Agni yang tidak ingin kehilangan Axel langsung berteriak.“Jangan pergi!” Agni dengan suara lirih dan menggandeng Axel sembari menunjukkan wajah lugu tanpa polesan make up. Karena tinggi badan Axel, Agni harus sampai mendongak.Axel yang tak kuat dengan wajah cantik itu pun tersenyum tipis menahan tawa yang membuatnya geram. Karena terlalu imut dia akhirnya mengelus kepala Agni dengan lembut. Agni juga ikut tersenyum karenanya."Ya udah, iyah!" ucap Axel masih terus mengelus kepala Agni.Mereka pun kembali berjalan menelusuri pasar untuk mencari bahan yang cocok. Sepanjang perjalanan keduanya saling bergandengan tangan. Bukan Axel tapi Agni yang memegang, takut sang sahabat hilang dan meninggalkannya sendiri di pasar yang ramai orang. Bagi Agni, dirinya bebas bermanja pada Axel.Agni tertuju pada toko ayam yang kelihatannya sangat segar. Di saat yang sama Axel melihat pedagang daging sapi.“Yang itu!” serentak mereka berdua tapi dengan tujuan yang berbeda. Mereka menunjuk pilihan mas
Akhirnya Tian selesai memakai plester. Tangan Tian masih memegang tangan mungil istrinya. “Sudah,” ucap Tian lembut dan datar. Tapi tangan Tian masih belum beranjak. Agni menangis dan meneteskan air mata tepat di punggung tangan Tian. Tian kaget dengan air yang tiba-tiba jatuh dari kelopak mata cantik Agni. Tian langsung berdiri dan mengubah posisi, kepala Agni yang tadinya tertunduk menjadi mendongak lewat tangkupan tangannya agar melihat Tian yang sekarang berdiri. “Kamu kenapa?” tanya Tian dengan nada lembut. Agni hanya menggeleng dan melepaskan kepalanya dari tangan Tian. Agni berdiri masih dengan air mata yang bercucuran. dia mencoba sekuat mungkin menahan tangisan sembari menghapus setiap tetesan air mata yang jatuh membasahi pipi. Saat ingin beranjak, tangan Agni dipegang dan ditahan oleh Tian. “Bilang sama aku, siapa tau aku bisa bantu.” Tian masih dengan nada kelembutan.Tangan Agni ditarik oleh Tian dan membuat tubuh seorang Agni berbalik menjadi berhadapan dengan pria y
Mereka saling membagi tugas masing-masing dan melaksanakan tugas itu dengan saksama. Saling membantu satu sama di saat Karina membutuhkan bantuan atau Bu Ningsih membutuhkan bantuan. Mulai dari menggoreng, mengiris, sampai menyiapkan hidangan di atas meja makan dilakukan dengan bersama-sama. Hidangan di siapkan begitu rapi di meja makan. Tidak banyak makanan yang tersaji di atasnya tapi dapat menggugah selera siapa saja yang melihat. Karena disusun begitu menarik dan cantik serta aroma yang bisa tercium dari kejauhan. “Wahhh, ternyata kamu pinter masak ya!” puji Bu Ningsih yang melihat Karina sangat cekatan dalam memasak. “Karina cuman bisa Tante, enggak pinter,” sanggahnya sembari merapikan meja. “selesai.” Karina dengan melipat kedua tangannya di dada dan membuang nafas lega setelah sekian lama terjebak di dapur. Bu Ningsih yang melihatnya tersenyum segar. “Kita duduk aja dulu yuk, lagian Axelnya belum pulang juga.” Bu Ningsih memberi tahu Karina sembari merangkul bahu si gadis
