Arjuna keluar dari goa. Ia cukup lama menunggu, tapi ratu ular tidak muncul. Arjuna melihat mereka menunggunya di pinggir sungai. Mereka tampak ceria, kekhawatiran mendapat serangan anaconda hanyalah kesalahpahaman belaka. "Kau cepat sekali muncul," kata Chitrangada. "Aku kira purnama depan baru selesai." Arjuna dapat menguasai kitab kuno dengan cepat berkat bantuan energi kujang emas. Arjuna demikian mudah mempelajari gerakan- gerakan di dalam kitab, termasuk jurus pedang. Kujang emas adalah separuh jiwanya. "Aku tidak melihat ratu ular," kata Arjuna. "Apakah kalian membunuhnya?" "Ratu ular pergi ke hilir sungai," sahut Chitrangada. "Ia ingin bersenang-senang karena sudah bebas menjalankan tugas." "Ia tampak kecewa," bisik Bajang. "Ia sudah menunggu ratusan tahun tapi tidak mendapatkan upah." Arjuna tersenyum kecut. "Aku menunggunya di dalam goa." Arjuna tahu apa yang diinginkan ratu ular, tapi ia malah pergi tanpa pamit. Arjuna hanya dingin kepada calon istrinya, Chitra
Arjuna menghentikan kudanya. Lima pendekar dengan rambut panjang dipilin menghalangi jalan kudanya. "Jadi kabar yang tersiar benar," kata pendekar berkumis panjang. Kuku tangannya juga panjang. Wajah saja yang menjadikan dirinya pantas disebut lelaki. "Resi Kamandalu sudah menyerahkan ketua rimba persilatan kepada muridnya." "Resi Kamandalu terlalu merendahkan kita," ujar pendekar berjenggot panjang bak rambut jagung. "Padahal seharusnya diadakan kompetisi untuk menentukan siapa yang paling pantas." "Arjuna!" seru pendekar berhidung buntet persis burung kakatua. "Kau serahkan pataka ketua secara baik-baik, atau kami paksa!" Arjuna heran mereka mengenal dirinya. Ia baru bertarung dengan Sepuluh Utusan Neraka dan semua tewas, kemudian berjumpa dengan legiun prajurit. Mereka berhasil dilumpuhkan dengan racun kodok emas dan lupa dengan kejadian itu, seakan mereka tak pernah berjumpa. Lalu lima pendekar itu mendapat kabar dari mana? Barangkali ada pendekar yang luput dari perhatian
Perjalanan jadi kurang menyenangkan, keributan terjadi hampir di sepanjang jalan. Bajang memilih diam, Kong juga. Ketiga perempuan itu tidak puas dengan keputusan Arjuna menyerahkan pataka dan kujang emas. Padahal Arjuna seharusnya menjaga baik-baik, melaksanakan amanat gurunya dengan penuh tanggung jawab. "Kelihatannya kalian begitu ingin aku menjadi ketua persilatan," kata Arjuna. "Padahal aku sendiri ingin pulang secepatnya." "Kau sudah jauh melangkah," sahut Chitrangada. "Sekarang kau ingin pulang tanpa ayahmu." "Apakah aku bilang begitu tadi? Jangan berasumsi." "Bagaimana kau pulang secepatnya dengan membawa ayahmu?" Mereka melewati dataran rumput hijau yang dikelilingi pepohonan. Arjuna turun dan melepas kuda untuk makan sekenyang-kenyangnya. Kemudian ia mencari air untuk minumnya. Bajang dan kingkong turut pergi mencari air. "Aku dapat membaca siasatmu, maka itu aku diam," kata Bajang. "Kau ingin menghemat energi dengan membiarkan mereka bertarung memperebutkan patak
