Share

Menghadapi Kematian di Depan Mata
Menghadapi Kematian di Depan Mata
Author: Eriana

Bab 1

Author: Eriana
last update Last Updated: 2025-01-03 11:04:36
Tengah malam, pria mabuk di luar pintu mengetuk dengan suara yang menggema dan meruntuhkan suasana sepi malam itu.

Aku segera mendorong sofa, meja, dan semua furnitur ke depan pintu untuk memblokirnya. Namun, bibiku mulai memindahkan satu per satu benda itu dengan ekspresi tak sabar. Dia melirikku dengan kesal. "Kamu ini berlebihan sekali!"

"Kakakmu sudah janji mau nonton drama panggung Hilda. Sekarang mereka pasti sibuk, mana mungkin ganggu mereka! Kita buka saja pintunya dan usir dia langsung, selesai perkara!"

Melihat adegan ini, aku tiba-tiba menyadari satu hal. Aku telah mengalami hal ini sebelumnya. Aku telah kembali ke masa lalu. Di kehidupan sebelumnya, kejadiannya persis seperti ini.

Saat itu, aku baru saja pindah dari rumah setelah bertengkar dengan kedua kakakku. Tidak lama setelahnya, seorang pria mabuk yang menyamar sebagai kurir datang mengetuk pintu.

Kebetulan, kedua kakakku sedang menonton drama panggung adik angkat mereka, Hilda. Aku juga bertengkar dengan bibiku saat itu. Aku mati-matian menjaga pintu agar pria itu tidak masuk, tetapi bibiku tetap ingin membukakan pintu.

Di kehidupan sebelumnya, aku menelepon kakakku untuk meminta bantuan. Namun kali ini, aku memutuskan untuk mengandalkan diriku sendiri.

Saat aku mengambil ponsel dan hendak menelepon polisi, bibiku berlari ke arahku dengan ekspresi panik. Dia merampas ponselku. "Sudah kubilang, nggak perlu seribet itu!"

Aku tahu dia akan mencoba menghentikanku, jadi saat dia sibuk menyembunyikan ponselku, aku berlari ke ruang tamu. Aku mengambil telepon rumah dan mulai memutar nomor polisi.

Namun, sebelum aku sempat menyelesaikan panggilan, bibiku menekan telepon itu dengan kasar, memutus sambungan. "Ternyata kamu mau nelepon polisi?"

"Kamu sengaja mau memaksa kakakmu untuk pulang, 'kan? Tapi kalau kakakmu pulang, Hilda mau gimana?"

Dengan amarah yang membara, bibiku mengangkat telepon rumah itu dan membantingnya ke lantai. Dia bahkan menginjak-injaknya dengan keras hingga hancur. Lalu, dia meraih lenganku dan menyeretku ke arah pintu.

"Masalah kecil begini! Kalau kamu nggak tenang, kita buka saja pintunya dan lihat siapa dia!"

Tangannya sangat kuat. Aku tidak bisa melepaskan diri. Meskipun kakiku berusaha mengerem di lantai, dia menyeret tubuhku perlahan ke depan.

Pria mabuk di luar pintu yang mulai tidak sabar, mengetuk pintu semakin keras. Suara ketukan yang tajam itu seperti palu yang menghantam langsung ke jantungku.

Aku berkeringat dingin, tubuhku bergetar setiap kali mendengar bunyi itu. Namun, bibiku tidak peduli. Dengan keras kepala, dia terus menyeretku ke pintu.

"Jangan pikir aku nggak tahu apa rencana busukmu! Kamu cuma nggak suka melihat kedua kakakmu memperhatikan Hilda, 'kan?"

"Tapi Hilda itu yatim piatu! Dia nggak punya siapa-siapa. Kalau kamu nggak mau peduli, ya sudahlah. Tapi kenapa kamu selalu iri dan nggak bisa nerima dia!"

Aku telah mengenal bibiku hampir 20 tahun. Dia selalu sombong dan memandang rendah siapa pun. Namun entah kenapa, dia sangat peduli pada Hilda.

Setiap kali Hilda tampil, bibiku selalu muncul untuk merebut apa pun yang menjadi milikku dan memberikannya pada Hilda. Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa dia bahkan tidak peduli pada nyawaku.

