Sungguh! Satu sisi aku malu mengakui Abang di depan Dira. Tapi sisi lain aku merasa bahagia. Sebab Abang memang bersungguh-sungguh ingin menjadikanku istrinya.
Aku mensejajari langkah Abang. Kami berjalan beriringan.
“Makasih udah ngakuin Abang di depan Dira,” ucap Abang saat jarak area parkir tinggal beberapa meter. Aku mengangguk.
“Kenapa Dira harus tau sih, Bang?” Aku tak tahu, alasan apa yang membuat Abang menyuruhku berkata demikian pada Dira. Padahal mantan ketua BEM itu hanya temanku saja. Bukan saudara atau pun sahabat. Apalagi tadi Dira bilang lagi suka sama seseorang. Aku yakin lelaki itu sedang jatuh cinta pada cewek. Apa mungkin cewek itu Silvi ya? Ah gara-gara Abang, Dira gak jadi ngasih tahu cewek yang ditaksirnya.
“Ya emang harus tau. Soalnya dia juga suka sama Ayu.” Jawaban Abang membuatku menghentikkan langkah, tak percaya dengan ucapan yang barusan aku dengar. Abang pun meng
Saat ini, berhubung masih menstruasi, aku menunggu Abang shalat Maghrib di Masjid dekat taman. Suasana senja kali ini terasa syahdu. Suara Imam Masjid terdengar mengalun syahdu membaca lantunan Ayat suci Al-Quran.Setengah jam kemudian, laki-laki yang ditunggu sudah keluar, sedang mengenakan sepatu, lalu berjalan menghampiriku duduk di bangku yang terletak di depan tempat wudhu khusus wanita.Tanpa berkata, kami langsung menuju mobil. Sesekali melirik Abang. Rambut bagian depannya basah, mungkin bekas air wudhu. Masih ada juga tetesan air di leher. Wajah Abang nampak lebih bersih.Masuk ke dalam mobil, aku melihat Abang sekilas. Dari samping, ternyata dia lebih tampan.“Napa lihatin?” Aku tergagap. Ternyata lelaki di sampingku sadar sedang aku perhatikan. Kirain dia gak sadar kalau dari tadi dilihatin.“Gak napa-napa.” Sahutku cuek.
Tiba di rumah, Bunda sedang duduk di bangku teras. Aku turun mobil lebih dulu. “Assalamu’alaikum,” ucapku. Berjalan menghampiri Bunda, meraih telapak tangannya. “Wa’alaikumsalam,” sahut Bunda. Raut wajah wanita yang telah melahirkan Abang tidak ceria seperti biasanya. “Bunda pulang jam berapa?” tanyaku basa-basi. “Jam lima sore. Kamu istirahat dulu sana. Kalau belum makan, makan dulu sebelum tidur.” Aku mengangguk. Raut wajah Bunda masih datar. “Iya, Bun.” Melangkahkan kaki ke dalam rumah tanpa menunggu Abang turun dari mobil. Dari dalam, samar kudengar percakapan Bunda dan Abang. “Kalian dari mana aja jam segini baru pulang?” Dari nada suaranya, terdengar ketus. “Dari kantor jemput Ayu, abis itu jalan bentar.” Jelas Abang. “Sampai semalam ini?” “Ini belum malam, Bun. Baru aja habis Magrib. Dah ya, Dendy mau mandi dulu.” Mendengar derap langkah kaki Abang semakin mendekat, aku pun bergegas masuk kamar. Takut ketahuan curi dengar. Usai beres-beres, membuka kotak cincin pember
Silvi menepuk-nepuk punggung tanganku dari mulutnya, minta dilepas. Dia mengatur napasnya yang tersengal-sengal, setelah tanganku terlepas dari mulutnya.“Minumannya, Mbak.” Dua gelas minuman yang dipesan Silvi datang. Sahabatku itu langsung meneguk hingga setengah gelas.“Dendy yang suka anter jemput kamu, Yu?” celetuk Leo. Kedua matanya sampai tak berkedip. Aku mengangguk, tersenyum miring.“Bukannya itu Abang kamu?” Giliran Rico yang bertanya. Tampak bingung. Dira malah duduk santai, menyandarkan tubuh pada kursi dengan tangan melipat di depan dada.Sue bener tuh orang! Gara-gara dia jadi heboh begini.“Yu, serius lo mau merit sama Abang?” Silvi juga ikutan bertanya.Ya Allah, kenapa berasa diintrogasi gini?“Apaan sih? Kita itu lagi ngomongin muncak. Ngapa jadi bahas aku?” Sergahku mengalihkan topik pembicaraan. Kulihat Sudira tersenyum sinis
