"Awasi dan jaga keponakanku. Aku tak mau terjadi sesuatu seperti bulan lalu. Jika ada yang berusaha menyakitinya, kau boleh bertindak, Mike."
Alan memberi titah pada seorang anak buahnya untuk menjaga Kimberly."Baik, Tuan. Apa.. Anda mengijinkan nona Kim untuk kembali bekerja di Cafe itu?" tanya Mike, pria bertubuh tinggi besar dengan bulu menghiasi sebagian rahangnya."Aku tak bisa melarangnya. Kimberly adalah gadis keras kepala. Orang tuanya saja tak bisa membuatnya jadi gadis penurut," sahut Alan seraya membuang napas panjang."Tapi Anda bisa membuatnya menjadi gadis yang penurut, Tuan. Setidaknya mengikuti semua kata-kata Anda."Ucapan dan senyum tipis Mike membuat Alan mengernyitkan dahinya. Ia tak mengerti maksud perkataan anak buahnya itu."Apa maksudmu? Aaah.. sudahlah! Ikuti saja perintahku Mike. Aku tak mau mendengar Kim terluka. Kau tahu itu, kan?"Mike kembali menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Meski baru satu tahun bekerja pada Alan, namun pria itu cukup memahami tuannya. Alan tak pernah seperhatian itu pada seorang perempuan, bahkan pada Kanaya yang berstatus sebagai tunangannya. Meski Kimberly adalah keponakan sang bos, namun mata pria itu tak bisa dibohongi. Binar yang tampak saat Alan menatap Kimberly bukanlah binar mata seorang paman terhadap keponakan, namun sorot mata itu lebih tampak seperti seorang pria dewasa yang tertarik pada wanita."Baik, Tuan. Saya permisi dulu." Mike segera keluar dari ruang CEO.*"Kim, aku kembali mempekerjakanmu disini karena kau gadis yang ulet dan cekatan. Tapi kau tahu, kan, aku tak mau lagi ada keributan di Cafe."Kimberly berada di ruang manager Cafe tempatnya kembali bekerja. Sudah beberapa hari sejak ia keluar dari mansion Alan, Kim kembali bekerja di Town Cafe. Naina, sang sahabat berhasil membujuk managernya untuk kembali menerima Kimberly disana. Meski dengan pertimbangan yang berat, mengingat terakhir kali kegaduhan yang terjadi akibat kedatangan Rea dan Alan ke Cafe itu, akhirnya sang Manager mau memberi Kimberly kesempatan lagi untuk bekerja disana.Sebenarnya kegaduhan yang disebabkan oleh Rea bulan lalu tak membuat Cafe merugi. Alan yang memberi pelajaran pada ajudan Rea mengganti semua sarana yang rusak akibat perkelahian mereka. Sempat masuk ke ranah media sosial karena ada seorang pelanggan Cafe yang merekamnya, membuat Town Cafe justeru kebanjiran pelanggan. Mereka yang penasaran dengan video yang beredar berbondong-bondong datang ke Cafe tersebut."Iya, Pak James. Saya tidak akan membuat keributan lagi disini. Trimakasih karena bapak mau menerima saya kembali disini."Kimberly menguar senyum tulus dari bibirnya. Gadis itu merasa senang karena tak harus capek-capek mencari pekerjaan lagi. Ia hanya memiliki ijazah SMA. Jaman sekarang, seorang sarjana saja kesulitan mencari pekerjaan, apalagi gadis sepertinya yang hanya lulusan SMA dan tak memiliki pengalaman."He em. Kembalilah ke bawah," titah James."Kimberly sedikit merunduk kemudian keluar dari ruangan James yang berada di lantai dua Town Cafe."Gadis yang malang," gumam James sesaat setelah Kimberly tak tampak lagi.Tak ada yang tak mengenali Kimberly disana. Wajahnya dua tahun lalu wara wiri di televisi dan sosial media. Bukan karena ia seorang aktris ataupun model. Tapi karena kasus suap yang menjerat Daniel Batara, sang ayah.Daniel terkena pasal penyuapan pada petinggi