Pagi-pagi sekali Leanna telah tiba di studio stasiun TV VO-Channel. Setelah menghadap Bu Carissa atasannya langsung di bagian wardrobe untuk diberikan beberapa pengarahan, Leanna diperbolehkan langsung bekerja dengan tim wardrobe-nya. Akan tetapi sebelum menuju ruang tim wardrobe, Leanna mengganti pakaiannya dengan seragam baru yang lengkap dengan nametag namanya sendiri. Pakaian serba hitam itu semakin terlihat elegan melapisi tubuhnya yang mungil. Kini Leanna sudah siap bekerja.
Saat melintasi lorong antar ruang divisi, suasana tak nyaman sempat Leanna rasakan. Ada beberapa orang yang terus menatapnya heran, sinis bahkan ada juga yang penasaran. Beberapa sempat saling berbisik ketika Leanna berjalan melewati mereka. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tetapi menurut yang sekilas Leanna dengar bahwa dirinya bisa bekerja di stasiun TV ternama ini karena rekomendasi dari sang residen Direktur. Karena tidak sembarang orang bisa dengan mudahnya bekerja di perusahaan sebesar ini.Walaupun penasaran tentang kebenaran berita itu, tetapi akhirnya Leanna memilih tak menghiraukan hal tersebut dan fokus bekerja dengan giat. Meskipun beberapa kali staff lainnya ada yang sengaja mempersulit pekerjaannya dengan berbagai macam keluhan. Bahkan ada beberapa yang dengan sengaja membuat Leanna harus lari ke sana kemari hanya untuk membeli kopi bagi para seniornya."Jangan dipikirkan, ya! Mereka memang suka seenaknya saja," kata salah satu staff wardrobe bernama Nindy. "Tak perlu kamu pedulikan mereka." Wanita manis itu hanya tersenyum ramah mengingatkan Leanna."Iya, terima kasih.""Ini ... kamu harus mengantarkan pakaian Arvian dan Dokter Reynald, kan? Acara mereka sebentar lagi akan dimulai," kata Nindy mengingatkan."Ah, iya. Baiklah, aku antarkan ini dulu, ya!"Ketika menyusuri lorong ruang make up artis, seorang pegawai wardrobe lainnya seolah tidak sengaja menabrak Leanna yang membawa beberapa pakaian untuk seorang penyanyi bernama Arvian. Alhasil pakaian yang dibawa Leanna jatuh berantakan. Sambil menghela napas pelan Leanna merapikan pakaian yang terjatuh. Untung saja pakaian tersebut terbungkus rapi, kalau tidak Leanna bisa kena masalah serius."Kamu tidak apa-apa?" tanya seorang pria tampan dengan wajah cerah bersinar yang sempat membuat Leanna tidak berkedip untuk sesaat."Aa ... aku tak apa-apa. Terima kasih!""Kamu baru ya di sini? Siapa namamu?" tanya pria itu lagi."Iya. Baru mulai bekerja hari ini. Saya Leanna. Leanna Mariskha.""Leanna? Aku Arvian. Sini biar kubantu! Kelihatannya kamu cukup kesulitan membawa semua itu.""Tidak perlu. Mana mungkin aku membiarkanmu membawa pakaianmu sendiri," tolak Leanna sambil tersenyum."Jadi ini kostum yang akan kupakai?""Iya. Aku akan membawanya ke ruanganmu.""Sudah sini, biar kubantu!" kata Arvian sambil mengambil sebagian pakaian dari tangan Leanna."Tapi ...." Leanna dibuat tak berkutik karena Arvian tetap berikeras membantunya. "Terima kasih ya!" ucap Leanna pada akhirnya dengan seulas senyuman menghiasi bibirnya."Senyummu itu ... sangat manis," kata Arvian spontan."Apa?""Aku jadi ingin mengajakmu berkencan. Kapan-kapan jalan denganku ya!" kata Arvian tanpa basa basi sambil berjalan memasuki ruangannya."Jangan bercanda! Sudah ya, pakaianmu kuletakkan di sana!" Leanna hanya tersenyum kikuk setelah meletakkan semua