Kong berhasil mengalahkan si Surai Singa dan membiarkan kabur dengan menunggang kuda. Pendekar berkumis panjang itu takkan bertahan lama dengan luka dalam di dadanya, ia akan tewas sebelum sampai perkampungan.Kong menyodorkan kacamata hitam dan jubah kepada Arjuna. "Buat kau saja," kata Arjuna. "Kau cocok pakai jubah dan kacamata." Kong tampak senang sekali. Ia segera memakai jubah dan kacamata. Dengan pataka itu Kong secara otomatis menjadi ketua rimba persilatan. Ia akan banyak musuh dan paling diburu para pendekar. "Kau akan membuat gempar dunia persilatan," komentar Bajang. "Manusia dipimpin binatang." "Asal jangan pemimpin binatang," kata Ulupi. "Kong binatang berhati manusia." "Maksudmu apa memberikan pataka pada Kong?" tanya Larasati separuh protes. "Kau ingin merendahkan dunia persilatan?" "Aku mempersilakan siapa saja mengambil pataka dari Kong jika merasa direndahkan." Larasati terlalu kaku dengan peradaban sehingga sulit berpikir objektif. Siapapun berhak menja
Sebuah kereta dengan enam penumpang berwajah sangar melaju cukup kencang di atas jalan berkerikil. Di belakang kereta itu terdapat tali yang menarik beberapa pendekar dengan tubuh terikat rantai. Dua orang tampak terseret karena tidak kuat lagi berlari. Pakaian robek-robek. Tapi tidak ada sepotong keluhan pun meluncur dari mulut mereka. Mereka adalah pengikut setia Senopati Aryaseta yang terbongkar penyamarannya. "Aku kira Senopati Aryaseta sudah keluar kalau ada di hutan roban," kata Ki Jagatnata. "Ia pasti marah orang-orangnya diperlakukan seperti binatang." "Hutan roban sangat luas, kita belum separuhnya menempuh perjalanan," ujar Ki Trenggalek. "Bagaimana jika persembunyian mereka berada di perbatasan dengan Laut Selatan? Usaha kita sia-sia." "Aku kira senopati takut melihat kita," tukas Ki Amarta. "Lima Peminum Teh adalah penguasa kegelapan." Mereka sedang memancing Senopati Aryaseta untuk keluar dari sarangnya. Tersiar kabar bahwa senopati itu berada di hutan roban.
Perkiraan Arjuna tepat. Beberapa jurus kemudian Bajang terdesak hebat. Ki Jagatnata mengeluarkan jurus pamungkas yang menjadi andalan untuk mengakhiri pertarungan. Sebuah kulit pisang melayang ke arena pertarungan dan terinjak oleh Ki Jagatnata. Ia terpeleset jatuh. Arjuna memuji kecerdikan Kong sehingga tidak menyinggung perasaan Bajang. "Brengsek," maki Ki Jagatnata sambil segera bangkit. "Buang sampah seenaknya." Sekali lagi Kong melempar kulit pisang dan mendarat di muka Ki Jagatnata, ia bersorak gembira karena lemparannya mengenai sasaran. "Kong mengira dirimu bak sampah," kata Arjuna. "Harap maklum, binatang tidak tahu wajahmu bukan bak sampah...tapi cubluk." "Bedebah," geram Ki Jagatnata. "Aku akan mengadu jiwa denganmu." Ki Jagatnata menerjang dengan segenap amarah. Arjuna menangkap kaki yang tinggal beberapa jengkal lagi dari mukanya, kemudian mendorong dan mengembalikan energi serangannya. Ki Jagatnata terlempar dan jatuh terjengkang di dekat Kong. Ketika tokoh istan