negeri ini untuk memuluskan proyeknya. Seorang pengusaha di negeri yang penuh dengan kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme memang bisa dikatakan tak akan bisa berbisnis dengan bersih. Jegalan akan datang di setiap langkah mereka jika mencoba bermain bersih dan lurus. Sulitnya keluar surat ijin adalah salah satu kendala seorang pengusaha hingga mereka memutuskan untuk bermain di belakang. Itulah yang terjadi pada ayah Kimberly. Terbukti menyuap seorang petinggi negeri hingga diputuskan bersalah, pada akhirnya Daniel Batara harus meregang nyawa di meja operasi karena serangan jantung. Dan yang lebih memilukan adalah sang ibu yang tak bisa menerima kejatuhan dan cemoohan teman-temannya memilih jalan pintas dengan cara gantung diri di rumah sakit jiwa.*"Selamat datang--Kimberly yang hari ini bertugas menyambut pelanggan di pintu Cafe harus termangu setelah melihat satu pelanggan yang datang. Perempuan berambut blonde yang memakai dress bergaya klasik. Tea length dress, jenis gaun yang memiliki siluet full circle di bagian tengah betis yang terinspirasi dengan gaya vintage."Apa kabar, Kim?" sapa perempuan yang memiliki senyum mempesona itu."He em. Aku baik. Silakan masuk, Mba."Kimberly kembali menyapa pelanggan lain. Wajahnya kembali diisi dengan senyum ramah meski hatinya sedikit mencelos karena kedatangan Kanaya. Sekilas bayangan percumbuan antara pamannya dan Kanaya seakan menari di pelupuk mata gadis itu. Meski ia sudah berusaha untuk melupakannya, namun perisitiwa memuakkan itu terus saja mengganggunya."Aku-- ingin bicara denganmu, Kim..""Aku sedang bekerja, Mba. Jam kerjaku masih lama. Silakan mba pulang saja, lagipula tak ada yang penting untuk kita bicarakan."Kimberly menampakkan wajah tak senangnya. Gadis itu memang tak pernah bisa berbasa basi. Ia lebih memilih menghindari orang yang membuatnya tak nyaman daripada harus berpura-pura tersenyum menyambutnya namun hati teriris perih."Sebentar saja, Kim, sepuluh menit."Kanaya masih berusaha meminta waktu Kimberly. Entah apa yang ingin perempuan itu bicarakan, namun sepertinya apa yang ingin disampaikan oleh Kanaya adalah sesuatu yang menurutnya sangat penting."Hhh... masuklah! Aku cuma bisa meninggalkan pekerjaanku selama sepuluh menit, jadi sampaikan dengan jelas apa yang mau kau bicarakan," ucap Kimberly yang tak sadar kini sudah menggunakan bahasa non formal pada Kanaya.Kanaya tersenyum senang. Baginya tak masalah jika Kimberly hanya memberi waktu sepuluh menit padanya. Ia hanya harus mengatakan inti dari apa yang ingin ia sampaikan."Bicaralah, Mba. Apa yang membuat mba Kanaya datang kesini mencariku?" tanya Kimberly dengan wajah tak bersahabat."Aku-- ingin minta maaf atas kejadian kemarin. Aku tak tahu kalau kau biasa masuk ke ruangan Alan seperti itu, Kim."Permintaan maaf Kanaya justeru membuat Kimberly semakin muak. Perempuan itu tampak sengaja membuat Kim terpaksa mengingat saat-saat Alan menyesap bibir Kanaya dengan buasnya."Hhh, mengapa harus minta maaf? Bukankah aku yang harus meminta maaf karena mengganggu waktu mesum kalian?" Kalimat sarkas diucapkan Kimberly dengan sebuah seringai tipis dari bibirnya.Gadis itu tak mau menampakkan kecemburuannya meskipun Kanaya sudah lebih dulu bisa menangkap kecemburuan di mata Kimberly saat dirinya bersama Alan."Menyerahlah, Kim! Alan adalah tunanganku. Kami sebentar lagi akan