PoV Abang
“Ini Mas baksonya!” Mang Rohim menyodorkan dua bungkus bakso. Aku mengeluarkan dompet, memberikan seratus ribuan.
“Jangan, Mas. Ini gratis!” tolak Mang Rohim.
“Halah, gak usah digratisin, Mang. Ambil saja.” Aku menyimpan selembar uang di atas telapak tangan Mang Rohim.
“Makasih ya, Mas.”
“Sama-sama.”
Pak Ojo mengantarku hingga ke depan mobil.
“Semoga Neng Ayu segera ketemu keluarga yang sebenarnya, Mas.” Tangan Pak Ojo menepuk-nepuk pundakku.
“Aamiin. Sekalian lewat, saya mau mampir ke mini market. Mau tanya-tanya ke orang itu.” Semoga saja, orang yang menculik Ayu dapat memberikan informasi terkait keluarga kandung Ayu.
“Iya, iya. Semoga saja keluarga Neng Ayu segera ditemukan.”
&ldquo
PoV AbangSumpah!! Nyesel banget hape disilent! Tau dari awal Ayu nge-chat, gak bakal kejadian kayak gini.Kurangkul pundak Ayu yang gemetar, keluar dari hotel laknat. Berharap, suatu saat hotel ini bangkrut atau kebakaran!!Sepanjang jalan, tak kuhiraukan tatapan orang-orang yang melihat aneh kami. Ayu masih saja menangis. Bisa kurasakan ketakutan dari raut wajahnya.“Eh, Mbak Ayu mau dibawa kemana?” tanya seorang satpam berkulit hitam legam. Ayu merapatkan tubuhnya padaku.“Bang ... di-dia salah satu anak buah Firman.” Lirih Ayu berbicara. Aku menatap tajam satpam tersebut.“Lo minggir? Atau bonyok tuh muka?” Laki-laki di depan, mulai mundur, melihat ke belakang. Aku dan Ayu serempak menoleh. Rupanya Dion membawa Firman yang hanya mengenakan celana boxer Hello Kitty dengan kedua tangan diikat.“
PoV AyuHati anak mana yang tidak sakit, jika dijudge buruk oleh ibu kandungnya sendiri. Lebih mempercayai omongan orang lain dari pada anaknya sendiri. Seperti itu kira-kira perasaan Abang saat ini. Sedih, marah dan kecewa.Aku sendiri tak menduga, kalau Bunda yang selama ini sangat lemah lembut, begitu tega bersikap kasar pada anak kandungnya sendiri apalagi sampai menampar Abang.“Bang ....” panggilku lirih. Melihat wajah Abang yang semraut.“Hm?”“Abang baik-baik aja?” tanyaku khawatir. Sepanjang jalan Abang hanya diam. Tak bersuara sepatah kata pun.“Baik.” Ia menarik napas panjang.“Maafin Ayu, Bang ... gara-gara Ayu—““Jangan dibahas. Abang gak apa-apa.” Cetusnya memotong ucapanku.Kembali kami terdiam sampai ke h
PoV AbangAku tak percaya kalau Ayu bisa langsung akrab sama Ibunya Dion. Padahal mereka baru pertama kali bertemu. Si plontos pake ngajakin keluar segala, padahal aku juga pengen tahu, apa yang ingin Ayu bicarakan sama Ibu.“Eh! Ngintip-ngintip aja lo!” Dion memukul lenganku saat kami duduk di bangku teras depan.“Penasaran gue. Itu si Ayu, napa bisa cepet deket ama Ibu sih?” Kepala botak Dion ikutan melongok ke dalam.“Iya. Gue juga sempet aneh tadi. Tapi ya ... namanya wanita kan gitu. Lo gimana tadi ama Bunda? Lo gak nyalahin Bunda kan?” tanya Dion sambil membuka cemilan. Aku tersenyum miring, mengingat kembali perlakuan Bunda. Memang, harusnya aku yang marah-marah lebih dulu, ini malah sebaliknya. Baru nyampe rumah, langsung disalahin, mendapat tamparan pula. Tamparan pertama kalinya seumur hidupku.“Bukan gue yang nyalahin Bunda, ta
PoV AyuYa ampun ... diintip Bang Dion, Ibu dan Bi Sumi. Duh mau taruh di mana mukakuAbang rese sih! Segala nyuruh bilang ‘sayang’.“Kamu ini, Nak! Pake teriakin Dendy. Tuh lihat Ayu, dia kan jadi malu.” Gertak Ibu memukul punggung Bang Dion. Seolah mengerti apa yang kurasakan.“Habisnya jijik liat gaya si Dendy, Bu.” cetus Bang Dion menampilkan ekspresi jijik.“Elah, bilang aja lo iri!” Abang menyahut. Sadiiis ....“Sudah, ayok-ayok kita pergi! Biar Dendy sama Ayu selesaikan dulu makan baksonya.” Ibu melerai. Mengajak Bang Dion dan Bi Sumi menajuhi dapur.“Ibu mau bakso?” tawarku sebelum Ibu beranjak, menghalau rasa tak enak hati juga.“Enggak, Sayang. Makasih. Silakan diterusin makannya. Dion, ayok ke sana!”“Iya, Bu.&r