Arjuna sulit memahami Senopati Aryaseta memilih hidup sendiri. Biasanya senopati mempunyai selir di setiap kadipaten, bahkan distrik. "Tuan Senopati kuatir keluarganya menjadi korban kalau berumah tangga." Menjadi pemberontak adalah pilihan sulit. Mereka harus meninggalkan anak istri demi perjuangan. Jadi bukan kesetiaan antar zaman yang mendasari keputusan senopati. "Sebaiknya kita ikut mereka ke markas besar di pantai selatan," kata Chitrangada. "Jadi kita tinggal menunggu kedatangan Senopati Aryaseta, tidak perlu mencari." "Kalian ikutlah bersama mereka, aku dan Kong pergi ke perkampungan." "Ada masalah apa sih denganmu?" selidik Chitrangada kesal. "Cari gara-gara terus." Arjuna bingung dengan jalan pikiran Chitrangada. Padahal sudah tahu butuh waktu lebih lama untuk sampai di markas, sedangkan pergi ke perkampungan tinggal beberapa hari. Kedatangan mereka ke markas juga percuma, Senopati Aryaseta pasti tidak muncul. Kecurigaan terhadap hal asing sebuah hal mutlak. "Kalau
Arjuna mengurangi kecepatan lari kuda karena kereta ketinggalan cukup jauh. Mereka memasuki jalan berkerikil di mana dahan rimbun menutupi angkasa jalan, sehingga keadaan di sekitar cukup gelap. Kong berkuda di sampingnya. Mereka waspada terhadap serangan gelap dari atas dahan. Para pemanah dapat bersembunyi di balik daun dengan anak panah siap melesat, tanpa ketahuan mereka. "Aku kira tidak ada penyerang gelap selain pemberontak," kata Arjuna. "Kita tidak ada silang sengketa dengan mereka." Bajang berseru, "Kalian naik kereta saja! Aku dan Kong jadi sais!" Arjuna dan Kong berhenti menunggu. Kereta tiba. Kong duduk di kursi sebelah Bajang. Arjuna di dalam kereta bersama ketiga perempuan itu. Arjuna duduk di samping Chitrangada. Gadis itu kelihatan masih jengkel. "Menang sendiri," gerutu Chitrangada. "Mulai lagi," keluh Arjuna. "Ya sudah kita ke Kampung Batulayang untuk jalan-jalan." Kemudian Arjuna berteriak kepada Bajang, "Putar haluan...!" Bajang bingung. Chitrangada sudah
Arjuna keluar dari kereta. Ia heran ada seorang kakek ingin bertemu dengannya. Orang yang mengenal dirinya hanyalah mereka yang ikut dalam perjalanan mencari ayahnya. Ia kuatir Pangeran Cakil mengedarkan selebaran ke setiap wilayah untuk menangkap dirinya. Perjalanan jadi terhambat. "Kakek lumpuh itu ingin berbicara denganmu," kata Bajang. "Sontoloyo!" maki kakek serba putih. "Enak saja bilang aku lumpuh!" "Aku kira kakek duduk di tengah jalan mau minta-minta." "Semprul!" Sebutir kerikil melayang deras ke arah Bajang. Sekali ini ia tidak menangkapnya, ia menghindar. Kerikil itu menghantam dinding kereta dan tembus laksana peluru. Bajang terkejut. Dinding kereta terbuat dari kayu hitam tebal, sanggup menahan tombak dan anak panah, dapat ditembus batu kerikil. Luar biasa. "Kau mau membunuhku?" sergah Bajang geram. "Nyatanya kau tidak mati kan?" balik si kakek santai. "Padahal aku berharap kau tangkap kerikil itu." "Mendingan kepalamu kubikin perkedel," gerutu B
"Kita bertahan di hutan roban beberapa pekan," kata Arjuna. "Aku dan Kong akan pergi ke Batulayang untuk melihat situasi." "Kita pergi ke Kampung Pawon saja," tukas Ulupi. "Sesuai rencanamu semula." "Aku kuatir kuda stres disuruh bolak-balik." "Aku sudah stres." "Jangan stres berjamaah." Kampung Pawon juga rawan. Peperangan terjadi secara sporadis di beberapa wilayah. Bukan hanya melibatkan pasukan Panduwinata dan Widura, juga pendekar golongan putih dan golongan hitam. Bairawa memimpin golongan hitam, ia mendapat dukungan finansial dari Widura, dengan konsekuensi memerangi pemberontak. Rimba persilatan kacau balau. "Golongan putih berjuang secara sendiri-sendiri," kata Yang Luchan, kakek serba putih. "Mereka butuh pemimpin untuk menyatukan perjuangan." Arjuna heran. "Kau baru datang dari pegunungan Wudang. Bagaimana kau tahu situasi di Pancala?" "Aku bertemu Kamandalu di Demak. Ia sangat gegabah meninggalkan tanggung jawab. Ia memintaku untuk mendampingimu." "Ke
