Meski telah dua jam terlewat sejak Abil pulang, wajah Rafandra masih saja merengut tak suka. Ia terus menunjukkan ketidaksukaannya pada Abil. Bahkan tak segan-segan menyindir Kayana meskipun istrinya itu sedang tak membicarakan sahabatnya. "Masih cemburu?" Rafandra tak menyahut. "Masih soal Abil?" kembali tak menjawab, Kayana mendesah pasrah. Menghadapi suami yang senang sekali merajuk adalah tantangan bagi Kayana sehari-hari. Di balik wajah tegasnya, Rafandra memang sering menampakkan sisi manja yang berbeda. "Kalau kamu masih cemburu, besok aku pulang sama Abil. Aku minta dia jemput aku. Oh, sekalian sama Raka juga," sindir Kayana yang semakin membuat Rafandra cemburu. "Bukan begitu, tadi kenapa sih dia sengaja tempelin bibirnya di telinga kamu?" tanya Rafandra. "Aku cemburu, kamu dibisikin sama dia." "Oh, karena yang dibisikin itu?" Rafandra mengangguk. "Itu dibisikin apa? Bukan lagi ngomongin aku kan?" Kayana menggelengkan kepalanya. Dirinya terdiam sejenak, memikirkan apakah
Dokter yang biasa menangani Kayana tersenyum lebar. Setelah merapikan stetoskop dan alat pengukur tekanan darah, ia menyuruh suster yang ikut dengannya mencabut selang infus yang terpasang di tangan Kayana. Berbisik sejenak pada suster, ia kembali tertuju menatap Kayanaa yang tengah menanti hasil pemeriksaan. “Bagaimana, dok?” tanya Kayana yang tak sabaran dengan hasilnya. “Sudah bagus. Hari ini bisa langsung berkemas dan pulang. Hanya saja nanti di rumah harus lebih banyak istirahat dan jangan terlalu lelah bekerja. Satu lagi, jangan stress dan banyak melihat sesuatu yang indah.” dokter muda itu tersenyum ramah pada Kayana hingga wanita itu salah tingkah. Kayana membalas senyuman dokter itu dengan anggukan pelan. “Kalau melihat dokter boleh? Kan dokter juga pemandangan yang indah.” Kayana merayu dokter muda itu hingga terkikik malu. Tak suka, Rafandra yang berada di samping Kayana tiba-tiba saja membelalakkan matanya dan tangannya menyilang di dada. Lirikan matanya jangan dilupaka
Bukan kebiasaan Wirautama mengajak keluarga besarnya berkumpul bersama kecuali untuk membahas masalah penting. Terakhir kali mereka berkumpul saat Rafandra berencana melamar Kayana. Sekarang, mereka berkumpul duduk dengan tenang untuk mendengarkan sebuah pengumuman penting tentang rumor yang sedang beredar di media. Ayah dan ibu Kayana ikut menarik napas panjang saat Wirautama duduk di sofa yang terletak di paling ujung. Kepala rumah tangga sekaligus pemilik rumah mewah itu mengatur lebih dulu apa saja yang akan disampaikan olehnya agar tidak ada yang salah paham. “Papa minta maaf.” suasana hening seketika. Semua sama memperhatikan mimik wajah Wirautama yang terlihat tegang. “Beberapa hari terakhir ada kegaduhan yang membuat semua orang tidak tenang hingga membuat Kayana ikut terkena imbasnya. Kayana, maafkan papa.” Kayana yang sedang bergelayut manja pada Rafandra menolehkan wajahnya. “Iya, pa.” Kayana menjawabnya dengan pelan. “Untuk besan, saya juga minta maaf karena telah memb
Rani terkejut melihat sebuah amplop surat tergeletak telat di atas meja ruang tamu rumahnya. Dirinya baru saja pulang setelah menghadiri pesta ulang tahun salah satu sama sahabatnya yang letaknya tak jauh dari kediaman tempat tinggalnya. Amplop itu diambilnya. Tak ada nama pengirim atau sekedar tulisan penanda. Karena hanya dirinya yang ada di rumah, sudah pasti surat itu tertuju untuknya. Rani terduduk sejenak sambil membuka amplop surat itu dan membacanya perlahan. Awalnya dirinya tak curiga, namun saat melihat kalimat terakhir yang dibacanya dengan cepat dirinya menarik kesimpulan jika ini adalah pertanda buruk untuknya. "Apa ini? Dia akan mencampakkan aku?" Ranu meremas kertas itu hingga tak berbentuk lalu membuangnya ke tempat sampah. Ia tak terima dengan keputusan itu dan tentu saja akan melawannya. "Dia ingin membuangku ternyata." Tak ingin menundanya, Rani pergi menuju rumah utama Wirautama dengan tujuan akan menanyakan perihal surat yang telah ia terima. Ia ingin menanyak