Mereka meneruskan perjalanan setelah memberi makanan cukup pada kuda. Chitrangada belum selesai dengan persoalan pataka dan kujang emas. "Kau belum menjawab pertanyaanku," kata Chitrangada. "Pertanyaan apa?" "Bagaimana kau pulang secepatnya dengan membawa ayahmu?" Arjuna tahu jawaban dari pertanyaan itu sangat menentukan masa depan mereka. Chitrangada kelihatannya butuh kepastian. Padahal Arjuna sudah menghindari pertanyaan itu. Chitrangada seharusnya tahu bahwa Arjuna menyerahkan keputusan kepadanya. "Aku menunggu takdir," jawab Arjuna. "Aku sudah cukup berusaha untuk menemukan ayahku." "Kau kelihatannya menyerah." Arjuna sudah banyak menjumpai kekecewaan dalam pencarian ini, bahkan ia menjadi sosok yang tak diharapkannya. Arjuna mendapat warisan ilmu kuno untuk menguasai dunia, menjadi pejuang kebenaran di masa lampau dan masa depan. Padahal kebenaran adalah relatif. Tergantung di mana bumi dipijak. "Menyerah dan menyadari perbuatan bodoh adalah dua hal yan
Mereka berhenti di antara pepohonan besar. Mata mereka melayang ke dataran rumput di lereng hutan. Si Surai Singa tampak tertawa terbahak-bahak menyaksikan empat kawannya yang terkapar mati. "Ha ha ha! Sekarang kalian mengakui bahwa akulah yang pantas menjadi ketua rimba persilatan!" Larasati memandang sinis. "Demi pataka ketua, mereka sampai saling bunuh sesama kawan, naif sekali." "Arjuna sudah tahu hal ini akan terjadi," ujar Bajang. "Makanya ia menyerahkan pataka itu untuk mengurangi kekuatan musuh. Menghemat tenaga." Larasati mengakui Arjuna berotak cerdik. Ia malu sendiri teringat perkataannya yang kurang pantas beberapa waktu lalu. Resi Kamandalu pernah memberi tahu para pendekar berilmu tinggi yang malang-melintang di rimba persilatan, di antaranya si Surai Singa dan komplotannya. Mereka pemberontak yang melarikan diri dari Jepara, buronan Ratu Kalinyamat. "Sayang sekali kujang emas terbang entah ke mana! Pataka ketua sudah cukup bagiku! Aku akan kaya raya den
Kong berhasil mengalahkan si Surai Singa dan membiarkan kabur dengan menunggang kuda. Pendekar berkumis panjang itu takkan bertahan lama dengan luka dalam di dadanya, ia akan tewas sebelum sampai perkampungan.Kong menyodorkan kacamata hitam dan jubah kepada Arjuna. "Buat kau saja," kata Arjuna. "Kau cocok pakai jubah dan kacamata." Kong tampak senang sekali. Ia segera memakai jubah dan kacamata. Dengan pataka itu Kong secara otomatis menjadi ketua rimba persilatan. Ia akan banyak musuh dan paling diburu para pendekar. "Kau akan membuat gempar dunia persilatan," komentar Bajang. "Manusia dipimpin binatang." "Asal jangan pemimpin binatang," kata Ulupi. "Kong binatang berhati manusia." "Maksudmu apa memberikan pataka pada Kong?" tanya Larasati separuh protes. "Kau ingin merendahkan dunia persilatan?" "Aku mempersilakan siapa saja mengambil pataka dari Kong jika merasa direndahkan." Larasati terlalu kaku dengan peradaban sehingga sulit berpikir objektif. Siapapun berhak menja
Sebuah kereta dengan enam penumpang berwajah sangar melaju cukup kencang di atas jalan berkerikil. Di belakang kereta itu terdapat tali yang menarik beberapa pendekar dengan tubuh terikat rantai. Dua orang tampak terseret karena tidak kuat lagi berlari. Pakaian robek-robek. Tapi tidak ada sepotong keluhan pun meluncur dari mulut mereka. Mereka adalah pengikut setia Senopati Aryaseta yang terbongkar penyamarannya. "Aku kira Senopati Aryaseta sudah keluar kalau ada di hutan roban," kata Ki Jagatnata. "Ia pasti marah orang-orangnya diperlakukan seperti binatang." "Hutan roban sangat luas, kita belum separuhnya menempuh perjalanan," ujar Ki Trenggalek. "Bagaimana jika persembunyian mereka berada di perbatasan dengan Laut Selatan? Usaha kita sia-sia." "Aku kira senopati takut melihat kita," tukas Ki Amarta. "Lima Peminum Teh adalah penguasa kegelapan." Mereka sedang memancing Senopati Aryaseta untuk keluar dari sarangnya. Tersiar kabar bahwa senopati itu berada di hutan roban.