Arjuna dan Kong memacu kuda melewati jalan berkerikil. Udara sepoi-sepoi terasa sejuk. Ketiga perempuan itu kurang puas dengan keputusannya, padahal ia sudah mengambil jalan terbaik. Arjuna tidak menghendaki mereka dalam bahaya besar. Tokoh golongan hitam berkumpul di Batulayang, sementara tokoh golongan putih menyingkir entah ke mana. "Mereka seharusnya tahu aku ingin melindungi mereka," kata Arjuna. "Memilih menjadi pelancong dari Jepara bukan pilihan buruk, aku pikir akan merepotkan jika Chitrangada gagal berakting sebagai Ratu Kalinyamat." Lebih celaka lagi jika penduduk Batulayang ada yang kenal ratu pemberani yang asli. Arjuna sedikit tenang ada Yang Luchan bersama mereka, tokoh silat tanpa tanding dari daratan Tiongkok. Ia kira golongan hitam sangat menaruh hormat pada pendekar sakti dari dinasti Ming. "Yang Luchan datang ke Jawa Dwipa untuk melancong," ujar Arjuna. "Sebuah kebetulan yang menguntungkan kita." Yang Luchan hendak pergi ke Pancala untuk menyambangi
Srikandi perang tergolek lemas di atas rumput. Matanya tampak sayu. Ia mengalami guncangan hebat atas apa yang terjadi. Kemarahan membakar hatinya. Namun ia sulit bergerak untuk membunuh kingkong yang berdiri penuh kepuasan itu. Tenaganya habis terkuras untuk melayani nafsu binatang itu, ia mungkin sudah mati kalau saja tak mengalir energi aneh dari persenggamaan itu. "Berisik!" sergah Arjuna saat Kong belum berhenti juga dengan erangannya. "Binatang saja muak mendengar eranganmu! Kau ingin membuat kupingku pekak?" Kong berhenti mengerang. Ia mendatangi Arjuna yang duduk menunggu di akar besar. "Wangsit palsu itu sungguh memanjakan dirimu," gerutu Arjuna jengkel. "Aku tidak melihat perubahan pada dirimu, selain basah di bawah." "Kau...perhatikan lagi...baik-baik...." Arjuna terpukau mendengar Kong dapat berbicara meski sedikit terbata. Arjuna bangkit berdiri, ia memandang kingkong sakti itu dengan sinar tak percaya. "Kong...kau...!" Kong menyeringai senang, ia mel
Dalam satu kesempatan Kong berhasil menangkap kaki srikandi perang, ia memutar kaki itu dan mendorongnya. Srikandi perang jatuh terhempas. Kong segera menotok saraf motorik, srikandi merasa seluruh ototnya lemas, tak kuasa bangun. "Bedebah!" geram srikandi perang. "Lepaskan totokanmu!" Kong segera membawa srikandi perang ke bawah pohon rindang. Komandan pasukan pemburu itu mendelik tanpa kuasa untuk melepaskan diri. "Jahanam!" maki srikandi perang. "Apa yang hendak kau lakukan?" Kong membaringkan srikandi perang di atas daun mati. Wanita itu semakin deras memaki-maki. "Antara melaksanakan wangsit dan kebelet, kau tak ada bedanya Kong," sindir Arjuna. "Aku curiga kau menjadikan wangsit untuk melampiaskan hasratmu." Kong menjelaskan bahwa wangsit itu perlu dibuktikan kebenarannya. Ia sendiri kurang yakin, namun tidak rugi seandainya suara gaib itu berdusta. "Aku kira suara gaib itu ingin menonton kalian secara live," kata Arjuna. "Ia pasti berbuat sendiri kalau bisa. Wa