Keputusan Wirautama meninggalkan istri keduanya menimbulkan sebuah kontroversi di kalangan pegiat media. Ada yang mendukung, ada juga yang menghujat sikap sepihak ayah Rafandra itu. Pasalnya, selama ini Wirautama selalu dielu-elukan oleh banyak ibu muda sebagai pria pengusaha terkenal di Jakarta yang sayang dengan istrinya. Lalu, saat mendapatkan berita mencengangkan itu bukan tidak mungkin dukungan yang selama ini didapatkannya akan berubah haluan menjadi penuh kebencian. Hal inilah yang menjadi kerisauan bagi Rafandra saat bertemu dengan partner kerja baru untuk perusahaannya. "Bagaimana dengan urusan pak Wira? Sudah ada solusinya?" sebuah pertanyaan menyelidik yang dilontarkan oleh partner kerja Rafandra berhasil membuat suasana hatinya kacau. Tanpa banyak bicara, ia hanya meresponnya dengan senyuman. "Tidak tertarik untuk membantunya?" "Pembahasan ini di luar dari kontrak kerja sama. Bisakah anda pisahkan keduanya? Saya rasa ini tidak ada hubungannya dengan masalah ayah saya,"
Tak disangka, pernyataan tegas Wirautama membuat media infotainment semakin gencar memberitakan berbagai hal buruk tentang dirinya. Wirautama sebenarnya tak peduli, tapi ketika salah satu media mengatakan hal itu pada anak dan menantunya, emosinya langsung membuncah. Rafandra dan Kayana tidak terlibat dan tidak boleh terlibat dalam masalah ini. Mereka tak bersalah sama sekali. Seharusnya seperti itu. “Berita apa yang membuat mereka disudutkan?” tanya Wirautama pada salah satu asisten pribadinya. “Bungkam semua media.” “Media yang kemarin menemukan berita tentang pak Wira menghadiri pesta ulang tahun dan juga yang membocorkan rekaman di rumah kediaman bu Rani,” jawab Dani, asisten pribadi Wirautama. “Kenapa mereka menargetkan Rafa?” kepalanya menoleh dengan raut wajah bingung dan bertanya-tanya. “Apa salah Rafa?” “Mereka sengaja menekan keluarga pak Wira supaya terkena sanksi sosial.” “Lihat berita ini. Rafa diberitakan dekat dengan Sonya yang jelas-jelas tidak pernah ada kedekat
“Pak Wira.” Dani, asisten Wirautama menunduk memberi hormat. Wirautama yang baru saja berdiri dari duduknya langsung berbalik menoleh. “Semua artikel sudah diturunkan. Tapi saya mendapatkan sebuah berita mengejutkan.” Wirautama menurunkan kacamata yang bertengger di hidungnya. “Katakan!” “Ibu Alyssa telah mengirim somasi pada media tersebut atas pencemaran nama baik putra anda, Rafandra. Apakah anda akan ikut mensomasi mereka juga?” tanya si asisten dengan wajah yang penuh harap cemas. “Tidak, tidak akan. Alyssa sudah benar, dia melindungi nama baik anaknya. Kalau saya ikut mensomasi media tersebut, akan lebih banyak hal terungkap selain dari berita kemarin.” Wirautama mendesah kesal. Rasa lelah menghinggapinya, ia ingin segera sampai di rumah dengan cepat. “Saya juga sependapat dengan jawaban pak Wira. Bagi anda, ini akan jadi hal yang serba salah untuk dilakukan.” “Dani, tolong kamu hubungi notaris pribadi saya.” Dani mengangguk. “Saya harus mempersiapkan warisan secepatnya.”
Sebastian menghela napas panjang sebelum memulai perdebatan antara dirinya dan Wirautama yang akan dimulai sebentar lagi. Mereka berdua duduk bersama di dalam satu ruangan dengan suasana tenang yang tercipta. Tanpa ada satu suara, tanpa ada satu penghalang. Sebastian pindah ke tempat yang lebih nyaman. Ia memilih duduk di dekat jendela besar yang mengarah ke taman belakang rumah. Sementara Wirautama duduk menunduk ke bawah, merenungi kesalahannya. "Keluarga besar sudah setuju dengan tindakanmu. Mereka akan membantu jika ada sesuatu yang sulit kamu lakukan. Hanya saja, mereka pasti akan sulit percaya padamu lagi nanti." Sebastian menoleh. Tatapannya menegang. "Bisakah kamu berjanji tidak akan mengulanginya lagi?" "Sesungguhnya dari dalam lubuk hati yang paling dalam, aku sangatlah menyesal. Setelah menyadarinya, aku ingin sekali meminta maaf ribuan kali pada Alyssa." Wirautama menunduk lebih dalam. Sebastian tidak tega melihat iparnya dalam keadaan seperti itu. Ia memang keras dan