Aku tersenyum puas mendengar pengakuan Abang di depan cewek-cewek genit itu. Melirik Silvi, tampangnya astaghfirullah ... mulut melongo, kedua mata membulat, kedap-kedip persis kodok mau lompat.“Lihatinnya B aja, Silvi ....”Kusenggol lengannya, dia gelagapan. Tersadar dari entah apa yang dibayangkannya.“Bang, mau pulang apa gak?!” tanyaku agak sedikit keras. Abang menoleh.“Pulang dong, Beb ....”Aiiih ... Manis banget sih jawabannya.“Abaaangg ....” Teriakan mereka bikin aku naik pitam lagi.“Kalian kenapa? Mau dipanggil 'Beb' juga?!” tanyaku mengejek.“Mauuu ....” tanpa tahu malu, mereka menjawab dengan tampang sok manja. Iyuuuh ....“Enak aja!! Bang, ayok ah pulang!! Sil, gue pulang duluan!”“Hooh!” Masih cengo aja tuh anak.Masuk ke dalam mobil, kubanting pintu.BRUUKKKHHH&ld
Setelah sholat Subuh berjamaah, aku langsung kembali ke kamar. Tidak ada tegur sapa antara aku, Abang, dan Bunda. Selesai melipat Mukena dan menyimpannya, kuhempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Tadi, raut wajah Bunda datar sekali. Terasa aneh. Aku takut kalau Bunda membenciku karena obrolan kami semalam. Hm ... kadang suka kangen dengan suasana ribut pagi-pagi sama Abang. Sekarang suasana itu sudah tidak ada lagi. Pukul 06.15, bersiap ke dapur. Seperti biasa membantu Bunda, menyiapkan sarapan dan memasak. “Hari ini, ke kampus gak, Nak?” tanya Bunda saat tanganku mengambil sehelai roti tawar untuk dipanggang. “Enggak, Bun. Lagi libur,” jawabku. “Hm ... bagus deh. Temenin Bunda masak ya?” pinta Bunda. Aku mengerutkan kening. Tidak biasanya Bunda minta ditemenin masak. “Iya, Bun.” Tak kuasa aku menolak permintaan Bunda. Selama masak bersama, Alhamdulillah, sikap Bunda sudah seperti biasa. Seolah semalam tidak terjadi apa-apa. Roti tawar sudah selesai dipanggang. Kemudian membuat
Pov Dion Anjrit! Kenapa Bundanya si Dendi nyuruh si Ayu berangkat sama si Banci? Apa Bunda gak tahu kalau si Banci itu bukan orang yang baik? Ya gue emang belum pernah ketemu tapi denger cerita dari si Dendi aja, udah bisa nyimpulin kalau si Firman bukan cowok baik-baik. Si Dendi lagi! Kemana sih tuh anak? Gak biasanya pergi dari rumah gak bilang-bilang. Hadeuh ... kalau si Ayu kenapa-napa bisa gawat. Aku harus cepat-cepat cari si Dendi supaya bisa barengan temuin Ayu. Mengeluarkan handphone, menghubungi Dendi berulang kali tapi nihil, gak juga diangkat. “Dendi ... lu di mana sih?” kalau udah begini, terpaksa dah gue tinggalin kerjaan yang masih numpuk. Bergegas kurapikan dokumen-dokumen yang berserakan, mematikan laptop, keluar ruangan. Sebelum pergi, aku harus menemui salah satu karyawan, takutnya nanti Dendi ke sini. “Fauzi, Fauzi!” panggilku pada salah satu karyawan yang ruangannya dilewati Dendi ketika ia datang. “Ada apa, Pak Dion?” “Nanti kalau Pak Dendi datang, suruh dia
