"Lebih baik kamu pulang saja Sarah? biar aku dan Gabriel yang ke rumah sakit," ujar Barra saat pesawat mereka tiba di bandara. "Tidak apa-apa, aku mau ikut denganmu Barra. Aku ingin melihat kondisi Dhafin, biar bagaimanapun dia anak tiriku sekarang." Iya Sarah harus ikut bersama Barra, ia ingin tau seberapa parah sakitnya Dhafin sampai harus membuat honeymoonnya berantakan. Gabriel bilang Dhafin hanya demam dan sudah membaik tidak seperti yang Sheila katakan, namun tetap saja Barra lebih memilih untuk melihat keadaan Dhafin daripada melanjutkan honeymoon dengannya. Di tangannya, Sarah kini membawa sebuah bingkisan berisi buah-buahan juga makanan ringan sehat untuk anak-anak. Sedangkan Barra membawa dua buah kotak makan berisi makanan orang dewasa yang ia pesan dari restoran China, Gabriel mengikuti dari belakang dengan membawa beberapa selimut tebal untuk Sheila selama menemani Dhafin disini. Dokter bilang untuk sementara Dhafin harus di rawat dulu, namun fasilitas yang Sheila guna
Setelah berganti pakaian, Claudia segera menghampiri Sarah dan Gabriel yang sudah menunggunya di ruang keluarga. Claudia duduk di sebelah Gabriel yang berada bersebrangan dengan Sarah, berada di posisi seperti ini membuat Gabriel seakan-akan seperti tengah di interogasi oleh Sarah. "Kakak mau ngomong apa?" tanya Claudia membuka obrolan."Ehm, kakak mau tanya soal hubungan Sheila dan Barra. Kamu kenal Sheila sejak dulu kan?"Claudia tersenyum sinis, "Perempuan ular itu? apa dia membuat ulah dan mengganggu kakak? atau dia mencoba merebut kakakku dari kak Sarah?""Kakak tidak terlalu yakin, tapi feeling kakak berkata demikian. Kakak merasa Sheila sedang berusaha merebut Barra dari kakak dengan menggunakan Dhafin," jawab Sarah lesu. "Sudah aku tebak, anak itu akan menjadi senjatanya di kemudian hari jika tetap dibiarkan hidup." ujar Claudia."Senjata? maksud kamu Claudia?""Ya senjata untuk mendapatkan kak Barra dan kekayaan keluarga ini,"Sarah mengernyitkan keningnya, ia semakin tidak
*Flashback off*"Lalu darimana kamu tau semua rencana mereka?" tanya Sarah. "Ibu menempatkan seorang mata-mata untuk Sheila dan ayahnya, mereka itu licik tapi mereka tidak waspada." "Dan dimana ayahnya Sheila sekarang?""Ayahnya meninggal saat usia kandungan Sheila menginjak enam bulan," sahut Claudia."Nyonya Sarah tenang saja, tuan Barra tidak akan berpaling dari anda. Tuan Barra berada di sisi Sheila hanya untuk Dhafin," ujar Gabriel setelah sekian lama diam."Justru Dhafinlah yang aku takutkan Gabriel, anak itu dan kamu bisa melihat sikapnya terhadapku." ucap Sarah."Anda tidak perlu khawatir, saya akan membantu anda kapanpun jika Sheila berbuat sesuatu pada anda dan tuan Barra. Lagipula anda juga sedang mengandung anak tuan Barra sekarang kan? anak anda jauh lebih di banggakan oleh nyonya Arista dan tuan Barra, kelak dia juga yang akan menjadi pewaris Amethyst." "Ya, kamu benar Gabriel." Sarah tersenyum lega."Kakak juga punya aku, tenang saja."Sarah menggenggam tangan Claudi