Malam gulita telah tiba dan sinar hilang bersama dengan terbenamnya matahari. Di kamar Agni sudah ingin tertidur dengan selimut yang sudah terpasang di tubuhnya namun belum sepenuhnya. Selimut itu menutupi bagian dada sampai kakinya dan dia terduduk di nakas sembari membaca novel. Di kamar itu dia menikmati malam dan menenggelamkan perhatiannya ke tiap lembaran tersebut. Tak lama Tian masuk dengan piyama tidurnya, Agni yang tadinya sangat fokus kini terganggu karena kehadiran Tian. “Ni. Ngapain?” tanya Tian dengan datar. “Baca novel,” singkat Agni dan langsung mengalihkan perhatiannya dari buku ke Tian.“Buatin aku kopi, aku mau kerja soalnya,” perintahnya pada Agni.Saat Agni ingin melangkahkan kakinya keluar dari kamar dia kembali dipanggil oleh Tian. “Ni, nanti anter kopi ke ruang kerja aku aja ya.” Tian memberi tahu sembari memainkan handphonenya. Agni langsung bergerak menuju dapur dan membuatkan kopi. Dia menuruni setiap tangga dengan hati-hati. Setelah menapakkan kakinya
Tian langsung berlari mengambil kunci mobil, mengeluarkan kendaraan roda empat dari garasi dan bergegas injak gas mencari keberadaan Agni. Tian sangat takut Agni pergi meninggalkannya, seperti yang sempat pernah terlindas dulu. Berpikir dia akan bunuh diri atau kabur dari rumah. Menunggunya begitu lama sampai Agni mau menerimanya seakan pupus dalam sekejap jika dia bunuh diri atau pergi entah ke mana. Dalam perjalanan, di tempat yang sunyi ia melihat semua motor terparkir dari sebelah sisi kanan jalan. Dia memelankan laju mobilnya ke speed yang hampir berhenti tapi tetap melaju. “Di tempat yang sunyi kenapa ada motor?” Tian mengamati motor itu dengan saksama. Sedikit terasa mengganjal ketika melihatnya, karena tempat yang hanya ada rumah-rumah kosong. Setelah dilihat lebih saksama, dia juga melihat sekantung plastik berserakan. Melihat semua keganjilan itu, Tian pun memutar mobilnya menjadi di sebelahnya. Tian menghentikan mobilnya tepat di belakang motor yang terparkir di sana.
"Tian!” pekik Agni, dia mencoba memanggilnya agar Tian tetap sadar bahwa mereka sedang dalam bahaya. Tian masih tergeletak, tapi suara sirene mobil polisi mulai berbunyi dan melesat langsung terdengar keras. Saat kedua pemuda itu sadar sedang dalam bahaya, mereka ingin kabur. Secara bersamaan Tian dan Agni menahan kaki mereka agar tidak bisa lari. Agni mencoba sekuat tenaga menahan kaki mereka berdua karena Tian akhirnya pingsan. Tapi yang namanya laki-laki pastilah lebih besar dari perempuan. Salah satu pemuda berhasil membebaskan dirinya. Untuk melepaskan temannya dia menginjak tangan Agni. “Akkk!”teriak Agni. Masih di ambang gang, mereka sudah di kepung oleh beberapa mobil. “Jangan bergerak.” Semua polisi menodongkan pistol ke arah mereka. Kedua orang itu angkat tangan dan saling melihat. Dengan gesit mereka melarikan diri melalui dinding tembok di ujung gang. Gang tersebut terbuat karena lorong antara dua rumah kosong yang berjarak dan berujung tembok. Dan kedua pemuda itu
Dengan refleks Tian memegang tangan Agni. Karena masih teringat jelas kejadian itu, dia sontak terkejut yang menjadikan napasnya tak beraturan. Tian mendekati wajah Agni yang sedang terkejut itu. Sangat ingin menikmati bibir cantik itu. Tapi Agni sontak berdiri dan mendorong Tian. Dia tak membiarkan dirinya disentuh oleh orang yang tidak ada di hatinya.Agni memalingkan wajah, Agni meletakkan handuk itu di meja dan langsung buru-buru tidur menghadap ke arah yang berlawanan dengan Tian. Tian yang dari awal tidak ada niat seperti itu karena mengerti keadaan Agni pun tersenyum. Dia juga ikut tertidur setelah berjalannya waktu. ‘Malam ini terjadi sesuatu sama aku, Xel. Kamu enggak perlu tau , yang harus kamu tau adalah ... Axel, aku kangen kamu,’ batin Agni sambil meneteskan air mata. Di hari yang cerah ini, Axel sudah merencanakan kegiatan bersama temannya untuk latihan band. Sebelum latihan, dia berencana mengunjungi Arkan.Nuttt!Suara memanggil terdengar dari ponsel Axel yang se