Ksatria pemburu bertumbangan kena amuk naga sakti. Pedang mereka tidak mempan untuk melukai, kulit naga seakan membal. Para ksatria itu menjadi bulan-bulanan naga sakti. Kematian adalah akhir dari perlawanan mereka. Ksatria berjubah biru yang sedang menghadapi Arjuna tampak gentar menyaksikan kawannya tewas satu per satu. "Jadi kau pewaris pedang mustika manik?" tanya ksatria berjubah biru. "Bagaimana manusia seperti dirimu terpilih menjadi ksatria perang? Kau lebih cocok jadi pangeran dengan dikelilingi puteri cantik jelita, gerakanmu terlalu lembut untuk memainkan pedang."Keunikan ilmu pedang kuno yang dimiliki Arjuna adalah laksana penari memainkan pita, terlihat kurang bertenaga, menitikberatkan pada keseimbangan chi, selaras dengan jurus tai chi yang dipelajarinya.Sekali terkena pukulan, organ tubuh dalam akan remuk. Pedang di tangan musuh akan terbabat putus dengan aliran chi lebih besar.Ksatria berjubah biru tidak menyadari bahaya itu. "Aku tidak bangga terpilih me
"Aku ada masalah dengan kejujuran perempuan." Arjuna ingin menyindir Dara Hiti. Empat Iblis Hitam tidak mempunyai maksud jahat kepada Kong. Mereka hanya ingin memanfaatkan. Kong seakan siap menjadi pelindung mereka. Padahal Arjuna mesti turun tangan kalau ia mendapat kesulitan. Kong takkan mampu mengatasi pasukan pemburu meski dibantu Empat Iblis Hitam. Kemampuan mereka sangat tinggi.Ilmu dewa yang tersisa hanya kemampuan berlari yang luar biasa. "Kapan aku pernah berbohong kepadamu?" tanya Dara Hiti. "Aku pergi ke utara bukan untuk kabur, aku mengambil jalan memutar untuk ke kastil selatan." "Mengambil jalan memutar itu ke barat atau timur, bukan pergi ke arah sebaliknya." Empat Iblis Hitam sebetulnya ingin pergi ke kampung Pawon di utara, kekacauan di daerah itu mulai mereda, mereka ingin menunggu perkembangan di Batulayang. Kampung itu menjadi daerah paling bergejolak setelah istri Bairawa terbunuh oleh pasukan Senopati Aryaseta. Penyerbuan ke kastil selatan akan mengundan
Dara Hiti bertanya untuk memastikan, "Kau serius?" Arjuna balik bertanya, "Bukankah kau calon istri Kong? Alangkah baiknya ada pembuktian terlebih dahulu." Srikandi perang membentak, "Siapa kau? Jangan meminta Dara Hiti untuk melakukan perbuatan yang dikecam para dewata!" "Aku kira kalau suka sama suka bukan masalah." "Raja Langit pasti murka!" Kong keluar dari arena pertarungan dengan jungkir balik di udara, lalu berdiri di hadapan Arjuna. Ia bertanya, apa maksud Arjuna menyuruh mereka bercinta? Apakah ingin melihat pertunjukan hot secara gratis? Kong menolak sebab ia mempunyai urusan penting dengan srikandi perang. Ia harus melumpuhkan wanita itu sesuai wangsit yang diterima. "Dara Hiti pasti tersinggung kalau kau menolaknya." Kong menjelaskan ketua Empat Iblis Hitam ingin memancing Arjuna turun ke gelanggang, bicaranya jadi melantur. Kong tahu Dara Hiti tidak sungguh-sungguh dengan perkataannya, bukan masalah juga baginya. Seandainya Dara Hiti bersedia menjadi
Arjuna memuji kecerdikan Dara Hiti memancing emosi srikandi perang. Ia memanfaatkan kelembutan hati Kong untuk mengeksploitasi suasana. "Aku tahu kau tak pernah berniat menjadi istri Kong," kata Arjuna. "Kau kira segampang itu berdusta." Kong bukan pejantan yang suka menagih janji. Barangkali kerelaan perempuan menjadi istri akan membebaskan dirinya dari kutukan. Arjuna ingin Empat Iblis Hitam menjadi istri Kong untuk membuktikan perkiraannya. Satu-satunya jalan untuk membebaskan kutukan abadi dengan membuat murka pencipta kutukan itu. Dewi cinta pasti didesak untuk mencabut kutukannya. Kong bukan pembangkang Raja Langit, ia hanya tidak mampu mengendalikan nafsu. "Aku harus membunuh kalian untuk mencegah kemurkaan penguasa langit!" kata srikandi perang. "Bersiap-siaplah menghadapi kematian!" "Kau terlalu menganggap remeh Kong!" teriak Dara Hiti. "Ketahuilah, ksatria perang memberikan pataka dan kujang emas kepada Kong karena kesaktiannya di atas dirimu!" "Ksatria perang
