Alara punya pikiran yang lebih buruk dari bayangannya. Entah bisa disamakan dengan overthinking atau tidak tapi menurut dirinya sendiri itu menakutkan.Pagi ini, Alara iseng berbelanja di kompleks perumahan. Yang tidak biasanya Alara lakukan namun karena ingin sedikit mengenal lingkungan di mana dirinya tinggal dan berjalan-jalan sebentar.Dokter kandungannya selalu berpesan untuk sesekali berjalan kaki. Itu baik untuk kelancaran persalinannya nanti."Tapi itu serius ya, Bu?" tanya si Ibu berbaju kuning. Keponya maksimal."Jadi ceritanya dulu sebelum pindah ke sini, Bapaknya itu tukang mabuk. Tiap mabuk datanglah semua teman-temannya ke rumahnya. Saya tuh mikir, kenapa itu bocah ada di dalam rumah. Kenapa nggak pergi dulu." Si Ibu berambut cepol antara semangat dan kasihan.Wajahnya berekspresi unik yang Alara sendiri tidak bisa menebaknya. Apakah bahagia, kasihan, atau memang obrolan semacam ini sudah jadi konsumsi publik bagi Ibu-ibu rumah tangga yang ditinggal suaminya bekerja.Mes
Namanya Nora Bachtiar, mantan istri Bachtiar Gema yang tiba-tiba muncul di kantor membuat Alara yang siang itu sedang berkunjung terperanjat kaget.Senyum Nora manis dan tubuhnya yang proporsional menjadi pendukung sehingga Alara minder saat diajak bersalaman. Juga tas ungu berisi peralatan makan membuat Alara ingin mengubur dirinya di rawa-rawa.Hubungan keduanya bukan yang baik-baik saja namun ini di depan publik di mana sejuta pasang mata memperhatikan interaksi keduanya. Akting Nora terbilang bagus karena dia aktris. Bisa menguasai mimik wajah dan mencairkan suasana canggung yang tercipta. Lain halnya dengan Alara yang untuk tersenyum saja wajahnya kaku maksimal."Apa kabar?" Basa-basi Nora bisa diacungi jempol. "Lama nggak ketemu."Seakan-akan mereka sudah berteman bertahun-tahun lamanya dan baru bertemu hari ini. Lawak, tapi ini memang adanya begini."Baik, Mbak gimana?" Alara juga tak mau kalah basinya. Tatapan pasang mata di bilik kerja menjadi sangat penasaran saat Alara ters
Kabar duka itu datang.Di subuh yang dingin saat semua kelopak mata masih terpejam. Guyuran hujan semalam yang menjatuhi bumi Jakarta membuat mata-mata kian terlelap. Termasuk Alara Senja yang masih terbuai mimpi.Terbangun karena getaran ponselnya, Alara raih masih dengan mata yang terpejam."Halo."Tidak ada sahutan dari seberang. Membuat kening Alara mengerut dan segera bangun terduduk. Menyingkirkan lengan kekar Gema yang melingkari perutnya."Halo."Sekali lagi Alara bersuara dan belum ada tanda-tanda mendapat jawaban. Saluran teleponnya masih tersambung saat Alara jauhkan dari telinganya lalu menempelkannya lagi.Hendak menyapa namun urung saat suara dengan isakan pilu berkata, "Wawak nggak ada."Alara belum paham, belum mengerti apa maksudnya dengan kalimat 'Wawak nggak ada'. Nggak ada karena pergi dari rumah atau mengunjungi anaknya yang lain yang berada di kota orang."Meninggal, tadi jam 2 dini hari di rumah sakit Permata."Isakannya semakin terdengar sampai Alara bingung in