PoV Abang“Buset! Calon bini galak bener dah!” Gerutuku saat Ayu menutup pintu kamar. Disuruh bilang ‘Sayang’ malah diusir. Nasib, nasib ....Aku berjalan menuju ruang televisi sambil garuk-garuk kepala. Duduk di samping Dion.“Nape lo?”“Diusir Ayu.”“Lo nya sih, geniiitt ....”“Elah, genit juga ke si Ayu doang kali.” Menselonjorkan kaki, meraih remote.“Eh, eh, jangan diganti. Lagi rame filmnya.” Remote tv direbut si Dion. Langsung diumpetin diketeknya. Asem bener!!“Rame apanya? Film Cuma bini selingkuh, laki selingkuh, ujungnya dapet azab, lo sukain?”“Bodo!! Dari pada lo, doyan nonton film India.”“Mending gue lah.” Kuangkat sebelah kaki sambil nyomot ce
PoV Ayu Malam hari, aku masih termenung. Memikirkan kejadian tadi siang. Sudah pukul sepuluh malam, mata enggan terpejam. Entah karena baru kali ini tidur di rumah orang lain, atau memang belum ngantuk. Aku meraih handphone, mau WA Abang. Dia udah tidur belum ya? [Abang] Send. Ceklis dua tapi belum dibaca. Nyepam ah .... [A] [B] [A] [N] [G] [T] [A] [M] [PAN] Dih! Belum juga diread. Kayaknya udah tidur. Ya udahlah. Menyimpan handphone, menarik selimut. Baru saja mata terpejam, benda android itu berdering. Segera kuraih. Abang telepon. “Kenapa?” Terdengar suara dari seberang. “Ayu belum ngantuk, gak bisa tidur.” Aku mulai mengeluh. Terdengar helaan napas. “Kepikiran soal kejadian siang. Apalagi besok mau tes DNA, Ayu takut.” Sambungku mendekap bantal.
PoV Ayu"SiapaHerlina?” Ibu melempar tanya dengan tatapan menusuk.“Bu ... Bang Parto suruh duduk aja dulu. Kasihan dia kayak gitu dari tadi,” ucap Abang. Lagi pula orang itu sepertinya sudah benar-benar bertaubat. Abang mengambil kursi plastik yang tak jauh dari bale.“Duduk di sini, Bang. Biar enak ngobrolnya,” sambung Abang. Sambil terbatuk-batuk Bang Parto menurut. Ibu meminta pindah tempat duduk. Ingin lebih dekat dengan Bang Parto. Mungkin agar lebih jelas mendengar penuturan lelaki bertato itu.“Saya gak suka muter-muter, lebih baik Anda cerita yang jujur. Siapa Herlina? Apa motifnya sampe menculik anak saya dan membunuh suami saya?!” Cecar ibu dengan luapan emosi yang menggebu. Sepertinya Bang Parto tak sanggup menatap Ibu. Sedari tadi merunduk terus. Rasa sesal dan bersalah kentara sekali dari raut wajah sangarnya.“Baik. S
PoV Bunda Tari RianaSudah dua hari, Dendy dan Ayu pergi dari rumah. Sepi, itu yang kurasakan. Semua ini memang salahku. Telah menyuruh Ayu menemani Firman hingga kehormatannya hampir terenggut.Sama sekali tak menduga kalau anak Jeng Ratih tega melakukan hal serendah itu.Melihat handphone, tak ada pesan atau telepon dari Dendy mau pun Ayu. Aku sendiri, tidak berani menghubungi mereka terlebih dahulu. Apakah mereka masih saja marah padaku?Dari kemarin, aku sangat mencemaskan keadaan Ayu. Anak itu tinggal di mana. Awalnya aku berpikir, kalau dia tinggal di apartemen Dendy tapi setelah aku tanyakan pada bagian keamanan, katanya hanya ada Dendy tidak ada seorang perempuan. Lantas Ayu tinggal di mana? Silvi sahabat karibnya pun tidak tahu menahu keberadaan Ayu.Ya Allah, Naaak ... Bunda kangen. Kangen kalian.Handphone berdering. Jeng Ratih menelepon. Ada apa lagi dia?