pakaian Arvian kemudian segera pergi dari tempat itu."Sampai jumpa lagi, Leanna!" seru Arvian sambil melambaikan tangannya.Leanna hanya membalasnya dengan senyum canggung lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Kali ini Leanna harus mengantarkan pakaian untuk seorang dokter yang menjadi presenter di program 'Sehat Bersama Dokter Kita'. Sebuah acara yang mengulas lengkap tentang kesehatan. Dengan bergegas Leanna menuju ruangan sang dokter. Karena pintu ruangan tersebut sedikit terbuka, maka Leanna langsung masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Tanpa sengaja Leanna melihat seorang aktris cantik sedang memeluk sang dokter. Karena merasa tidak seharusnya melihat apa yang sedang terjadi di depan matanya membuat Leanna diam terpaku bagaikan patung di depan pintu."Apa yang kamu lakukan?! Lancang sekali kamu!" teriak si aktris ketika telah selesai dengan kegiatannya dan menyadari kehadiran Leanna di ruangan tersebut."Maaf ... aa ... aku ... hanya mengantarkan pakaian untuk Dokter Reynald," jawab Leanna terbata-bata."Safira, tolong keluar sekarang!""Tapi ... aku serius dengan ucapanku barusan.""Acaraku sudah mau mulai. Jadi tolong keluar sekarang!""Aku akan ke rumah sakit besok," kata Safira masih tidak menyerah, sedangkan Leanna hanya membisu di tempatnya mencoba mencerna apa yang sedang terjadi dihadapannya dan arah pembicaraan keduanya."Terserah," kata Dokter Reynald yang terlihat sangat tidak peduli apa yang selanjutnya akan dilakukan wanita cantik dengan riasan tebal di hadapannya itu. Merasa tak dihiraukan, wanita itu akhirnya memilih pergi dengan raut kesal memenuhi wajahnya."Gara-gara kamu, semuanya kacau!" kata Safira ketus sambil menabrak bahu Leanna ketika hendak keluar ruangan dan menatap Leanna sinis."Maaf Dokter. Aku tak bermaksud mengganggu kalian, tapi sepertinya dia marah sekali. Aku benar-benar minta maaf," ucap Leanna tak enak hati."Tak apa. Mana pakaian saya?""Ini." Leanna pun menyerahkan setelan jas modis pada sang dokter. "Aku benar-benar minta maaf. Permisi." Leanna secepat mungkin pergi dari tempat itu dan kembali keruang wardrobe."Kenapa wajahmu seperti itu? Apa pekerjaan ini sesulit itu?" tanya Nindy yang sedang melipat beberapa pakaian penari latar."Yaah ... lumayan." Leanna menghela napas pelan. "Oh ya Nindy, apa kamu tahu ada hubungan apa antara Safira dengan dokter Reynald?" tanya Leanna penasaran."Kenapa? Kamu suka pada dokter tampan itu, ya?""Tidaaaaak. Aku hanya ingin tahu saja. Karena aku melihat mereka bersama ketika mengantarkan pakaian tadi.""Hmm ... gosipnya sih, si Safira itu mengejar cintanya dokter Reynald. Sepertinya dokter itu hanya jadi pelariannya saja. Setahuku sih begitu. Lagipula tak ada yang mau percaya kalau mereka ada hubungan, kamu lihat sendiri kan, dokter itu sikapnya dingin sekali."Leanna refleks mengangguk, "Oh, jadi begitu.""Sudahlah, tak usah pikirkan mereka. Di dunia ini memang sering banyak gosip yang tak bisa dipercaya. Lebih baik kita lanjutkan bekerja.""Baiklah."Sudah lewat tengah malam ketika Leanna selesai merapikan beberapa pakaian yang akan digunakan untuk acara besok pagi dan yang untuk di cuci di binatu. Nindy sudah pulang lebih awal darinya. Setelah semuanya selesai, dia bergegas menuju lift. Pintu lift terbuka dan di dalamnya telah ada si dokter tampan itu. Di