Terbangun dengan sorotan mentari itu tidak enak. Mengganggu dan membuat tidur tidak pulas. Itu yang paling Nora Bachtiar benci sejak dulu. Jika sudah tidur, bersatu dengan ranjang adalah hobinya yang tidak bisa diganggu. Tapi mentari pagi tidak pernah mau mengerti.Kepalanya begitu pening saat kelopak matanya terbuka. Melihat ke arah di mana mentari menyoroti wajahnya, sedetik kemudian Nora sadar jika ini bukan kamar di rumahnya. Gorden putih dengan sentuhan mewah juga bukan miliknya pun dengan langit-langit kamarnya.Nora terduduk dengan wajah yang terkejut. Melihat ke arah selimut yang membelit tubuhnya, Nora merasakan tidak adanya sehelai kain pun yang membungkusnya."Sial!"Terbangun karena mentari dan umpatan pagi menjadi lagu yang tak bisa dipisahkan. Nora hendak menapaki lantai saat sebuah dehaman dari belakang tubuhnya masuk ke rungunya. Semakin berdegup jantung Nora. Pasalnya, semalam Nora pergi seorang diri. Jadi menakutkan karena kini ada napas lain yang bersama dirinya di
Setelah membahas perihal pernikahan jalur perjodohan kini Alara ajak sang suami membicarakan soal menjadi janda.Coba bayangkan sesabar apa Bachtiar Gema dalam menghadapi mood istrinya? Sabar saja sudah tidak cukup.Weekend ini mereka benar-benar free di rumah. Gema bisa merasakan masakan istrinya di sela-sela liburnya seperti ini. Dimulai dari cek kandungan ke dokter dan makan siang bersama lalu menghabiskan sisa waktu dengan serial yang sedang trending.Sore usai mandi dan beli jajan di taman kompleks rumah, Alara menyelonjorkan kedua kakinya di atas paha Gema yang langsung di pijat-pijat pelan."Jadi janda itu gimana sih, Bang?"Gema berdecak kesal. Pertanyaan sang istri nggak bermutu. Dari pagi sampai sore pembahasannya bikin rungsing."Siapa juga yang mau jadi janda, Yang!" jawaban Gema sudah ngegas dan ketus."Abang nggak boleh kasar. Ini istri Abang bukan lawan Abang di persidangan.""Celaka banget aku punya istri yang pintar mendebat suami.""Harus bangga, 'kan Bang? Istri yan
Jasmine Atmojo berusia 21 tahun. Dia adalah keponakan Bachtiar Gema dari Kakak pertamanya yang bernama Mika Darmawangsa."Jadi libur hari ini?""Iya Tante. Ganti hari Sabtu nanti."Jasmine masih melanjutkan studynya di salah satu kampus kenamaan di Jakarta. Dan hari Selasa ini bertandang ke rumah Gema karena kangen dengan Alara. Ponakan Gema satu ini memang sedikit unik. Alih-alih merindukan Omnya yang bernotaben sebagai adik dari Mamanya langsung justru menggilai Alara yang iparnya."Mau makan apa? Om kamu kayaknya pulang telat jadi nggak usah nunggu dia."Sebelum berangkat pagi tadi Gema sudah berpesan jika jadwalnya hari ini padat. Itu juga terbukti dari lamanya balasan chat yang Gema kirimkan. Alara maklum karena pernah berkecimpung di bawah naungan Gema dan tahu seperti apa kinerjanya."Masih saja sibuk!" Jasmine berdecak kesal. "Kayak kerja jadi jaminan dia buat ngasih waktu ke anak istri.""Anggap saja tabungan buat lahiran." Seloroh Alara mencairkan suasana panas di wajah Jasm
Sekarang Gema punya nama baru buat ngajakin Alara nana-ninu. Lebih elegan dan kalem, yakni ibadah.Malam itu saat hujan turun membasahi bumi Jakarta, Gema pening maksimal dengan dokumennya di atas meja kerja. Sudah malam, di rumah dan inginnya bermanja dengan sang istri. Namun karena ini bentuk tanggung jawab darinya, Gema tidak bisa abai begitu saja.Secangkir kopi–bukan dua gelas kopi–telah Alara suguhkan. Bersamaan jajaran camilan yang ada di sampingnya.Gema embuskan napasnya sejenak. Kedua tangannya berada di belakang