Bara berulang kali menelfon Indira, dia cemas sebab sedari tadi remaja itu tak merespon panggilannya. Begitu juga dengan Edgar, mereka kini tengah dalam perjalanan kembali ke rumah selepas turun dari pesawat tadi."Coba kamu yang telfon, Ed." pinta Bara pada Edgar."Sama Bang, gak di angkat juga. Pesan gue juga gak di baca."Bara dan Edgar semakin cemas, Bara menambah laju kecepatan mobilnya. Mereka tiba di wilayah perbatasan, sesampainya mereka di gerbang Utama, jalanan itu sudah di penuhi dengan ratusan anak buah Bara dan anak buah Pram. Mereka saling menodongkan senjata, di sana juga tampak Pram berdiri di antara para anak buahnya.Segera Bara dan Edgar turun, bersiap dengan senjata yang di sembunyikan di balik jas hitamnya."Joe Bara! Akhirnya lo datang juga, kemana aja lo, Joe Bara." Pram berjalan mendekati Bara.Bara menatap datar pada Pram, pria berwajah tengil itu membuat Bara sangat muak. Pram membuang sisah puntung rokoknya tepat di dekat kaki Bara, dan menghembuskan asap nik
Bara dan para kawanannya sudah tiba di kediaman Bodger. Sepertinya mereka sudah siap dengan kedatangan klan Rubah Hitam itu, terlihat klan Jaguar sudah bersiap dengan senjatanya masing-masing.Segera Bara dan Edgar keluar dari mobil, Bara tidak menunjukkan senjatanya. Dia mendekati salah satu penjaga yang menjadi kepercayaan Pram. Entah apa yang Bara katakan, orang itu menyilahkan Bara masuk hanya berdua dengan Edgar saja."Bersiap saat gue kirim sinyal." bisik Bara pada anak buah kepercayaannya.Setelah itu, Bara dan Edgar segera masuk menemui Pram. Keduanya tampak tenang tanpa terlihat kemarahan di wajahnya. Itu senjata andalan Bara untuk tidak memancing musuh menyerang cepat.Mereka di arahkan ke sebuah ruangan, di sana Bara dan Edgar melihat Indira duduk di kursi dengan tangan dan kaki terikat serta mata di tutup dengan sehelai kain. "Joe Bara! Gak sangka gue lo beneran dateng," Pram menarik dua kursi, menyilahkan dua musuh tamunya itu duduk."Dad!! Daddy!" terdengar teriakan Ind
Kana duduk di tepi ranjang, memainkan kuku panjangnya yang tak lagi terawat. Walau tampak sibuk dengan kuku, tapi fikirannya tetap mengarah pada masalah tadi. Ternyata benar kata Bara, menjadi keluarga Mafia tidak mudah. Harus pandai menjaga identitas agar musuh tidak mudah mengenali keluarganya."Sayang, kok belum tidur?" tanya Bara yang baru saja masuk kamar."Gimana keadaan Indira, Mas?" Kana langsung berdiri mendekati Bara."Udah lebih tenang, dia udah di temani Edgar.""Kenapa Mas gak bilang, kalau Dira di culik?""Memangnya kalau Mas bilang, kamu mau apa? Ikutan?"Kana mencebikkan bibirnya maju kedepan dengan wajah menekuk kesal."Mas gak mau kamu ribut minta ikut, bisa dalam bahaya kamu. Itu saja kamu udah jadi incarannya, karena masalah Papa mu."Kana menatap tajam pada Bara, barusan dia mengatakan 'Papamu' padahal jelas pria itu adalah mertuanya."Mas! Dia mertua kamu!""Iya, Mas tau. Tapi orang tua mana yang tega, jual anaknya. Apa pantas seperti itu di sebut orang tua?""Ma
Bara baru selesai mengurus masalah kuliah Kana dan Indira. Pihak kampus setuju untuk melakukan Darring pada kedua muridnya itu selama satu minggu kedepan. Bara membawa beberapa materi yang sempat Kana tinggal, guru pengajar memberikan soal ulangan juga."Om Bara!"Bara menoleh kala namanya di panggil, di sana dia melihat tiga remaja pria menghampirinya."Ini kunci motor Kana, saya udah kirim motornya ke alamat yang Om bilang." Bara menerima kunci motor milik Kana dari Rio."Om, kita boleh ketemu Kana sama Dira gak?" kata Alvin."Untuk sentara tidak." balas Bara dengan nada datar."Jadi, kapan dong?""Mau apa kalian bertemu mereka?""Kita cuma mau berkunjung aja kok, Om. Kana dan Dira juga kan teman kita."Bara menatap ketiga remaja itu, setelahnya dia pergi dari sana tanpa bicara sepatah kata pun. Dia bahkan tidak menjawab kapan mereka bisa mengunjungi Kana dan Indira."Tuh liat, gak serem lo pada berurusan sama dia? Gue yakin, di balik jasnya itu, ada pistol." kata Rio."Serius lo, l