menikah. Mencintai pamanmu sendiri adalah sesuatu yang mustahil dan tentu saja memalukan."Pada akhirnya Kanaya meluapkan keterusterangannya pada Kimberly. Kedatangan perempuan itu hanya untuk memprovokasi Kimberly agar menyerah terhadap cintanya pada Alan. Sejak kedatangan gadis itu di mansion Alan, dan dengan sikap Kimberly yang tak seperti seorang keponakan terhadap pamannya membuat Kanaya sadar, jika antara Kim dan Alan terselip perasaan cinta seorang pria dan wanita. Apalagi melihat perhatian Alan terhadap keponakannya yang membuat Kanaya merasa tersaingi. Meski kini Kimberly tak lagi tinggal bersama tunangannya, namun melihat Alan masih begitu perhatian pada gadis itu dengan mengerahkan beberapa anak buahnya untuk menjaga Kimberly, membuat Kanaya cukup paham dengan perasaan yang juga dirasakan sang tunangan terhadap keponakannya."Jangan bangga jika baru berstatus sebagai tunangan, Mba! Yang sudah menikah saja bisa berpisah apalagi hanya sekedar bertukar cincin. Dan jangan pernah menyuruhku untuk berhenti mencintai seseorang, karena ini adalah hidupku! Aku berhak mencintai siapapun termasuk pamanku sendiri."Kanaya tak mengira Kimberly akan memberi jawaban menohok padanya, namun wanita itu yang memang datang dari keluarga kelas atas tetap bisa bersikap tenang dan mengendalikan emosinya. Kanaya masih berwajah santai meski dalam hatinya ingin sekali memaki gadis yang usianya terpaut cukup jauh dengannya."Aku hanya tak mau kau terluka dengan perasaanmu sendiri, Kim. Kau adalah keponakan tunanganku, yang artinya akan menjadi keponakanku juga nantinya. Cobalah menjalin cinta dengan pemuda seusiamu, atau setidaknya tak jauh dengan usiamu, Kim.""Waktu sepuluh menit yang kau minta sudah habis. Silakan pergi dari sini karena aku harus kembali bekerja."Kimberly sudah malas meladeni ocehan Kanaya yang mampu membuatnya panas. Meski wajahnya pun tak menampakkan kegusaran, namun Kim merasa harus segera menyudahi perbincangan yang memuakkan itu."Aku berharap kau bisa bertemu dengan pemuda yang baik, Kim. Aku tulus mengatakannya."Kanaya mengangkat bokongnya dari kursi hendak pergi dari sana, namun ucapan Kimberly yang tiba-tiba membuat wanita itu terpaku di atas kakinya."Kau takut aku bisa membuat om Alan mencintaiku, kan? Kau takut aku merebut om Alan darimu, kan?"Seringai itu kini tampak jelas, tak lagi berusaha disembunyikan oleh Kimberly. Dan semua itu cukup membuat Kanaya terkesiap dengan kalimat yang diucapkan gadis itu. Kanaya tak menyangka jika Kimberly berani mengatakan kalimat sefrontal itu padanya."Kau terlalu banyak bermimpi, Kim!""Tenang saja, Mba! Sejak keluar dari rumah itu aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berhenti mencintai tunanganmu. Kau tak perlu khawatir aku akan merebutnya darimu. Sekarang aku hanya ingin fokus pada diriku sendiri, dan tak berusaha membagi cintaku untuk siapapun!"Lagi, Kanaya kembali dibuat menelan salivanya dengan kasar setelah mendengar perkataan Kimberly. Meski harusnya senang dengan ungkapan gadis itu, namun entah mengapa hatinya justeri merasa panas seolah Kimberly mengasihaninya.Kanaya pergi tanpa bicara apapun. Langkahnya terlihat pasti, mungkin sudah sangat marah dengan sikap angkuh keponakan tunangannya itu.'Mencintai seseorang hanya menimbulkan rasa kecewa padaku. Beberapa kali aku dikecewakan oleh rasa cinta itu sendiri. Papa, mama, dan Alan. Mereka memaksaku mematikan rasa dengan begitu kejamnya.'"Kimberly, ada yang mencarimu!"