Share

Bab 2

Author: Eriana
last update Last Updated: 2025-01-03 11:04:36
Aku berusaha menenangkan bibiku. Namun, dia menarikku dengan kuat ke depan seperti kerasukan. Seketika aku sadar, kemungkinan besar pemabuk itu adalah perbuatannya.

Dia tidak menyukaiku karena aku adalah anak angkat, dan kini dia rela berbuat sejauh ini, menggunakan tangan gelandangan untuk mencelakaiku. Aku merasa sangat putus asa. Apakah meskipun memulai kembali, aku tetap tidak bisa menghindari takdir disiksa hingga mati oleh pemabuk?

Di kehidupan sebelumnya, meskipun aku lolos dari tangan pemabuk, aku akhirnya tetap mati di tangan mereka. Aku diam-diam menelepon kakakku tanpa sepengetahuan bibi. Kakak yang mendengar permohonanku, membawa orang-orang dan menangkap pemabuk itu tepat waktu, sehingga aku berhasil selamat.

Namun, adik angkatku, Hilda, merasa ditinggalkan karena tidak melihat kakak kami hingga pertunjukan selesai. Merasa diabaikan, dia memilih menusuk tubuhnya sendiri dengan alat peraga di panggung.

Dia meninggal seketika.

Di pemakamannya, aku sangat sedih, tetapi kedua kakakku memelukku erat dan menghiburku. "Jangan salahkan dirimu, setidaknya kamu masih selamat."

Namun, pada malam itu juga, mereka mengikatku dan mengirimku kepada sekelompok pemabuk.

Di tengah kegelapan, mata kakak sulungku bersinar menyeramkan. "Kenapa kamu masih punya nyali untuk hidup di dunia ini?"

Kakak kedua menarik rambutku dengan marah. "Ini cuma pemabuk, kamu tinggal usir saja, kenapa harus panggil kami pulang? Kamu sengaja menelepon kami di depan kamera, bukankah untuk membuktikan bahwa kamu lebih penting?"

"Sekarang lihat hasilnya, Hilda sudah mati, kamu juga nggak layak hidup!"

Tujuh atau delapan tangan besar mulai menjamah tubuhku dan bajuku langsung terkoyak. Aku menahan tangis dan berusaha menjelaskan sekuat tenaga.

"Aku sama sekali nggak mikir sejauh itu! Aku cuma refleks teringat kalian waktu dalam bahaya! Kalau aku tahu drama itu lebih penting daripada nyawa, aku lebih baik mati sendiri!"

Sejak kecil, aku tumbuh besar bergantung pada kakak-kakakku. Demi bertahan hidup, kami berusaha sekuat tenaga. Tidak mungkin kami menyerah begitu saja.

Ketika aku tahu Hilda mengakhiri hidupnya hanya karena kakak kami tidak menonton pertunjukannya, aku sangat terkejut hingga tidak bisa berkata-kata. Yang lebih mengejutkan lagi, kakakku memilih mengorbankanku demi hal itu!

Tangan-tangan yang kasar menjelajahi tubuhku. Aku merasa malu dan marah hingga berharap kakak sulungku segera menghabisiku saja. Namun, dia justru tertawa pelan.

"Sejak kamu bermain trik kecil itu, kamu seharusnya sudah tahu hari ini akan datang!"

"Kalian semua, bersenang-senanglah dengannya. Kalau sampai dia mati, ada hadiahnya!"

Mereka semua pun pergi. Namun tak lama kemudian, kakak keduaku kembali. Harapanku seketika membuncah.

Namun, dia mengeluarkan beberapa pisau dan memaku keempat anggota tubuhku. Jeritanku memecah keheningan malam dan membuatnya puas. "Dasar licik, coba aku lihat trik apa lagi yang bisa kamu mainkan!"

Aku terkulai di lantai dan tenggelam dalam kesedihan, membiarkan orang-orang itu berbuat semaunya. Aku masih ingat saat Hilda baru datang ke rumah kami. Mereka bersumpah bahwa aku akan selalu menjadi satu-satunya adik mereka. Aku percaya. Namun pada akhirnya, hanya aku yang menjadi orang bodoh!

