Bab 38A Perhatian Selepas Isya, Zen bergantian menjalankan salat dengan Bu Romlah. Sementara itu Ayu dan Mita sudah kembali ke kos dan akan menengok Ning esok hari. "Gimana, Bu? Apa Hani sudah siuman?" tanya Zen. Wajahnya terlihat segar setelah salat Isya. Sisa-sisa air wudu masih terlihat di rambut hitamnya. Bu Romlah menggeleng lemah. "Uhh, ha...haus." Zen dan Bu Romlah reflek menatap ke arah Ning yang masih terpejam. "Han, Hani bangun! Apa yang sakit?" tutur Zen. Bu Romlah tersenyum mengembang, setelah melihat putrinya mulai sadar. "Bangun, Ning! Ini ibu. Kamu minta bubur buatan ibu, kan? Ibu membawanya, Ning." Bu Romlah sampai menitikkan air mata karena menanti Ning siuman sejak sore tadi. "I...i...bu. Ibu di sini? Apa Ning bermimpi?" Ning mengerjapkan mata lalu membuka pelan kelopak matanya. Samar-samar terlihat wajah perempuan yang duduk di samping brangkarnya. Rambutnya digelung persis seperti ibunya. "Ibu?" Tangan kanan Ning ingin menggapai wajah ibunya tapi terhalang
Bab 36B Perhatian "Ibu ke toilet dulu. Tolong Nak Zen temani Ning, ya!" "Iya, Bu." "Mas Alan, kenapa bisa di sini?" tanya Ning lirih. Wajah cerianya karena mendapat fakta tentang cinta ibu padanya tiba-tiba berubah muram. "Han. Kamu lupa masih berutang padaku. Katanya mau membayarnya, kenapa jatuh sakit? Gimana mau melunasi utang, huh?" Zen memasang wajah pura-pura kesal pada Ning sambil duduk di kursi. Ning terkesiap melihat tingkah Zen yang terkesan lucu. "Astaghfirullah, Mas Alan kan tahu saya lagi sakit, kenapa ingetin utang, sih?" Ning menghembuskan napas kasar. Zen tergelak membuat Ning mengerutkan kening. "Ishh, menyebalkan." "Nggak usah sewot. Nanti cantiknya ilang." "Apaan, sih?" sungut Ning membuat Zen tidak bisa menahan tawa. "Mbak dan Mas seru sekali mengobrolnya." "Eh, maaf, Pak. Saya terlalu berisik, ya?" Zen menangkupkan kedua tangan meminta maaf dengan penunggu di sebelah. Padahal ia sudah berbicara lirih dengan Ning. Hanya saja ada bagian yang ia tidak bisa
Bab 39A Menolak"Syam, di mana sekarang?" Zen melakukan panggilan ke ponsel adiknya setelah mendapat titah dari mamanya untuk pulang. Mendadak hatinya gusar karena masalah dengan Ning beres justru kini berganti masalah dengan Vina.Teman masa kecil Zen itu memang tidak pernah tinggal diam untuk berulah. Sejak kecil Vina selalu ingin bersaing dan menjadi unggul dibanding dirinya. Perempuan itu memang cantik dan pintar. Akan tetapi, Zen tidak terlalu menyukai sikapnya yang suka membanggakan diri dan ingin menang sendiri."Aku di jalan menuju rumah sakit, Mas.""Cepatlah kemari!""Ya, sepuluh menit lagi sampai."Zen sedikit bernapas lega Syam bisa datang ke rumah sakit menggantikan dirinya menemani Bu Romlah menjaga Ning. Terlebih Syam bisa dimintai tolong memindahkan Ning ke ruang rawat VIP. "Han, maaf, aku harus pulang dulu. Ada urusan penting dengan mama dan papa. Besok pagi aku ke sini lagi. Kita bahas bisnis keripik yang sudah berjalan dengan bantuan Syam."Ning mengulas senyum. Pe
Bab 39B MenolakSelesai makan malam, Pak Maulana dan Bu Tya mengajak tamunya ke ruang kerja. Mereka akan mendiskusikan masalah kelanjutan perjodohan putra putrinya.Sejak awal, Zen tidak menyetujuinya. Sebab perjodohannya dengan Vina lebih mementingkan untuk keuntungan bisnis antara papanya dengan Pak Harun."Bagaimana keputusanmu, Zen? Kapan kamu dan Vina sepakat untuk memilih tanggal penting pernikahan." Pak Maulana membuka obrolan lebih dulu.Bu Tya mencoba menghidangkan minuman yang tadi diantar Mbok Nem. Minuman jahe hangat dan cemilan ringan untuk membuat suasana tampak mencair. Namun, prediksi Bu Tya meleset. Zen membuat suasana di ruang kerja menjadi sedikit tegang."Sebelumnya Zen mau minta maaf Pa, Ma. Zen juga minta maaf pada Pak Harun, Bu Melly dan Vina."Zen menarik napas dalam karena di benaknya sudah penuh kalimat yang ingin diutarakan."Sejak awal, Zen tidak menyetujui rencana ini. Zen sudah punya pilihan lain. Meskipun perempuan itu bukan dari golongan keluarga berada,
