Bab 36B Perhatian "Ibu ke toilet dulu. Tolong Nak Zen temani Ning, ya!" "Iya, Bu." "Mas Alan, kenapa bisa di sini?" tanya Ning lirih. Wajah cerianya karena mendapat fakta tentang cinta ibu padanya tiba-tiba berubah muram. "Han. Kamu lupa masih berutang padaku. Katanya mau membayarnya, kenapa jatuh sakit? Gimana mau melunasi utang, huh?" Zen memasang wajah pura-pura kesal pada Ning sambil duduk di kursi. Ning terkesiap melihat tingkah Zen yang terkesan lucu. "Astaghfirullah, Mas Alan kan tahu saya lagi sakit, kenapa ingetin utang, sih?" Ning menghembuskan napas kasar. Zen tergelak membuat Ning mengerutkan kening. "Ishh, menyebalkan." "Nggak usah sewot. Nanti cantiknya ilang." "Apaan, sih?" sungut Ning membuat Zen tidak bisa menahan tawa. "Mbak dan Mas seru sekali mengobrolnya." "Eh, maaf, Pak. Saya terlalu berisik, ya?" Zen menangkupkan kedua tangan meminta maaf dengan penunggu di sebelah. Padahal ia sudah berbicara lirih dengan Ning. Hanya saja ada bagian yang ia tidak bisa
Bab 39A Menolak"Syam, di mana sekarang?" Zen melakukan panggilan ke ponsel adiknya setelah mendapat titah dari mamanya untuk pulang. Mendadak hatinya gusar karena masalah dengan Ning beres justru kini berganti masalah dengan Vina.Teman masa kecil Zen itu memang tidak pernah tinggal diam untuk berulah. Sejak kecil Vina selalu ingin bersaing dan menjadi unggul dibanding dirinya. Perempuan itu memang cantik dan pintar. Akan tetapi, Zen tidak terlalu menyukai sikapnya yang suka membanggakan diri dan ingin menang sendiri."Aku di jalan menuju rumah sakit, Mas.""Cepatlah kemari!""Ya, sepuluh menit lagi sampai."Zen sedikit bernapas lega Syam bisa datang ke rumah sakit menggantikan dirinya menemani Bu Romlah menjaga Ning. Terlebih Syam bisa dimintai tolong memindahkan Ning ke ruang rawat VIP. "Han, maaf, aku harus pulang dulu. Ada urusan penting dengan mama dan papa. Besok pagi aku ke sini lagi. Kita bahas bisnis keripik yang sudah berjalan dengan bantuan Syam."Ning mengulas senyum. Pe
Bab 39B MenolakSelesai makan malam, Pak Maulana dan Bu Tya mengajak tamunya ke ruang kerja. Mereka akan mendiskusikan masalah kelanjutan perjodohan putra putrinya.Sejak awal, Zen tidak menyetujuinya. Sebab perjodohannya dengan Vina lebih mementingkan untuk keuntungan bisnis antara papanya dengan Pak Harun."Bagaimana keputusanmu, Zen? Kapan kamu dan Vina sepakat untuk memilih tanggal penting pernikahan." Pak Maulana membuka obrolan lebih dulu.Bu Tya mencoba menghidangkan minuman yang tadi diantar Mbok Nem. Minuman jahe hangat dan cemilan ringan untuk membuat suasana tampak mencair. Namun, prediksi Bu Tya meleset. Zen membuat suasana di ruang kerja menjadi sedikit tegang."Sebelumnya Zen mau minta maaf Pa, Ma. Zen juga minta maaf pada Pak Harun, Bu Melly dan Vina."Zen menarik napas dalam karena di benaknya sudah penuh kalimat yang ingin diutarakan."Sejak awal, Zen tidak menyetujui rencana ini. Zen sudah punya pilihan lain. Meskipun perempuan itu bukan dari golongan keluarga berada,