Suara telepon toko berbunyi dan di angkat oleh Ana, saat mengangkatnya ternyata orang di balik telepon itu ingin bicara dengan pemilik toko Ken’Z itu. “Arkan!” panggil Ana dengan lembut. “Ini ada telepon dari pelanggan. Katanya mau ngomong sama kamu,” lanjut Ana dengan lembut. Arkan yang tak berpikir panjang langsung mengambil alih telepon itu dari tangan Ana lalu berbicara dengan orang di balik telepon.“Hallo, ada yang bisa saya bantu selaku pemilik toko ken’Z ini?” Arkan dengan kelembutan suara serta nada keceriaan.“ ....”“Ah baik.”“....”“Baik”Pelayan itu menjelaskan. Jadi Arkan hanya mendengar dengan seksama.“Baik, kalau begitu nanti antar ke alamat toko saya saja ya, Pak," ucapnya setuju.“Baik, Pak, terima kasih atas kerja samanya.” Arkan lalu mematikan telepon itu dan kembali duduk di samping Axel. “Axel, Axel!” panggil Arkan dengan nada terburu-buru. Wajahnya menyiratkan bahagia.Axel yang masih merenung hanya menoleh dan tak menjawab panggilan dari sahabatnya itu.
"Xel!" Agni menatap Axel berkaca-kaca. Tidak menyangka Axel tidak menyerah demi mendapatkanya. Padahal, Agni sempat ingin berpaling.Axel mengangguk maksum dan mencium kepala Agni. Tidak perlu berkata apapun. Karena Axel tau cinta Agni cuma untuknya."Tapi aku harus bilang sama papa dan mamanya Tian. Gimanapun mereka sangat baik ke aku!" Axel mengangguk maksum. Ia mengantarkan Agni ke rumah orangtua Tian. Di sana Agni disambut tapi mama Tian bingung siapa pria yang bersama Agni. Keduanya masuk dan menjelaskan kepada orangtua Tian.Mama Tian sangat kaget saat tau perbuatan Tian yang suka mengurung Agni."Astaga!" Dia tidak bisa menyalahkan Agni. "Lalu bagaimana, kamu ingin bercerai dari Tian, Agni?" Papa Tian menengahi. Dia dapat kabar dari orang kantornya kalau Tian punya hubungan gelap dengan sekretarisnya. Sepintar-pintarnya Tian menutupi, perselingkuhannya tercium juga dan papa Tian tidak bisa mengelak lagi. Selingkuh dan melakukan kekerasan fisik. Pantas anak mantunya tidak
Siang itu Axel menemui Agni di rumahnya. Dia ingin mengingatkan wanita itu perihal perlakuan Tian selama ini yang benar-benar salah, yaitu penuh kelicikan dan memfitnah habis-habisan. Sebenarnya dia tahu jika Agni pasti peduli, tetapi nampaknya selama ini Axel merasa tidak ada pergerakan apa-apa dari wanita itu. Jika dikata harus sabar, nampaknya Axel tidak bisa. Dia harus segera melanggar permasalahan ini dan bertindak lebih cepat dari Agni, yaitu dengan memberikan hukuman kepada Tian yang sudah berani berbuat. Jika tidak seperti ini, maka sampai selamanya Tian pasti akan terus-menerus seperti itu. Dia tidak bisa menyadari kesalahannya sendiri dan bahkan hanya bisa menjadikan orang sebagai kambing hitam atau semua yang telah terjadi, tentang permasalahan yang ada. Mendengar dan melihat yang seperti itu, siapa yang tidak marah? Ya, tentu. Axel sudah bukan lagi ingin marah, tetapi dia memiliki rencana untuk membunuh Tian jika laki-laki itu masih terus-menerus keterlaluan dan semena-men