Bab 40 Melamarmu Seminggu berlalu, Ning sudah bisa kembali beraktifitas seperti semula. Kini wajahnya sering menampakkan keceriaan sejak hubungannya dengan sang ibu juga dengan Zen kembali membaik. Bu Romlah telah pamit pulang diantar Eko sekalian mau mengantar pesanan baju bapaknya. "Zen, kenapa harus pagi-pagi ke sini? Aku sudah biasa jalan kaki ke kampus. Apa kamu nggak ada jadwal ngajar pagi ini?" Ning melirik ke samping kemudi. Terlihat Zen hanya mengulas senyum kaku. Sepertinya Zen sedang banyak pikiran batin Ning. "Aku senang melakukannya. Lagipula ada yang mau aku sampaikan padamu, Han." "Hah, apa?" "Ayo ikut saja dulu! Tapi jangan lupa ini." "Eh, Zen. Kamu mau apa?" Ning terlonjak kaget saat wajah Zen maju mendekat ke arahnya. Aroma mint parfum Zen membuat Ning menghirupnya dengan mata terpejam. Cklek, "Astaghfirullah, Zen. Kamu bikin aku jantungan, tahu, nggak?" Zen tergelak melihat Ning yang kesal bukan main. Wajah perempuan berjilbab instan warna mocca itu sudah
Bab 41 Kisah KitaSampai menjelang sore, Ning merasakan waktu berjalan seperti siput. Berada dalam kecanggungan bersama Zen membuatnya tidak nyaman melakukan aktifitas. Meskipun ada pemilik ruko yang menemani, Ning tetap saja merasa jantungnya belum berdetak normal. "Han harus begini, ya? Kalau posisinya digeser gimana?" Zen meminta pendapat setelah sebuah etalase terpasang dibantu tukang yang membantu pemilik ruko. "Han!" ulangnya saat Ning tidak merespon panggilan. Zen menggelengkan kepala melihat Ning sedari tadi banyak melamun. Ia bisa menduga pasti karena kalimat tanya yang mengejutkan pagi tadi. ""Aku ingin melamarmu." "Hah, Zen. Aku.... Hmm, kamu jangan bercanda, Zen." "Aku nggak sedang bercanda, Han. Aku serius. Apa mukaku kelihatan seperti orang sedang bercanda?" Zen memaksa Ning untuk menoleh ke arahnya. "Tapi Zen. Ini mendadak sekali. Maaf, aku belum siap memberi jawaban," lirih Ning dengan wajah gusar. Sejatinya ia senang perasaannya pada Zen selama ini tidak bertep
Bab 42A Undangan "Silakan diminum, Pak!" ucap Ning basa-basi. Ia mencoba memecah kekakuan. Posisi sekarang Ning menjamu kedatangan Pak Maul---papa Zen di balkon lantai atas. Sememtara itu, Eko menemani di dalam ruang yang ada kursi dan meja. "Langsung saja, Mbak...." "Haningtyas, Pak. Panggil saja Ning." Pak Maul mengernyitkan keningnya. "Sepertinya putraku dekat dengan perempuan bernama Hani. Lalu yang mana Hani?" tanya lelaki paruh baya itu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Ning tersenyum simpul. Hani memang panggilan khusus Zen untuknya. "Maaf, Pak. Zen memang sering memanggil saya dengan sebutan Hani. Sejak awal bertemu, dia memanggil saya begitu." "Hmm, panggilan yang romantis," ucap datar Pak Maul membuat Ning tersipu. "Sejak kapan kalian berkenalan? Bukankah kamu belum lama tinggal di rumah kami? Istri saya yang bercerita." "Hmm, maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya saya dan Zen sudah kenal sejak tiga tahun yang lalu. Zen pernah mengabdi di kampung saya." Ning menunduk,
Bab 42B Undangan Hari demi hari Ning lalui dengan banyak melamun. Kerjaan terkadang kurang fokus hingga hitungan rekap dagangan sering keliru. Beruntung dua karyawannya dengan sigap membantu. Ning berdalih ingin mendaftar kuliah sehingga karyawan menggantikannya merekap. Sejatinya, ia butuh refreshing. Ia ingin menenangkan diri entah ke gunung atau ke pantai. "Halo Yuk, antar aku ke pantai bisa?" "Oke, kapan?" "Besok siang, ya. Paginya aku mau memasukkan berkas pendaftaran sama Syam di kampus sebelah." "Siap. Kok sama Syam? Mas Zen kemana? Nggak cemburu, tuh?" "Nggak, lah." "Oke. Sampai jumpa besok." Ning menghela napas panjang. Ia sendiri gamang dengan hatinya. Tidak bertemu Zen membuatnya mudah memenuhi pinta papa dan mama Zen. Namun, di sisi lain ia juga khawatir apa yang terjadi ke depannya. Sudah satu bulan lebih tiga hari janji Ning pada Zen untuk menjawab lamarannya. Ning sengaja tidak menghubungi sebelum Zen yang menghubunginya. "Apa nggak masalah kalau aku nggak mengh