kepalanya. Peningnya luar biasa tapi nggak tahu mau ngapain. Gema sudah buntu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Butuhnya sesuatu yang hangat tapi bukan kopi dan pijatan yang mengenakkan namun bukan SPA."Abang sudah mau makan?"Gema lirikkan matanya ke atas meja di mana jam digital kecilnya ada di sana. Di antara foto pernikahan dirinya dengan Alara. Jarum pendeknya hampir menyentuh angka delapan sedang jarum panjangnya berada di antara angka 10 dan 11. Di luar huja
Nora akan terus datang ke kantor Gema. Tidak peduli itu pantas dilakukan atau tidak toh sebagian dari para bawahan Gema tahu jika dirinya sedang ada urusan. Rasanya seperti banyak bunga bermekaran dihati Nora sampai senyumnya tidak pudar sama sekali.Namun hari ini di siang hari yang cukup terik padahal masih musim penghujan, tungkai Nora terhenti di depan pintu ruangan Gema. Ada suara lain yang sangat Nora kenal yang sedang marah-marah kepada Gema."Kamu nyari mati?"Nora tahu betul siapa pemilik suara tersebut. Adalah Marini, mantan Mama mertua yang dari dulu begitu menyayangi Nora."Ma." Vokal Gema memberat dan Nora tahu ada masalah serius di antara Ibu dan anak di dalam sana."9 bulan kamu diperut Mama dan kamu masih berpikir mau nipu Mama? Kamu waras nggak sih, Ma!?"Setahu Nora juga, Marini tidak akan mengamuk kalau bukan masalahnya serius. Dan ini pertama kalinya Nora mengetahui Marini marah kepada Gema. Wanita 65 tahun itu tipe seorang ibu yang kalem dengan gaya bicaranya yang
Bachtiar Gema nggak punya cara simpel buat mengalihkan kegalauannya. Ditinggal Alara seorang diri, Gema cuma geluntang-geluntung di dalam rumah. Gabut dan nggak tahu mau ngapain. Mana sekarang kantornya libur pula. Mau ngantor sendiri kelihatan banget kalau Gema ini mata duwitan. Tapi di rumah cuma rebahan, bangun, duduk, rebahan lagi, bangun lagi, duduk lagi dan main PS. Main PS sendiri nggak ada lawan juga persis orang gila. Kalah diam, menang diam, lagi nyerang apa lagi. Gema kangen Alara.Kira-kira salahnya Gema tuh apa? Kok bisa Alara pergi seorang diri tanpa dirinya atau mencari dirinya dan merasa kangen? Kenapa Gema kelihatannya murahan banget setelah menikahi Alara, ya? Kenapa? Apa semua cowok kayak gitu? Jadi goblok dan sedikit dungu? Ah mbohlah. Gema mumet sendiri.Sekarang Gema bangun dari rebahannya di sofa. Jam masih menunjukkan pukul 2 siang lebih dikit. Cuaca di luar juga panas enggak, mendung juga enggak tapi panas maksimal–semromong maksimal kayak di neraka. Gema hen
Cuma manusia bodoh yang selalu ikut-ikutan dan gampang kepengaruh omongan manusia lainnya dengan modal 'katanya'. Yang katanya begini, begitu mendengarnya akan langsung membenci. Yang katanya begitu, langsung memusuhi. Hanya dengan katanya semua masalah akan muncul dan menjadi serangan secara bertubi-tubi.Daniah Maheswari juga seperti itu. Modal katanya yang Mosa Hutama sampaikan mempengaruhi cara pikir otaknya yang waras mendadak jadi gila. Katanya Prabu Setiawan itu baik, perhatian dan penuh kasih sayang. Katanya yang pada faktanya tidak demikian. Bagaimana nggak baik, perhatian dan penuh kasih sayang kalau Mosa Hutama adalah istri kesayangannya? Siapa sih yang nggak waras di sini? Terus sekarang Daniah kudu gimana ngadepin Prabu yang cuma diam kayak patung pancoran disertai tatapan matanya yang nyalang–persis hendak menerkam Daniah? Ah entah, Daniah nggak tahu lagi mesti gimana?"Kenapa belum pesen?" Prabu berucap seraya mengambil buku menunya. Kedua bola matanya menyisir setiap k