Bab 40 Melamarmu Seminggu berlalu, Ning sudah bisa kembali beraktifitas seperti semula. Kini wajahnya sering menampakkan keceriaan sejak hubungannya dengan sang ibu juga dengan Zen kembali membaik. Bu Romlah telah pamit pulang diantar Eko sekalian mau mengantar pesanan baju bapaknya. "Zen, kenapa harus pagi-pagi ke sini? Aku sudah biasa jalan kaki ke kampus. Apa kamu nggak ada jadwal ngajar pagi ini?" Ning melirik ke samping kemudi. Terlihat Zen hanya mengulas senyum kaku. Sepertinya Zen sedang banyak pikiran batin Ning. "Aku senang melakukannya. Lagipula ada yang mau aku sampaikan padamu, Han." "Hah, apa?" "Ayo ikut saja dulu! Tapi jangan lupa ini." "Eh, Zen. Kamu mau apa?" Ning terlonjak kaget saat wajah Zen maju mendekat ke arahnya. Aroma mint parfum Zen membuat Ning menghirupnya dengan mata terpejam. Cklek, "Astaghfirullah, Zen. Kamu bikin aku jantungan, tahu, nggak?" Zen tergelak melihat Ning yang kesal bukan main. Wajah perempuan berjilbab instan warna mocca itu sudah
Bab 41 Kisah KitaSampai menjelang sore, Ning merasakan waktu berjalan seperti siput. Berada dalam kecanggungan bersama Zen membuatnya tidak nyaman melakukan aktifitas. Meskipun ada pemilik ruko yang menemani, Ning tetap saja merasa jantungnya belum berdetak normal. "Han harus begini, ya? Kalau posisinya digeser gimana?" Zen meminta pendapat setelah sebuah etalase terpasang dibantu tukang yang membantu pemilik ruko. "Han!" ulangnya saat Ning tidak merespon panggilan. Zen menggelengkan kepala melihat Ning sedari tadi banyak melamun. Ia bisa menduga pasti karena kalimat tanya yang mengejutkan pagi tadi. ""Aku ingin melamarmu." "Hah, Zen. Aku.... Hmm, kamu jangan bercanda, Zen." "Aku nggak sedang bercanda, Han. Aku serius. Apa mukaku kelihatan seperti orang sedang bercanda?" Zen memaksa Ning untuk menoleh ke arahnya. "Tapi Zen. Ini mendadak sekali. Maaf, aku belum siap memberi jawaban," lirih Ning dengan wajah gusar. Sejatinya ia senang perasaannya pada Zen selama ini tidak bertep
Bab 42A Undangan "Silakan diminum, Pak!" ucap Ning basa-basi. Ia mencoba memecah kekakuan. Posisi sekarang Ning menjamu kedatangan Pak Maul---papa Zen di balkon lantai atas. Sememtara itu, Eko menemani di dalam ruang yang ada kursi dan meja. "Langsung saja, Mbak...." "Haningtyas, Pak. Panggil saja Ning." Pak Maul mengernyitkan keningnya. "Sepertinya putraku dekat dengan perempuan bernama Hani. Lalu yang mana Hani?" tanya lelaki paruh baya itu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Ning tersenyum simpul. Hani memang panggilan khusus Zen untuknya. "Maaf, Pak. Zen memang sering memanggil saya dengan sebutan Hani. Sejak awal bertemu, dia memanggil saya begitu." "Hmm, panggilan yang romantis," ucap datar Pak Maul membuat Ning tersipu. "Sejak kapan kalian berkenalan? Bukankah kamu belum lama tinggal di rumah kami? Istri saya yang bercerita." "Hmm, maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya saya dan Zen sudah kenal sejak tiga tahun yang lalu. Zen pernah mengabdi di kampung saya." Ning menunduk,
Bab 42B Undangan Hari demi hari Ning lalui dengan banyak melamun. Kerjaan terkadang kurang fokus hingga hitungan rekap dagangan sering keliru. Beruntung dua karyawannya dengan sigap membantu. Ning berdalih ingin mendaftar kuliah sehingga karyawan menggantikannya merekap. Sejatinya, ia butuh refreshing. Ia ingin menenangkan diri entah ke gunung atau ke pantai. "Halo Yuk, antar aku ke pantai bisa?" "Oke, kapan?" "Besok siang, ya. Paginya aku mau memasukkan berkas pendaftaran sama Syam di kampus sebelah." "Siap. Kok sama Syam? Mas Zen kemana? Nggak cemburu, tuh?" "Nggak, lah." "Oke. Sampai jumpa besok." Ning menghela napas panjang. Ia sendiri gamang dengan hatinya. Tidak bertemu Zen membuatnya mudah memenuhi pinta papa dan mama Zen. Namun, di sisi lain ia juga khawatir apa yang terjadi ke depannya. Sudah satu bulan lebih tiga hari janji Ning pada Zen untuk menjawab lamarannya. Ning sengaja tidak menghubungi sebelum Zen yang menghubunginya. "Apa nggak masalah kalau aku nggak mengh