Di satu sisi, diam-diam Axel masih memikirkan tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saja pemikirannya mengingat tentang kebohongan Agni yang selama ini disembunyikan. Axel kecewa mengapa wanita itu tega kepadanya, padahal selama ini Axel hanya berharap jika Agni mau jujur kepada dia.“Walaupun ini udah terjadi, tapi aku masih ingat jelas. Aku lupa cara melupakan ini semua. Sudah seharusnya aku nggak perlu lagi ingat-ingat soal itu.”Wanita paruh baya yang kerap disapa dengan nama bu Ningsih tiba-tiba saja menghampiri Axel. Pasalnya, sejak tadi dia melihat jika putranya itu seperti memperlihatkan raut wajah tidak tenang dan kepikiran terhadap sesuatu hal. Sebenarnya sejauh ini belum ada yang bisa diartikan oleh Bu Ningsih. Beliau sendiri bingung, apakah Axel sedang sakit atau tidak. Akan tetapi, dia tidak menemukan bukti dan tanda bahwa putranya itu mengalami hal yang dia pikirkan. Semua itu seperti terjadi begitu cepat dan Bu Ningsih harus segera menangani apa y
Tian begitu bersemangat menuju rumah Desi. Dia sangat yakin akan mendapat restu dari ayah dan ibunya Desi. Terlebih apa yang sudah dia lakukan selama ini. Itu pasti akan menjadi pertimbangan yang cukup membuatnya percaya diri. Mobilnya sudah masuk ke halaman rumah Desi yang hanya bisa memuat satu mobil dan satu motor saja. Tian langsung turun dan ternyata pintu rumah itu sudah terbuka seperti memang ingin menyambutnya. “Pak Tian, udah sampai,” sapa Desi yang kebetulan ke luar. “Ayo silakan masuk.” Desi berjalan di samping Tian malu-malu.Tian begitu bahagia melihat senyum di wajah Desi. Dia makin yakin kalau dia akan diterima dengan baik di rumah itu sebagai anggota keluarga baru. Tian benar-benar tidak ingat akan keberadaan Agni yang masih sah menjadi istrinya. Dia tidak sadar sedang mempermainkan dua hati wanita yang pasti nanti akan melukai salah satu dari mereka atau bahkan keduanya. Yang ada di pikirannya saat ini sudah pasti hanya bagaimana caranya mendapatkan Desi yang selalu
“Kalau begitu ibu tidak bisa melarang seperti yang ibu katakan tadi. Asalkan kamu harus selesai dulu dengan istri kamu.”Tian lantas tertegun. Meski dia begitu kesal dan marah pada Agni, tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya untuk bercerai dengan istrinya itu. Di mata Tian, Agni adalah gadis yang baik dan santun. Terlebih kedua orang tuanya sangat menyayangi Agni. Jadi dia tidak berniat berpisah dari Agni. Tian terlihat begitu gugup. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum canggung. Tidak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ibu Desi.“Bu. Kita makan dulu ya? Jangan bahas yang lain,” ucap Desi menengahi antara ibunya dan Tian. Dia tidak peduli bagaimana reaksi Tian selanjutnya, dia sudah cukup bahagia mendengar pengakuan Tian tentang perasaannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.“Pak Tian. Maaf kalau pertanyaan ibu saya tadi ....”“Tidak apa-apa, Desi. Itu hal yang wajar sebagai seorang ibu.”Mereka sudah berada di luar rumah karena Tian akan pulang. “Tapi ....” Desi tidak mela
“Kamu beneran nggak apa-apa, Agni?” mama Tian begitu khawatir dengan menantunya yang terlihat sering murung. “Nggak, Ma. Agni baik-baik aja, kok. Mama jangan khawatir ya?”Wanita itu mengangguk mencoba percaya kalau sang menantu baik-baik saja.*“Pak Tian. Hari ini saya izin pulang lebih cepat, boleh?”Dessy sedang meminta izin pada Tian.“Mau ke mana?”“Tidak ke mana-mana, Pak. Ayah saya hari ini sudah diperbolehkan pulang.”Tian bangkit dari kursi dan memakai jas. Lalu mengambil kunci mobil di atas meja.“Ayo saya antar.” Tian melenggang begitu saja melewati Desi yang tidak tahu maksud bosnya itu.“P-pak ....” Desi mempercepat langkah kaki untuk bisa sejajar dengan Tian.“Saya akan antar kamu ke rumah sakit dan kamu tidak bisa menolak. Lagi pula kita tidak ada pekerjaan lagi, kan?”Desi hanya bisa mengangguk karena tidak mungkin dia bisa menolak Tian.Ternyata semua urusan di rumah sakit sudah selesai. Jadi ayah Desi langsung bisa dibawa pulang. Dua orang tua itu duduk di bangku p
