Dari kejauhan Johan sudah cengar-cengir melihat Axel dengan raut wajah kesal. Setelah sampai tepat di depan Axel, Johan makin melebarkan senyumannya. “Lo kemana aja sih ah elah, capek tau gak nunggunya.” Axel kesal sembari memukul kepala Johan yang berbalut helm bogo tanpa kaca itu dengan koran yang tadi ia pegang.“Eh, Lo kan tau gue punya penyakit ....” “Lambung.” Datar dan aneh Axel melihat Johan. “Jadi gue harus rajin ma ....”“Kan,” sambungnya lagi. “Biar enggak sakit-sakit la ....”“Giiiii!” Axel teriak kepada Johan, kesal melihatnya di perlakukan seperti anak kecil.“Gue bukan anak TK ya?” Axel sambil memukul lagi kepala Johan dengan koran. “Lagian kenapa Lo gak telepon gue, bilang kalau Lo lagi makan, jadi gue gak berharap buat di jemput sama Lo.” Axel kesal. Pembicaraan mereka berhenti sebentar karena Axel menarik nafas.“Ya udah, gue pulang aja Lo juga gak berharap di jemput gue, kan?” kata Johan dengan nada marah yang ke kanan-kanakan. “Ya gak gitu juga, Lo kan udah d
Setelah mengatakan kata-kata itu dia langsung beranjak ke kamar mandi dan membersihkan dirinya sendiri. Agni yang tak habis pikir pun ikut beranjak dengan wajah datar dan pikiran kosong. Saat Agni lupa memberitahukan sesuatu ke Tian, Agni langsung kembali lagi ke kamar mereka.“Tian, nanti kalau udah siap mandi turun makan ya, aku mau masak,” tutur Agni dengan sedikit teriak karena posisi Tian yang sedang di kamar mandi. “Iya!” suara Tian dari dalam kamar mandi. “Kopi?” tanya balik Agni. “Bawa turun!” suara Tian kembali menguar dari dalam. Terdengar datar, tapi Agni tidak memperdulikan karena memang Agni tidak punya perasaan apapun dengannya.Agni langsung mengambil secangkir kopi itu dan membawa kopi itu turun bersamanya. Sampai di meja makan dia menaruh cangkir itu di meja tepat di tempat Tian akan duduk saat makan nanti. Agni kembali ke aktivitas memasaknya yang tadi sempat tertunda karena kepulangan Tian. Saat kembali ke dapur dia mendapati Bi Ira yang sedang memotong sayuran,
Agni yang tidak ingin kehilangan Axel langsung berteriak.“Jangan pergi!” Agni dengan suara lirih dan menggandeng Axel sembari menunjukkan wajah lugu tanpa polesan make up. Karena tinggi badan Axel, Agni harus sampai mendongak.Axel yang tak kuat dengan wajah cantik itu pun tersenyum tipis menahan tawa yang membuatnya geram. Karena terlalu imut dia akhirnya mengelus kepala Agni dengan lembut. Agni juga ikut tersenyum karenanya."Ya udah, iyah!" ucap Axel masih terus mengelus kepala Agni.Mereka pun kembali berjalan menelusuri pasar untuk mencari bahan yang cocok. Sepanjang perjalanan keduanya saling bergandengan tangan. Bukan Axel tapi Agni yang memegang, takut sang sahabat hilang dan meninggalkannya sendiri di pasar yang ramai orang. Bagi Agni, dirinya bebas bermanja pada Axel.Agni tertuju pada toko ayam yang kelihatannya sangat segar. Di saat yang sama Axel melihat pedagang daging sapi.“Yang itu!” serentak mereka berdua tapi dengan tujuan yang berbeda. Mereka menunjuk pilihan mas
Akhirnya Tian selesai memakai plester. Tangan Tian masih memegang tangan mungil istrinya. “Sudah,” ucap Tian lembut dan datar. Tapi tangan Tian masih belum beranjak. Agni menangis dan meneteskan air mata tepat di punggung tangan Tian. Tian kaget dengan air yang tiba-tiba jatuh dari kelopak mata cantik Agni. Tian langsung berdiri dan mengubah posisi, kepala Agni yang tadinya tertunduk menjadi mendongak lewat tangkupan tangannya agar melihat Tian yang sekarang berdiri. “Kamu kenapa?” tanya Tian dengan nada lembut. Agni hanya menggeleng dan melepaskan kepalanya dari tangan Tian. Agni berdiri masih dengan air mata yang bercucuran. dia mencoba sekuat mungkin menahan tangisan sembari menghapus setiap tetesan air mata yang jatuh membasahi pipi. Saat ingin beranjak, tangan Agni dipegang dan ditahan oleh Tian. “Bilang sama aku, siapa tau aku bisa bantu.” Tian masih dengan nada kelembutan.Tangan Agni ditarik oleh Tian dan membuat tubuh seorang Agni berbalik menjadi berhadapan dengan pria y
