PoV Bram
Apa aku tidak salah dengar? Riana adalah Suryani yang tidak lain saudara kembar dokter Rahmat yang terpisah sejak mereka masih di panti. Aku tak percaya jika Riana menyembunyikan rahasia besar ini padaku.
“Kau pasti bercanda, Tari. Aku mengenal wajah Suryani. Dan kau! Jelas jauh berbeda dengannya.” Cetus dokter Rahmat menggelengkan kepala. Aku juga sebenarnya tidak percaya. Kalau memang Riana adalah saudara kembar dokter Rahmat, otomatis dia akan mengenalnya. Ini pasti alasan Riana saja.
“Aku Suryani, Bang. Dan kau Suryadi.”
“Tapi wajahmu sangat berbeda!!” Dokter Rahmat masih tak percaya. Semakin pusing melihat mereka berdua. Duduk di atas lantai, saling beradu pandang satu sama lain.
“Riana! Jangan kau alihkan pembicaraan. Kalau memang kau pun mencintai dia! Katakan saja! Jangan memberi keterangan yang mengada-ada.” Geram
PoV Ayu“Papa Bram?” Aku terkejut melihat pelanggan baru butik kami yang ternyata suami baru Bunda. Papa Bram terlihat salah tingkah, ia menurunkan tangan wanita bergaya glamour dari lengannya.“Siapa dia, Mas? Anakmu?” pertanyaan wanita di sampingnya semakin membuat Papa Bram salah tingkah. Wajahnya gusar, beberapa kali mengusap wajah dengan telapak tangan.“Bu-bukan. Eh, maksudku ... dia menantu istriku. Istri dari anaknya Riana.”Kok Papa Bram tidak sungkan mengakui kalau aku adalah menantu Bunda? Apa wanita ini hanya sebatas teman atau memang ....? Wanita yang belum kuketahui namanya mengembuskan napas. Merunduk, seperti sedang menimang sesuatu.“Silakan duduk, Bu, Pa.” Aku mempersilakan mereka. Namun Papa maupun wanita di sebelahnya tetap berdiri.“Hm ... maaf, Mbak. Kami tidak jadi pesan kebaya di sini.”
PoV AbangSejujurnya, cerita Ayu tentang Papa Bram bersama wanita lain cukup menyita pikiranku. Aku mengkhawatirkan keadaan Bunda.Pantas saja semalam tidak biasanya Bunda ingin menginap di rumah. Meskipun Bunda belakangan ini sering membuatku dan Ayu sakit hati, tapi Bunda adalah wanita yang telah mengandung dan melahirkanku. Tentu, tidak mau kalau adaa orang lain yang menyakiti hatinya. Sepertinya aku harus bicara dengan Papa Bram. Memancing Papa Bram agar mau berterus terang perihal rumah tangganya. Karena aku yakin, Papa Bram bukan tipikal laki-laki tukang selingkuh. Pasti Bunda melakukan kesalahan fatal hingga Papa tiriku berani main dengan wanita lain. Mumpung belum terlambat. Mungkin nanti malam, aku akan bertemu dengan Papa Bram.Tiba di kantor, aku langsung menghubungi Papa Bram. Tapi beberapa panggilanku tidak diangkat. Mengirim pesan.[Pa, jam tujuh malam,
PoV BramApa yang dikatakan Dendi ada benarnya. Riana memang mencintaku sejak dulu. Tidak peduli aku berwajah Prasetya ataupun Bramantyo. Aku juga belum kenal siapa Sari. Belum menanyakan asal usulnya. Aku tidak boleh salah memilih, apalagi berakhir dengan penyesalan karena lebih memilih Sari dari pada mempertahankan Riana.Akan tetapi, Riana bukan orang yang terlahir dari kalangan bangsawan atau orang tua yang terpandang, dia hanya seorang anak yang diambil dari salah satu panti. Bagaimana kalau kolegaku tahu tentang masa lalu Riana? Mau ditaruh di mana muka ini? Belum lagi kalau ada yang tahu Riana terlahir dari seorang pelacur. Tadi Dendi bilang, Riana bukan terlahir dari seorang pelacur tapi dari wanita yang baik-baik. Aku rasa, Dendi tidak mungkin berbohong. Dia juga bilang, kalau wanita yang melahirkan Riana ada di rumahnya. Apa sebaiknya aku temui wanita itu? Supaya lebih jelas kebenarannya. Merogoh saku, menelepon Dendi. 
PoV Bunda Wanita mana yang tidak sakit hati jika mengetahui suaminya telah berselingkuh? Aku pun sama, amat sangat sakit hati. Aku masih bisa bersikap biasa, bertahan bersamanya dan mengijinkan ia untuk menikahi wanita selingkuhannya itu semata karena aku sangat mencintai Mas Bram. Pengakuan Mas Bram beberapa saat lalu membuat hatiku hancur tak berbekas. “Riana, aku tidak akan menikahi wanita manapun lagi. Aku janji, tidak akan berselingkuh lagi.” Janji? Dia bilang janji? Haruskah aku percaya akan janjinya? Seorang Prasetya yang kukenal dahulu, orang yang sangat setia, bahkan ia rela menunggu jandaku. Tapi kini, ia telah berani mendua. Memejamkan kedua mata, melepaskan tangannya dari rengkuhan pingganggku. “Aku ngantuk. Mau tidur.” Beranjak, naik ke atas pembaringan, tidur membelakanginya. Aku berharap, semoga hari esok lebih baik. *** Usai sholat Subuh,
PoV AbangAku menghela napas menghadapi sifat keras kepala Bunda. Entah bagaimana jalan pikirnya? Apa Bunda tidak berpikir, kalau posisinya sama dengan posisi Nenek?Tapi, aku juga tidak boleh memaksa Bunda untuk menerima wanita yang telah melahirkannya. Biar bagaimana pun, menitipkan anak ke sebuah panti asuhan meski untuk kebaikan tetap menoreh kekecewaan pada jiwa anak-anaknya. Tugasku hanya menyampaikan, perihal Bunda ingin menemui Nenek atau tidak, biarkan saja Bunda yang memutuskan.“Dendi gak bisa maksa, Bunda. Bunda dan Om Rahmat yang mengalami bagaimana suka dan duka tinggal di panti, tanpa belaian kasih sayang seorang ibu kandung, lalu terpisah dengan saudaranya. Ya, Dendi mengerti.” Menjeda kalimat, menatap Bunda yang napasnya turun naik karena menahan amarah yang meluap.“Dulu, almarhum Ayah pernah bilang. Salah satu keberkahan hidup seorang manusia adalah doa dari kedua
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N