Sebulan telah berlalu. Tian terus berusaha mengerti bahwa Agni belum bisa menerimanya sebagai suami. Jangan tanya bagaimana dia melampiaskan hasrat biologisnya. Dia punya cara sendiri meski Agni belum juga mau menyerahkan diri.Suasana hati Tian sedang baik hari ini. Agni memasak masakan kesukaannya untuk sarapan. Juga membawakannya bekal, Agni juga tidak marah ketika dia mengecup keningnya sebagai tanda pamit pergi. Hal itu baginya sebuah tanda bahwa Agni sudah mulai membuka hati. Mungkin benar kata Damar dia hanya perlu bersabar sebentar lagi.Suara ketukan di pintu membuatnya menatap benda persegi panjang tersebut.“Masuk!”Desy masuk dengan membawa beberapa berkas yang perlu untuk Tian tandatangani.Sepertinya Desy suka sekali memakai dres atau kemeja dengan warna cerah dan berbahan tipis. Meski sudah jadi pemandangan sehari-hari. Tetapi tetap saja Tian selalu berdebar setiap melihat lekuk depan dan belakang Desy yang menggiurkan.“Bagaimana rencana rancangan untuk mall terbaru?”
"Makasih nasihatnya, Bro. Gue akan jaga jarak sama Karina mulai sekarang.”“Bagus. Ya udah gue cabut dulu. Tuh, temen-temen lain udah pada dateng.”Axel mengacungkan ibu jari ganda setuju.“Kan, mau ke mana, Lo? Kita dateng Lo malah pergi,” teriak Johan saat Arkan akan meninggalkan studio mereka.“Gue mau ke toko. Ana barusan menelepon ada pelanggan baru yang agak rewel. Oke gue cabut dulu ya?” teriaknya seraya mengangkat satu tangan.Ana adalah salah satu pegawai di toko baju milik Arkan yang paling dia percaya. Bulan ini Arkan membuka cabang baru yang dilengkapi dengan sepatu, jam tangan dan tas. Tapi masih tetap khusus fashion untuk laki-laki. Jadi dia harus berhadapan dengan para pelanggan baru yang kadang tingkah dan permintaannya aneh-aneh. Membuat Ana, Fika dan Oliv sedikit kelabakan.Sengaja dia memindahkan Ana ke cabang agar bisa mengajari Fika dan Oliv sebagai pegawai baru. Sedangkan di toko pusat ada Mira dan Penti. Ditambah satu pegawai baru bernama Esti.*Arkan sudah tib
Setelah Tian pergi, Arkan memeriksa penjualan seminggu ini. Ternyata untuk toko yang baru buka, pendapatan mereka sudah sangat besar. Itu terkuat dari cacatan yang diserahkan Ana. Banyak stok barang yang habis terjual. Bahkan Ana sudah memesan sebagian barang kepada grosir atau rumah fashion tempat langganan mereka memesan barang. Hal itu memang sudah diajarkan oleh Arkan sejak pertama kali Ana kerja bersamanya. Gadis berjilbab itu cepat tangkap dan gesit. Mungkin kemajuan toko Arkan salah satunya karena Ana. Jadi Arkan tidak segan-segan memberi gaji tinggi pada Ana.Setelah semua beres, Arkan berniat kembali ke studio musik. Dia pamit pada Ana, Fika dan Oliv. Kemudian bergegas melajukan mobil. Dia sangat mendukung teman-temannya yang sedang merintis grub band bergenre pop bernama d’Star. Nama tersebut dipilih secara bersamaan. Makna bintang karena punya lima sudut sedang ada satu titik di tengahnya. Mereka berlima, sedangkan Arkan ada di tengah karena selalu mendukung mereka.Jangan
“Iya, aku naik taksi aja nggak apa-apa, kok.”Meski tidak pernah naik taksi sebelumnya, tetapi asal bersama Axel tidak apa. Sayangnya jawaban Axel selanjutnya membuat harapan tipis itu kembali terempas. “Aku mau ke rumah Arkan. Ada sesuatu yang mau kami bicarakan. Jadi kamu pulang sendiri aja, ya? Biar aku pesankan taksi.”Axel segera mengetik sesuatu di ponselnya. Memesan taksi tanpa persetujuan Karina. Gadis itu hanya menunduk kecewa. Dia tidak mungkin memaksa untuk ikut Axel ke rumah Arkan.Akhirnya Karina pulang dengan taksi yang sudah datang. “Hati-hati,” ucap Axel datar.Karina hanya menjawab dengan anggukan kepala. Setelah itu taksi melaju mengantarkan Karina pulang. Axel merogoh ponsel di tas. Mengetik satu nama untuk ditelepon.“Jo, Lo udah sampe rumah?” ternyata Axel menelepon Johan. Kebetulan rumah Johan yang paling dekat dengan rumahnya. Dia berniat menumpang pada pria bermata sipit tersebut.“Belum, Xel. Gue baru ngisi bahan bakar, kenapa?” tanya Johan.“Jemput gue.”“K