“Sayang ....” panggil Firman dengan suara mendayu-dayu.“Apaan sih, sayang-sayang?” Sungutku kesal. Gak terima banget dipanggil sayang sama anak Mami kayak si Firman.“Jadi cewek itu harus lemah lembut. Jangan galak-galak, nanti gak ada cowok yang mau baru tau rasa kamu, Yu.” Ancamnya tanpa alasan.Dih ngemeng apaan sih? Pake ngajarin segala. Bodo amat. Lagian gue udah ada yang suka. Bathinku terus mendumel sendiri.“Bodo amat!” Sentakku tak terima.Wajah Firman kelihatan tak suka. Dia membuang muka sambil mendengus.Si anak Mami membelokkan mobilnya ke halaman hotel. Aku tengak-tengok, “Mana yang nikahnya?” Aku bertanya dalam hati.Segera mengeluarkan handphone.Pesan WA buat Abang belum juga dibaca. Kuketik pesan pada Bang Dion.[Bang, Firman ngajakin Ayu ke Hotel
PoV AbangPembicaraan dengan Bunda semalam, membuatku kecewa. Tidak habis pikir, kenapa Bunda sangat egois? Tidak mengerti perasaanku dan Ayu. Tapi aku tidak akan menyerah, akan terus memperjuangkan cintaku pada Ayu hingga kami menikah. Tidak peduli dengan restu Bunda. Alasan Bunda bagiku tidak masuk akal.Pagi sekali, aku hendak ke makam Ayah. Ingin bercerita tentang hubunganku dan Ayu serta sikap Bunda terhadap hubunga kami.Setelah memastikan keadaan rumah sepi, aku keluar kamar.“Mau kemana, Den?” tanya Bunda, tepat di saat hendak membuka pintu.“Makam Ayah,” sahutku tanpa menoleh. Tetap membuka pintu, berjalan keluar, naik mobil dan pergi.Tempat pemakaman Ayah lumayan jauh. Dekat bukit yang tempo hari kudatangi bersama Ayu. Sebab, dahulunya rumah kami di daerah sana, tepat bersebrangan dengan kedai Bakso. Bunda memilih pindah, karena tidak mau
PoV Abang Setelah acara peresmian selesai, aku segera meninggalkan tempat acara. Ingin cepat-cepat menemui Ayu. Tadi Bunda menelepon, katanya Ayu sudah dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang, Ayu sudah mulai pembukaan dua. “Bang, tunggu!” seru Sabrina yang memang ikut datang bersama Sudira. Aku menghentikkan langkah, membalikkan badan. Sabrina dan Dira mendekati. “Ada apa?” sabrina mengatur napas. “Papa gimana kabarnya?” Aku menghela napas. “Udah nemuin belum?” Aku balik tanya. Kali ini Sabrina harus mau menemui Papanya. Kasihan Om Rahmat, kesepian. Aku tidak akan membiarkan salah satu amggota keluarga hidup sebatang kara lagi. Sabrina menggeleng. “Kamu temui dulu. Sorry, gue lagi buru-buru.” Aku melanjutkan langkah dengan cepat menuju parkiran. tapi pasangan itu terus mengikuti. “Bang, aku serius. Papa gimana keadaannya?” Sabrina berusaha mensejajarkan langkah. “Nanti aku kirim alamat apartemennya.” Ucapku masuk ke dalam mobil. “Ada apa sih buru-buru?” Rina tidak sabaran. “Ay
PoV Abang“Om gak nyangka secepat ini ditinggalkan Cindy. Padahal Om mulai yakin, kalau dia benar-benar sayang Om. Tidak hanya menginginkan uang Om.” Tutur Om Rahmat di tengah isak tangisnya. Aku menghela napas sebelum menanggapi.“Jodoh, rejeki, kematian, itu semua rahasia Tuhan. Om harus sabar dan ikhlas, biar Cindy tenang di sana.” Kucoba menghibur Papanya Sabrina. Ia terlihat sedih sekali. Kepalanya merunduk. Sesekali menyeka cairan yang keluar dari hidung dan mata. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita sayangi. Saat kehilangan Ayah, berbulan-bulan kehilangan gairah hidup. Murung di kamar, enggan berbicara, bahkan kebiasaanku menjahili Ayu pun hilang dalam beberapa waktu.“Iya, Den. Om akan berusaha untuk ikhlas. Terima kasih.”Aku melongok ke atas, melihat keadaan apartemen yang sebagiannya sudah hangus terbakar. Api sudah tidak lagi berkobar.&