Barra mengendap keluar dari kamar rawat setelah Sheila dan Dhafin sudah tertidur pulas, ia sangat ingin menghubungi istri tercintanya yang sudah sangat ia rindukan. Sedari tadi ia tidak bisa berkutik selain menemani Dhafin atau membujuknya ketika merajuk, bahkan urusan kantor semua terpaksa Gabriel yang handle karena ia tidak sempat mengecek pekerjaan apapun.Panggilan pertamanya tidak di jawab oleh Sarah, wajar karena ini sudah hampir tengah malam namun hati Barra sudah sangat menggebu-gebu ingin mendengar suara lembutnya. Barra tidak mau menyerah, ia terus mengubungi Sarah meskipun nanti hanya omelan yang akan ia dapatkan. Panggilan ke lima akhirnya terjawab, senyum Barra yang sejak seharian ini menghilang akhiirnya muncul juga."Halo," sahut Claudia malas di ujung telepon.Kening Barra mengernyit kala mendapati suara yang menjawab pangilannya bukanlah Sarah, "Claudia? kenapa ponsel Sarah ada di kamu?""Oh ini ponsel kak Sarah? aku kira ponsel ku," jawab Claudia santai, memang saat
Seperti mendapatkan sebuah kebebasan yang sangat berharga, Barra langsung membawa Sarah ke dokter kandungan karena ia sudah tidak sabar untuk melihat calon anaknya. Barra bahkan sampai membayar nomor antrian pasien lain demi membuat Sarah mendapatkan antrian pertama, Barra juga berharap sang calon pewaris itu baik-baik saja sampai tiba saatnya ia lahir nanti."Selamat siang bapak Barra dan ibu Sarah, silahkan ibu naik ke atas brankar." ucap dokter yang akan melakukan tindakan USG pada Sarah. Sarah naik ke atas brankar dengan dibantu oleh Barra, saat Sarah berbaring perutnya sudah terlihat mulai membuncit dan membuat Barra gemas. "Semuanya sehat tidak ada masalah, hanya saja air ketuban ibu Sarah masih sedikit. Tolong di jaga asupan air minumnya ya?""Air ketuban? apa itu?" tanya Barra dengan wajah polosnya."Air ketuban adalah elemen yang berperan penting selama kehamilan untuk perkembangan janin yang sehat, jumlah air ketuban perlu selalu dikontrol untuk mengetahui kesejahteraan ja
Hari ini Barra tidak datang ke rumah sakit untuk merawat Dhafin meskipun Sheila sudah berkali-kali mencoba menghubunginya, bahakan saat Sheila nekat mendatangi Amethyst ia justru malah di usir oleh penjaga keamanan. Hari ini Barra akan berangkat ke Brazil, ia ingin menyiapkan semua keperluannya secara teliti karena jika ada satu saja yang tertinggal maka rapat ini bisa berantakan. "Tuan Barra, sepertinya ada beberapa file yang harus kita minta kepada Luna atau pak Lionel." ujar Gabriel saat mendapati ada yang kurang dari dokumen mereka. Barra mendesah pelan, semenjak posisinya di rebut oleh Lionel pekerjaan Lionel tidak pernah ada yang beres. Kedua ayah dan anak itu sama saja, yang satu asik bermain wanita yang satunya asik menjadi bos dengan otak kosong. "Gabriel, apa kamu sudah menemukan si pemilik saham misterius?" tanya Barra. "Belum tuan, tapi desas-desus mengatakan kalau si pemilik saham misterius itu sudah tiada." "Kalau benar demikian, itu berarti aku bisa mengakuisisi be
Rio de Janeiro, Brazil.Sesampainya Barra dan Gabriel di bandara, ia langsung di sambut oleh asisten pribadi Ramos yaitu Cecilia. Wanita itu dengan ramah menyambut kedatangan sang calon kolega, juga memberitahukan fasilitas apa yang sudah di sediakan oleh bosnya untuk Barra dan Gabriel selama berada di sini. Barra sebenarnya bisa menyiapkan segala keperluannya disini sendiri, namun Ramos memaksa ingin menjamu Barra dengan sebaik mungkin jadi Barra tidak bisa menolak keinginannya. "Tuan, sepertinya ponsel tuan sedari tadi berdering." bisik Gabriel. Barra juga tahu kalau ponselnya sedari tadi sedang berdering, tapi karena sejak tadi Cecilia terus mengajaknya bicara ia jadi tidak bisa menjawab panggilan telepon itu. Setelah Cecilia pergi Barra segera menjawab panggilan yang terus menerus masuk ke ponselnya, sang nyonya besar sepertinya tahu kalau Barra kini tengah bersama wanita cantik jadi ia merasa gelisah tanpa kabar dari Barra. "Halo, Barra? kenapa kamu baru jawab panggilan aku se