Perkiraan Arjuna tepat. Beberapa jurus kemudian Bajang terdesak hebat. Ki Jagatnata mengeluarkan jurus pamungkas yang menjadi andalan untuk mengakhiri pertarungan. Sebuah kulit pisang melayang ke arena pertarungan dan terinjak oleh Ki Jagatnata. Ia terpeleset jatuh. Arjuna memuji kecerdikan Kong sehingga tidak menyinggung perasaan Bajang. "Brengsek," maki Ki Jagatnata sambil segera bangkit. "Buang sampah seenaknya." Sekali lagi Kong melempar kulit pisang dan mendarat di muka Ki Jagatnata, ia bersorak gembira karena lemparannya mengenai sasaran. "Kong mengira dirimu bak sampah," kata Arjuna. "Harap maklum, binatang tidak tahu wajahmu bukan bak sampah...tapi cubluk." "Bedebah," geram Ki Jagatnata. "Aku akan mengadu jiwa denganmu." Ki Jagatnata menerjang dengan segenap amarah. Arjuna menangkap kaki yang tinggal beberapa jengkal lagi dari mukanya, kemudian mendorong dan mengembalikan energi serangannya. Ki Jagatnata terlempar dan jatuh terjengkang di dekat Kong. Ketika tokoh istan
Srikandi perang tergolek lemas di atas rumput. Matanya tampak sayu. Ia mengalami guncangan hebat atas apa yang terjadi. Kemarahan membakar hatinya. Namun ia sulit bergerak untuk membunuh kingkong yang berdiri penuh kepuasan itu. Tenaganya habis terkuras untuk melayani nafsu binatang itu, ia mungkin sudah mati kalau saja tak mengalir energi aneh dari persenggamaan itu. "Berisik!" sergah Arjuna saat Kong belum berhenti juga dengan erangannya. "Binatang saja muak mendengar eranganmu! Kau ingin membuat kupingku pekak?" Kong berhenti mengerang. Ia mendatangi Arjuna yang duduk menunggu di akar besar. "Wangsit palsu itu sungguh memanjakan dirimu," gerutu Arjuna jengkel. "Aku tidak melihat perubahan pada dirimu, selain basah di bawah." "Kau...perhatikan lagi...baik-baik...." Arjuna terpukau mendengar Kong dapat berbicara meski sedikit terbata. Arjuna bangkit berdiri, ia memandang kingkong sakti itu dengan sinar tak percaya. "Kong...kau...!" Kong menyeringai senang, ia mel
Dalam satu kesempatan Kong berhasil menangkap kaki srikandi perang, ia memutar kaki itu dan mendorongnya. Srikandi perang jatuh terhempas. Kong segera menotok saraf motorik, srikandi merasa seluruh ototnya lemas, tak kuasa bangun. "Bedebah!" geram srikandi perang. "Lepaskan totokanmu!" Kong segera membawa srikandi perang ke bawah pohon rindang. Komandan pasukan pemburu itu mendelik tanpa kuasa untuk melepaskan diri. "Jahanam!" maki srikandi perang. "Apa yang hendak kau lakukan?" Kong membaringkan srikandi perang di atas daun mati. Wanita itu semakin deras memaki-maki. "Antara melaksanakan wangsit dan kebelet, kau tak ada bedanya Kong," sindir Arjuna. "Aku curiga kau menjadikan wangsit untuk melampiaskan hasratmu." Kong menjelaskan bahwa wangsit itu perlu dibuktikan kebenarannya. Ia sendiri kurang yakin, namun tidak rugi seandainya suara gaib itu berdusta. "Aku kira suara gaib itu ingin menonton kalian secara live," kata Arjuna. "Ia pasti berbuat sendiri kalau bisa. Wa