Di luar, suara pria mabuk semakin liar. Kata-kata kotor mulai terdengar jelas menembus pintu. Aku tahu, begitu pintu itu terbuka, aku pasti mati!

Related chapters

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 2

    Aku berusaha menenangkan bibiku. Namun, dia menarikku dengan kuat ke depan seperti kerasukan. Seketika aku sadar, kemungkinan besar pemabuk itu adalah perbuatannya.Dia tidak menyukaiku karena aku adalah anak angkat, dan kini dia rela berbuat sejauh ini, menggunakan tangan gelandangan untuk mencelakaiku. Aku merasa sangat putus asa. Apakah meskipun memulai kembali, aku tetap tidak bisa menghindari takdir disiksa hingga mati oleh pemabuk?Di kehidupan sebelumnya, meskipun aku lolos dari tangan pemabuk, aku akhirnya tetap mati di tangan mereka. Aku diam-diam menelepon kakakku tanpa sepengetahuan bibi. Kakak yang mendengar permohonanku, membawa orang-orang dan menangkap pemabuk itu tepat waktu, sehingga aku berhasil selamat.Namun, adik angkatku, Hilda, merasa ditinggalkan karena tidak melihat kakak kami hingga pertunjukan selesai. Merasa diabaikan, dia memilih menusuk tubuhnya sendiri dengan alat peraga di panggung.Dia meninggal seketika.Di pemakamannya, aku sangat sedih, tetapi kedua

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 3

    Bibiku ternyata memiliki kunci kamar tidurku!Begitu pintu dibuka, dia langsung menamparku dengan keras. Kemudian, dia menarik rambutku dan menyeretku keluar. Tepat saat itu, telepon rumah di dekat kakiku tiba-tiba berdering. Aku buru-buru menggunakan kakiku untuk mengangkat gagangnya dan menekan tombol pengeras suara.Suara tetangga, Bibi Deslin, terdengar dari seberang dengan nada sedikit kesal. "Winona, tengah malam begini kenapa masih ribut? Ada apa di rumahmu? Siapa pria di luar itu? Suruh dia berhenti mengetuk pintu!"Aku segera berteriak, "Bibi Deslin, tolong lapor polisi! Di dalam rumah ada orang yang mencoba membunuhku!""Pria mabuk di luar itu aku nggak kenal, kemungkinan dia komplotan penjahat! Kalau dia berhasil mendobrak masuk ke rumahku, berikutnya mungkin giliran rumahmu!"Tuduhan penjahat itu hanyalah karanganku, tapi manusia cenderung baru peduli saat kepentingannya sendiri terancam. Benar saja, setelah mendengarnya, suara Deslin langsung meninggi. "Penjahat? Tunggu, a

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 4

    Meskipun aku tidak tahu dengan pasti situasi di luar pintu, kenyataan bahwa orang di luar sudah menunjukkan senjata tajam membuatku semakin yakin ... aku tidak boleh keluar!Aku berusaha merangkak menuju jendela, tapi bibiku segera menyadari niatku. Dengan cepat, dia menangkapku dan menarikku kembali. Aku tidak punya pilihan selain kembali meminta bantuan dari Bibi Deslin."Bibi Deslin, dengar itu! Pemabuk di luar sudah mengeluarkan senjata tajam dan mencoba mendobrak pintu rumahku!""Di sini penghuninya sangat sedikit. Kalau penjahat itu selesai merusak rumahku dan pindah ke rumahmu, lalu kamu baru melapor, itu sudah terlambat!""Dasar kamu ini, jangan maksa orang lain untuk buat laporan palsu!" Bibiku buru-buru memotong perkataanku dan melotot tajam dengan wajah penuh senyum jahat."Senjata tajam apa? Itu karena dia terlalu lama menunggu di depan pintu! Pengantar barangnya hampir kena penalti karena telat. Makanya dia jadi mengetuk pintu dengan panik.""Kamu ini nggak tahu ya, kurir

