Kinanti tahu betul apa resikonya jika raga manusia terlalu lama terjebak di alam sarpa. Karena itu dia begitu panik saat mengetahui Rumana dan Abahnya masih bertarung di sana. Pertarungan yang belum jelas siapa pemenangnya. Gunadi yang juga panik dengan keselamatan abah dan istrinya, melupakan nasihat Guw Zaki, dan nekat memasuki hutan lagi."Gun. Berhenti! Apa kamu mau mati? Kamu mau menyusahkan mereka yang sedang berjuang mempertaruhkan hidup?" Cegah Kinanti saat Gunadi sudah menembus hutan.Sayangnya, Gunadi tak mengindahkan peringatan Kinanti. Dia tetep nekat menerobos hutan untuk memastikan keadaan Rumana dan Sudikerta. Padahal dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa, malah bisa-bisa hanya jadi beban mereka lagi. "Gun! Gunadi! Berhenti. Jangan nekat kamu, Gun. Ingat anak-anakmu di sini," triak Kinanti masih berusaha menghentikan Gunadi, tetapi sia-sia saja. Kinanti sangat kesal dengan keras kepalanya adik iparnya itu. Hingga membuatnya berulang kali mendengus dan menggerutu saking
Rumana tak menyangka, jika kelambatannya kembali membuat Gunadi nekat memasuki alas Purwo itu lagi. Wajahnya pucat menahan lelah dan kebingungan. Dia tak tahu harus berbuat apa sekarang. Menyusul Gunadi ke hutan, atau meminta bantuan pada seseorang? Tapi siapa gerangan yang bisa menbantunya menolong Gunadi, selain Gus Zaki. Pemuda tampan dengan ilmu kanuragan yang lebih tinggi dari abahnya sendiri. 'Rasanya tak etis jika aku meminta bantuannya lagi, setelah dia kelelahan mebolong kami tadi," batin Rumana, mencoba menepis niatnya untuk meminta bantuan Gus Zaki sekali lagi. Seperti mendengar kata hati Rumana, Sudikerta angkat bicara, "Sepertinya kita harus meninta bantuan pada Gus Zaki lagi.""Tapi apa tidak apa-apa, Bah. Dia baru saja menolong kita dari cekeraman wanita iblis itu, bagaimana mungkin kita memintanya datang kemari lagi untuk menolong Mas Gunadi? Bisa saja dia sudah kehilangan banyak energi setelah pulang dari sini," sanggah Rumana yang tak sampai hati jika harus merepot
Setelah Sudikerta nekat masuk ke hutan, untuk menyelamatkan Gunadi, Kinanti terus berusaha menenangkan Rumana yang masih saja menangis. Sebenarnya dia sendiri tak tega melihat kondisi Ruman, namun dia tak bisa berbuat apa-apa. Kinanti mendengus lelah."Mbak, anak-anak sudah tidur semua. Aku mohon putar balik saja, Mbak. Antarkan aku kembali ke hutan itu. Perasaanku tak enak," pinta Rumana di sela isak tangisnya.Kinanti menggeleng sambil terus mengemudi. Tak mungkin dia menuruti keinginan Rumana. Terlalu berbahaya jika dia juga ikut menyusul abah dan suaminya."Nggak, Rum. Mbak nggak akan biarkan kamu pergi ke sana. Biar Abah saja yang mencari Gunadi. Dengan kamu ke sana, sama saja kamu mengantar nyawa, kamu ngerti nggak!" ujar Kinanti dengan nada tinggi. Kali ini dia harus lebih tegas pada Rumana."Enggak, Mbak. Tolong, antar saja aku ke sana lagi. Aku mohon, Mbak. Aku yakin Abah butuh bantuanku," pinta Rumana terus memohon."Emang kamu bisa apa di sana? Kamu nggak punya kekuatan apa
Di tempat lain, di mana Nandhini dan Raganta sedang berjuang untuk keluar dari teritori Ruri."Hei, tunggu! Sebaiknya kita sembunyi lagi aja. Aku capek banget nih," ujar Raganta, napasnya tersengal karena kelelahan."Kalau kita sembunyi, dia bisa menemukan kita lagi. Aku ga punya banyak waktu, Ta. Aku harus segera pulang, dan memberi tahu keluargaku sesuatu yang sangat penting," timpal Nandini. Dia tidak tahu, keluarganya telah tiada. Hanya dia yang masih tersisa.Tak menghiraukan bujukan Raganta, Nandini kembali melanjutkan langkah. Jantungnya berdebar-debar saat membayangkan kejahatan yang dilakukan Ruri. Matanya mulai panas, dan dadanya sesak. Pandangan Nandini mulai kabur karena ada kaca-kaca tipis yang merembak di matanya. Raganta yang tak mau sendiri pun akhirnya mengalah dan tetap menyeimbangkan langkah dengan Nandini. Ia tak mau bertemu binantang buas dan mbak kunti lagi.Subuh menjelang, azan terdengar berkumandang, Raganta menghentikan langkah Nandini. Kali ini, dia menghad