***"Kimberly, ada yang mencarimu!" seru seorang waitress dengan suara sedikit lantang."Ya Tuhan.. kenapa hari ini aku disibukkan dengan orang-orang yang membuatku pusing. Siapa lagi yang mencariku?!""Apa kau kenal dengan orang yang mencariku, Jen?" tanya Kimberly pada gadis yang tadi berseru padanya."Mana aku tahu! Lagi pula kau tinggal lihat sendiri di depan. Pemuda itu tak mau dilayani selain denganmu, Kim. Hh.. jangan buat keributan lagi disini, Kimberly! Kau membuat kami sibuk beberapa minggu karena keributan bulan lalu."Jeni menampakkan wajah tak sukanya. Ia merasa kesal karena setelah keributan bulan lalu Cafe menjadi ramai pengunjung, akibatnya semua karyawan diminta lembur dan tak mendapat jatah libur.Kimberly keluar dari ruang khusus karyawan dan melangkah ke depan. Sekeras apapun ia memikirkan kiranya siapa orang yang ingin bertemu dengannya, namun tak ada nama selain Alan di otaknya."Tak mungkin dia, kan?" gumamnya seraya melangkah."Hai, My Princess."Lambaian tangan se
TIGA TAHUN YANG LALU.."Hai, Kim.."Seperti biasa, Genta menyapa Kimberly dengan senyum seorang player. Pemuda bermata sipit itu selalu bersikap sok ganteng. Ya.. memang benar, sih. Genta memang termasuk dalam kategori remaja tampan dan idola di sekolah bertaraf internasional itu, meski ketenarannya masih kalah jauh dari Borne."Hem.."Kimberly membalas sapaan pemuda genit itu dengan wajah acuh. Kim orang yang tak suka berbasa basi, apalagi dengan anggota genk Playboy macam Genta dan kawan-kawannya."Dih, galak banget jawabnya. Jangan galak-galak, Kim, nanti hilang cantiknya.""Iiiiish.. gombalanmu sangat norak!" Kim mencebikkan bibirnya seraya menatap malas pemuda itu. Tanpa mau menjawab ocehan Genta, ia gegas meninggalkan ruang kantin. Gadis itu tak tertarik untuk meladeni ocehan Genta."Kim, mau kemana?""Balik ke kelas!""Dih, makananmu belum habis, Kim!""Biarin! Buat kucing ibu kantin!" jawab Kim sekenanya."Kim, tunggu!"Ia tak peduli dengan seruan Rea yang memanggil namanya. L
"BRENGSEK!"Umpatan kasar tercetus begitu saja dari mulut Borne setelah dirinya berhasil menghindari sebuah kecelakaan. Pemuda itu langsung menoleh pada gadis di sampingnya, "Kim, kau tak papa?" tanyanya cemas.Kimberly hanya menggeleng kaku. Nampak sekali sebuah keterkejutan dan ketakutan di wajahnya, namun Kim berusaha untuk tenang dan tak membuat Borne panik.Borne membuka pintu mobilnya dengan kasar. Baru saja ia mau melangkah untuk melabrak pengemudi ceroboh yang hampir membuat mereka celaka, seorang pria sudah lebih dulu menghampiri mobilnya dan berjalan mendekati pintu sebelah tempat Kimberly berada."Kim, keluar!"Alan membuka kasar pintu mobil sebelah kanan dan meminta keponakannya untuk keluar dari sana."Om?""Cepat keluar Kimberly!"Kimberly tahu, itu bukan sebuah permintaan, tapi lebih pada perintah yang mendominasi. Wajah Alan yang dingin mampu membuat gadis itu tak mampu mengucapkan sebuah penolakan."Hei, Brengsek! Siapa kau?!"Suara Borne terdengar menggema. Di depan