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 5

    Bibiku masih mencoba berdalih. Dia segera berkata dengan nada tergesa-gesa, "Nggak apa-apa, cuma nggak sengaja jatuh dan menabrak pintu. Jangan sampai Hilda kelaparan, kalian cepat pergi saja, aku tutup telepon ini ya!"Namun, saat bibiku berbicara, suara pukulan keras di pintu terus berlanjut tanpa henti."Bibi, kamu lagi bohong ya?" Suara dingin kakakku terdengar. Meskipun dalam bentuk pertanyaan, nadanya penuh keyakinan. "Seberapa sering orang bisa jatuh sampai begitu?"Bibiku tergagap. Dia tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal, lalu langsung merebut telepon dan hendak menutupnya."Kalian lihat rekaman kamera di depan pintu Winona, periksa apa yang sedang terjadi." Sebelum telepon terputus, suara kakakku terdengar jelas di telinga kami.Wajah bibiku seketika memucat, dia langsung terkulai di lantai. Aku menghela napas lega, tubuhku terasa ringan. Aku berbaring di lantai dan merasa aman. Aku tahu, aku telah diselamatkan.Namun, belum sempat aku benar-benar merasa lega, mataku

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 6

    "Jangan bergerak!"Dalam sekejap, pintu utama didobrak, dan polisi muncul. Pemabuk itu segera dilumpuhkan, sementara aku terkulai lemas di lantai, seperti habis melewati ratusan pertempuran.Polisi membawa pemabuk dan bibiku pergi. Aku juga ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.Karena bibiku sangat tidak kooperatif, aku terus-menerus diinterogasi dan diminta mengingat dan menceritakan ulang pengalaman yang nyaris membunuhku. Aku hampir menghabiskan semalaman di kantor polisi. Ketika akhirnya keluar, langit sudah mulai terang.Selama itu, kedua kakak yang tahu apa yang terjadi padaku, tidak datang menjengukku sekali pun dan bahkan tidak menanyakan kabar. Saat aku membuka ponsel, hanya ada satu pesan singkat dan dingin.[ Perayaan untuk Hilda nggak bisa ditinggalkan. Aku sudah panggil orang untuk membantu. Jaga dirimu. ]Pesan itu menusuk hatiku berkali-kali.Saat aku kembali ke kompleks dengan keadaan lusuh, aku menemukan kedua kakakku sudah berada di sana. Hilda duduk deng

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 7

    Aku merasa muak dengan semua ini. Baik yang bagus maupun yang buruk, aku membersihkan seluruh isi rumah tanpa sisa.Sejak tahun kedua Hilda tinggal di rumah, uang sakuku sudah dihentikan. Selama bertahun-tahun, aku mengandalkan usahaku sendiri untuk bertahan hidup dan menghidupi diriku sendiri.Rumah ini kubeli beberapa tahun lalu, awalnya memang harus berhemat dan hidup seadanya. Namun sekarang, perusahaan yang kudirikan sudah berjalan stabil, dengan nilai pasar yang berlipat kali dari awal, bahkan jauh melampaui perusahaan milik kakakku.Meski begitu, aku tidak pernah melupakan masa-masa sulit dulu, itulah sebabnya aku tetap mempertahankan rumah ini. Namun alasan utamaku adalah karena aku masih sayang pada kedua kakakku, rumah ini dekat dengan kompleks vila mereka. Namun sekarang, semua itu tidak berarti lagi.Aku langsung memasang iklan penjualan rumah ini secara online dengan harga murah. Sebagai tanda terima kasih atas "perawatan" mereka selama bertahun-tahun, aku juga mengirimkan

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 8

    Aku langsung mendorong kakak kedua menjauh dan kembali duduk di sofa dengan santai. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan melawan. Dia terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan terkejut di tempatnya.Melihat tidak ada yang benar-benar berani berbuat apa-apa padaku, Hilda mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan sambil mengerutkan alis."Kakak, sejak kecil aku sudah menjadi yatim piatu. Kakak-kakak kita sibuk dan di malam-malam ketika aku nggak bisa tidur, cuma Bibi yang selalu menemaniku."Hilda tiba-tiba berlutut di hadapanku. Bahkan, dia sengaja bergeser sedikit agar tidak berlutut di atas pecahan piring."Kakak, kumohon, Bibi sangat penting bagiku. Dia sudah menganggapku seperti putrinya dan aku juga menganggapnya sebagai ibu yang harus kuhormati. Tolong, bicaralah dengan polisi dan bebaskan dia. Kalau ada hukuman yang harus diterima, aku bersedia menanggungnya!"Kain putih di lututnya perlahan menjadi merah karena darah, sangat mencolok."Cukup!" Kakak pertama tiba-tiba b