dalam lift Leanna berdiri di belakang dokter Reynald, tepat di pojok dinding lift. Diam mematung salah tingkah sampai tiba-tiba perutnya terasa sakit. Sepertinya penyakit maag-nya kambuh. Leanna menekan perutnya untuk mengurangi rasa sakitnya. Namun rasa sakitnya terasa semakin parah dan membuatnya berdiri nyaris membungkuk demi menahan rasa nyeri di perutnya."Ada apa?" tanya dokter Reynald heran dengan posisi berdiri Leanna."Ah, tidak apa-apa," jawab Leanna tersenyum nyaris meringis kemudian berjongkok untuk membuka tasnya dan mencari obat yang biasa dia gunakan. "Aduh, habis lagi!" gerutu Leanna nyaris berbisik saat melihat isi botol obatnya kosong."Kamu sakit?" tanya dokter Reynald lagi saat melihat Leanna berjongkok di sudut lift dengan wajah pucat."Hanya sakit perut kok, Dok. Tak apa, nanti juga sembuh.""Kamu yakin?" Leanna hanya menjawab dengan senyuman tipis. "Kamu bisa berdiri? Kita ke ruang kesehatan sekarang!" kata dokter Reynald lagi sambil menekan tombol pintu lift supaya terbuka."Tak perlu. Aku tidak apa-apa kok," jawab Leanna sambil berusaha berdiri."Kamu mau jalan sendiri ke ruang kesehatan atau harus saya gendong sampai ke sana?" Seketika kedua mata Leanna membulat saat Dokter tampan itu selesai mengucapkan kalimatnya."Apa?! Aa ... aku bisa jalan sendiri." Dengan setengah hati Leanna pun mengikuti Dokter Reynald menuju ruang kesehatan.Di ruang kesehatan yang tidak seberapa besar itu Leanna berbaring di ranjang periksa sambil masih memegangi perutnya. Sedangkan dokter Reynald mengeluarkan stetoskop dari dalam tasnya kemudian mulai memeriksa Leanna. Dengan canggung Leanna menggeser tangan yang memegangi perutnya. Debaran jantung Leanna mulai berlari maraton saat dokter berwajah dingin tetapi memikat itu memeriksanya."Asam lambungmu tinggi. Kapan terakhir kau makan?""Aku ... tidak ingat kapan terakhir kali aku makan. Mungkin tadi pagi," jawab Leanna sambil tersenyum tipis saat Dokter itu menatapnya tajam."Apa kamu tidak sayang tubuhmu?" sindir sang Dokter sambil melirik tubuh mungilnya yang terbilang kurus seperti orang kurang gizi. "Apa kalian para wanita senang menyiksa tubuh kalian hingga tak makan apa pun?""Maksud Dokter? Diet gitu? Aku tidak pernah ikut diet kok, Dokter. Cuma memang kalau sibuk jadi lupa makan," sahut Leanna takut-takut."Ini obatmu!" kata Dokter Reynald galak sambil menyerahkan sebungkus obat yang dia ambil dari lemari obat di belakangnya. "Lebih baik jaga kesehatan dengan makan makanan seimbang dari pada menahan lapar supaya punya tubuh kurus seperti papan itu," sindir dokter Reynald sambil melirik tubuh Leanna yang memang sejak tiga bulan terakhir hanya di beri makan mie instan karena keuangannya yang sekarat. "Lekas minum obatnya dan langsung makan begitu kamu keluar dari kantor ini!" perintah dokter Reynald yang terdengar tak ingin dibantah dan harus dilaksanakan."Ba ... baik Dokter!"****Di pagi buta Leanna terbangun. Tidurnya benar-benar tidak nyenyak. Setelah semalam dia dan Stella sedikit berbincang mengenai kepindahan Stella ke rumah barunya, membuat Leanna banyak berpikir. Dia tidak bisa terus menerus bergantung pada temannya itu. Bahkan ketika Stella menanyakan tempat tinggal baru Leanna, dia hanya menjawab akan tinggal di mess kantornya yang jelas-jelas tidak ada."Benar kamu akan tinggal di mess kantor?" tanya Stella ragu sambil menatap Leanna."Iya benar. Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja," kata Leanna meyakinkan Stella sekali lagi."Baiklah kalau begitu. Tapi kalau kau butuh bantuan, jangan sungkan meneleponku ya! Dan ingat ... kamu harus datang di pernikahanku akhir minggu ini!" kata Stella pada akhirnya.Pada akhirnya, dengan diam-diam Leanna pergi meninggalkan rumah Stella di pagi buta yang dingin, setelah meninggalkan selembar catatan kecil di pintu kulkas. Dengan membawa beberapa kopernya, Leanna segera pergi ke kantor. Seingatnya di ruang wardro
Leanna terbangun di sebuah kamar besar yang indah. Bagaikan seperti mimpi dia bisa tidur di kamar luas dengan kasur yang empuk dan nyaman. Berbanding terbalik dengan kamar kontrakannya selama ini. Beberapa kali Leanna mengerjapkan matanya seolah tak percaya bahwa semua ini bukan mimpi.Masih sambil menguap dan mengusap mata serta rambut yang terlihat kusut, Leanna keluar dari kamar menuju kamar mandi di seberang ruang kamarnya. Namun seketika saja tubuh Leanna berubah kaku dan matanya membulat sempurna. Leanna langsung berdiri mematung beberapa saat di depan pintu kamar mandi. Sosok yang kini berdiri di hadapan Leanna jelas membuatnya terkejut setengah mati.“Whaaaa!!!” Teriakan Leanna terdengat keras dan menggaung hingga membuat orang yang berdiri di depannya itu sampai menutup telinga.“Ke-ke ... kenapa Dokter ada di sini?” tanya Leanna terbata-bata saat melihat sosok Reynald kini berdiri di depan pintu kamar mandi mengenakan kaos dan celana panjang training. Dengan rambut setengah
Di dalam ruang kerjanya, Reynald tengah berpikir tentang perkataan kakeknya tadi pagi. Beberapa berkas yang berserakan terlupakan begitu saja di hadapannya. Fokusnya berubah untuk sejenak. Memang sih, perempuan itu terlihat manis dan lain sekali tipenya dari semua wanita yang pernah Kakek jodohkan padaku. Tapi apa benar ini pilihan yang tepat bagi Kakek. Bukan! Apa dia memang perempuan yang tepat untukku? Apalagi kemarin Ardant memberiku data hasil cek up Kakek terakhir kali. Memang kondisinya sedang tidak bagus. Aarrgh ... ini sungguh membuatku frustrasi!!! Pria itu terlalu sibuk dengan pikirannya hingga sebuah ketukan di pintu ruangannya membuat Reynald tersadar. Reynald mengangkat kepalanya dan menemukan sosok sahabatnya sudah berdiri di depan pintu ruang prakteknya. “Hei ... kenapa wajahmu seperti itu? Kali ini siapa lagi wanita yang Kakek jodohkan padamu?” kata Ardant yang sudah hapal di luar kepala arti dari mimik wajah sahabatnya saat ini. “Bagaimana kamu tahu?” tanya Reynal
“Pagi, Leanna!” sapa Arvian ceria saat tiba di studio 2 dan mendapati Leanna sedang bekerja di sana.“Pagi juga. Tumben jam segini sudah datang?”“Iya. Sekarang aku jadi host program ‘Musik Hitz’. Keren, kan?” kata Arvian narsis.“Dasar narsis. Sudah ah, aku mau kembali bekerja. Dah … Arvian!” pamit Leanna, tetapi dengan cepat Arvian menarik lengan gadis itu. “Ada apa lagi?”“Nanti siang kita makan sama-sama, ya! Jangan lupa tunggu aku di sini!”“Baiklah,” jawab Leanna sambil tersenyum sebelum akhirnya pergi kembali bekerja.Untungnya hari ini jadwal acara yang Leanna pegang tak begitu banyak sehingga dia bisa bersantai sejenak sambil menunggu Arvian selesai membawakan program musiknya. Sesekali Leanna membantu Nindy menyiapkan pakaian untuk para kontestan acara pencarian bakat menyanyi nanti malam. Hingga tak lama kemudian dering suara ponsel Leanna berbunyi dan nama Arvian tertera di layar ponselnya.“Aku sudah selesai. Kamu di mana sekarang?”“Aku masih di ruang wardrobe. Tunggu se