Arjuna menegur, "Janganlah mengacaukan suasana dengan cerita tak berguna. Aku datang ke abad ini untuk mencari ayahku." Arjuna bahkan ingin mengakhiri pencarian kalau ia tahu letak pintu dimensi. Jadi ia sekarang bukan ingin menemukan ayahnya, ingin segera pulang ke masa depan. Hanya orang yang tahu jalan itu adalah ayahnya. Ia orang yang paling mungkin diminta bantuan karena istrinya menginginkan Arjuna pergi. Pencarian mengalami kesulitan karena ayahnya musuh besar istana. Ia berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari perburuan. Mencari ayah dan pintu dimensi sama susahnya. "Seperti ada orang lagi bertarung." Telinga Arjuna yang tajam mendengar bunyi bentrokan senjata dan teriakan wanita membakar semangat bertempur. Suara itu terdengar sayup-sayup menandakan lokasinya cukup jauh. Arjuna dan Kong berlari ke arah datangnya suara itu. Mereka mengerahkan chi secara penuh, berlari di angkasa melewati pepohonan, dengan titian angin. "Kejarlah aku, Kong!" seru Arju
Kong tampak kebingungan ketika beberapa kingkong betina berlompatan turun dari dahan rimbun dan menghadangnya. Kong tidak menguasai bahasa kingkong sehingga ia tidak mengerti perbincangan mereka. Kingkong betina kagum melihat kingkong jantan berpenampilan seperti manusia. Kemudian mereka riuh seakan memperdebatkan sesuatu, berisik sekali. Mereka berebut untuk bercinta lebih dahulu dengan Kong. "Kau terlalu ganteng untuk jadi kingkong." Arjuna menepuk bahunya. "Mereka sepertinya lagi memperebutkan dirimu." Kong garuk-garuk kepala. Ia bingung untuk menjelaskan karena mereka tak mengerti bahasa isyarat. Kong bengong saat mereka berkelahi saling cakar seperti manusia. Kelihatannya mereka ingin menyelesaikan dengan perkelahian. Memperebutkan pejantan adalah hal biasa bila musim kawin tiba. "Kabur...!" kata Arjuna. "Aku sulit bersikap melihat dirimu jadi piala bergilir." Kingkong betina seru berkelahi dengan suara berisik bukan main. Mereka tidak sadar kalau pejantan yang d
Arjuna memutuskan untuk pergi ke Batulayang. Ia harus mencari Senopati Aryaseta untuk mengetahui lokasi pintu dimensi. Arjuna harus berbesar hati bertemu dengan ibu sambung yang merupakan mantan kekasihnya, meski sulit untuk memaafkan pengkhianatan Senopati Aryaseta terhadap ibunya. Tapi haruskah? "Kita cari cendekia yang menguasai ilmu dan perhitungan lokasi pintu dimensi," kata Arjuna berubah pikiran. "Aku enggan minta tolong pada senopati." Arjuna ingin mencari raja yang digulingkan, tapi Panduwinata sedang dilanda kemelut karena putranya kehilangan gelar kebangsawanan. Untuk mendapatkan gelar kebangsawanan, ayah dan ibunya harus menikah secara resmi, dan itu tidak mungkin. Pernikahan sedarah adalah terlarang. Bagaimana Panduwinata dapat membantunya sementara ia sendiri terlilit masalah besar. Resi Aswatama telah menimbulkan bencana tanpa berkesudahan. "Meminta bantuan Resi Aswatama dan Raja Widura lebih tidak mungkin lagi," keluh Arjuna. "Bukan menolong, mereka pasti