Dari kejauhan Johan sudah cengar-cengir melihat Axel dengan raut wajah kesal. Setelah sampai tepat di depan Axel, Johan makin melebarkan senyumannya. “Lo kemana aja sih ah elah, capek tau gak nunggunya.” Axel kesal sembari memukul kepala Johan yang berbalut helm bogo tanpa kaca itu dengan koran yang tadi ia pegang.“Eh, Lo kan tau gue punya penyakit ....” “Lambung.” Datar dan aneh Axel melihat Johan. “Jadi gue harus rajin ma ....”“Kan,” sambungnya lagi. “Biar enggak sakit-sakit la ....”“Giiiii!” Axel teriak kepada Johan, kesal melihatnya di perlakukan seperti anak kecil.“Gue bukan anak TK ya?” Axel sambil memukul lagi kepala Johan dengan koran. “Lagian kenapa Lo gak telepon gue, bilang kalau Lo lagi makan, jadi gue gak berharap buat di jemput sama Lo.” Axel kesal. Pembicaraan mereka berhenti sebentar karena Axel menarik nafas.“Ya udah, gue pulang aja Lo juga gak berharap di jemput gue, kan?” kata Johan dengan nada marah yang ke kanan-kanakan. “Ya gak gitu juga, Lo kan udah d
Setelah mengatakan kata-kata itu dia langsung beranjak ke kamar mandi dan membersihkan dirinya sendiri. Agni yang tak habis pikir pun ikut beranjak dengan wajah datar dan pikiran kosong. Saat Agni lupa memberitahukan sesuatu ke Tian, Agni langsung kembali lagi ke kamar mereka.“Tian, nanti kalau udah siap mandi turun makan ya, aku mau masak,” tutur Agni dengan sedikit teriak karena posisi Tian yang sedang di kamar mandi. “Iya!” suara Tian dari dalam kamar mandi. “Kopi?” tanya balik Agni. “Bawa turun!” suara Tian kembali menguar dari dalam. Terdengar datar, tapi Agni tidak memperdulikan karena memang Agni tidak punya perasaan apapun dengannya.Agni langsung mengambil secangkir kopi itu dan membawa kopi itu turun bersamanya. Sampai di meja makan dia menaruh cangkir itu di meja tepat di tempat Tian akan duduk saat makan nanti. Agni kembali ke aktivitas memasaknya yang tadi sempat tertunda karena kepulangan Tian. Saat kembali ke dapur dia mendapati Bi Ira yang sedang memotong sayuran,
Agni yang tidak ingin kehilangan Axel langsung berteriak.“Jangan pergi!” Agni dengan suara lirih dan menggandeng Axel sembari menunjukkan wajah lugu tanpa polesan make up. Karena tinggi badan Axel, Agni harus sampai mendongak.Axel yang tak kuat dengan wajah cantik itu pun tersenyum tipis menahan tawa yang membuatnya geram. Karena terlalu imut dia akhirnya mengelus kepala Agni dengan lembut. Agni juga ikut tersenyum karenanya."Ya udah, iyah!" ucap Axel masih terus mengelus kepala Agni.Mereka pun kembali berjalan menelusuri pasar untuk mencari bahan yang cocok. Sepanjang perjalanan keduanya saling bergandengan tangan. Bukan Axel tapi Agni yang memegang, takut sang sahabat hilang dan meninggalkannya sendiri di pasar yang ramai orang. Bagi Agni, dirinya bebas bermanja pada Axel.Agni tertuju pada toko ayam yang kelihatannya sangat segar. Di saat yang sama Axel melihat pedagang daging sapi.“Yang itu!” serentak mereka berdua tapi dengan tujuan yang berbeda. Mereka menunjuk pilihan mas