Di pagi hari, Barra terbangun dengan kondisi kepala yang terasa sangat sakit karena efek alkohol semalam. Barra bukan tipe orang yang mudah mabuk, namun entah mengapa alkohol yang di berikan Ramos semalam efeknya begitu dahsyat di tubuhnya. Ia tidak mengingat apapun yang terjadi setelah mabuk, yang ia ingat terakhir kali mereka hanya sedang berkaraoke di clubhouse setelah meeting panjang seharian. Barra melirik ke setiap sudut ranjang untuk mencari keberadaan ponselnya, namun tidak ia ketemukan benda pipih itu sampai akhirnya ia mendengar suara ponselnya berdering di dalam saku jas yang teronggok di lantai. Ada banyak panggilan dari Sarah, tapi saat Barra mencoba menghubunginya lagi nomor ponsel Sarah malah tidak aktif. Barra mencoba menghubungi Claudia, namun ponsel Claudia juga sama tidak aktif juga. Perasaan Barra mendadak jadi tidak enak, ia segera menghubungi ke sambungan telepon rumah untuk memastikan kalau istrinya itu baik-baik saja. "Halo?" sahut Claudia. "Claudia, bagaima
Pagi hari, Barra pergi lebih dulu ke Amethyst sebelum sarah terbangun. Barra sengaja pergi lebih dulu karena ia tidak ingin melihat Sarah dijemput oleh Julian, namun sebelum pergi Barra sudah menyiapkan sarapan khusus untuk Sarah.Sarah terbangun dengan keheningan yang menyambutnya di pagi hari, semua pelayan sibuk membersihkan rumah dan taman sedangkan penjaga rumah sibuk berjaga didepan. Sarah menyalakan ponselnya yang sejak semalam ia nonaktifkan, puluhan chat dari Julian membombardir ponselnya juga panggilan tidak terjawab. "Aku sudah bangun Julian, maaf aku lelah sekali jadi telat bangun pagi."Jawab Sarah menjelaskan kepada Julian mengapa ia bangun terlambat, namun Julian tetap berbicara omong-kosong terus menerus. "Baiklah, aku akan bersiap sekarang." Sarah memutuskan panggilan teleponnya, lalu bergegas mandi dan berdandan sebelum Julian datang. Lima belas menit kemudian Julian datang dengan sebuket bunga mawar untuk Sarah, Sarah masih berada di kamarnya dan mungkin baru aka
Sarah merenung menatap ke langit-langit kamarnya, ia terus memikirkan dua pria yang sangat mengharapkannya. Sarah belum bisa memutuskan untuk memilih siapa, karena ia juga tidak tau bagaimana perasaannya untuk kedua pria itu. Sarah sebenarnya punya rencana lain setelah pernikahan Claudia nanti, tapi jika seperti ini adanya mungkin Sarah akan lebih memilih untuk menjalankan rencananya sekarang.Sarah mengambil ponselnya, lalu menghubungi mereka dan memintanya untuk bertemu di sebuah cafe terkenal di kota ini. Mereka langsung bergerak cepat ke tempat yang Sarah sebutkan, tidak lupa juga membawa bunga untuk diberikan kepada Sarah."Loh, kenapa si pirang ada disini?!" tunjuk Barra di wajah Julian. "Sarah, kenapa dia datang juga? aku kira hanya kita berdua yang akan bertemu disini." "Aku sengaja meminta kalian datang kesini karena ada satu hal yang harus aku bicarakan dengan kalian," Barra dan Julian serentak mengambil kursi yang berhadapan langsung dengan Sarah, sekarang yang mereka ri