    Last Updated : 2025-01-03
  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 9

    Bukti nyata terpampang di depan mata.Kedua kakakku tampak terpukul. Selama bertahun-tahun, mereka menghormati Bibi yang ternyata adalah pembunuh orang tua mereka. Mereka memanjakan Hilda seperti harta paling berharga yang ternyata dia adalah anak dari pembunuh itu.Sementara aku, satu-satunya adik yang tulus mencintai mereka, justru menjadi sasaran penderitaan mereka selama ini.Di saat itu, aku merasa puas, bahkan tertawa hingga meneteskan air mata. "Jadi, jadi selama ini kedua kakakku hanyalah orang bodoh yang dimanipulasi seperti mainan di tangan orang lain!"Wajah kedua kakakku menjadi semakin muram. Kakak pertama berdiri kaku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Bibi di kejauhan.Kakak kedua, dengan emosi yang meledak-ledak, langsung melompat dan mencengkeram kerah Bibi sambil berteriak marah, "Dasar wanita busuk! Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini?!""Ayah dan Ibu selalu baik sama kamu dan Paman, juga selalu membantu kalian. Kenapa kamu membalas kebaikan dengan pengkhianatan?!"

    Last Updated : 2025-01-03

Latest chapter

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 10

    Bibi kehilangan banyak darah dan meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Kakak pertama yang kini didakwa dengan tuduhan penganiayaan berat, langsung ditahan dan dikirim ke penjara.Kakak kedua berdiri di sana dengan wajah penuh rasa bersalah. Dia perlahan menoleh ke arahku, mencoba berbicara, "Winona, aku ...."Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, Hilda langsung melangkah di depanku, memotong pembicaraan. Dengan air mata berlinang, dia melompat ke pelukan kakak kedua sambil gemetar ketakutan."Kak, maafkan aku, sungguh maafkan aku .... Tapi aku benar-benar nggak tahu apa-apa soal semua ini. Aku nggak bersalah, kamu harus percaya sama aku! Kak, aku takut sekali. Kamu nggak akan meninggalkanku, 'kan?"Kakak kedua terlihat bingung dan tidak bisa bergerak, seperti terikat oleh tangisan dan rengekan Hilda. Melihat wajahnya yang penuh dilema, aku hanya memutar mata dan pergi begitu saja.Kemudian, aku kembali ke kompleks untuk menunjukkan rumahku kepada calon pembeli. Pembeli tersebu

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 9

    Bukti nyata terpampang di depan mata.Kedua kakakku tampak terpukul. Selama bertahun-tahun, mereka menghormati Bibi yang ternyata adalah pembunuh orang tua mereka. Mereka memanjakan Hilda seperti harta paling berharga yang ternyata dia adalah anak dari pembunuh itu.Sementara aku, satu-satunya adik yang tulus mencintai mereka, justru menjadi sasaran penderitaan mereka selama ini.Di saat itu, aku merasa puas, bahkan tertawa hingga meneteskan air mata. "Jadi, jadi selama ini kedua kakakku hanyalah orang bodoh yang dimanipulasi seperti mainan di tangan orang lain!"Wajah kedua kakakku menjadi semakin muram. Kakak pertama berdiri kaku di tempatnya, matanya terpaku pada sosok Bibi di kejauhan.Kakak kedua, dengan emosi yang meledak-ledak, langsung melompat dan mencengkeram kerah Bibi sambil berteriak marah, "Dasar wanita busuk! Kenapa? Kenapa kamu lakukan ini?!""Ayah dan Ibu selalu baik sama kamu dan Paman, juga selalu membantu kalian. Kenapa kamu membalas kebaikan dengan pengkhianatan?!"