Dengan langkah terburu Tian menyusuri koridor rumah sakit daerah tempat ayah Desi dirawat sesuai alamat yang dia ikuti di aplikasi penunjuk jalan.Dari jauh dia melihat Desi dan ibunya duduk di bangku panjang di depan sebuah ruang ICU. Segera Tian menuju ke sana.“Desi,” panggil Tian pelan.Desi yang tadi sedang berpelukan dengan ibunya kini mengangkat wajah dan menatap Tian.“P-pak Tian?”“Bagaimana keadaan ayah kamu?”“Infeksi usus buntu,” jawab Desi lirih. Sebenarnya dia malu untuk meminta bantuan pada Tian hanya untuk operasi yang sebenarnya tidak terlalu memakan banyak biaya. Hanya saja mereka baru saja melunasi rumah yang saat ini mereka tempati. Jadi tabungan Desi benar-benar sudah tidak ada lagi. “Dokter bilang apa harus segera dioperasi,” timpalnya lagi.“Ya sudah kalau begitu ayo kita urus administrasinya, supaya ayah kamu lekas bisa ditangani.”Desi mengangguk dan beranjak bangkit.“Ibu tunggu di sini, ya?”Ibunya Desi setuju dengan ucapan Desi.Kemudian Tian dan Desi ber
Ya, orang itu adalah papanya Tian. Dia baru kembali dari pertemuan dengan beberapa pejabat daerah lainnya. “Kamu sedang apa di sini hujan-hujan begini?”Agni tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang kalau melihat Tian yang hampir meniduri sekretarisnya sendiri.“Apa kamu bertengkar dengan Tian?” tebak pria paruh baya yang sebagian rambutnya sudah memutih itu.Agni tidak menjawab. Dia lagi menundukkan kepala dengan tangan yang saling bertaut.Papa Tian tentu sudah tahu kalau tebakannya pasti benar.“Ya sudah kalau begitu ayo kamu pulang ke rumah papa saja. Nanti biar mama yang bilang sama Tian kalau kamu tinggal bersama kami untuk sementara waktu.”Karena tidak punya pilihan lain, akhirnya Agni mengangguk setuju untuk ikut bersama mertuanya. Dia duduk di bangku belakang sedangkan papa Tian duduk di samping sopir.“Loh, Agni. Kenapa bisa ikut papa?” tanya mama Tian setibanya suami sampai di rumah.“Sudah, masuk dulu.” Mama Tian mengangguk dan mengajak menantunya masuk k
Seketika wajah Agni berubah pias. Rantang yang ada di tangannya terempas jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Dia melihat dengan jelas bagaimana tubuh Tian menindih seorang gadis yang hampir telanjang dan sedang menghisap puting payudara gadis itu dengan penuh nafsu.Sepasang manusia yang sedang dilanda gairah itu terkejut dengan kedatangan Agni.“A-Agni!” Tian langsung turun dari tubuh Desi dan menarik celananya ke atas dengan gerakkan terburu. Begitu juga dengan Desi yang langsung turun dan merangkak mencari bra dan kemejanya yang tadi dilempar sembarangan oleh Tian. Sadar dengan apa yang sedang terjadi, Agni langsung masuk dan menutup pintu agar tidak ada karyawan yang melihat adegan tersebut. Kini dia melihat dua orang berlainan jenis itu sibuk memasang pakaiannya kembali. Desi nampak ketakutan dari wajahnya yang pucat pasi. Berbeda dengan Tian yang wajahnya datar saja sambil terus menatap Agni. Meski awalnya sempat terkejut, tapi Tian sangat pandai menguasai diri dalam kondis