalam kandungan. Aeris dan Leon sebenarnya sudah bisa mengetahui jenis kelamin calon buah hati mereka. Namun, mereka sengaja tidak bertanya ke dokter karena bagi mereka anak laki-laki atau pun perempuan sama saja. Aeris dan Leon ingin buah hati mereka sehat dan lahir ke dunia dengan selamat tanpa kekurangan suatu apa pun.Seorang lelaki yang memakai kemeja hitam dan celana bahan berwarna senada tiba-tiba duduk di samping Aeris. Lelaki itu tersenyum ketika meliha
Seorang dokter dan empat orang perawat akan membantu proses persalinan Aeris. Mereka semua perempuan karena Leon tidak ingin Aeris ditangani oleh dokter maupun perawat laki-laki. Dia memang possesive."Tarik napas panjang Sayang, embuskan." Leon berusaha menenangkan Aeris meskipun dia sendiri juga panik karena sebentar lagi Leon junior akan lahir ke dunia."Kenapa kamu membuatku hamil, Leon? Aduh, rasanya sakit sekali!" Aeris menarik rambut Leon kuat-kuat hingga membuat Leon meringis kesakitan."Aduh, Sayang, sakit!"Aeris terus mengaduh kesakitan. Perutnya seperti akan terbelah karena suatu di dalam sana berusaha merangkak keluar. Sepasang bayi kembar, kacang kecilnya.Aeris tanpa sadar meremas tangan Leon semakin erat karena perutnya benar-benar terasa sakit."Aduh, Sayang, sakit. Jangan meremas tanganku terlalu kuat!"Aeris tidak peduli Leon meringis kesakitan karena perutnya benar-benar sakit."Tarik napas panjang dan keluarkan perlahan-lahan."Aeris pun mengikuti perintah dokter.
Leon tersenyum tipis. Sangat tipis dan nyaris tidak terlihat. Penyesalan, rasa bersalah, juga rindu yang teramat dalam terpancar jelas dari kedua sorot matanya saat menatap Aeris."Pizza pesanan Anda sudah datang, Nona."Aeris menepis pizza di tangan Leon dengan kasar lantas melemparkan diri dalam dekapan lelaki itu. Tangis Aeris seketika pecah. Dia sangat mencintai Leon dan tidak ingin berpisah dengan lelaki itu."Aku tidak ingin berpisah denganmu, Leon. Aku mohon, jangan pernah ceraikan aku," gumam Aeris dengan suara gemetar.Leon menarik napas panjang. Hatinya begitu sakit melihat air mata yang membasahi pipi Aeris. Leon merasa sangat menyesal sudah menyakiti Aeris dan membuat wanita yang dia cintai itu menangis."Aku takut sekali karena kamu tiba-tiba tidak peduli dan bersikap dingin lagi kepadaku, Leon. Aku nyaris gila karena memikirkan nasib pernikahan dan buah hati kita. Aku takut kamu akan menceraikanku ....""Maaf," ucap Leon sambil mengecup puncak kepala Aeris berkali-kali.
Leon menghela napas panjang. "Aku pikir pernikahanku dan tante Aeris akan berjalan baik-baik saja dan berakhir bahagia sampai maut memisahkan kami berdua. Tapi kenyataannya tidak, tante Aeris ternyata mencintai lelaki lain."Meeta terhenyak medengar ucapan Leon barusan. "Aeris tidak mungkin mencintai lelaki lain, Leon. Sebagai sesama perempuan aku bisa melihat dengan jelas kalau Aeris sangat mencintai kamu."Leon mengangkat kedua bahunya ke atas, kesedihan dan kekecewaan terpancar jelas dari kedua sorot matanya. "Terserah kalau kamu tidak percaya. Tapi aku lihat dengan mata kepalaku sendiri kalau tante Aeris sedang berpelukan mesra dengan lelaki lain.""Memangnya kamu tahu siapa lelaki yang dicintai Aeris?"Leon mengangguk."Siapa?" tanya Meeta ingin tahu."Aku malas menyebut namanya. Terima kasih banyak sudah mau mengobati lukaku, Meeta."Meeta mengangguk. "Sama-sama. Sebaiknya selesaikan masalahmu dengan Aeris baik-baik. Aku harap kalian tidak akan pernah berpisah."Leon mengangguk
Aerin hanya bisa diam melihat Setya yang memukul Leon karena dia juga kecewa dengan keputusan putra sulungnya itu.Leon mendesis sambil mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Rasanya sangat perih bercampur dengan ngilu. Rahangnya pun seolah-olah patah karena pukulan Setya sangat keras. "Untuk anak, Papa tenang saja. Leon akan tetap tanggung jawab."Rahang Setya semakin mengeras. "Anak bodoh! Tolol! Pernikahan itu bukan main-main, Leon!""Leon tidak pernah mempermainkan pernikahan, tapi tante Aeris yang telah mempermainkan perasaan Leon. Ugh...!" Leon memegangi perutnya karena Setya tiba-tiba menendangnya dengan cukup keras."Anak bodoh! Selama dua puluh lima tahun menikah papa selalu berusaha membuat mamamu jangan sampai meneteskan air mata, tapi kamu malah tega membuat Aeris menangis. Di mana hatimu, Leon?""Hati Leon sudah lama mati.""Leon!" Setya menghajar Leon tanpa ampun untuk melampiaskan amarah sekaligus kekecewaannya. Leon tidak bisa melawan karena sang ayah