PoV Abang Pukul delapan pagi, tiba di kantor. Bertepatan dengan kedatangan Dion. Kami bertemu di area parkir. “Dira udah datang dari jam tujuh katanya,” ujar Dion mensejajari langkahku. “Wah tumben? Ada apa?” “Ada yang mau dibicarain soal perumahan itu. Dia mau langsung ke sana hari ini.” Saat melewati lobby, terlihat Dira sedang berbincang dengan seorang wanita. Aku dan Dion menghampiri Dira seketika pembicaraan mereka terhenti. “Pagi, Pak Dendi, Pak Dion.” Sapa Dira berdiri. Wanita di sampingnya membuang muka, menyeka air mata. “Pagi. Eh, bukannya itu Rina ya?” tanyaku melongok wanita yang kini berdiri di samping Dira. “Iya, Bang. Aku Rina,” sahut anak kedua Om Rahmat. “Ya udah, Ayo kita naik ke atas.” Ajakku pada mereka. Dion sudah lebih dahulu naik ke atas. Mungkin mempersiapkan beberapa berkas terkait proyek perumahan yang ditangani Dira. “Aku nunggu di sini aja,” ucap Rina. “Kamu ikut. Ada yang mau saya bicarakan.” Kataku berjalan lebih dulu dari Sabrina dan Sudira. M
PoV BundaAku hanya menghela napas. Bingung, harus bersikap bagaimana. Kakak kandungku menikah dengan wanita yang pernah dekat dengan Mas Bram. Haruskah berdiam diri, membiarkan Bang Yadi dikuras uangnya perlahan-lahan?“Riana, aku berani sumpah. Aku tidak pernah lagi menghubungi dia. Aku juga gak tahu, kalau dokter punya hubungan dengannya? Riana aku minta maaf.” Menoleh, menatap kedua netra laki-laki yang telah bertahun-tahun aku cintai. Kupaksakan bibir ini untuk tersenyum.“Aku percaya sama kamu, Mas.” Mas Bram terlihat lega. Ia menggenggam telapak tanganku lalu mengecupnya berkali-kali.“Aku janji! Gak akan mendekati wanita lain lagi. Apalagi mendekati Cindy atau Sari. Tidak akan, Riana!”“Sari? Maksud Mas apa?” Aku heran, kenapa Mas Bram menyebut nama Sari? Sikap suamiku salah tingkah kembali. Ia sekarang tampak gusar. Melepas
PoV BundaTak kusangka, dokter Rahmat yang tak lain adalah Kakak kandungku bertandang ke rumah lagi. Mas Bram yang kebetulan sedang ada di rumah menyambutnya cukup ramah, seolah kejadian malam tempo hari itu tidak terjadi. Bang Yadi dan Mas Bram duduk di kursi teras, mereka berbincang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku ke dalam membawa dua cangkir kopi, menyuguhkannya pada suamiku dan Bang Yadi.“Jadi, kau juga sudah menemui Ibu?”Degh!Pertanyaan Mas Bram yang dilontarkan untuk Bang Yadi membuatku tersentak. Maksud Mas Bram Ibu siapa ya? Aku menarik kursi satunya, duduk di sebelah Mas Bram.“Sudah. Aku yakin, kalau beliau memang wanita yang telah melahirkanku dan Tari.”Jawaban Bang Yadi membuatku salah tingkah. Mas Bram dan Bang Yadi sudah bertemu dengan wanita itu, dan mereka sangat yakin kalau wanita yang tinggal di rumah Dendi adalah Ibuku dan B