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 8

    Aku langsung mendorong kakak kedua menjauh dan kembali duduk di sofa dengan santai. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan melawan. Dia terhuyung mundur dengan mata terbelalak dan terkejut di tempatnya.Melihat tidak ada yang benar-benar berani berbuat apa-apa padaku, Hilda mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan sambil mengerutkan alis."Kakak, sejak kecil aku sudah menjadi yatim piatu. Kakak-kakak kita sibuk dan di malam-malam ketika aku nggak bisa tidur, cuma Bibi yang selalu menemaniku."Hilda tiba-tiba berlutut di hadapanku. Bahkan, dia sengaja bergeser sedikit agar tidak berlutut di atas pecahan piring."Kakak, kumohon, Bibi sangat penting bagiku. Dia sudah menganggapku seperti putrinya dan aku juga menganggapnya sebagai ibu yang harus kuhormati. Tolong, bicaralah dengan polisi dan bebaskan dia. Kalau ada hukuman yang harus diterima, aku bersedia menanggungnya!"Kain putih di lututnya perlahan menjadi merah karena darah, sangat mencolok."Cukup!" Kakak pertama tiba-tiba b

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 7

    Aku merasa muak dengan semua ini. Baik yang bagus maupun yang buruk, aku membersihkan seluruh isi rumah tanpa sisa.Sejak tahun kedua Hilda tinggal di rumah, uang sakuku sudah dihentikan. Selama bertahun-tahun, aku mengandalkan usahaku sendiri untuk bertahan hidup dan menghidupi diriku sendiri.Rumah ini kubeli beberapa tahun lalu, awalnya memang harus berhemat dan hidup seadanya. Namun sekarang, perusahaan yang kudirikan sudah berjalan stabil, dengan nilai pasar yang berlipat kali dari awal, bahkan jauh melampaui perusahaan milik kakakku.Meski begitu, aku tidak pernah melupakan masa-masa sulit dulu, itulah sebabnya aku tetap mempertahankan rumah ini. Namun alasan utamaku adalah karena aku masih sayang pada kedua kakakku, rumah ini dekat dengan kompleks vila mereka. Namun sekarang, semua itu tidak berarti lagi.Aku langsung memasang iklan penjualan rumah ini secara online dengan harga murah. Sebagai tanda terima kasih atas "perawatan" mereka selama bertahun-tahun, aku juga mengirimkan

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 6

    "Jangan bergerak!"Dalam sekejap, pintu utama didobrak, dan polisi muncul. Pemabuk itu segera dilumpuhkan, sementara aku terkulai lemas di lantai, seperti habis melewati ratusan pertempuran.Polisi membawa pemabuk dan bibiku pergi. Aku juga ikut ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.Karena bibiku sangat tidak kooperatif, aku terus-menerus diinterogasi dan diminta mengingat dan menceritakan ulang pengalaman yang nyaris membunuhku. Aku hampir menghabiskan semalaman di kantor polisi. Ketika akhirnya keluar, langit sudah mulai terang.Selama itu, kedua kakak yang tahu apa yang terjadi padaku, tidak datang menjengukku sekali pun dan bahkan tidak menanyakan kabar. Saat aku membuka ponsel, hanya ada satu pesan singkat dan dingin.[ Perayaan untuk Hilda nggak bisa ditinggalkan. Aku sudah panggil orang untuk membantu. Jaga dirimu. ]Pesan itu menusuk hatiku berkali-kali.Saat aku kembali ke kompleks dengan keadaan lusuh, aku menemukan kedua kakakku sudah berada di sana. Hilda duduk deng

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 5

    Bibiku masih mencoba berdalih. Dia segera berkata dengan nada tergesa-gesa, "Nggak apa-apa, cuma nggak sengaja jatuh dan menabrak pintu. Jangan sampai Hilda kelaparan, kalian cepat pergi saja, aku tutup telepon ini ya!"Namun, saat bibiku berbicara, suara pukulan keras di pintu terus berlanjut tanpa henti."Bibi, kamu lagi bohong ya?" Suara dingin kakakku terdengar. Meskipun dalam bentuk pertanyaan, nadanya penuh keyakinan. "Seberapa sering orang bisa jatuh sampai begitu?"Bibiku tergagap. Dia tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal, lalu langsung merebut telepon dan hendak menutupnya."Kalian lihat rekaman kamera di depan pintu Winona, periksa apa yang sedang terjadi." Sebelum telepon terputus, suara kakakku terdengar jelas di telinga kami.Wajah bibiku seketika memucat, dia langsung terkulai di lantai. Aku menghela napas lega, tubuhku terasa ringan. Aku berbaring di lantai dan merasa aman. Aku tahu, aku telah diselamatkan.Namun, belum sempat aku benar-benar merasa lega, mataku