Suara pintu diketuk dengan keras membangunkan lamunanku. Aku menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Bagaimanapun, bibiku sudah tua. Setelah berulang kali memaksakan diri, dia pun kelelahan dan terengah-engah.

Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menggigit tangannya dengan keras, lalu segera melepaskan diri dan berlari ke kamar tidur. Aku langsung mengunci pintu dan meninggalkan bibiku di luar yang marah-marah.

Saat kebebasan kembali kuraih, tubuhku menjadi lemas, dan aku terduduk perlahan bersandar di pintu. Harapan besar memenuhi hatiku. Ini adalah langkah pertama menuju keberhasilan. Kali ini, aku harus bertahan hidup!

Namun tiba-tiba, terdengar suara kunci yang sedang diputar di pintu.

Related chapters

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 3

    Bibiku ternyata memiliki kunci kamar tidurku!Begitu pintu dibuka, dia langsung menamparku dengan keras. Kemudian, dia menarik rambutku dan menyeretku keluar. Tepat saat itu, telepon rumah di dekat kakiku tiba-tiba berdering. Aku buru-buru menggunakan kakiku untuk mengangkat gagangnya dan menekan tombol pengeras suara.Suara tetangga, Bibi Deslin, terdengar dari seberang dengan nada sedikit kesal. "Winona, tengah malam begini kenapa masih ribut? Ada apa di rumahmu? Siapa pria di luar itu? Suruh dia berhenti mengetuk pintu!"Aku segera berteriak, "Bibi Deslin, tolong lapor polisi! Di dalam rumah ada orang yang mencoba membunuhku!""Pria mabuk di luar itu aku nggak kenal, kemungkinan dia komplotan penjahat! Kalau dia berhasil mendobrak masuk ke rumahku, berikutnya mungkin giliran rumahmu!"Tuduhan penjahat itu hanyalah karanganku, tapi manusia cenderung baru peduli saat kepentingannya sendiri terancam. Benar saja, setelah mendengarnya, suara Deslin langsung meninggi. "Penjahat? Tunggu, a

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 4

    Meskipun aku tidak tahu dengan pasti situasi di luar pintu, kenyataan bahwa orang di luar sudah menunjukkan senjata tajam membuatku semakin yakin ... aku tidak boleh keluar!Aku berusaha merangkak menuju jendela, tapi bibiku segera menyadari niatku. Dengan cepat, dia menangkapku dan menarikku kembali. Aku tidak punya pilihan selain kembali meminta bantuan dari Bibi Deslin."Bibi Deslin, dengar itu! Pemabuk di luar sudah mengeluarkan senjata tajam dan mencoba mendobrak pintu rumahku!""Di sini penghuninya sangat sedikit. Kalau penjahat itu selesai merusak rumahku dan pindah ke rumahmu, lalu kamu baru melapor, itu sudah terlambat!""Dasar kamu ini, jangan maksa orang lain untuk buat laporan palsu!" Bibiku buru-buru memotong perkataanku dan melotot tajam dengan wajah penuh senyum jahat."Senjata tajam apa? Itu karena dia terlalu lama menunggu di depan pintu! Pengantar barangnya hampir kena penalti karena telat. Makanya dia jadi mengetuk pintu dengan panik.""Kamu ini nggak tahu ya, kurir

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 5

    Bibiku masih mencoba berdalih. Dia segera berkata dengan nada tergesa-gesa, "Nggak apa-apa, cuma nggak sengaja jatuh dan menabrak pintu. Jangan sampai Hilda kelaparan, kalian cepat pergi saja, aku tutup telepon ini ya!"Namun, saat bibiku berbicara, suara pukulan keras di pintu terus berlanjut tanpa henti."Bibi, kamu lagi bohong ya?" Suara dingin kakakku terdengar. Meskipun dalam bentuk pertanyaan, nadanya penuh keyakinan. "Seberapa sering orang bisa jatuh sampai begitu?"Bibiku tergagap. Dia tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal, lalu langsung merebut telepon dan hendak menutupnya."Kalian lihat rekaman kamera di depan pintu Winona, periksa apa yang sedang terjadi." Sebelum telepon terputus, suara kakakku terdengar jelas di telinga kami.Wajah bibiku seketika memucat, dia langsung terkulai di lantai. Aku menghela napas lega, tubuhku terasa ringan. Aku berbaring di lantai dan merasa aman. Aku tahu, aku telah diselamatkan.Namun, belum sempat aku benar-benar merasa lega, mataku