Sudah tiga hari ini Leanna tidak masuk kerja. Semenjak kejadian di rumah sakit, Leanna tak melihat sedikit pun penampakan Reynald di rumah. Mungkin pria itu sangat sibuk dengan pekerjaannya hingga tak pernah pulang.Suasana di rumah Kakek pun sangat sepi sekali karena Kakek sedang sibuk mengurus beberapa bisnisnya dan baru akan pulang ketika dini hari. Leanna merasa bosan hingga membuatnya tak bisa tidur malam ini.Pelan-pelan Leanna berjalan menuju dapur untuk membuat kopi kesukaannya. Sambil sesekali menyeret kakinya yang masih sedikit sakit, Leanna memanaskan air dan mengambil bubuk kopi. Setengah berjinjit, Leanna berusaha mengambil cangkir kopi di rak paling atas. Karena keseimbangan kakinya belum baik, Leanna pun oleng. Untung seseorang menangkap pinggangnya dan membantunya berdiri dengan benar.“Kenapa tidak panggil Bu Tia saja?” kata Reynald yang terlihat masih mengenakan pakaian rapi walau terlihat sedikit kusut. Nampaknya pria itu baru saja pulang dari rumah sakit karena aro
Pagi sekali Leanna terbangun dalam kebingungan, karena seingatnya dia tertidur di sofa ruang santai saat sedang menyelesaikan gaun yang dibuatnya. Sekarang Leanna justru sudah berada di kamarnya.“Apa aku berjalan sambil tertidur, ya?” gumam Leanna pelan kemudian segera bangkit untuk bersiap-siap berangkat kerja.Setengah jam kemudian Leanna sudah ada di dapur membantu Bu Tia menyiapkan sarapan. Sekalipun Bu Tia menyuruhnya duduk saja namun wanita itu lebih suka ikut membantunya memasak dan menyiapkan peralatan makan. Hingga tak lama kemudian Reynald dan Fiona telah duduk bergabung mengelilingi meja makan.“Kalian mau minum apa? Kopi atau teh?” tanya Leanna sambil menyiapkan cangkir kopi atau teh.“Kopi,” jawab Reynald dan Fiona bersamaan. Dengan sigap Leanna menuang kopi ke dalam dua buah cangkir putih lalu memberikannya pada Reynald dan Fiona.“Selamat pagi cucuku semua!” sapa Kakek saat tiba di ruang makan kemudian duduk di kursinya. Pagi ini Kakek terlihat lelah tak seperti biasan
Leanna bangun terlalu pagi di akhir pekan yang cukup tenang. Wanita itu membuka pintu kaca balkonnya dan menghirup udara pagi yang segar. Tercium beberapa aroma bunga yang bermekaran dari taman belakang dan dia tak pernah bosan menghabiskan waktu luangnya untuk sekadar bersantai di kursi balkon kamar tersebut. Sayangnya dering telepon yang mengalunkan lagu favorit Leanna berhasil menyabotase kegiatannya menikmati udara segar dan ketenangan di balkon tersebut. Leanna langsung menekan tombol terima dengan segera begitu tahu siapa yang meneleponnya. “Pagi, Leanna. Apa kabarmu pagi ini?” tanya Arvian lembut. “Aku baik. Kenapa meneleponku sepagi ini? Memangnya kamu tidak ada syuting?” “Ini aku sudah di lokasi syuting. Hari ini aku syuting mini drama dan suasananya sangat membosankan. Andai saja kamu ada di sini Leanna,” keluh Arvian. “Memang yang jadi lawan mainmu sekarang siapa?” “Soraya. Dari dia datang sampai break syuting, dia selalu saja mengikutiku dan membuatku jengkel. Jadi ak