PoV Abang“On, telepon Pak Heru. Kita nunggu di rumah Firman aja. Sekalian bilang ke Pak Heru, jenazah Herlina langsung urus di sana. Dari mulai dimandiin, dikafanin, dan juga dishalatin. Biar nanti di daerah kediaman Firman, kita persiapkan pemakamannya aja.” Kataku sambil menyetir.“Oke.” Dion langsung menghubungi komandan Heru Rudhiat.Sekian menit Dion berbicara dengan Komandan Heru. Sesekali aku menoleh, memastikan segala yang aku usulkan disanggupi.“Gimana, On?” tanyaku, begitu Dion mengakhiri sambungan telepon.“Iya. Jenazah Herlina diurus di sana. Tadi Pak Heru bilang, jam dua siang, Herlina dibawa ke rumah sakit. Sempat mengalami perawatan. Nah jam tiga, dia meninggal.”“Oh begitu. Sekarang udah dikafani belum?”“Tadi katanya lagi dimandiin sama pihak pemandi mayat rumah sakit
PoV AbangSetelah dua hari istirahat di rumah, akhirnya aku bisa keluar juga. Menghadiri acara pernikahan Mama Dahlia dan Pak Supriyatna. Acaranya dilaksanakan di kediaman baru Pak Supriyatna yang berlokasi tidak jauh dari rumah Ibu.“Kalau kata Ibu, Pak Supri sengaja beli rumah dekat rumah Ibu supaya Mama Dahlia ada temannya. Udah gitu kan, ibu sama Mama Dahlia lagi produksi usaha kue kering.” Jelas Ayu saat aku bertanya alasan Pak Supri membeli rumah di daerah situ.Tidak hanya aku dan Ayu yang datang di acara pernikahan orang tua Silvi itu, Nenek, Bi Sumi dan Bang Parto pun ikut datang.Setelah semuanya siap, kami meluncur ke lokasi acara tersebut. Bang Parto yang mengemudikan mobil.Tidak memerlukan waktu lama, kami telah sampai di tempat. Suasana sudah mulai ramai. Aku memapah dan memperkenalkan Nenek pada Ibu dan yang lainnya. Alhamdulillah mereka menerima dan percaya kalau N
PoV AbangAku membiarkan Nenek dan Om Rahmat hanyut dalam isak tangis kerinduan. Meninggalkan mereka dan Masuk ke dalam kamar, air mataku turut mengalir. Ayu yang sedang berselonjor di atas pembaringan terhenyak.“Bang, Abang kenapa?” Bergegas Ayu menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menyeka air mata.“Om Rahmat mengakui Nenek sebagai Ibunya?” Aku menoleh, menganggukkan kepala.“Alhamdulillah ....” Ayu memeluk pinggangku. Aku membelai kepalanya, mengecup cukup lama.“Abang terharu ya?”“Iya. Tapi sayang, Abang gagal bikin Bunda mau menemui Nenek.” Ayu mengembuskan napas. Mengusap punggung tanganku.“Gak apa-apa. Insya Allah, Bunda juga sebentar lagi mau mengakui Nenek.”“Sebentar lagi kan, Ayu mau lahiran. Abang pengen semua keluarga berkum
PoV dokter RahmatApa benar begitu? Perasaan sayang yang aku rasakan pada Tari, karena kami ada hubungan darah?Memang, kerap kali Tari merasa tersakiti, hatiku ikut tersakiti. Melihatnya bahagia, hatiku pun ikut bahagia. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Di mana sebelumnya kami tertawa bersama, namun sikap kasar yang dilakukan oleh Bram terhadap Tari membuatku sangat amat marah.“Om, kalau ingin mendengar cerita lebih jelasnya, Om bisa ikut saya untuk ketemu Nenek. Kasihan Nenek, Om. Apakah Om tidak merindukan sosok wanita yang telah mengandung dan melahirkan Om?”“Kau ... telah bertemu dengan dia?” Bergetar aku melempar tanya.“Iya.”“Apa kau yakin, kalau dia wanita yang telah melahirkan Om dan Bundamu?”“Yakin. Walaupun kami belum melakukan tes DNA, tapi saya yakin kalau be