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 6

    "Jangan bergerak!"Dalam sekejap, pintu utama didobrak, dan polisi muncul. Pemabuk itu segera dilumpuhkan, sementara aku terkulai lemas di lantai, seperti habis melewati ratusan pertempuran.Polisi membawa pemabuk dan bibiku pergi. Aku juga ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.Karena bibiku sangat tidak kooperatif, aku terus-menerus diinterogasi dan diminta mengingat dan menceritakan ulang pengalaman yang nyaris membunuhku. Aku hampir menghabiskan semalaman di kantor polisi. Ketika akhirnya keluar, langit sudah mulai terang.Selama itu, kedua kakak yang tahu apa yang terjadi padaku, tidak datang menjengukku sekali pun dan bahkan tidak menanyakan kabar. Saat aku membuka ponsel, hanya ada satu pesan singkat dan dingin.[ Perayaan untuk Hilda nggak bisa ditinggalkan. Aku sudah panggil orang untuk membantu. Jaga dirimu. ]Pesan itu menusuk hatiku berkali-kali.Saat aku kembali ke kompleks dengan keadaan lusuh, aku menemukan kedua kakakku sudah berada di sana. Hilda duduk deng

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 7

    Aku merasa muak dengan semua ini. Baik yang bagus maupun yang buruk, aku membersihkan seluruh isi rumah tanpa sisa.Sejak tahun kedua Hilda tinggal di rumah, uang sakuku sudah dihentikan. Selama bertahun-tahun, aku mengandalkan usahaku sendiri untuk bertahan hidup dan menghidupi diriku sendiri.Rumah ini kubeli beberapa tahun lalu, awalnya memang harus berhemat dan hidup seadanya. Namun sekarang, perusahaan yang kudirikan sudah berjalan stabil, dengan nilai pasar yang berlipat kali dari awal, bahkan jauh melampaui perusahaan milik kakakku.Meski begitu, aku tidak pernah melupakan masa-masa sulit dulu, itulah sebabnya aku tetap mempertahankan rumah ini. Namun alasan utamaku adalah karena aku masih sayang pada kedua kakakku, rumah ini dekat dengan kompleks vila mereka. Namun sekarang, semua itu tidak berarti lagi.Aku langsung memasang iklan penjualan rumah ini secara online dengan harga murah. Sebagai tanda terima kasih atas "perawatan" mereka selama bertahun-tahun, aku juga mengirimkan

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 8

    Aku langsung mendorong kakak kedua menjauh dan kembali duduk di sofa dengan santai. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan melawan. Dia terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan terkejut di tempatnya.Melihat tidak ada yang benar-benar berani berbuat apa-apa padaku, Hilda mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan sambil mengerutkan alis."Kakak, sejak kecil aku sudah menjadi yatim piatu. Kakak-kakak kita sibuk dan di malam-malam ketika aku nggak bisa tidur, cuma Bibi yang selalu menemaniku."Hilda tiba-tiba berlutut di hadapanku. Bahkan, dia sengaja bergeser sedikit agar tidak berlutut di atas pecahan piring."Kakak, kumohon, Bibi sangat penting bagiku. Dia sudah menganggapku seperti putrinya dan aku juga menganggapnya sebagai ibu yang harus kuhormati. Tolong, bicaralah dengan polisi dan bebaskan dia. Kalau ada hukuman yang harus diterima, aku bersedia menanggungnya!"Kain putih di lututnya perlahan menjadi merah karena darah, sangat mencolok."Cukup!" Kakak pertama tiba-tiba b