Sarah menatap sengit ke arah dua pria dewasa yang bertingkah kekanakan di depannya, mereka selalu membuat ulah sepanjang acara lamaran Claudia. Sampai akhirnya mereka bertengkar dan memecahkan patung es yang ada di tempat meja minuman, alasannya pun sepele hanya karena mereka berebut mengambilkan minum untuk Sarah. "Jadi kalian mau terus bertengkar seperti ini?"" tanya Sarah. "Bukan aku yang memulai pertengkaran Sarah, tapi si pirang ini yang memulai duluan!" "Hei bro, anda yang selalu menghalangi saya saat saya ingin mendekati Sarah." "Iya jelas aku melarangmu mendekati Sarah karena dia itu masih istriku, kamu harus pahami itu!" "Oh tapi seingatku kamu sudah menggugat cerai Sarah, jadi kamu sebentar lagi hanya akan menjadi masa lalu Sarah.""Stop! aku pusing mendengar pertengkaran kalian, jika kalian pikir aku akan memilih kalian kalian salah besar. Aku hanya ingin sendiri, tidak denganmu Barra atau denganmu Julian." bentak Sarah yang sudah tidak bisa menahan kekesalannya. Sara
Hari lamaran Gabriel dan Claudia pun tiba, semua dekorasi impian Claudia sudah seratus persen rampung. Kini tinggal saatnya mereka menunggu keluarga dari pihak Gabriel datang, tidak banyak yang mereka undang untuk acara lamaran ini. Hanya kerabat, kolega dan teman dekat saja yang di undang. Claudia nampak cantik dengan gaun rancangan Arista, wajah cantiknya hanya di make up sederhana karena Claudia tidak menyukai make up yang terlalu tebal. Setelah Claudia, kini gantian Sarah yang didandani, mereka nampak mirip meskipun bukan saudara kandung. Barra menunggu para wanita kesayangannya keluar dari ruang tempat mereka berdandan, setiap kali ada yang keluar ia langsung berdiri tegap untuk menyambutnya. Tapi sayang yang keluar sejak tadi bukan wanita yang ia tunggu, entah apa yang mereka lakukan di dalam sampai berjam-jam. Barra sangat penasaran, tapi ia tidak diperbolehkan masuk untuk melihat aktifitas mereka. Pintu kamar terbuka perlahan, Claudia keluar dengan diiringi oleh Arista dan
"Mau apa kamu datang kesini?" tanya Barra sengit. "Ada yang harus aku lakukan," senyumnya lalu masuk menghampiri Claudia dan memberikan bunga untuknya. Claudia agak bingung saat menerima bunga dari Julian, tapi setelah Sarah menjelaskannya Claudia baru bisa menerima bunga itu dan bersikap ramah terhadapnya. Belum sempat Sarah menerima bunga miliknya, tiba-tiba bunga tersebut malah direbut oleh Barra dan dibuang ke tempat sampah. "Jangan pernah memberikan bunga murahan kepada istriku, dia alergi terhadap barang murahan." Julian tertawa pelan, "Istrimu? apa aku tidak salah dengar? ah tapi kamu ada benarnya juga, Sarah memang alergi terhdap barang murahan." Julian menatap Barra dengan tatapan merendahkan, membuat Barra semakin emosi dibuatnya. Sebelum terjadi keributan yang semakin parah, Sarah segera membawa Julian pergi dari rumah Arista. Lagipula semakin cepat ia pergi, semakin cepat ia kembali lagi ke rumah ini dan bisa beristirahat lebih awal agar bisa mempersiapkan diri untuk a
Setelah beberapa hari dirawat keadaan Barra kini sudah lebih membaik dan diperbolehkan pulang juga kembali beraktifitas seperti biasa, hanya saja ia harus tetap meminum obat dari dokter kejiwaan karena efek dari obat yang Sheila berikan masih sering ia rasakan. Kepulangan Barra bertepatan dengan hari persiapan lamaran Claudia besok, meskipun acara lamaran tersebut hanya di adakan di rumah Arista namun Arista tetap membuat acara tersebut semeriah mungkin. Apalagi ini kali pertama ia merasakan salah satu anaknya di lamar seseorang, saat Barra menikah kemarin ia bahkan tidak berkontribusi apapun karena saat itu hubunganya dengan Sarah belum baik. Arista ingin sekali menebus kesalahannya tapi semua tidak mungkin lagi bisa ia tebus, karena sebentar lagi Sarah mungkin akan menjadi mantan menantunya. Claudia membantu Arista menyiapkan apapun yang dibutuhkan besok, terutama gaun untuknya dan beberapa gaun untuk kerabat juga yang paling spesial untuk Sarah. Arista menatap putrinya penuh ha