"Masak? Untuk apa?""Untuk suami gue lah.""Hahh? Yakin lo mau masak?""Iya, gue juga mau kasih kesan buat Bara.""Jadi maksud lo, lo mau kasih kesan kaya Dinar, gitu?" Kana mengangguk cepat."Kana, lo bego banget sih. Kalo lo mau kasih kesan buat Daddy, kasih yang lain lah. Jangan masak, Kana.""Kenapa? Lo bilang dia sering masak buat Bara.""Iya, tapi kalo lo buat gitu juga, itu artinya lo sama kaya dia. Lo mau, Daddy anggap lo sama kaya Dinar.""Ya enggak lah, gila lo!""Ya makanya, Kana, kasih kesan yang lain."Kana mencebikan bibirnya kesal, kesan apa yang bisa dia berikan untuk suaminya. Dia hanya lihai dalam semua materi pelajaran dan balapan, sisahnya, nihil."Gue gak tau mau kasih kesan apa? Gue sendri gak tau, Bara sukanya apa? Hobinya apa? Gue gak tau apa-apa tentang suami gue sendiri, gimana mau kasih kesan.""Tanpa kamu lakukan apapun, Mas udah sangat terkesan sama kamu."Kana menegang melihat Bara tiba-tiba datang menghampirinya dan mengecup keningnya. Tampak juga Edgar
Malam hari |Bara dan Kana duduk di bangku taman samping rumah, mereka menikmati malam sambil memakan potongan buah dan cemilan lainnya."Mas, gimana kabarnya dokter Livy?" tanya Kana bersandar di lengan sang suami."Mas belum telfon dia." Kana mendongak menatap Bara yang masih menikmati minumannya."Kok belum? Telfon dong, Mas tanya dia udah gimana. Mas jadi temen gak perhatian."Bara menenggak habis minumannya, dan menarik bibir manis Kana, menyesapnya lembut."Dia pasti baik-baik aja." kata Bara di sela pagutannya."Yakin?""Iya, dia akan telfon Mas kalau ada sesuatu.""Emmm.""Kamu kenapa? Kok tiba-tiba tanya dokter Livy?""Kana kepikiran sama kandungannya, Mas. Dia jaga gak ya, bayi itu.""Dia dokter, gak mungkin dia melakukan hal sebodoh itu. Bayi itu gak salah, yang salah perbuatan orang tuanya.""Kalo Kana hamil, Mas seneng gak?"Bara menunduk menatap wajah cantik istrinya yang terkena pantulan sinar rembulan."Kamu mau tau, apa yang akan Mas lakukan saat tau kamu hamil?""Ap
Setelah selesai membahas masalah kematian Ayahnya, Bara menutup pertemuan dengan adiknya. Edgar meraih ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Bara."Apa ini?""Keluarga Kana. Mereka nyebarin poster kehilangan, mereka udah mulai cari Kana, Bang."Bara mengepalkan erat tangannya, marah sekali melihat deretan poster kehilangan yang sudah menyebar."Dari mana kamu dapat ini?""Mini market, tadi gak sengaja ketemu pas beli rokok. Tadinya aku kira ini bukan Kana, tapi setelah ku lihat lagi ternyata bener.""Brengsek!""Keluarga mereka gak tau, Kana nikah sama Abang?""Enggak.""Kakaknya juga?""Keluarga mereka gak harmonis, Ed. Kamu denger sendiri 'kan, Pram bilang apa? Bahkan Papahnya sendiri punya fikiran buruk itu. Kalau bukan karena Papahnya, udah Abang bunuh tu orang tua.""Terus sekarang gimana? Ini Kana udah di cari, pasti mereka bakal datang ke pihak sekolah dan cari informasi di sana. Mereka tau 'kan Abang yang jadi walinya Kana? Pasti mereka bakal bilang ke keluarga Kana,"Bara me
"Keluarga Kana? Selama ini gak pernah mereka cari ataupun peduli sama Kana?""Kamu tau pasti tentang keluarganya?""Iya taulah, Bang. Dira tuh udah lama sahabatan sama Kana, dan setau Dira, mereka gak ada sama sekali mikir biaya hidup Kana. Masih baik Kana pinter, jadi biaya sekolah dapet beasiswa. Untuk yang lainnya, dia harus ikut balapan buat dapet uang. Kadang kerja paruh waktu di cafe atau warung kaki lima." jelas Indira panjang lebar mengenai kehidupan Kana."Terus, kenapa sekarang mereka cari Kana?""Dira curiga, pasti ada sesuatu yang gak beres. Terakhir Kak Maudy pergi gitu aja sama pacarnya karena rumah mau di sita.""Jadi, rumahnya udah di sita?""Kayanya udah. Kasihan Kana, Bang. Kalau sampe keluarganya manfaatin Kana, Dira yakin banget ada sesuatu yang buruk bakal nimpa Kana.""Kamu tenang aja, Daddy mu gak akan biarkan itu terjadi. Kana pasti aman sama Daddy Bara, kamu percaya 'kan sama Daddy mu?""Iya percayalah, secarakan keluarga Kana cuma kita. Gak yakin Dira mereka