Alara memang belum sepenuhnya merasakan pahit manisnya hidup. Tapi kalau dibenci hanya lewat 'katanya' oleh para penggosip, jangan ditanya sesering apa Gema menerima perlakuan kayak gitu. Memang dirinya ini bukan manusia ribet yang pilih-pilih temen. Tapi setidaknya butuh yang satu frekuensi dan nggak suka basa-basi ngomongin yang nggak jelas. Masa muda Alara juga habis di tempat kerja. Jadi buat kumpul sama nongkrong sana-sini mana sempat. Masih bisa napas dengan lancar saja sudah hamdalah banget. Kok ini dituntut buat ikut acara-acara nggak jelas. Buang-buang waktu dan tenaga.Kehidupan yang Alara jalani nggak sesempurna kelihatannya kok. Tapi sekali lagi, bersyukur adalah caranya. Ada yang bilang kalau omongan adalah doa. Maka Alara iyakan saja setiap orang yang berkata 'enak ya jadi kamu', 'senang ya jadi kamu', dan lain sebagainya. Alara iyakan saja.Sadar sih, mengikuti standar kehidupan manusia nggak ada habisnya. Kita yang menjalani eh orang lain yang mengatur. Kayak lalu lin
Puasa-puasa kok bohong itu, 'kan dosa ya? Kata Jayanti, Mama Alara gitu. Dulu sewaktu Alara kecil setiap puasa selalu di wangsit buat jangan berbohong. Kalau nggak kuat puasa dan pengen makan mending ngomong. Nanti lanjut lagi puasanya sampai adzan magrib berkumandang. Pokoknya sekuatnya aja, nggak perlu memaksa diri timbang nanti nggak berpahala puasanya.Nah sekarang juga sama. Alara merasakan momen puasa yang mana dirinya tidak sedang berpuasa. Alasannya hamil walaupun seandainya mampu buat berpuasa boleh saja melakukannya. Sekarang ini yang sedang Alara alami kasusnya sama: puasa dan nggak boleh bohong. Cuma beda konsepnya aja. Kalau yang dikatakan oleh Jayanti perihal jangan bohong misal nggak kuat berpuasa sedang yang Alara alami adalah bohong lantaran nggak mau mengakui kebohongannya. Ini konsepnya gimana sih Ra?Begini, ingat yang sering Alara katakan kepada Bachtiar Gema, suaminya? Kalau mau poligami, silakan. Daripada membohongi lebih baik mengatakan jujur saja. Menginginka
"Lo nikah tapi lo ngasih izin ke suami lo buat nikah lagi." Adalah teman Mosa yang sedang memasukkan bolu pisang ke dalam mulutnya. Tawa di bibirnya belum luntur dan matanya menyipit seiring tawa yang di keluarkan."Gue heran sama cara pikir lo. Dari dulu kayak gitu nggak pernah berubah. Kenapa gitu Sa, why?"Teman satunya lagi yang baru menyesap kopi panasnya. Kedua teman Mosa yang sejak dulu menjalin hubungan dengannya selalu penuh keheranan. Jawaban yang selalu Mosa berikan nggak pernah membuat keduanya puas. "Gue pemegang tahta poligami tertinggi." Tawa ketiganya renyah. Mengundang seluruh pengunjung kafe yang ada di dekat ketiganya menoleh. Tatapan matanya penasaran dan penuh tanya."Seolah-olah Prabu nggak pernah ada artinya di mata lo. Wah, lo hebat! Bikin kakak lo kena mental dan sekarang suami lo di bikin nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Seyogyanya orang nikah karena butuh anak buat hadir di antara pernikahan mereka. Alih-alih penyaluran napsu ya, Sa. Tapi lo … bukan maen!
