Mendengar penuturan Gunadi, Nyai Jaemah seperti tahu apa yang harus dia lakukan. Dia sedikit berlari menuju dapur, dan lagi-lagi membuat sambetan. Nyai Jaemah berfikir, tak salah lagi kalau Rumana memang kesambet. Mungkin dia melihat yang tidak bisa di lihat oleh orang lain, atau hanya ilusi yang menguasai fikirannya. Begitulah pemikiran Nyai Jaemah.Dia tumbuk bahan-bahan sambetan dengan cekatan, dan membawanya ke kamar. Melihat Rumana yang terpejam lemah, Nyai Jaemah langsung menjejalkan sambetan itu ke mulut Rumana dengan antusias. Berharap Rumana cepat sadar dan makhluk yang memasuki raganya cepat keluar.Rumana merasakan mulutnya di jejali sesuatu yang sangat bau, hingga membuat perutnya serasa di aduk-aduk. Tak tahan, akhirnya Rumana berusaha mengeluarkan seisi lambungnya."Hooeekk! Hoeeekk!" Rumana muntah seketika. Tak tahan lagi dengan bau dan rasanya."Nah, benar kan, Bu Rumana pasti kesambet. Lihat saja, dia langsung sadar begitu aku jejali sambetan ini. Modyar koe belis!(ma
"Tuh, Mas, dengar kata Ayah. Jadilah lelaki kuat yang bisa melindungi ibu dan juga adikmu kelak. Menangis boleh, tapi jangan jadi kelemahanmu. Jadikan air matamu sebagai kekuatan untuk bisa menerima semua kenyataan." Rumana ikut menambahi kata-kata motivasi pada putranya.Bagas mengangguk tanda mengerti nasihat dari kedua orangtuanya. Kini, dia merasa lebih baik dan tidak takut lagi seperti sebelumnya. Meskipun rasa kehilangan kedua kakak dan neneknya masih sangat membuatnya terluka."Kata Budeh, kamu belum makan, ya. Sekarang kamu makan, ya. Mau Ibu suapi?" Rumana berusaha tersenyum demi putranya. Meski rasa sakit kehilangan empat orang yang dia cinta masih sangat menyiksa batin hingga meronta-ronta di dalam sana."Mas Bagas udah gede, Bu. Malu sama dedek Rayhan kalau di suapi. Ya, nggak, Mas," goda Gunadi pada Bagas, yang sukses membuat anak kecil itu kembali menerbitkan senyum manisnya.Bagas mengangguk kecil, di iringi senyuman. Membuat Gunadi dan Rumana sedikit merasa tenang kare
"JANGAN SENTUH ANAKKU!" triak Rumana, mengagetkan seisi penumpang Bus itu. Sontak, Gunadi berdiri ketika Rumana ketakutan mendekap Rayhan."Ada apa, Rum. Kamu lihat apa?" tanya Gunadi panik melihat ketakutan Rumana yang duduk di sebelahnya."Ada wewe gombel yang mau mengambil anak kita, Mas," bisik Rumana, semakin panik, karena makhluk betina menjijikan itu hampir menyentuh tubuh Rayhan, dan semakin beringas meraih bayinya."Ini, dia mau mengambil Rayhan, Mas. Cepat usir dia!" Rumana masih mendekap erat tubuh bayi mungil yang masih terlelap."Nggak ada apa-apa, Rum. Lihatlah. Di sini hanya ada penumpang lain. Jangan bikin Mas takut." Gunadi trauma karena semua musibah yang telah menimpa keluarganya. Dia takut kehilangan Rumana dan bayinya."Tolong, Rum. Jangan aneh-aneh. Jangan becanda.""Aneh-aneh kamu bilang, Mas? Apa tampangku sedang becanda? Aku aneh? Kamu itu yang aneh! Kenapa kamu tidak bisa melihat makhluk yang sudah sedekat ini, sedang berusaha meraih tubuh Rayhan. Kamu Bapak
Di Kebumen."Ras, ayo ikut kloyong. Biar nggak suntuk di rumah sendirian. Kebetulan malam ini aku pas giliran ronda," ajak Karta pada Rasmadi."Aku di rumah saja, lah, Kang.""Ngapain di rumah terus. Mbokyo keluar gitu loh. Kamu nggak tahu, kan. Ada kabar apa di desa kita belakangan ini?" Karta sengaja memancing rasa ingin tahu Rasmadi."Kabar apa, Kang. Paling orang-orang sedang sibuk membicarakan istriku dan Ratmini yang meninggal dadakan." Rasmadi tampak acuh dan melanjutkan meracik tembakau untuk dia hisap setelah di bakar. "Hm, kamu ini. Makanya keluar, biar tahu kabar terbaru. Kalau soal istri dan besanmu sih, semua warga juga masih curiga. Tapi ini beda. Soal hantu Parjo yang gentayangan." Karta mengalungkan sarung di lehernya, kemudian melangkah keluar rumah Rasmadi.Penasaran dengan yang Karta katakan, Rasmadi akhirnya menyusul keluar setelah selesai dengan urusannya membuat rokok lintingan."Tunggu, Kang. Aku ikut!" seru Rasmadi sambil memakai sendal."Katanya nggak mau iku