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 9

    Bukti nyata terpampang di depan mata.Kedua kakakku tampak terpukul. Selama bertahun-tahun, mereka menghormati Bibi yang ternyata adalah pembunuh orang tua mereka. Mereka memanjakan Hilda seperti harta paling berharga yang ternyata dia adalah anak dari pembunuh itu.Sementara aku, satu-satunya adik yang tulus mencintai mereka, justru menjadi sasaran penderitaan mereka selama ini.Di saat itu, aku merasa puas, bahkan tertawa hingga meneteskan air mata. "Jadi, jadi selama ini kedua kakakku hanyalah orang bodoh yang dimanipulasi seperti mainan di tangan orang lain!"Wajah kedua kakakku menjadi semakin muram. Kakak pertama berdiri kaku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Bibi di kejauhan.Kakak kedua, dengan emosi yang meledak-ledak, langsung melompat dan mencengkeram kerah Bibi sambil berteriak marah, "Dasar wanita busuk! Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini?!""Ayah dan Ibu selalu baik sama kamu dan Paman, juga selalu membantu kalian. Kenapa kamu membalas kebaikan dengan pengkhianatan?!"

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 10

    Bibi kehilangan banyak darah dan meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Kakak pertama yang kini didakwa dengan tuduhan penganiayaan berat, langsung ditahan dan dikirim ke penjara.Kakak kedua berdiri di sana dengan wajah penuh rasa bersalah. Dia perlahan menoleh ke arahku, mencoba berbicara, "Winona, aku ...."Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, Hilda langsung melangkah di depanku, memotong pembicaraan. Dengan air mata berlinang, dia melompat ke pelukan kakak kedua sambil gemetar ketakutan."Kak, maafkan aku, sungguh maafkan aku .... Tapi aku benar-benar nggak tahu apa-apa soal semua ini. Aku nggak bersalah, kamu harus percaya sama aku! Kak, aku takut sekali. Kamu nggak akan meninggalkanku, 'kan?"Kakak kedua terlihat bingung dan tidak bisa bergerak, seperti terikat oleh tangisan dan rengekan Hilda. Melihat wajahnya yang penuh dilema, aku hanya memutar mata dan pergi begitu saja.Kemudian, aku kembali ke kompleks untuk menunjukkan rumahku kepada calon pembeli. Pembeli tersebu

    Last Updated : 2025-01-03

Latest chapter

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 10

    Bibi kehilangan banyak darah dan meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Kakak pertama yang kini didakwa dengan tuduhan penganiayaan berat, langsung ditahan dan dikirim ke penjara.Kakak kedua berdiri di sana dengan wajah penuh rasa bersalah. Dia perlahan menoleh ke arahku, mencoba berbicara, "Winona, aku ...."Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, Hilda langsung melangkah di depanku, memotong pembicaraan. Dengan air mata berlinang, dia melompat ke pelukan kakak kedua sambil gemetar ketakutan."Kak, maafkan aku, sungguh maafkan aku .... Tapi aku benar-benar nggak tahu apa-apa soal semua ini. Aku nggak bersalah, kamu harus percaya sama aku! Kak, aku takut sekali. Kamu nggak akan meninggalkanku, 'kan?"Kakak kedua terlihat bingung dan tidak bisa bergerak, seperti terikat oleh tangisan dan rengekan Hilda. Melihat wajahnya yang penuh dilema, aku hanya memutar mata dan pergi begitu saja.Kemudian, aku kembali ke kompleks untuk menunjukkan rumahku kepada calon pembeli. Pembeli tersebu

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 9

    Bukti nyata terpampang di depan mata.Kedua kakakku tampak terpukul. Selama bertahun-tahun, mereka menghormati Bibi yang ternyata adalah pembunuh orang tua mereka. Mereka memanjakan Hilda seperti harta paling berharga yang ternyata dia adalah anak dari pembunuh itu.Sementara aku, satu-satunya adik yang tulus mencintai mereka, justru menjadi sasaran penderitaan mereka selama ini.Di saat itu, aku merasa puas, bahkan tertawa hingga meneteskan air mata. "Jadi, jadi selama ini kedua kakakku hanyalah orang bodoh yang dimanipulasi seperti mainan di tangan orang lain!"Wajah kedua kakakku menjadi semakin muram. Kakak pertama berdiri kaku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Bibi di kejauhan.Kakak kedua, dengan emosi yang meledak-ledak, langsung melompat dan mencengkeram kerah Bibi sambil berteriak marah, "Dasar wanita busuk! Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini?!""Ayah dan Ibu selalu baik sama kamu dan Paman, juga selalu membantu kalian. Kenapa kamu membalas kebaikan dengan pengkhianatan?!"