Alara ujug-ujug ngidam ke Yogyakarta. Jari-jarinya dari pagi yang cerah ini scroll internet tanpa henti. Sampai mengabaikan suaminya yang pengen dimanja. Lagian puasa-puasa ada-ada aja pengen dimanja. Sementang libur kerja jadi seenak jidat sendiri maunya. "Abang minggir dulu ih!"Alara dorong Gema yang sejak tadi ngerungkel di belakang tubuhnya. Rasanya gerah padahal AC udah dinyalakan. Asli, Alara butuh suasana gunung yang dingin dan sejuk kayak Dieng mungkin."Ini suami kamu loh Yang!"Bukan Bachtiar Gema namanya kalau nggak protes. Laki satu itu cerewetnya kayak perempuan misal lagi butuh dimanja. Alara geram jadinya."Yang bilang suami tetangga siapa?" Itu bukan hardikan, 'kan ya? Alara cuma ngomong senyatanya aja kalau emang Gema suaminya. Ah bodo amatlah! Alara butuh piknik tapi perutnya makin membuncit."Kamu asli deh Yang makin galak aja tiap harinya. Salah aku di mana sih?"Aduh Biyung! Kok bisa banget suaminya baper kayak gini? Lebih-lebih dari Alara pula tingkahnya. Ini
Alara udah nggak marah sama Gema. Cuma kalau kesal iya. Terutama pada omongan Gema yang mau ngatur kehidupan anak-anaknya nanti. Itu masih terngiang-ngiang hingga detik ini di kepala Alara. Rungunya jadi sensitif mengingat kalimat ini dan hatinya jadi kacau. Alara tuh paling nggak bisa kalau anaknya diatur-atur nyampe dikekang pula. Selama masih tahap wajar, Alara pribadi pengen anak-anaknya bebas kayak burung. Bisa terbang dan menjelajah alam raya. Gema kalau ngomong langsung nandes, membekas dan bikin dada Alara sesak. Kalau beneran iya kayak gitu, artinya Gema sedang menciptakan neraka baru buat anak-anaknya. Lebih dari apa pun, Gema nggak mau belajar soal sakit mental yang Alara alami selama ini. Cuma butuh ambisi buat tercapai. Huh, mulut Alara inginnya mengumpat sekotor-kotornya, sumpah! Kalau nggak sadar dosa, ini spatula nyampe ke kepala Bachtiar Gema, Alara jabanin deh.Saking sakit hatinya, Alara sampai nggak percaya sama apa pun yang dirinya lihat. Terutama jika bersumber
Radit Wicaksono mencintai Nora Bachtiar setengah mati, setengahnya lagi tentang napsu dan kebutuhan biologisnya. Radit nggak munafik hanya mencoba jujur jika sebagai lelaki memenuhi kebutuhannya memanglah wajib.Sebelum dipertemukan kembali dengan Nora di salah satu kelab malam, secara acak Radit akan membawa wanita sewaannya ke dalam apartemennya. Puas tidak puas, dipikiran Radit hanya tentang menyalurkan napsunya. Selebihnya hanya helaan napas yang Radit embuskan.Namun setelah malam itu, merasai kembali Nora dalam kondisi mabuk dan setelah bertahun-tahun berlalu. Radit makin menggila. Seolah hari esok akan kiamat, Radit hanya menginginkan tubuh Nora untuk dirinya lahap. Radit hanya butuh Nora untuk dirinya kendalikan seorang diri. Katakanlah Radit gagal move on. Pesona Nora tiada tandingan sehingga nggak gampang baginya yang bucin buat pindah ke lain hati. Berapa kali pun Radit dijodohkan oleh kedua orang tuanya, hasilnya akan selalu berakhir di ranjang untuk kemudian terjadi peno
Hidup itu pilihan.Yang Alara Senja tahu sejak dulu seperti itu. Tapi Bachtiar Gema memang nggak ada akhlak. Tengah malam begini saat Alara sudah dibuai oleh mimpi, dengan sopannya terus menggedor pintu kamar tamu di mana Alara tidur. Marah sih memang tapi setelah kalah dengan rasa kantuknya, Alara singkirkan egonya. Tidak lagi memikirkan perkara obrolan yang Gema dan Papanya bangun. Mungkin saja cara pendekatan Papanya ke Gema sebagai menantu memang begitu caranya."Yang."Alara berdecak sebal dalam tidurnya. Gema berisik sekali dibalik pintu sana dan Alara terganggu total. Tidurnya tidak lagi nyenyak dan Gema penyebabnya."Abang laper."Ya Tuhan! Kutuk saja Pangeran Kodok yang legendaris itu jadi tanaman hias mahal. Alara benci jika tidurnya terganggu.Melongok jam yang ada di nakas, kekesalan Alara berkali-kali lipat. Pukul 00.49 dini hari dan Gema kelaparan? Bukan maen."Yang."Sekali lagi dan Alara benar-benar terbangun. Terduduk dengan terpaksa, wajah masam lalu menghempaskan s