DUA TAHUN YANG LALU..Seorang pria matang dengan garis wajah tegas mengepalkan tangannya di atas meja. Ia baru menerima berita tentang kematian kakak sepupu sekaligus kakak iparnya. Raut sedih dan menyesal tampak jelas di wajah pria itu. Apalagi kematian dua orang yang dianggap berjasa atas kesuksesannya sekarang begitu tragis. Kakak iparnya harus meninggal di meja operasi karena serangan jantung. Begitupun dengan kakak sepupunya, Merli Sita, wanita itu juga meninggal dengan cara mengenaskan. Merli ditemukan bunuh diri di Rumah Sakit Jiwa. Tubuhnya tergantung di kamar mandi karena tak kuat menerima kejatuhan dan kepergian suaminya."Cari keponakanku berada. Telusuri semua wilayah yang sekiranya didatangi Kimberly. Aku tak mau sesuatu terjadi padanya. Dua hari! Kau ku beri waktu dua hari untuk menemukannya."Keinichiro Alan, pria blasteran Indo-Jepang itu membuat sang asisten menelan paksa salivanya. Bagaimana mungkin dalam dua hari ia bisa menemukan seseorang yang bahkan tak pernah i
Bi..""Ya?""Apa-- menurut bibi-- om Alan benar-benar mencintaiku?"Kimberly mengambil nampan yang berisi makanan dari tangan kepala pelayan itu. Matanya tak lepas menatap sang pelayan hendak mencari jawaban dari pertanyaan yang barusan ia layangkan."Dia mencintaiku, kan, Bi?" tanyanya lagi karena belum ada sahutan dari mulut bi Jeni.Meski dalam sepersekian detik yang lalu wajah bibi Jeni menampakkan keterkejutan, namun perempuan tua itu cukup pintar mengubah rautnya agar kembali tenang. Ia mengambil kembali nampan yang kini berada di tangan Kimberly dan meletakkannya di atas meja kecil dekat ranjang gadis itu."Tentu saja tuan Alan mencintai Anda, Nona," ujar bi Jeni."Anda adalah satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh tuan."Sambil tersenyum hangat bi Jeni menoleh dan menatap sendu wajah Kimberly. Namun itu bukanlah jawaban yang Kimberly inginkan. Bukan cinta seperti itu yang ia maksudkan. Meski kecewa ia pun membalas senyum perempuan tua itu."He em. Kau benar, Bi. Om Alan hany
TIGA TAHUN YANG LALU"Hai ,Kim!"Suara yang sangat Kimberly kenal terdengar menyapa dan tersenyum. Tampaknya Borne masih tak menyerah. Di setiap pagi, tepatnya saat para siswa berdatangan Borne akan menyambut gadis itu di depan pintu kelas."Minggir, Borne. Aku mau masuk!""Senyum dulu, dong! Baru kuijinkan kau masuk!""Ck.. dasar tak tahu malu!" umpat Kimberly pelan namun dengan senyum mengejek.Borne seperti minta tiket pada gadis itu agar diijinkan masuk, padahal orang tua Kimberly adalah salah satu donatur terbesar di sekolahnya."Minggir atau kutendang milikmu!""Iiish! Jangan main-main dengan aset masa depanku, Kim!"Spontan pemuda tengil itu menutupi 'harta berharganya' dengan kedua tangan. Kimberly hanya tertawa geli melihat Borne ketakutan dengan ancaman palsunya. 'Mana mungkin aku menendang pusakanya, bisa-bisa Borne tak mampu memberi penerus pada keluarga Brahmaja.' Bathin Kimberly."Minggir!"Saat pemuda itu lengah dan tangannya masih menutupi sang pusaka, Kim mendorongny
Seorang perempuan dengan langkah anggun dan tenang berjalan bak seorang model. Meski usianya sudah tak bisa dikatakan muda, namun pesona Erika Brahmaja masih tampak mempesona. Tentu semua itu berkat pola makan yang dijaga serta perawatan yang mahal."Permisi, Nyonya. Selamat datang di Town Cafe."Pelayan Cafe menyambut Erika di depan pintu."Apa aku bisa menemui karyawan yang bernama Kimberly?" tanya wanita itu dengan gaya elegant."Kimberly? Apa-- nyonya keluarganya?"Sang pelayan sedikit penasaran, karena sejak Kimberly kembali bekerja di Town Cafe, banyak orang yang mencarinya. Dan semuanya terlihat bukan dari kalangan biasa."Bukan. Katakan saja saya ibunya Borne. Say ingin bertemu dan bicara dengannya sebentar."Erika menyodorkan beberapa lembar uang pada sang pelayan, membuat wajah gadis itu sumringah dan dengan sigap mengikuti permintaan wanita itu."Baik, sebentar, Nyonya. Anda silakan menunggu di dalam saja."Adelia, sang pelayan Cafe membukakan pintu yang terbuat dari kaca u