Kinanti telah sampai di lokasi Gunadi. Dia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, lalu segera menghampiri adik ipar dan keponakannya. "Ke mana Rumana sekarang, Gun. Kalian ga apa-apa, kan?" Kinanti bisa melihat kecemasan di wajah mereka."Nggak apa-apa, Mbak. Tapi Rumana masuk ke dalam hutan sana, mengejar Rayhan yang melayang-layang. Kata Rumana sedang di bawa makhluk Wewe gombel. Tapi aku dan penumpang lainnya tadi, ga ada yang bisa lihat makhluk itu, Mbak," ujar Gunadi mengulangi cerita yang tadi sudah dia sampaikan pada Kinanti di telfon."Ya sudah, sekarang angkut semua barang-barang kalian ke mobil. Biar aku yang jaga Bagas di sini. Kamu cepat susul adikku ke hutan." "Jangan khawatir, aku sudah meminta orang-orangku untuk cepat ke sini. Mereka juga akan bawa beberapa tim SAR. Khawatir Rumana kenapa-napa." Kinanti langsung menuntun Bagas masuk ke dalam mobilnya. Di ikuti Gunadi yang membereskan semua barang bawaannya."Sudah beres semua, sekarang aku akan langsung menyusul Ruma
"Gelap. Dimana ini? Kenapa gelap sekali?" Rumana meraba-raba lantai dan udara."Rum! Itu kamukah, Rum? Rumana, ini Mas Gun." Gunadi yang mendengar suara Rumana langsung merespon. Berharap memang itu suara Istrinya."Mas, itu kamu, Mas. Kamu dimana?""Aku di sini, Rum. Kamu di mana?"Mereka saling mencari satu sama lain dalam kegelapan. Meraba ke sana kemari, terus mengikuti arah suara masing-masing. Rumana tak tahan dengan kepiluan dan rasa takut yang semakin menyerang di gelapnya ruangan. Dia menangis dengan terus memanggil nama suaminya. Suaranya terdengar semakin menjauh. Apakah mereka salah melangkah? Padahal Rumana dan Gunadi seperti sudah mengikuti suara masing-masing. Kenapa suara merka seperti semakin menjauh?"Mas ...! Kamu di mana, Mas? Kenapa suaramu seperti menjauh. Mas ...!" Rumana terus memanggil gunadi di sela isak tangisnya. Begitu juga dengan Gunadi melakukan hal yang sama. Hingga, suara Rumana terdengar semakin putus asa karena tak kunjung menemukan suaminya. Belum
Malam semakin larut saat seorang gadis lari menerjang apa saja yang ada di depannya dalam kegelapan. Tiba-tiba dia menabrak sesuatu hingga membuatnya jatuh tersungkur."Auh, apaan sih ini. Apa aku menabrak pohon?" Ujar gadis itu dengan kesal.Tak adanya penerangan di tengah hutan, membuatnya tak bisa melihat apa yang sebenarnya dia tabrak. "Orang setampan ini kau bilang pohon?" Tiba-tiba terdengar suara bariton yang mengagetkan Nandhini. Apalagi orang itu menyenter wajahnya sendiri yang membuatnya terlihat seperti hantu. Nandhini yang melihat itu langsung membekap mulutnya kuat-kuat sambil memejamkan mata karena takut dan kaget. Namun, pria itu malah terbahak-bahak. Dia merasa lucu melihat tingkah Nandhini yang seperti menahan ketakutan."Hei, aku bukan hantu. Lihatlah ketampananku ini. Apa aku terlihat seperti hantu?" tanya pria itu. Nandhini pun perlahan membuka matanya. Dia amati perlahan laki-laki yang memang terlihat sangat tampan. Dia perhatikan dengan sedikit pencahayaan sente