Semenjak berada di rumah sakit, tingkah Barra entah kenapa jadi lebih menjengkelkan menurut Sarah. Barra selalu meminta dilayani ini dan itu seperti anak kecil, bahkan makan pun harus disuapi dengan alasan tangannya lemah karena jarum infus. Sarah juga tidak bisa membuat alasan apapun atau pergi meninggalkannya disini karena Arista meminta tolong kepadanya untuk merawat Barra, dengan terpaksa Sarah menjadi 'pengasuhnya' sampai beberapa hari ke depan sampai Barra keluar dari rumah sakit. Saking kelelahannya, Sarah tertidur di sofa dengan Tab yang masih berada di atas dadanya. Barra bangkit perlahan agar tidak membangunkannya, ia mengambil satu selimut di lemari penyimpanan lalu ia tutupi badan Sarah dengan selimut tersebut. Barra mengecek Tab Sarah, jabatannya sebagai CEO membuat Sarah sebenarnya agak kelelahan. Dibandingkan dengan perusahaan orang tuanya, Amethyst jauh lebih besar dan luas itu sebabnya Sarah terkadang agak kewalahan. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Barra membantu S
Ibu dan anak itu dimakamkan secara berdampingan di makam kelurga Nathaniel, sempat terjadi perdebatan antara Barra dan Nathaniel karena Barra ingin Dhafin dan Sheila di makamkan di pemakaman keluarganya. Barra merasa Dhafin adalah anaknya jadi Dhafin berhak di makamkan disana, namun Nathaniel menolak. Sejak Dhafin belum lahir, Nathaniel lah yang merawat mereka berdua jadi Nathaniel merasa ia lebih berhak atas keputusan ini. Barra akhirnya mengalah, dengan syarat Nathaniel tidak boleh melarangnya untuk mengunjungi makam Dhafin dan Sheila. Kali ini semuanya membiarkan Barra melepaskan kesedihannya dulu, tidak ada yang mengganggunya bahkan semua pekerjaan Barra diserahkan ke Gabriel. Sheila sekarang sudah benar-benar pergi meninggalkannya, bahkan membawa harta miliknya yang paling berharga yang selama ini Barra tidak ketahui keberadaannya. Barra bahkan belum sempat membahagiakan bocah kecil itu, tapi ia harus pergi karena perbuatan ibunya. Surat warisan yang Barra sudah buat sejak lama
Nathaniel datang ke rumah tahanan setelah mendengar kabar kalau Sheila dipenjara atas perbuatannya, meskipun ia sudah tidak ingin tau lagi apapun tentang Sheila tapi hati kecilnya tetap tidak bisa mengabaikannya. Sheila keluar dari sel dengan didampingi oleh sipir wanita, kelopak matanya nampak sembab dengan pipi sebelah kiri yang membengkak. Pakaian mewahnya sudah berganti dengan pakaian khas tahanan dengan nomor dan identitas kejahatannya, tatapannya kosong seakan tidak ada lagi semangat hidup yang ia rasakan. "Kenapa kamu datang?" tanyanya datar. "Aku ingin menjengukmu," "Aku tidak sakit, jadi tidak perlu kamu jenguk." "Sheila," "Lebih baik kamu pergi Nathan, aku tidak butuh kedatanganmu." Sheila bangkit dari kursi namun tiba-tiba ia malah jatuh pingsan dengan darah keluar dari hidungnya. Sheila dibawa ke rumah sakit terdekat, tempat dimana Dhafin juga di rawat disana. Nathaniel meminta kepada sipir agar Sheila diizinkan bertemu dengan anaknya sebelum kembali ke penjara, mes