Ketika sampai di gedung tempat acara pernikahan Stella dilangsungkan, tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Leanna maupun Reynald. Sekalipun Leanna berusaha mencairkan suasana, tetapi selalu ditanggapi dengan datar dan dingin oleh pria itu. “Dokter, aku mau ke ruang pengantin wanita dulu, ya. Apa Dokter mau ikut?” “Tidak. Saya tunggu di dalam saja.” “Oke.” Keduanya pun berpisah arah. Reynald memilih langsung masuk ke dalam ballroom sedangkan Leanna segera menuju ruang pengantin wanita untuk menemui Stella. “Wow!!! Lihatlah dirimu ... kamu cantik sekali Stella,” puji Leanna tulus sambil menghampiri sang pengantin yang terlihat cantik dengan gaun putih yang berhiaskan sentuhan ornamen bunga berwarna biru sesuai tema pernikahannya. “Akhirnya kamu datang juga. Lihat yang lain sudah menunggumu!” kata Stella sambil menunjuk teman-temannya yang mengenakan pakaian dengan warna dan bahan yang sama dengan yang dikenakan Leanna. Beberapa teman dekat masa sekolahnya dulu kini ada di h
Mungkin untuk sebagian orang, menikahi pria kaya dan tampan adalah sebuah kesempurnaan hidup. Namun Leanna tidak merasa seperti itu. Menikah dengan Reynald terasa seperti mengemban sebuah tugas yang berat, seperti apa yang Safira katakan sebelumnya. Anak di dalam kandungannya bahkan sudah mendapatkan tanggung jawab besar jauh sebelum dia dilahirkan.Awalnya mungkin Leanna tidak terlalu memikirkan hal ini. Namun begitu membuka mata keesokan paginya, dia benar-benar menyadari kalau hidupnya tidak akan semudah itu. Baru saja membuka matanya dan raut wajah penuh kekhawatiran dapat terlihat jelas dari beberapa orang yang kini memenuhi ruang rawatnya.“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Kakek Antony. “Kenapa kamu membiarkan istrimu kelelahan?” kata Kakek Antony pada Reynald begitu melihat pria itu masuk ke dalam ruang rawatnya.“Kamu juga kenapa tidak mengatakan lebih awal kalau Leanna di rawat di sini?” kata Kakek Antony pada Fiona yang terlihat merengut tidak terima disalahkan.“Justru aku y
Setelah kepanikan dan kehebohan di sepanjang lorong menuju poli obstetri dan ginekologi tadi, Leanna akhirnya langsung dapat penanganan dari Dokter Vira. Setelah melakukan banyak pemeriksaan Leanna akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan untuk beristirahat selagi menunggu hasil pemeriksaan yang sudah dilakukannya barusan.Meskipun nyeri di perut Leanna sudah berkurang dan wanita itu pun kini sudah terlihat mulai nyaman berbaring di ranjangnya, tetapi Safira dan Fiona masih terlihat penuh kekhawatiran.“Benar sudah tidak sakit?” tanya Safira lagi. “Kalau memang masih sakit nanti kupanggilkan Dokter Vira lagi,” kata Safira.“Kamu belum makan, kan? Kamu mau makan apa biar kupesankan,” kata Fiona tak kalah paniknya.“Sebaiknya kalian juga duduk sebentar. Memangnya tidak lelah berlari-lari seperti tadi?” kata Leanna yang mulai pusing melihat kedua wanita cantik itu berjalan hilir mudik di depan ranjangnya.“Kalau perutmu masih terasa sakit, kamu tarik napas yang panjang saja, ya,” kata Safi