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 8

    Aku langsung mendorong kakak kedua menjauh dan kembali duduk di sofa dengan santai. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan melawan. Dia terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan terkejut di tempatnya.Melihat tidak ada yang benar-benar berani berbuat apa-apa padaku, Hilda mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan sambil mengerutkan alis."Kakak, sejak kecil aku sudah menjadi yatim piatu. Kakak-kakak kita sibuk dan di malam-malam ketika aku nggak bisa tidur, cuma Bibi yang selalu menemaniku."Hilda tiba-tiba berlutut di hadapanku. Bahkan, dia sengaja bergeser sedikit agar tidak berlutut di atas pecahan piring."Kakak, kumohon, Bibi sangat penting bagiku. Dia sudah menganggapku seperti putrinya dan aku juga menganggapnya sebagai ibu yang harus kuhormati. Tolong, bicaralah dengan polisi dan bebaskan dia. Kalau ada hukuman yang harus diterima, aku bersedia menanggungnya!"Kain putih di lututnya perlahan menjadi merah karena darah, sangat mencolok."Cukup!" Kakak pertama tiba-tiba b

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 7

    Aku merasa muak dengan semua ini. Baik yang bagus maupun yang buruk, aku membersihkan seluruh isi rumah tanpa sisa.Sejak tahun kedua Hilda tinggal di rumah, uang sakuku sudah dihentikan. Selama bertahun-tahun, aku mengandalkan usahaku sendiri untuk bertahan hidup dan menghidupi diriku sendiri.Rumah ini kubeli beberapa tahun lalu, awalnya memang harus berhemat dan hidup seadanya. Namun sekarang, perusahaan yang kudirikan sudah berjalan stabil, dengan nilai pasar yang berlipat kali dari awal, bahkan jauh melampaui perusahaan milik kakakku.Meski begitu, aku tidak pernah melupakan masa-masa sulit dulu, itulah sebabnya aku tetap mempertahankan rumah ini. Namun alasan utamaku adalah karena aku masih sayang pada kedua kakakku, rumah ini dekat dengan kompleks vila mereka. Namun sekarang, semua itu tidak berarti lagi.Aku langsung memasang iklan penjualan rumah ini secara online dengan harga murah. Sebagai tanda terima kasih atas "perawatan" mereka selama bertahun-tahun, aku juga mengirimkan

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 6

    "Jangan bergerak!"Dalam sekejap, pintu utama didobrak, dan polisi muncul. Pemabuk itu segera dilumpuhkan, sementara aku terkulai lemas di lantai, seperti habis melewati ratusan pertempuran.Polisi membawa pemabuk dan bibiku pergi. Aku juga ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.Karena bibiku sangat tidak kooperatif, aku terus-menerus diinterogasi dan diminta mengingat dan menceritakan ulang pengalaman yang nyaris membunuhku. Aku hampir menghabiskan semalaman di kantor polisi. Ketika akhirnya keluar, langit sudah mulai terang.Selama itu, kedua kakak yang tahu apa yang terjadi padaku, tidak datang menjengukku sekali pun dan bahkan tidak menanyakan kabar. Saat aku membuka ponsel, hanya ada satu pesan singkat dan dingin.[ Perayaan untuk Hilda nggak bisa ditinggalkan. Aku sudah panggil orang untuk membantu. Jaga dirimu. ]Pesan itu menusuk hatiku berkali-kali.Saat aku kembali ke kompleks dengan keadaan lusuh, aku menemukan kedua kakakku sudah berada di sana. Hilda duduk deng

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 5

    Bibiku masih mencoba berdalih. Dia segera berkata dengan nada tergesa-gesa, "Nggak apa-apa, cuma nggak sengaja jatuh dan menabrak pintu. Jangan sampai Hilda kelaparan, kalian cepat pergi saja, aku tutup telepon ini ya!"Namun, saat bibiku berbicara, suara pukulan keras di pintu terus berlanjut tanpa henti."Bibi, kamu lagi bohong ya?" Suara dingin kakakku terdengar. Meskipun dalam bentuk pertanyaan, nadanya penuh keyakinan. "Seberapa sering orang bisa jatuh sampai begitu?"Bibiku tergagap. Dia tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal, lalu langsung merebut telepon dan hendak menutupnya."Kalian lihat rekaman kamera di depan pintu Winona, periksa apa yang sedang terjadi." Sebelum telepon terputus, suara kakakku terdengar jelas di telinga kami.Wajah bibiku seketika memucat, dia langsung terkulai di lantai. Aku menghela napas lega, tubuhku terasa ringan. Aku berbaring di lantai dan merasa aman. Aku tahu, aku telah diselamatkan.Namun, belum sempat aku benar-benar merasa lega, mataku