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 4

    Meskipun aku tidak tahu dengan pasti situasi di luar pintu, kenyataan bahwa orang di luar sudah menunjukkan senjata tajam membuatku semakin yakin ... aku tidak boleh keluar!Aku berusaha merangkak menuju jendela, tapi bibiku segera menyadari niatku. Dengan cepat, dia menangkapku dan menarikku kembali. Aku tidak punya pilihan selain kembali meminta bantuan dari Bibi Deslin."Bibi Deslin, dengar itu! Pemabuk di luar sudah mengeluarkan senjata tajam dan mencoba mendobrak pintu rumahku!""Di sini penghuninya sangat sedikit. Kalau penjahat itu selesai merusak rumahku dan pindah ke rumahmu, lalu kamu baru melapor, itu sudah terlambat!""Dasar kamu ini, jangan maksa orang lain untuk buat laporan palsu!" Bibiku buru-buru memotong perkataanku dan melotot tajam dengan wajah penuh senyum jahat."Senjata tajam apa? Itu karena dia terlalu lama menunggu di depan pintu! Pengantar barangnya hampir kena penalti karena telat. Makanya dia jadi mengetuk pintu dengan panik.""Kamu ini nggak tahu ya, kurir

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 3

    Bibiku ternyata memiliki kunci kamar tidurku!Begitu pintu dibuka, dia langsung menamparku dengan keras. Kemudian, dia menarik rambutku dan menyeretku keluar. Tepat saat itu, telepon rumah di dekat kakiku tiba-tiba berdering. Aku buru-buru menggunakan kakiku untuk mengangkat gagangnya dan menekan tombol pengeras suara.Suara tetangga, Bibi Deslin, terdengar dari seberang dengan nada sedikit kesal. "Winona, tengah malam begini kenapa masih ribut? Ada apa di rumahmu? Siapa pria di luar itu? Suruh dia berhenti mengetuk pintu!"Aku segera berteriak, "Bibi Deslin, tolong lapor polisi! Di dalam rumah ada orang yang mencoba membunuhku!""Pria mabuk di luar itu aku nggak kenal, kemungkinan dia komplotan penjahat! Kalau dia berhasil mendobrak masuk ke rumahku, berikutnya mungkin giliran rumahmu!"Tuduhan penjahat itu hanyalah karanganku, tapi manusia cenderung baru peduli saat kepentingannya sendiri terancam. Benar saja, setelah mendengarnya, suara Deslin langsung meninggi. "Penjahat? Tunggu, a

  • Menghadapi Kematian di Depan Mata   Bab 2

    Aku berusaha menenangkan bibiku. Namun, dia menarikku dengan kuat ke depan seperti kerasukan. Seketika aku sadar, kemungkinan besar pemabuk itu adalah perbuatannya.Dia tidak menyukaiku karena aku adalah anak angkat, dan kini dia rela berbuat sejauh ini, menggunakan tangan gelandangan untuk mencelakaiku. Aku merasa sangat putus asa. Apakah meskipun memulai kembali, aku tetap tidak bisa menghindari takdir disiksa hingga mati oleh pemabuk?Di kehidupan sebelumnya, meskipun aku lolos dari tangan pemabuk, aku akhirnya tetap mati di tangan mereka. Aku diam-diam menelepon kakakku tanpa sepengetahuan bibi. Kakak yang mendengar permohonanku, membawa orang-orang dan menangkap pemabuk itu tepat waktu, sehingga aku berhasil selamat.Namun, adik angkatku, Hilda, merasa ditinggalkan karena tidak melihat kakak kami hingga pertunjukan selesai. Merasa diabaikan, dia memilih menusuk tubuhnya sendiri dengan alat peraga di panggung.Dia meninggal seketika.Di pemakamannya, aku sangat sedih, tetapi kedua

DMCA.com Protection Status