Bab 43A Melupakan Tiga tahun berlalu. Ning berlari melewati koridor kampus. Ia tadi terlalu larut di toko hingga melupakan jam bimbingan dengan dosennya---Pak Hilmi. Dosen berstatus duda mempunyai satu putri berusia 5 tahun itu selalu mengingatkannya melalui pesan. "Han, lima menit lagi bimbingan. Kamu mau lulus bulan ini atau nunggu tiga bulan lagi?" Begitulah pesan Pak Hilmi. Beruntung dosen itu selalu mengingatkan Ning agar fokus menyelesaikan kuliah. Sebab di bulan terakhir, Ning lebih menyibukkan diri dengan bisnisnya. Kini bisnis keripik singkong dan oleh-oleh yang memenuhi tokonya berada di puncak kesuksesan. Selama tiga tahun, Ning bekerja keras dibantu kakak dan adiknya juga sahabatnya. Demi menyembuhkan luka yang terasa seperti jarum menancap di dada, Ning fokus kuliah dan mengurusi bisnis. Hasilnya tidak main-main, dia bisa membeli rumah yang sekarang ditempati bersama orang tua dan adiknya. Bahkan Ning bisa membantu biaya kuliah Amir di Yogya. Sementara itu, rumah di
Extra Part 2"Cari siapa, ya, Mbak?" tanya Zen yang berdiri diambang pintu. Wanita berambit panjang dikuncir itu membalikkan badan. "Zen." "Hah, Vina? Kamu, benar Vina?" Zen segera menjawab salam dari Vina. Wanita bernama Vina itu kini hamil besar seperti Ning istrinya. Wajahnya memang masih sama cantik seperti dulu. Namun, tidak ada pancaran keceriaan dari sorot matanya. Yang ada, Zen melihat Vina berwajah sendu. "Boleh aku duduk?" ucapnya membuat Zen terkesiap. "Iya, Silakan duduk. Aku minta bibi buatkan minum dulu." "Nggak usah, Zen. Aku buru-buru, pesawatku dua jam lagi." "Hmm, memangnya kamu mau kemana?" "Yah, siapa tamunya?" Ning berjalan tertatih dari dalam rumah. Begitu netranya memandang siapa yang duduk di seberang sang suami, Ning merasa degup jantungnya bertalu. "Mbak Vina?!" "Bun, duduk dulu. Iya ada Vina. Katanya terburu mau ke bandara." "Mbak Vina sendiri? Suaminya?" Vina yang ditanya tentang suami justru matanya berkaca-kaca. Terlihat ia menarik napas panjan
Extra Part 1Dua setengah tahun kemudian. Pagi yang cerah, Ning terlihat berjalan tertatih di teras rumahnya. Sebulan terakhir, ia menekuni hobi barunya yaitu merawat bunga. Sembari menemani si kecil Andina yang berusia dua tahun, ia menantikan kelahiran anak keduanya. Sepertinya Zen terlalu bersemangat supaya rumahnya ramai dengan anak kecil, hingga saat Andina berusia 16 bulan, Ning diberi amanah hamil anak kedua. "Sayang, jangan terlalu banyak berdiri. Kalau merasa kecapekan duduklah!" pinta Zen seraya melingkarkan sepasang lengannya di perut Ning yang sudah membuncit. HPLnya tinggal lusa Zen susah siaga di rumah dan memilih tidak ke kampus. "Ayah kenapa nggak ke kampus saja? HPL bunda masih lusa," bujuk Ning. Tangannya masih memegang selang untuk menyirami bunga-bunga yang baru dibeli kemarin. Sementara satu tangan lagi berusaha melepas belitan lengan kiri Zen. Namun, lelaki yang semakin matang diusianya itu tidak mau melepaskan pelukannya. "Yah, ada bibi sama Andina nanti," k