Hana berjalan cepat menghampiri Leon dan menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat cucu kesayangannya itu berjingkat kaget. Kedua mata Hana menatap Leon tajam, dadanya naik turun menahan emosi yang siap untuk meledak."Kenapa Nenek datang ke kantor Leon?" tanya Leon berusaha tetap tenang."Kenapa kamu ingin menceraikan Aeris, Leon? Apa kamu sudah kehilangan akal?"Leon tanpa sadar menelan ludah, terkejut karena Hana tahu kalau dia ingin menceraikan Aeris. "Da-dari mana Nenek tahu?""Aeris sudah menceritakan semuanya sama nenek. Kamu itu sudah dewasa, Leon. Masalah itu harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik-baik. Jangan malah lari seperti seorang pengecut."Leon mengembuskan napas kasar sebelum bicara. "Untuk apa Leon mempertahankan pernikahan ini kalau tante Aeris tidak sungguh-sungguh mencintai Leon, Nek?"Mulut Hana sontak menganga lebar. "Kamu benar-benar bodoh, Leon. Aeris itu cinta mati sama kamu. Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu?"Leon malah mendengkus. "Nene
"Sshh ...." Aeris memegangi kepalanya yang terasa berdenyut lalu menarik napas dalam-dalam karena perutnya tiba-tiba saja terasa kram. Semoga kacang kecilnya baik-baik saja.Aeris kembali menarik napas panjang, tapi rasa sakit di perutnya tidak mau hilang. Sakitnya malah semakin menjadi-jadi. Dia pun meraih ponselnya yang ada di atas meja karena ingin menghubungi Leon.Namun, nomor Leon lagi-lagi tidak aktif. Aeris pun beranjak ke kamar karena ingin beristirahat, akan tetapi dia tidak sanggup berdiri karena kedua kakinya terasa sangat lemas. Aeris ingin meminta tolong pada Bik Ijah, tapi dia lupa kalau asisten rumah tangganya itu sedang izin pulang kampung. Aeria benar-benar sendirian di rumah.Aeris ingin meminta tolong pada Anne, tapi dia tidak jadi melakukannya karena sahabatnya itu pasti lelah setelah mengurus butik sendirian. Aeris tidak mungkin minta tolong Sean karena cowok itu sedang fokus belajar untuk mengukuti ujian.Aeris merintih karena perutnya semakin terasa sakit. Dia
Tangis Aeris seketika pecah. Mimpi buruk yang dia jalani di awal pernikahannya dan Leon kembali terulang. Namun, mimpi buruknya kali ini terasa lebih menyakitkan karena ada nyawa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.Kenapa Tuhan kembali memberi ujian saat dia baru saja meneguk manisnya pernikahan bersama Leon?Kenapa?"Tuhan, tolong selamatkan pernikahanku," gumamnya terdengar pilu.***Tidak ada satu orang pun yang tahu jika ada badai yang menerpa rumah tangga Aeris dan Leon. Pernikahan mereka seolah-olah terlihat baik-baik saja dan tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Aeris benar-benar menyimpan masalahnya dengan rapat. Dia memendam rasa sakit itu sendirian karena tidak ingin membuat orang-orang di sekitarnya khawatir.Namun, pertahanan seketika Aeris hancur karena menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas meja kerja Leon. Rasanya seperti ada sesuatu yang menghantam dadanya dengan sangat kuat hingga membuatnya kesulitan bernapas. Dadanya sesak.Tubuh Aeris
Aeris mengerjapkan kedua matanya perlahan karena Leon menepuk lengannya pelan. "Maaf, aku ketiduran. Apa kamu baru pulang?" tanyanya dengan wajah mengantuk.Leon mengangguk."Kamu sudah makan belum? Kalau belum kita makan bersama, ya?""Aku tadi sudah makan bersama klien," ucap Leon tanpa merasa bersalah sedikit pun.Wajah Aeris seketika berubah sendu. Padahal dia sudah menunggu Leon hingga ketiduran di meja makan agar mereka bisa makan malam bersama, tapi Leon malah makan di luar bersama klien."Kamu mau mandi? Mau aku siapin air hangat, ya?"Leon menggeleng pelan. "Tidak perlu," jawabnya sambil berjalan ke kamar, meninggalkan Aeris sendirian di meja makan.Aeris menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat untuk menahan air mata yang mendesak ingin keluar. Entah kenapa Aeris merasa kalau Leon bersikap dingin lagi pada dirinya. Apa dia telah berbuat salah?Aeris tanpa sadar menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran buruknya barusan. Leon tidak mungkin bersikap dingin lagi pada dirinya
Brian terkejut karena Leon tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu dengan cukup keras. Padahal Leon tadi mengatakan ingin menjemput Aeris di rumah sakit sekalian pulang dan tidak akan kembali ke kantor.Brian pun berdiri lantas menghampiri Leon yang sedang membolak-balik berkas di tangan dengan kasar. Napas Leon terdengar tidak beraturan, menahan cemburu dan amarah yang sudah berkumpul di dalam dadanya"Kau tadi bilang mau ngabisin waktu berdua dengan Aeris di rumah. Kenapa kamu malah balik ke kantor, Leon?""Ingin saja," jawab Leon malas.Brian memperhatikan Leon dengan lekat, sepertinya suasana hati sahabatnya itu sedang tidak baik. "Apa kau bertengkar dengan Aeris?"Leon menggeleng pelan."Lalu?"Leon mengempaskan punggung ke kursi lalu memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa penat. Sepenat hatinya sekarang. "Aku tadi lihat Aeris pelukan sama Kai," ucapnya lirih.Mulut Brian sontak menganga lebar. "A-apa?! Kai?!" Calon kakak ipar? Imbuhnya dalam hati.Leon mengang