Pukul satu dini hari Alan sudah berada di depan rumah sewa Kimberly. Kost-kost an yang tak ubahnya seperti rumah susun itu memiliki lima lantai. Kimberly tinggal di lantai 3. Setiap kamar memiliki balkon kecil yang menghadap ke jalan.Sudah sejak 30 menit yang lalu Alan berdiri di depan pintu gerbang rumah sewa itu. Pintu gerbangnya tak terlalu tinggi, jadi setiap orang yang tengah bersantai di atas balkon bisa melihat siapa saja yang melintas di depan pintu gerbang rumah sewa itu.Naina masih terjaga meski waktu hampir pagi. Matanya tak mau terpejam mengingat apa yang Kimberly ceritakan siang tadi di Cafe."Gadis seperti Kimberly saja tak dianggap oleh ibunya Borne, apalagi.... aaah... bicara apa aku ini."Naina mengusir pikiran jauhnya. Menggapai seorang Borne adalah sebuah mimpi yang terlalu tinggi. Meski ia tak dapat menampik, semenjak Borne menawarkan diri untuk melindunginya saat sekolah dulu, gadis itu merasa ada perasaan istimewa di hatinya terhadap Borne, namun Naina cukup ta
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Lift di lantai ruang CEO terbuka, seorang perempuan keluar dari sana dengan langkah terburu dan wajah serius."Nona, Anda tidak boleh--"Diam kau!"Perempuan itu mengindahkan larangan sekretaris Alan Satou, ia tetap melangkah menuju ruangan pria itu."Alan."Kanaya menyerukan nama tunangannya sesaat setelah pintu terbuka."Hhh.. mau apa kau kesini? Mike si bodoh itu selalu saja tak menggubris perintahku."Alan membuang pandangannya dengan malas. Ia tengah tak berselera untuk meladeni Kanaya."Aku hanya ingin mengatakan, jika aku tak bisa bersamamu, tak ada perempuan lain yang boleh bersamamu. Kau milikku, Alan.""Aku sudah malas mendengar rengekanmu, Nay. Cepat keluar dari sini atau aku harus memanggil keamanan untuk menyeretmu keluar.""Kau tidak akan bisa membuatku keluar dari sini. Aku tak pernah main-main."Alan yang sudah sangat malas meladeni Kanaya langsung meraih gagang telpon hendak mendial nomor keamanan kantornya."KANAYA!"Alan membanting gagang telpon saat melihat mantan
Sinar sang surya masih terasa menyengat meski ia telah perlahan menuju Barat. Pertemuan Kimberly dengan Genta yang mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu sedikit menyisakan rasa pilu. Bukan karena gadis itu mencintai Genta, namun ada rasa tak tega saat Kimberly harus menolak ungkapan cinta pemuda itu untuk kedua kalinya.Taksi online sudah sampai mengantarnya ke depan gerbang tinggi mansion milik sang paman. Perlahan gadis itu merasakan sesuatu saat melangkah masuk ke dalam bangunan megah itu."Selamat Sore, Nona Kim.""Sore, Pak."Senyum tenang terkulum dari bibir mungil gadis itu, namun terasa ada sebuah kejanggalan dari raut sang security penjaga pos pintu gerbang."Bi, ada apa dengan wajahmu?"Lagi-lagi Kimberly menemukan wajah tegang dari pelayan di mansion itu. Bi Jeni yang menyambut kedatangannya tampak kaku dan ketakutan."Tu-- tuan Satou.. menunggu Anda di ruang kerjanya, Nona," sahut pelayan tua itu dengan tergagap."Alan? Alan sudah pulang, Bi?""Iya.