Sebelum pertarungan Nyai Galuh dan Sudikerta."Ini pesanan Anda Paduka." Nyi Galuh menyerahkan Rasmadi pada Raja kobra. Siapa lagi kalau bukan Ashuma. Raja kobra yang saat itu menyandera dan meminta Rumana menjadi istrinya, kemudian berhasil dikalahkan oleh Rumana. Rupanya dia sudah kembali pulih dengan kekuatan yang lebih dahsyat dari sebelumnya. "Bagus. Sekarang aku sudah mengampunimu. Pergilah dan jangan coba-coba menampakan batang hidungmu lagi di depan mataku, atau kau akan binasa!" Ashuma memberi ultimatum pada Nyi Galuh. Mendengar peringatan Ashuma, Nyi Galuh segera pergi untuk menemui Sudikerta. Dia sudah meminta perewangnya yang di alas Purwo untuk menghadang keluarga Rumana.Dia tahu Rumana sedang dalam perjalanan pulang ke kampung halaman di Jogyakarta. Karena itu, dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menyakiti putri kesayangan Sudikerta tersebut. Dia meminta Nyi Gelung untuk menghadang bus yang Rumana tumpangi dan menyandera salah satu anaknya agar dia tak bisa mel
"Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol
"Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke
Setelah melewati berbagai gangguan, Rumana dan dua pemuda tampan itu sudah kembali berada di dalam gua. Rumana mencoba menguatkan diri dan tekad untuk menyentuh ukiran di sisi dinding gua. Kali ini tak ada gangguan berarti yang menghalanginya.Akan tetapi, beberapa saat setelah ia menyentuhkan tangannya ke ukiran tersebut, guncangan kecil mulai ia rasakan. Disusul guncangan hebat yang membuat semuanya panik. "Guanya seperti akan runtuh, kita harus lari dari sini," ujar Raganta dengan wajah panik. "Tidak! Mungkin ini hanya efek dari sentuhan tangan saya. Ini bisa jadi benar-benar pintu masuk ke alam sarpa seperti yang dikatakan Kiai. Aku tidak akan keluar!" teriak Rumana masih kuat dengan pendiriannya. Dia terus berpegang pada dinding gua."Jangan konyol, Mbak. Kita semua bisa mati di sini kalo nggak cepat-cepat lari menyelamatkan diri!" sengit Raganta. Nada Raganta mulai emosi, dia menarik lengan Zaki dan Rumana. Setuju dengan pendapat Raganta, Zaki juga terlihat panik dan mulai m
Rumana mengikuti saran Kiai Hambali untuk menjemput kedua anaknya dan Nandini yang konon dibawa oleh pengikut Gayatri. Dia mulai melangkah menyusuri lorong gua yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang terletak di dalam hutan Larangan yang jarang dijamah manusia. Sensasi mencekam mulai ia rasakan tatkala kakinya semakin maju ke dalam gua. Gelap, lembab, dan sumpak mendominasi nuansa di dalam gua. Rasa takut mulai bergelayut di hati Rumana, tapi ia juga tak mau menghentikan langkah demi kedua buah hatinya. Ia mengamati setiap sudut gua dengan pencahayaan yang terbatas dari cahaya obor. Ada Zaki dan Raganta yang turut menemani atas permintaan kiai Hambali.Perhatian Rumana jatuh pada sebuah dinding gua yang terlihat mencolok. Ada ukiran yang menggambarkan seperti gapura dan beberapa ukiran unik lainnya terpahat di sana. "Apa mungkin ini pintunya, ya?" Gumam Rumana. "Raga, Zaki, coba lihat ini."Kedua pemuda itu sontak mendekat. Mengarahkan cahaya obor mereka ke dinding gua yang dimak
"Allohuma sholi, wa salim 'ala sayyidina, Muhammadin shohibil busyro, solatan tu basyiru Nabiha. Waakhlana waauladana, wa jami'a masyayikhina, wamualimina wathalabatana wa thalibatina. Min yaumina hadzha illaa, yaumil akhiroh." Entah sudah berapa kali Rumana melantunkan selawat Busro yang diyakini bisa membawa kabar bahagia bagi yang mengamalkannya itu. Kedua matanya terpejam, ia duduk di atas sajadah selepas salat Isya di kamar. Berharap segera mendapatkan kabar bahagia seperti yang terkandung dalam selawat tersebut. Kabar baik tentang kedua anaknya yang kembali dalam keadaan sehat selamat. Kabar baik tentang kondisi Kinanti, dan kabar baik tentang kemungkinan Gunadi masih hidup, meski dia telah menyaksikan sendiri prosesi pemakamannya kala itu. Kabar baik yang ia harap membawa kebahagiaan.Dia benar-benar berharap jika semua yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, dan ia ingin sekali ada yang membangunkannya dari tidur panjang ini. Tok ... Tok ..