Bab 51 Cinta dalam doa (Ending)"Zen, bangun! Zen! Sudah siang masak masih ngorok, malu sama mertuamu." Suara Bu Tya terasa merdu di telinga Zen. "Hah, Papa, Mama." Zen tergagap dari bangunnya. Ia menoleh ternyata benar selain papa mamanya, juga ada mertuanya. "Eh Bapak, Ibu. Maaf Zen ketiduran." "Di mana, Ning, Nak?" tanya Bu Romlah dengan mengulum senyum melihat wajah bantal menantunya. Pak Rahmat dan Pak Maul hanya saling pandang dan melempar senyum. "Pasti Zen kayak kamu, Ul," celetuk Pak Rahmat. "Nggak lah, aku rajinlah, Mat." Beberapa menit kemudian, Ning dan Zen sudah duduk di ruang keluarga bersama orang tua dan mertuanya. "Alhamdulillah Ning hamil lima minggu, Pak, Bu," ucap Ning dengan senyum tersungging. "Iya, Ma, Pa. Mama benar, prediksinya jitu," ujar Zen dengan senyum mengembang. "Semalam Zen muter kota Yogya mencari tahu petis. Astaghfirullah, ibu hamil ternyata mintanya aneh-aneh," curhat Zen. Para orang tua pun tertawa mendengarnya. "Itulah Zen, papa sama Pak
Bab 50 Ngidam"Pa, kita mau jadi eyang." Suara berisik dari seberang membuat kening Zen berkerut. "Ishh, Papa dan Mama malah heboh ngomongin apa, sih? Halo, Ma. Halo...., Astaghfirullah. Harus tambah Sabar, Zen momong istri dan orang tua," guman Zen menghibur diri. Setelah melempar ponsel ke nakas, beberapa detik kemudian terdengar panggilan kembali. Zen berdecak kesal karena mamanya malah ngobrol dengan sang papa. "Ya, Ma." "Istrimu mual-mual kan, Zen?" "Ya, Ma. Dari tadi Zen kan dah cerita panjang lebar. Bahkan, Hani menanak nasi saja langsung mual saat mencium bau uapnya di dapur," lapor Zen. "Belikan tespek, sekarang." "Apaan, Ma?" "Ckk, nih anak sudah jadi dosen masak nggak tahu tespek," dengkus Bu Tya dari seberang. "Iya, untuk apa?" "Istrimu hamil, Zen." "Hah, serius, Ma? Lalu Zen beli tespeknya di mana?" "Astaghfirullah, Pa! Ajarin anakmu ini! Masak tanya beli tespek di mana?" teriak Bu Tya. "Di toko besi," sahut papanya masih bisa terdengar oleh Zen
Bab 49 Hamil "Han, gimana ceritanya kamu nggak jadi sama Pak Hilmi?" "Mau tahu apa mau tahu banget?" "Ckk, serius aku ingin tahu." "Jadi, saat itu...." Saat makan malam yang dijanjikan, Hilmi datang membawa Nastia. Ning memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. "Pak Hilmi, maaf sebelumnya. Saya tidak bisa menerima lamaran Bapak." "Kenapa, Han? Apa kurangnya saya, sampai kamu menolak?" "Bapak tidak kurang suatu apapun. Bapak sangat baik sama saya dan keluarga. Hanya saja, saya memikirkan kebahagiaan Nastia, Pak. Nastia bukan membutuhkan sosok ibu baru. Dia justru membutuhkan sosok ibu kandungnya." "Apa maksudmu, Han? Jangan bilang kalau kamu menolak saya karena mamanya Nastia." "Ya. Benar, Pak. Maafkan saya kalau salah menilai." "Apa kamu diteror mantan istri saya?" "Bukan mantan, Pak. Mama Nastia masih istri Pak Hilmi, kan?" Hilmi terkejut mendapati Ning tahu yang sebenarnya. "Iya, maksud saya sebentar lagi ibunya Nastia akan berpisah dengan saya.". "Saya mohon Pak Hil
Bab 48 Menikah "Astaghfirullah, kenapa liputan beritanya seperti ini?" "Ada apa, Mbak Ning?" Amir mendekati kakaknya untuk membantu menjawab. "Maaf, acara lamaran ini adalah lamaran kakak kami Mbak Titin dan Mas Eko, bukan Mbak Ning. Kalian salah besar." "Oh begitu? Lalu lamaran bos keripik singkong ini kapan dilakukan? Apa calonnya masih sama dengan seorang dosen yang berstatus duda?" "Maaf, itu biar kakak saya yang menjawab," balas Amir. Ning mengedarkan pandangan, netranya menangkap ada Zen dengan pakaian kemeja navy rapi dipadu celana katun warna hitam. Rambutnya sudah dipotong cepak dan jambangnya sudah dipangkas habis. Ning benar-benar melihat sosok Zen yang dikenalnya sejak enam tahun lalu. "Hmm, itu tanya saja pada laki-laki yang sedang berjalan mengenakan kemeja rapi." Dua wartawan bergegas menghampiri Zen yang tergagap karena dihadang oleh keduanya. "Maaf, Mas. Boleh tahu namanya siapa?" "Ya, saya Zen Maulana tamu di sini. Ada apa ya?" "Ah, Mas nya jangan berbohong