Ksatria pemburu bertumbangan kena amuk naga sakti. Pedang mereka tidak mempan untuk melukai, kulit naga seakan membal. Para ksatria itu menjadi bulan-bulanan naga sakti. Kematian adalah akhir dari perlawanan mereka. Ksatria berjubah biru yang sedang menghadapi Arjuna tampak gentar menyaksikan kawannya tewas satu per satu. "Jadi kau pewaris pedang mustika manik?" tanya ksatria berjubah biru. "Bagaimana manusia seperti dirimu terpilih menjadi ksatria perang? Kau lebih cocok jadi pangeran dengan dikelilingi puteri cantik jelita, gerakanmu terlalu lembut untuk memainkan pedang."Keunikan ilmu pedang kuno yang dimiliki Arjuna adalah laksana penari memainkan pita, terlihat kurang bertenaga, menitikberatkan pada keseimbangan chi, selaras dengan jurus tai chi yang dipelajarinya.Sekali terkena pukulan, organ tubuh dalam akan remuk. Pedang di tangan musuh akan terbabat putus dengan aliran chi lebih besar.Ksatria berjubah biru tidak menyadari bahaya itu. "Aku tidak bangga terpilih me
"Aku ada masalah dengan kejujuran perempuan." Arjuna ingin menyindir Dara Hiti. Empat Iblis Hitam tidak mempunyai maksud jahat kepada Kong. Mereka hanya ingin memanfaatkan. Kong seakan siap menjadi pelindung mereka. Padahal Arjuna mesti turun tangan kalau ia mendapat kesulitan. Kong takkan mampu mengatasi pasukan pemburu meski dibantu Empat Iblis Hitam. Kemampuan mereka sangat tinggi.Ilmu dewa yang tersisa hanya kemampuan berlari yang luar biasa. "Kapan aku pernah berbohong kepadamu?" tanya Dara Hiti. "Aku pergi ke utara bukan untuk kabur, aku mengambil jalan memutar untuk ke kastil selatan." "Mengambil jalan memutar itu ke barat atau timur, bukan pergi ke arah sebaliknya." Empat Iblis Hitam sebetulnya ingin pergi ke kampung Pawon di utara, kekacauan di daerah itu mulai mereda, mereka ingin menunggu perkembangan di Batulayang. Kampung itu menjadi daerah paling bergejolak setelah istri Bairawa terbunuh oleh pasukan Senopati Aryaseta. Penyerbuan ke kastil selatan akan mengundan
Dara Hiti bertanya untuk memastikan, "Kau serius?" Arjuna balik bertanya, "Bukankah kau calon istri Kong? Alangkah baiknya ada pembuktian terlebih dahulu." Srikandi perang membentak, "Siapa kau? Jangan meminta Dara Hiti untuk melakukan perbuatan yang dikecam para dewata!" "Aku kira kalau suka sama suka bukan masalah." "Raja Langit pasti murka!" Kong keluar dari arena pertarungan dengan jungkir balik di udara, lalu berdiri di hadapan Arjuna. Ia bertanya, apa maksud Arjuna menyuruh mereka bercinta? Apakah ingin melihat pertunjukan hot secara gratis? Kong menolak sebab ia mempunyai urusan penting dengan srikandi perang. Ia harus melumpuhkan wanita itu sesuai wangsit yang diterima. "Dara Hiti pasti tersinggung kalau kau menolaknya." Kong menjelaskan ketua Empat Iblis Hitam ingin memancing Arjuna turun ke gelanggang, bicaranya jadi melantur. Kong tahu Dara Hiti tidak sungguh-sungguh dengan perkataannya, bukan masalah juga baginya. Seandainya Dara Hiti bersedia menjadi
Arjuna memuji kecerdikan Dara Hiti memancing emosi srikandi perang. Ia memanfaatkan kelembutan hati Kong untuk mengeksploitasi suasana. "Aku tahu kau tak pernah berniat menjadi istri Kong," kata Arjuna. "Kau kira segampang itu berdusta." Kong bukan pejantan yang suka menagih janji. Barangkali kerelaan perempuan menjadi istri akan membebaskan dirinya dari kutukan. Arjuna ingin Empat Iblis Hitam menjadi istri Kong untuk membuktikan perkiraannya. Satu-satunya jalan untuk membebaskan kutukan abadi dengan membuat murka pencipta kutukan itu. Dewi cinta pasti didesak untuk mencabut kutukannya. Kong bukan pembangkang Raja Langit, ia hanya tidak mampu mengendalikan nafsu. "Aku harus membunuh kalian untuk mencegah kemurkaan penguasa langit!" kata srikandi perang. "Bersiap-siaplah menghadapi kematian!" "Kau terlalu menganggap remeh Kong!" teriak Dara Hiti. "Ketahuilah, ksatria perang memberikan pataka dan kujang emas kepada Kong karena kesaktiannya di atas dirimu!" "Ksatria perang