Mobil sedan berlabel burung berwarna biru berhenti di depan Cafe sebrang SMA Penabur, sekolah Kimberly dulu. Gadis itu keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat pertemuannya dengan Genta."Kim!"Tangan Genta melambai ke arah Kimberly, dengan senyum cerah bertengger di bibir pemuda tampan itu."Maaf aku terlambat, Ta.""He em. Duduklah, kau mau pesan apa? Menu favoritmu?"Kening Kimberly sedikit mengerut, "memangnya kau tahu apa menu favoritku disini?" tanyanya meragu.Pemuda itu kembali tersenyum dan kembali meminta Kimberly untuk duduk."Aku tahu semua tentangmu, Kim. Apapun itu," jawabnya dengan tenang."Warna kesukaanku?""Hijau.""Eeem.. lagu kesukaanku?""Epiphany.""Waw.. eeem, ini pasti kau tak tahu, Ta. Pemain sepak bola yang kusuka?"Kimberly tersenyum remeh saat Genta terdiam untuk berpikir."Kalau aku tahu.. apa aku boleh meminta sesuatu padamu?""Hh? Kalau begitu kau tak perlu--"Ricardo Ijection Santos Leite. Kau sangat mengidolakannya sejak remaja. Pemain sepak bola d
"Hhh... oke, jadi apa yang harus saya lakukan untuk meredam berita ini. Kita tak bisa mendiamkanya begitu saja, nama baik Anda bisa tercoreng dan itu akan membuat para pemegang saham ragu dengan kredibilitas Anda.""Kau fokus saja pada peluncuran produk baru kita di Jepang. Masalah ini biar jadi urusanku," titah Alan pada sang asisten."Baiklah. Kalau begitu saya pergi dulu."Mike keluar dari ruang CEO untuk melakukan beberapa pekerjaan di luar kantor.Drt..Drt..Drt..Gawai Alan bergetar, nama Kimberly terpampang disana. Dengan sigap pria itu mendial tombol hijau karena khawatir terjadi sesuatu dengan kekasihnya.”Sayang, apa terjadi sesuatu?”(”Alan, video peristiwa di mall tadi beredar luas di sosial media. Apa kau baik-baik saja?”)”Hhh.. jangan mengkhawatirkanku, Moon. Itu hanya berita sampah, sebaiknya kau tak perlu membuka akun sosial mediamu dulu. Lebih baik kau istirahat.”(”Kau sudah melihatnya? Ada yang merekam saat kau menampar Kanaya, Alan. Itu akan mempengaruhi pekerjaa
Kimberly dan Naina keluar dari toko pakaian dengan membawa tiga paper bag berlogo brand ternama."Nai, aku lapar. Kita makan dulu, ya.""Oke." Naina memberi kode setuju pada jarinya."Hai, Kim. Sepertinya Alan memberimu kompensasi sangat banyak setelah kejadian malam itu."Suara seorang perempuan yang dikenal Kimberly membuat dirinya dan Naina menoleh bersamaan."Apa itu semua kompensasi dari Alan karena telah membawamu ke atas--"Cukup, Kanaya!"PlakkBelum selesai Kanaya menjatuhkan mental Kimberly, Alan yang muncul tiba-tiba lebih dulu melayangkan sebuah tamparan di pipi wanita itu. Matanya tajam menatap nyalang Kanaya yang terkejut mendapat sebuah tamparan keras, padahal Alan tak pernah sekalipun berbuat kasar padanya."Brengsek! Kau--"Kau sudah keterlaluan, Kanaya! Sekali lagi kau mencoba menyakiti calon istriku, aku tak akan segan-segan berbuat lebih kasar lagi padamu!"Ancaman Alan membuat mulut Kanaya ternganga namun kelu. Kata calon istri cukup membuat wanita itu terhenyak s