Bab 47 Fakta"Pak Rahmat, Bu Romlah. Papa saya bersalah, papa saya telah berbuat jahat pada keluarga Bapak. Biarkan saja laki-laki tua ini menanggung dosanya. Saya malu punya papa seperti dia." "Zen!" pekik Ning dari lantai atas. Perempuan itu tergesa menuruni anak tangga sambil membetulkan pasminanya. "Apa-apaan, Zen. Mereka orang tuamu. Kenapa kamu berkata kasar padanya?!" Ning menatap nyalang Zen yang wajahnya merah padam. "Han?! Tidak ingatkah kamu apa yang telah dia lakukan padamu. Dia merendahkanmu. Memisahkan kita demi mempertahankan egonya. Papaku egois, Han." "Tidak, Zen. Papamu benar, keluargaku miskin. Tidak sepantasnya kita bersama. Kamu tidak boleh membencinya, Zen. Bukankah kamu pernah berkata padaku, huh." Ning membalikkan pernyataan Zen yang selalu terpatri di memorinya. "Jangan pernah membenci orang tua kita. Apapun keadaannya, mereka sudah mengajarkan pada kita arti hidup dan perjuangan," tegas Ning sambil menatap tajam Zen. Zen tertunduk malu. Kalimat yang dul
Bab 46 Minta Maaf"Terima kasih, Zen." Zen hanya bisa menatap punggung perempuan yang sekarang tampak cantik dan pandai berbicara di depan umum itu. Jelas, Ning masih bersemayam di hatinya. Zen menghela napas panjang. "Haruskah aku merelakanmu untuk laki-laki lain, Han?" Zen meraup wajahnya kasar, lalu melangkah masuk rumah dengan tergopoh. "Zen, siapa gadis tadi?" tanya sang papa yang memutar kursi rodanya di dekat jendela menuju ambang pintu. Zen hanya bergeming. Memilih duduk lalu menyandarkan punggungnya di kursi, kepala Zen menengadah ke atas. "Zen," ulang papanya. "Ya, Pa. Maaf, kepala Zen pusing sekali." "Siapa gadis tadi? Apa dia putri si Mamat?" Mamat adalah panggilan masa kecil Pak Rahmat oleh Pak Maul. Sejak SD keduanya adalah sahabat karib. Hingga kelulusan SMP mereka terpisah karena kepindahan Pak Maul ke kota pelajar mengikuti orang tuanya. "Dia bos keripik singkong itu, ya? Nasib Mamat memang beruntung. Kerja kerasnya mendidik anak dan juga memperbaiki kondisi ek
Bab 45 Tetangga Baru "Selamat ya, Han, atas pencapaiannya. Semoga ilmu yang kamu dapatkan berkah dan bermanfaat untuk orang banyak. Selamat juga bisnismu berkembang pesat." "Terima kasih, Pak Hilmi. Bapak sudah membimbing saya dengan baik." Hilmi mengulas senyum lalu menyalami Pak Rahmat dan Bu Romlah juga Amir. "Terima kasih Pak Hilmi sudah membimbing putri saya hingga menjadi sukses seperti ini," ucap Pak Rahmat. Berkat terapi rutin, ayah Ning bisa berjalan kembali meskipun tidak normal. Keluarga Ning bersyukur perawatan kondisi stroke untuk ayahnya tidak terlambat sehingga bisa cepat pulih sehat kembali. Ning mengedarkan pandangan, netranya sekilas melihat sosok yang mencuri perhatiannya. Ia lalu tersenyum kecut mengingatnya. "Ada apa, Han?" "Itu, dosen baru yang kemarin menolak jadi penguji, Pak. Sepertinya beliau tadi ada di kerumunan itu." "Kamu masih kesal sama beliau, Han?" "Sedikit." "Sudah lupakan saja. Beliau memang unik. Mungkin ke sini juga nyari target sama sepe