Mereka saling membagi tugas masing-masing dan melaksanakan tugas itu dengan saksama. Saling membantu satu sama di saat Karina membutuhkan bantuan atau Bu Ningsih membutuhkan bantuan. Mulai dari menggoreng, mengiris, sampai menyiapkan hidangan di atas meja makan dilakukan dengan bersama-sama. Hidangan di siapkan begitu rapi di meja makan. Tidak banyak makanan yang tersaji di atasnya tapi dapat menggugah selera siapa saja yang melihat. Karena disusun begitu menarik dan cantik serta aroma yang bisa tercium dari kejauhan. “Wahhh, ternyata kamu pinter masak ya!” puji Bu Ningsih yang melihat Karina sangat cekatan dalam memasak. “Karina cuman bisa Tante, enggak pinter,” sanggahnya sembari merapikan meja. “selesai.” Karina dengan melipat kedua tangannya di dada dan membuang nafas lega setelah sekian lama terjebak di dapur. Bu Ningsih yang melihatnya tersenyum segar. “Kita duduk aja dulu yuk, lagian Axelnya belum pulang juga.” Bu Ningsih memberi tahu Karina sembari merangkul bahu si gadis
Malam gulita telah tiba dan sinar hilang bersama dengan terbenamnya matahari. Di kamar Agni sudah ingin tertidur dengan selimut yang sudah terpasang di tubuhnya namun belum sepenuhnya. Selimut itu menutupi bagian dada sampai kakinya dan dia terduduk di nakas sembari membaca novel. Di kamar itu dia menikmati malam dan menenggelamkan perhatiannya ke tiap lembaran tersebut. Tak lama Tian masuk dengan piyama tidurnya, Agni yang tadinya sangat fokus kini terganggu karena kehadiran Tian. “Ni. Ngapain?” tanya Tian dengan datar. “Baca novel,” singkat Agni dan langsung mengalihkan perhatiannya dari buku ke Tian.“Buatin aku kopi, aku mau kerja soalnya,” perintahnya pada Agni.Saat Agni ingin melangkahkan kakinya keluar dari kamar dia kembali dipanggil oleh Tian. “Ni, nanti anter kopi ke ruang kerja aku aja ya.” Tian memberi tahu sembari memainkan handphonenya. Agni langsung bergerak menuju dapur dan membuatkan kopi. Dia menuruni setiap tangga dengan hati-hati. Setelah menapakkan kakinya
Tian langsung berlari mengambil kunci mobil, mengeluarkan kendaraan roda empat dari garasi dan bergegas injak gas mencari keberadaan Agni. Tian sangat takut Agni pergi meninggalkannya, seperti yang sempat pernah terlindas dulu. Berpikir dia akan bunuh diri atau kabur dari rumah. Menunggunya begitu lama sampai Agni mau menerimanya seakan pupus dalam sekejap jika dia bunuh diri atau pergi entah ke mana. Dalam perjalanan, di tempat yang sunyi ia melihat semua motor terparkir dari sebelah sisi kanan jalan. Dia memelankan laju mobilnya ke speed yang hampir berhenti tapi tetap melaju. “Di tempat yang sunyi kenapa ada motor?” Tian mengamati motor itu dengan saksama. Sedikit terasa mengganjal ketika melihatnya, karena tempat yang hanya ada rumah-rumah kosong. Setelah dilihat lebih saksama, dia juga melihat sekantung plastik berserakan. Melihat semua keganjilan itu, Tian pun memutar mobilnya menjadi di sebelahnya. Tian menghentikan mobilnya tepat di belakang motor yang terparkir di sana.
"Tian!” pekik Agni, dia mencoba memanggilnya agar Tian tetap sadar bahwa mereka sedang dalam bahaya. Tian masih tergeletak, tapi suara sirene mobil polisi mulai berbunyi dan melesat langsung terdengar keras. Saat kedua pemuda itu sadar sedang dalam bahaya, mereka ingin kabur. Secara bersamaan Tian dan Agni menahan kaki mereka agar tidak bisa lari. Agni mencoba sekuat tenaga menahan kaki mereka berdua karena Tian akhirnya pingsan. Tapi yang namanya laki-laki pastilah lebih besar dari perempuan. Salah satu pemuda berhasil membebaskan dirinya. Untuk melepaskan temannya dia menginjak tangan Agni. “Akkk!”teriak Agni. Masih di ambang gang, mereka sudah di kepung oleh beberapa mobil. “Jangan bergerak.” Semua polisi menodongkan pistol ke arah mereka. Kedua orang itu angkat tangan dan saling melihat. Dengan gesit mereka melarikan diri melalui dinding tembok di ujung gang. Gang tersebut terbuat karena lorong antara dua rumah kosong yang berjarak dan berujung tembok. Dan kedua pemuda itu