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 4

    Meskipun aku tidak tahu dengan pasti situasi di luar pintu, kenyataan bahwa orang di luar sudah menunjukkan senjata tajam membuatku semakin yakin ... aku tidak boleh keluar!Aku berusaha merangkak menuju jendela, tapi bibiku segera menyadari niatku. Dengan cepat, dia menangkapku dan menarikku kembali. Aku tidak punya pilihan selain kembali meminta bantuan dari Bibi Deslin."Bibi Deslin, dengar itu! Pemabuk di luar sudah mengeluarkan senjata tajam dan mencoba mendobrak pintu rumahku!""Di sini penghuninya sangat sedikit. Kalau penjahat itu selesai merusak rumahku dan pindah ke rumahmu, lalu kamu baru melapor, itu sudah terlambat!""Dasar kamu ini, jangan maksa orang lain untuk buat laporan palsu!" Bibiku buru-buru memotong perkataanku dan melotot tajam dengan wajah penuh senyum jahat."Senjata tajam apa? Itu karena dia terlalu lama menunggu di depan pintu! Pengantar barangnya hampir kena penalti karena telat. Makanya dia jadi mengetuk pintu dengan panik.""Kamu ini nggak tahu ya, kurir

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 3

    Bibiku ternyata memiliki kunci kamar tidurku!Begitu pintu dibuka, dia langsung menamparku dengan keras. Kemudian, dia menarik rambutku dan menyeretku keluar. Tepat saat itu, telepon rumah di dekat kakiku tiba-tiba berdering. Aku buru-buru menggunakan kakiku untuk mengangkat gagangnya dan menekan tombol pengeras suara.Suara tetangga, Bibi Deslin, terdengar dari seberang dengan nada sedikit kesal. "Winona, tengah malam begini kenapa masih ribut? Ada apa di rumahmu? Siapa pria di luar itu? Suruh dia berhenti mengetuk pintu!"Aku segera berteriak, "Bibi Deslin, tolong lapor polisi! Di dalam rumah ada orang yang mencoba membunuhku!""Pria mabuk di luar itu aku nggak kenal, kemungkinan dia komplotan penjahat! Kalau dia berhasil mendobrak masuk ke rumahku, berikutnya mungkin giliran rumahmu!"Tuduhan penjahat itu hanyalah karanganku, tapi manusia cenderung baru peduli saat kepentingannya sendiri terancam. Benar saja, setelah mendengarnya, suara Deslin langsung meninggi. "Penjahat? Tunggu, a

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 2

    Aku berusaha menenangkan bibiku. Namun, dia menarikku dengan kuat ke depan seperti kerasukan. Seketika aku sadar, kemungkinan besar pemabuk itu adalah perbuatannya.Dia tidak menyukaiku karena aku adalah anak angkat, dan kini dia rela berbuat sejauh ini, menggunakan tangan gelandangan untuk mencelakaiku. Aku merasa sangat putus asa. Apakah meskipun memulai kembali, aku tetap tidak bisa menghindari takdir disiksa hingga mati oleh pemabuk?Di kehidupan sebelumnya, meskipun aku lolos dari tangan pemabuk, aku akhirnya tetap mati di tangan mereka. Aku diam-diam menelepon kakakku tanpa sepengetahuan bibi. Kakak yang mendengar permohonanku, membawa orang-orang dan menangkap pemabuk itu tepat waktu, sehingga aku berhasil selamat.Namun, adik angkatku, Hilda, merasa ditinggalkan karena tidak melihat kakak kami hingga pertunjukan selesai. Merasa diabaikan, dia memilih menusuk tubuhnya sendiri dengan alat peraga di panggung.Dia meninggal seketika.Di pemakamannya, aku sangat sedih, tetapi kedua

DMCA.com Protection Status