Sudah beberapa hari ini Fiona lebih sering berada di butik Leanna dengan setumpuk buku referensi pernikahan yang dibawanya. Menghabiskan hari sambil berceloteh tentang model gaun seperti apa yang cocok untuk gaun pengantinnya. Dekorasi seperti apa yang bagus untuk acara pernikahannya kelak, hingga jenis dan warna bunga yang bagaimana yang bagus digunakan untuk menghiasi ballroom tempat acaranya nanti. Leanna sampai pusing sendiri menanggapi semua celotehan Fiona tentang rencana pernikahannya tersebut. Belum lagi ketika Fiona bertanya beberapa pilihan konsep pernikahan yang ada di buku referensi tersebut. Leanna sampai bingung harus pilih yang seperti apa. Karena semua konsep yang Fiona usulkan semuanya memiliki keunikan tersendiri. “Kalian sedang apa?” tanya Safira yang tiba-tiba datang. Wanita itu membuka kacamata hitamnya kemudian ikut duduk di sebelah Fiona. “Merencanakan pernikahan,” jawab Leanna singkat. “Pernikahan siapa?” tanya Safira bingung. Leanna hanya melirik ke arah Fi
Tuan Darwin duduk di samping Kakek Antony kemudian kedua orang tua Kennard dan Kennard yang duduk persis di samping Fiona. Mereka semua saling menyapa dengan anggukan dan senyuman singkat kepada Kakek Antony. “Bukankah kamu yang meminta Kennard untuk membawa serta kami sekeluarga?” balas Tuan Darwin sambil menatap Kakek Antony tajam. Yang menurut Leanna seperti harimau yang sedang menakut-nakuti mangsanya. “Tentu, kalau cucumu itu ingin mendapatkan cucu perempuanku yang berharga.” “Kalau begitu, apakah kamu sudah bersedia menyerahkan cucu perempuanmu yang berharga itu pada cucuku?” tanya Tuan Darwin yang kali ini dengan senyuman tipis di bibirnya. “Mengingat sudah berapa lama kita berteman, seharusnya kamu tahu jelas apa jawabanku, kan, Win?” balas Kakek Antony lagi sambil menatap Tuan Darwin lekat-lekat. “Baiklah! Kita tidak perlu berbasa basi seperti ini lagi. Bagaimana kalau langsung menetapkan tanggal pernikahan untuk mereka saja?” kata Tuan Darwin yang saat ini raut wajahnya
Belaian lembut di pipi Leanna pun membangunkan wanita itu dari tidur lelapnya. Sebuah kecupan bahkan mendarat di bibir Leanna saat wanita itu membuka mata. Reynald kemudian menatapnya dalam-dalam sambil merapikan beberapa anak rambut yang jatuh di pipi Leanna. “Pagi,” sapa Reynald saat Leanna sudah sadar sepenuhnya. “Hari ini sudah tidak ada seminar, tapi sepertinya kita harus lekas pulang,” kata Reynald dengan nada suara lembut. “Pulang?” “Hmm. Kamu lupa kalau nanti malam ada pertemuan antara keluarga kita dengan keluarga Raharjo?” “Nanti malam? Ah, iya. Acaranya Fiona?” “Betul. Awalnya saya ingin mengajakmu jalan-jalan di sekitar sini, tapi tadi pagi sekali Fiona menelepon untuk mengingatkan saya tentang pertemuan keluarga ini.” “Ah, benar juga. Tidak mudah membuat Tuan Darwin mau datang mengurus masalah Fiona dan Kennard. Kita tidak boleh mengacaukannya.” “Tentu. Karena itu … ayo lekas bangun, Sayang,” kata Reynald sambil mengusap pipi Leanna kemudian tersenyum dan menatap is
“Memangnya kenapa?” tanya Reynald.“Jawab saja, Mas. Kita ini pasangan serasi atau bukan?”“Memangnya menurut kamu, kalau pasangan serasi itu seperti apa?” Reynald kembali balik bertanya.“Wajahnya cantik dan ganteng. Kelihatan sangat saling mencintai. Kompak dalam hal apa pun,” ucap Leanna menyebutkan isi salah satu artikel yang pernah di bacanya di media sosial.“Nah, itu kamu sudah tahu jawabannya.”“Apa?” Leanna justru bingung dengan jawaban yang diberikan Reynald.“Sudah jam 7, saya dan Steven harus kembali ke ruang seminar. Kalau kamu masih mau jalan-jalan lagi bersama Safira tidak apa-apa. Nanti minta Pak Sugio saja yang antarkan.”“Eh, tapi –”Reynald bangkit berdiri sambil mengusap puncak kepala Leanna dengan penuh rasa sayang kemudian tersenyum pada Leanna sebelum beranjak pergi. Begitu juga dengan Steven. Pria itu pun ikut bangkit berdiri menyusul Reynald.“Jangan lupa meneleponku kalau sudah selesai!” kata Safira sambil menatap Steven dengan tatapan tidak rela berpisah.“O