Arjuna menegur, "Janganlah mengacaukan suasana dengan cerita tak berguna. Aku datang ke abad ini untuk mencari ayahku." Arjuna bahkan ingin mengakhiri pencarian kalau ia tahu letak pintu dimensi. Jadi ia sekarang bukan ingin menemukan ayahnya, ingin segera pulang ke masa depan. Hanya orang yang tahu jalan itu adalah ayahnya. Ia orang yang paling mungkin diminta bantuan karena istrinya menginginkan Arjuna pergi. Pencarian mengalami kesulitan karena ayahnya musuh besar istana. Ia berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari perburuan. Mencari ayah dan pintu dimensi sama susahnya. "Seperti ada orang lagi bertarung." Telinga Arjuna yang tajam mendengar bunyi bentrokan senjata dan teriakan wanita membakar semangat bertempur. Suara itu terdengar sayup-sayup menandakan lokasinya cukup jauh. Arjuna dan Kong berlari ke arah datangnya suara itu. Mereka mengerahkan chi secara penuh, berlari di angkasa melewati pepohonan, dengan titian angin. "Kejarlah aku, Kong!" seru Arju
Kong tampak kebingungan ketika beberapa kingkong betina berlompatan turun dari dahan rimbun dan menghadangnya. Kong tidak menguasai bahasa kingkong sehingga ia tidak mengerti perbincangan mereka. Kingkong betina kagum melihat kingkong jantan berpenampilan seperti manusia. Kemudian mereka riuh seakan memperdebatkan sesuatu, berisik sekali. Mereka berebut untuk bercinta lebih dahulu dengan Kong. "Kau terlalu ganteng untuk jadi kingkong." Arjuna menepuk bahunya. "Mereka sepertinya lagi memperebutkan dirimu." Kong garuk-garuk kepala. Ia bingung untuk menjelaskan karena mereka tak mengerti bahasa isyarat. Kong bengong saat mereka berkelahi saling cakar seperti manusia. Kelihatannya mereka ingin menyelesaikan dengan perkelahian. Memperebutkan pejantan adalah hal biasa bila musim kawin tiba. "Kabur...!" kata Arjuna. "Aku sulit bersikap melihat dirimu jadi piala bergilir." Kingkong betina seru berkelahi dengan suara berisik bukan main. Mereka tidak sadar kalau pejantan yang d
Arjuna memutuskan untuk pergi ke Batulayang. Ia harus mencari Senopati Aryaseta untuk mengetahui lokasi pintu dimensi. Arjuna harus berbesar hati bertemu dengan ibu sambung yang merupakan mantan kekasihnya, meski sulit untuk memaafkan pengkhianatan Senopati Aryaseta terhadap ibunya. Tapi haruskah? "Kita cari cendekia yang menguasai ilmu dan perhitungan lokasi pintu dimensi," kata Arjuna berubah pikiran. "Aku enggan minta tolong pada senopati." Arjuna ingin mencari raja yang digulingkan, tapi Panduwinata sedang dilanda kemelut karena putranya kehilangan gelar kebangsawanan. Untuk mendapatkan gelar kebangsawanan, ayah dan ibunya harus menikah secara resmi, dan itu tidak mungkin. Pernikahan sedarah adalah terlarang. Bagaimana Panduwinata dapat membantunya sementara ia sendiri terlilit masalah besar. Resi Aswatama telah menimbulkan bencana tanpa berkesudahan. "Meminta bantuan Resi Aswatama dan Raja Widura lebih tidak mungkin lagi," keluh Arjuna. "Bukan menolong, mereka pasti