"Anda memanggil saya, Tuan?""Mike, datanglah ke mansionku dan berikan ini pada Kimberly.Alan menyerahkan sebuah black card pada asistennya."Ini.. untuk nona Kim?" tanya pemuda itu."He em. Itu hadiah karena dia sudah bisa memanggil namaku.""Hah?" Mike tak mengerti dengan apa yang dibicarakan bosnya."Sudah jangan banyak tanya! Kau serahkan kartu ini saja pada Kimberly dan langsung kembali ke kantor. Dua jam lagi kita rapat internal."Bagi Mike, titah Alan adalah sesuatu yang mustahil ia bantah. Apa yang dikatakan pria itu, itulah yang harus ia jalani."Baik, saya pergi sekarang."*"Waaah.. aku baru lihat rumah semegah ini, Kim. Sepertinya aku akan tersesat jika berada disini sendirian."Kimberly sengaja mengundang Naina ke mansion Alan, kebetulan gadis itu tengah libur bekerja."Disini ada petunjuk arah, Nai." Kimberly menunjuk tulisan led yang ada di depannya. Bi Jeni meminta Alan untuk membuat petunjuk arah untuk memudahkan pelayan yang baru bekerja disana."Waaah.. ini bukan
”Hei, gadis sombong! Pantas saja kau tak masuk-masuk kerja, ternyata si Kuda Putih sudah melamarmu, ya!”-NainaBaru saja bangkit dari ranjang, mata Kimberly dibuat mengerjap beberapa kali saat membaca pesan chat dari Naina."Dari mana Naina tahu kalau Alan melamarku?" tanyanya pada diri sendiri.”Kau tahu dari mana, Nai? Maaf aku tak memberi kabar apapun selama beberapa hari ini. Nanti saat masuk kerja akan kuceritakan.”-Kimberly”Hhh, tuan putri pasti baru bangun dan belum melihat berita hangat yang sudah jadi perbincangan. Bukalah sosial mediamu, Kim. Kau akan tahu sendiri dari mana aku bisa tahu.”-NainaKimberly langsung membuka akun sosial medianya. Sudah banyak tag video di akun instagram gadis itu."Video apa ini? Kenapa banyak sekali yang menandai akunku?"Matanya membola dengan mulut ternganga saat prosesi lamaran yang Alan lakukan untuknya terpampang jelas di gawainya. Video itu seperti sudah disetting dan diedit sedemikian rupa oleh seseorang, siapa lagi kalau bukan sang
"A-- A- Lan.""Berikan tanganmu, Moon.."Alan meminta Kimberly memberikan jemarinya untuk disematkan cincin bermata zamrud yang ia beli beberapa hari yang lalu."Tapi--""Kau tak mau menerima lamaranku?""Bu-- bukan! Aku-- Alan, apa-- kau serius? Ini-- bukan hanya karena kejadian malam itu?"Alan bangkit dan berdiri di hadapan gadis itu, menatap tajam wajah cantik yang masih meragukan ketulusannya, "kau masih meragukan ketulusanku, Moon?" tanyanya dengan tangan mendekap wajah Kimberly."Aku hanya tak mau menjadi beban tanggung jawabmu. Aku benci dikasihani, apalagi--"Ssst.. tak ada yang mengasihanimu, Kim. Sebelum peristiwa malam itu pun aku sudah berniat untuk melamarmu. Apapun yang terjadi aku hanya ingin kau yang jadi pendamping hidupku."Jemari Alan memotong ucapan Kimberly. Ia hanya ingin meyakinkan kesungguhannya pada gadis itu. Tak ada yang harus dikasihani, dan tak ada yang harus bertanggung jawab. Semua yang terjadi adalah kesalahan yang sama-sama tak diinginkan, namun kesal