Akhirnya Tian selesai memakai plester. Tangan Tian masih memegang tangan mungil istrinya. “Sudah,” ucap Tian lembut dan datar. Tapi tangan Tian masih belum beranjak. Agni menangis dan meneteskan air mata tepat di punggung tangan Tian. Tian kaget dengan air yang tiba-tiba jatuh dari kelopak mata cantik Agni. Tian langsung berdiri dan mengubah posisi, kepala Agni yang tadinya tertunduk menjadi mendongak lewat tangkupan tangannya agar melihat Tian yang sekarang berdiri. “Kamu kenapa?” tanya Tian dengan nada lembut. Agni hanya menggeleng dan melepaskan kepalanya dari tangan Tian. Agni berdiri masih dengan air mata yang bercucuran. dia mencoba sekuat mungkin menahan tangisan sembari menghapus setiap tetesan air mata yang jatuh membasahi pipi. Saat ingin beranjak, tangan Agni dipegang dan ditahan oleh Tian. “Bilang sama aku, siapa tau aku bisa bantu.” Tian masih dengan nada kelembutan.Tangan Agni ditarik oleh Tian dan membuat tubuh seorang Agni berbalik menjadi berhadapan dengan pria y
"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p
Dengan langkah terburu Tian menyusuri koridor rumah sakit daerah tempat ayah Desi dirawat sesuai alamat yang dia ikuti di aplikasi penunjuk jalan.Dari jauh dia melihat Desi dan ibunya duduk di bangku panjang di depan sebuah ruang ICU. Segera Tian menuju ke sana.“Desi,” panggil Tian pelan.Desi yang tadi sedang berpelukan dengan ibunya kini mengangkat wajah dan menatap Tian.“P-pak Tian?”“Bagaimana keadaan ayah kamu?”“Infeksi usus buntu,” jawab Desi lirih. Sebenarnya dia malu untuk meminta bantuan pada Tian hanya untuk operasi yang sebenarnya tidak terlalu memakan banyak biaya. Hanya saja mereka baru saja melunasi rumah yang saat ini mereka tempati. Jadi tabungan Desi benar-benar sudah tidak ada lagi. “Dokter bilang apa harus segera dioperasi,” timpalnya lagi.“Ya sudah kalau begitu ayo kita urus administrasinya, supaya ayah kamu lekas bisa ditangani.”Desi mengangguk dan beranjak bangkit.“Ibu tunggu di sini, ya?”Ibunya Desi setuju dengan ucapan Desi.Kemudian Tian dan Desi ber
Ya, orang itu adalah papanya Tian. Dia baru kembali dari pertemuan dengan beberapa pejabat daerah lainnya. “Kamu sedang apa di sini hujan-hujan begini?”Agni tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang kalau melihat Tian yang hampir meniduri sekretarisnya sendiri.“Apa kamu bertengkar dengan Tian?” tebak pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.Agni tidak menjawab. Dia lagi menundukkan kepala dengan tangan yang saling bertaut.Papa Tian tentu sudah tahu kalau tebakannya pasti benar.“Ya sudah kalau begitu ayo kamu pulang ke rumah papa saja. Nanti biar mama yang bilang sama Tian kalau kamu tinggal bersama kami untuk sementara waktu.”Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Agni mengangguk setuju untuk ikut bersama mertuanya. Dia duduk di bangku belakang sedangkan papa Tian duduk di samping sopir.“Loh, Agni. Kenapa bisa ikut papa?” tanya mama Tian setibanya suami sampai di rumah.“Sudah, masuk dulu.” Mama Tian mengangguk dan mengajak menantunya masuk k
Seketika wajah Agni berubah pias. Rantang yang ada di tangannya terempas jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Dia melihat dengan jelas bagaimana tubuh Tian menindih seorang gadis yang hampir telanjang dan sedang menghisap puting payudara gadis itu dengan penuh nafsu.Sepasang manusia yang sedang dilanda gairah itu terkejut dengan kedatangan Agni.“A-Agni!” Tian langsung turun dari tubuh Desi dan menarik celananya ke atas dengan gerakkan terburu. Begitu juga dengan Desi yang langsung turun dan merangkak mencari bra dan kemejanya yang tadi dilempar sembarangan oleh Tian. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Agni langsung masuk dan menutup pintu agar tidak ada karyawan yang melihat adegan tersebut. Kini dia melihat dua orang berlainan jenis itu sibuk memasang pakaiannya kembali. Desi nampak ketakutan dari wajahnya yang pucat pasi. Berbeda dengan Tian yang wajahnya datar saja sambil terus menatap Agni. Meski awalnya sempat terkejut, tapi Tian sangat pandai menguasai diri dalam kondis