Usai berkeliling dari butik satu ke butik lainnya, Safira dan Leanna duduk berhadapan di salah satu café yang sedang hits di Dago. Beberapa tas belanjaan tergeletak di atas kursi di samping keduanya. Leanna sedang meminum jusnya, sedangkan Safira sibuk memeriksa ponselnya. “Mau sampai kapan kamu memandangi ponselmu begitu?” tanya Leanna yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Safira. “Seminar mereka baru akan selesai malam hari.” Safira mengangkat wajahnya dan fokus mendengarkan ucapan yang keluar dari mulut Leanna. “Seminar hari ini materinya lumayan padat. Mas Reynald bilang pasti akan malam sekali selesainya.” “Memangnya mereka selesai jam berapa?” tanyanya penasaran. “Sekitar jam 10 sampai jam 11 malam,” kata Leanna sambil mengingat-ingat daftar jadwal seminar yang diberikan Reynald padanya. “Semalam itu?” Safira terlihat mendesah kecewa. “Itu sih sama saja tidak bisa bertemu dengannya hari ini.” “Hmm … bisa saja sih bertemu dengannya pada saat jam makan malam. Biasanya mere
Reynald mengurai pelukan Leanna dan menatap wajah wanita kesayangannya itu. Masih sedikit tidak percaya Leanna menyusulnya ke hotel tempatnya menginap. “Aku tidak bisa tidur kalau tidak ada, Mas,” ucap Leanna pelan sambil menatap wajah suaminya yang kini sedang tersenyum tipis menatapnya. Leanna kembali mendekap Reynald dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang pria itu. Masih rindu dengan dekapan hangat dan aroma maskulin yang selalu bisa menenangkan jiwanya. Reynald membalas pelukan Leanna dan mengusap lembut punggungnya. Menyalurkan kedamaian dan kenyamanan yang selalu membuat Leanna ingin berada dalam pelukan hangat pria itu selamanya. “Peluknya nanti di sambung lagi. Sekarang kita ke kamar dulu, ya!” Reynald kemudian menggandeng Leanna memasuki lift yang membawa mereka ke lantai 5. Berhubung sudah tengah malam, Reynald tidak mungkin membiarkan Leanna berada lama-lama di lobi hotel. Reynald langsung membawa Leanna ke dalam kamarnya. Perjalanan panjang dari rumah mereka ke hot
Leanna terbangun dan wangi maskulin yang selama ini dia rindukan tercium kental dihidungnya. Leanna pun membuka mata dan menemukan dirinya sedang berada dalam dekapan pria yang beberapa waktu lalu membuatnya kesal.“Kapan Mas pulang? Katanya mau shift malam menggantikan teman Mas?” tanya Leanna sedikit terkejut mendapati suaminya itu mendekapnya erat.“Sstt … jangan bergerak!” Bukannya menjawab, Reynald justru mengetatkan pelukannya. “Kita tidur sebentar lagi, ya!” pinta pria itu dan kembali memejamkan matanya.Leanna hanya bisa menurut dan membiarkan suaminya itu memeluknya dan terlelap untuk beberapa saat. Namun suara perut Leanna yang kelaparan segera membangunkan Reynald. Sambil tersipu malu, Leanna menatap Reynald sedangkan pria itu justru tersenyum lembut.“Lapar, ya?” tanya Reynald dan Leanna mengangguk pelan. Memasuki trisemester kedua membuat perutnya menjadi lebih sering merasa lapar. “Mau makan apa?”“Bakso.”“Sepagi ini mana ada yang jual bakso, Leanna?”Leanna mengerucutk