"Aaakkk!" Jeritan Kinanti menyadarkan Sudikerta, bahwa yang dia tusuk bukan Gayatri, tapi putrinya sendiri. "Mbak Kinan!" jerit Rumana. Tubuh Kinanti perlahan roboh ke pelukannya. Dia menopang tubuh sang kakak yang sudah bersimbah darah di bagian perutnya. Sudikerta yang semula menggenggam erat pusakanya itu, reflek menjatuhkan keris ke lantai hingga menimbulkan suara dentingan cukup keras. Sudikerta bergetar hebat melihat darah segar yang muncrat dari perut sang putri dan menempel di tangannya. Dia segera meraih tub uh Kinanti dan membawanya dalam pekukan. "K-kenapa ... K-Kinanti ... Kinanti!" raung Sudikerta seakan sangat menyesali perbuatannya, tetapi semua hanya sia-sia.Diletakkannya tub uh bersimbah dar4h itu di atas dipan, dengan berusaha menutupi luka guna menyumbat dar4h yang terus mengucur dari perut bagian atas.Sementara itu, Gayatri tertawa puas melihat penderitaan Sudikerta. Dia beralih pada Rumana yang terus tergugu seakan menyalahkan sang ayah."Kau lihat kan, Rum
Kecurigaan Rumana pada sang ayah semakin menjadi, dia merasa Sudikerta memang telah menyembunyikan sesuatu darinya, atau mungkin dari seluruh keluarganya."Apa yang Abah sembunyikan di kamar itu?" tanya Rumana. Sudikerta menatap sekilas Rumana, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mendiang mertuanya. Di depan pintu di dalam kamar itu, Sudikerta duduk bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra atau doa. Rumana dan Kinanti hanya menyaksikan dengan seksama apa yang tengah dilakukan Sudikerta. Meski ia ingin sekali bertanya, tapi dia menahan diri setelah melihat betapa Sudikerta berkonsentrasi dan tak mungkin untuk di ganggu. Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa membahana dari seorang wanita. Tetapi tak Rumana lihat wujudnya. Suaranya seperti mengudara di dalam ruangan itu. Bau bunga melati juga menelusup ke dalam indra penciuman mereka. Rumana memasang badan waspada, sedangkan Kinanti justru bersembunyi di balik tub uh Rumana. "Siapa di sana!" seru
"Kamu sudah melakukan semua sesuai rencana kan, Galuh!" Seorang wanita berkebaya warna biru laut, dengan rambut disanggul berhiaskan bunga melati di rambutnya, tengah menatap nyi Galuh. Riasan di wajah menambah pancaran cantiknya wanita itu. "Sudah, Ibu Ratu." Galuh membungkuk di depan wanita itu."Bagus! Sudah waktunya Sudikerta menerima akibat dari perbuatannya. Sekaranglah waktumu membayar semuanya, dan kamu harus tau dan mengingat itu, Sudikerta!" Wanita yang dipanggil ibu ratu oleh galuh itu bermonolog lalu menyeringai. Ada gurat kepuasan dari kedua netranya.Sudah puluhan tahun lamanya dia menantikan hari itu datang. Hari dimana dia bisa membalaskan dendam kesumat pada lelaki yang telah meluluhlantakkan kehidupannya dulu. Dimana dia kehilangan satu persatu orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya, dan yang dengan tulus menolongnya, tanpa tahu sebab dari semua petaka yang menimpanya. Hal itu tentu membuatnya amat terpukul, frustasi dan depresi. Hampir saja dia dipasu
Rumana masih bungkam, enggan memberikan keterangan. Kendatai Kinanti terus memaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pulang dalam kondisi mengenaskan seperti ini, tapi Rumana tetap tutup mulut. "Apa seseorang mengancamu?" tanya Kinanti terus memancing Rumana supaya mau bicara.Jawaban Rumana hanya berupa gelengan. Tapi, kenapa dia bungkam?Rumana masih syok dengan semua kenyataan pahit yang dia terima dari mulut Galuh. Entah kenyataan itu benar atau hanya untuk mengecohnya agar membenci sang ayah. Semua tragedi naas dalam hidupnya setelah pulang kampung ke Kebumen, dia pikir mungkin ada kaitannya denhan ayah mertua--Rasmadi. Tapi, nyatanya justru Sudikerta lah yang banyak andil di dalamnya tanpa dia duga sebelumnya.Dia kenal Abah orang yang rajin beribadah, taat menjalankan perintah Allah, tapi kenapa justru masa lalunya seburuk itu hingga berimbas pada keluarganya. Rumana masih tak terima dan mungkin akan menganggap ucapan buruk Galuh tentang Sudikerta hany