"Aku baru kepikiran sesuatu, loh. Kita di sini mendengar azan, itu artinya jarak kita ke pemukiman warga udah mulai dekat dong, ya?" ujar Raganta pada Nandini."Iya, memang kawasan ini lumayan dekat dengan pemukiman penduduk, tapi entah kenapa kita seperti berputar putar di tempat yang sama. Apa ini ulah Bibi Ruri?" Nandhini berpikir sejenak."Ah, nggak mungkin lah. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan, aku yakin sebentar lagi kita sampai di jalan raya, dan kita akan menuju pelabuhan untuk menyeberang ke pulau Jawa."Nandini terdiam, dia tampak sedang memikirkan sesuatu. Tatapannya tertumpu pada sepatu yang Raganta pakai. Seperti sepatu mahal, pikir Nandhini. Melihat diamnya Nandini, Raganta menjentikan jarinya tepat di depan wajah gadis bermanik hazel itu.Pemuda asing yang baru saja bertemu dengan Nandini itu menanyakan perihal apa yang membuatnya melamun."Aku nggak punya bekal apapun untuk pulang ke Jawa. Aku kabur dari rumah itu tanpa memikirkan bekal, dasar bo doh." Gadis itu me
Berbekal sebilah pedang di tangan kanannya, Rumana nekat menyusuri kembali alas Purwo demi memenuhi rasa penasarannya tentang kebenaran perkataan Parjo. Harapannya tinggi akan keberadaan Gunadi di sisi lain hutan ini.Ada pemuda yang juga memiliki ilmu kanuragan lumayan tinggi mengekor di belakangnya untuk memastikan keselamatan Rumana. Disibaknya berbagai tanaman liar yang menghalangi langkah Rumana. Ia mengingat betul keberadaan Gunadi saat itu. Tepat di hadapannya dia berdiri saat ini, tapi tak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Bahkan para siluman yang kala itu mengganggu Rumana, sekarang belum menampakan batang hidungnya."Bu, sebaiknya kita keluar dari sini. Kita sudah masuk terlalu dalam. Bapak Gunadi suda tiada, dia tidak mungkin berada di alam ini sekalipun," bujuk Gus Zaki. Dia tahu betul, jika kedatangan Rumana ke tempat ini lagi, mungkin saja hanyalah sebuah jebakan yang akan mendatangkan petaka baru.Akan tetapi, Rumana tak mau menghiraukan perkataan Zaki. Dia memilih me
"Bu, kaka main dulu ya sama adek-adek," izin anak pertama Rumana."Iya, kak. Jangan jauh-jauh mainnya, jangan main di sungai juga," jawabnya menasihati. Sambil menggendong si bungsu yang baru berusia tiga bulan."Inggih, Bu." Dengan berbinar, gadis itu pun berlalu sambil menggandeng kedua adiknya. adik pertama yang duduk di kelas tiga SD, dan yang ke dua baru kelas 1 SD.Wanita yang lima tahun lagi menginjak kepala empat itu, menatap ketiga anaknya dengan perasaan was-was. Ini hari ke tiganya di kampung halaman sang suami untuk merayakan hari raya.Tidak seperti biasanya, kali ini perasaan nya begitu gelisah setelah melepaskan kepergian anak-anaknya untuk bermain. "Hanya main aja, mereka pasti akan baik-baik saja. Tenanglah Rumana, mereka akan pulang saat lapar, karena belum sarapan pasti mereka akan kembali sebentar lagi," gumamnya, lalu ke dapur menghampiri ibu mertua yang tengah memasak untuk sarapan mereka."Cucu Ibu pada ke mana, Nduk? Kok sepi?" ujar Ibu mertua menanyakan kebera
"Ayo, Bu, kita pulang. Apa masih mau menunggu sampai jenazah di makamkan?" Ujar pelayat lain pada seorang wanita paruh baya yang masih terisak."Eh, iya. Duluan aja, nanti saya nyusul. Belum ketemu sama Ibu korban," jawab Ibu itu seraya mengusap air mata dengan pucuk jilbabnya."Oh, ya sudah. Saya duluan ya, Bu. Mau manen padi soalnya," ucap Bu Janem seraya menepuk bahu wanita itu, lalu pergi bersama beberapa temannya meninggalkan rumah duka.Sudah jadi tradisi di kampung itu, jika melayat hanya sekedar mengantar beras atau menaruh uang saja, lalu pulang. Berbeda dengan kerabat atau kenalan yang berduka, mereka akan menunggu dan mengantar jenazah hingga prosesi pemakaman selesai.Namun siapa wanita paruh baya yang melayat dengan senyum menyeringai di balik jilbab itu? Apakah dia masih kerabat yang berduka? Atau hanya pelayat biasa? Mungkinkah ia seorang yang mengalami gangguan jiwa? Atau jangan-jangan....Wanita itu perlahan menembus kerumunan warga dan kerabat keluarga duka, yang ten