"Parjo...!!!!" Tarno terlambat menarik tubuh Parjo.Kini dia bingung harus bagaimana. Mau menyelamatkan Parjo, tetapi takut malah ikut tenggelam. Karena dia sendiri juga kurang pandai berenang. Tarno hanya bisa menangis meratapi tenggelamnya Parjo. Dia coba bangunan Kinanti yang masih tertidur atau bahkan dia pingsan. Tetapi, di luar dugaan.Kinanti berubah jadi sangat menakutkan. Wajahnya yang pucat dengan tatapan kosong, serta mengarahkan tangannya yang bekuku tajam ke leher Tarno seperti ingin mencekik. Muncul taring dari pinggir gigi rapi Kinanti."Mbak. Jangan becanda, Mbak. Aku udah tolong kamu, aku gendong kamu, sekarang begini balasanmu, Mbak. Tolong jangan main-main. Temanku sedang tenggelam di sana, dan aku ga bisa nolongin dia. Tolong jangan buat aku semakin takut, Mbak." Tarno terus mundur menghindari sasaran Kinanti.Tak ada jawaban dan respon berarti dari wajah Kinanti, Tarno langsung lari. Dia sembunyi di semak-semak. Berharap Kinanti tidak menemukannya. Namun sayang,
"Aku harus menelfon tetangga kampungku, menanyakan kabar keluargaku," gumam Nandhini. Dia tekan nomor Astuti, tetangga kampung Rasmadi."Hallo, Tut. Gimana kabarmu," sapa Nandhini berbasa basi."Alhamdulillah, baik. Kamu gimana, Ndin. Kok kamu nggak pernah pulang kampung, sih," tanya Astuti dari seberang telfon."Aku baik juga. Iya, kontraku belum habis di sini, Tut. Jadi ya, nggak boleh pulang deh," ujar Nandhini berbohong. Yang orang lain tahu, dia sedang bekerja di luar pulau jawa dengan sistem kontrak. "Kirain udah ke enakan tinggal di sana, makanya nggak mau pulang," canda Astuti."Ya nggak lah. Se nyaman-nyamannya tempat tinggal itu, ya di rumah sendiri, toh. Aku juga sebenarnya kangen banget sama Ibu, Bapak, dan mas Gunadi," ungkap Nandhini. Kali ini dia tidak berbohong. Dia memang sangat merindukan keluarganya di kampung."Mbok aku di ajak ke Kalimantan, to, Ndin. Aku kan juga pengin ngrasain hidup di sana itu gimana. Terus kayaknya, gajinya juga gede, ya, Ndin. Aku lihat kamu
"Maksudnya gimana, Bah? Kenapa semua gara-gara Bapak," tanya Rumana mengulangi."Semalam, Bagas kerasukan Iblis perewang manusia biad ab itu. Sesosok genderuwo hampir membawa anakmu, Rum!" adu Abah pada putrinya."Astaghfirullah! Kenapa Abah sama Ummi nggak ngabarin Rum?" tanya Rumana heran. "Sudah hampir pagi, kami tidak mungkin tega menganggu istirahatmu, Rum. Apalagi kamu kan baru sadar," pungkas Ratmini."Jadi itu sebabnya muka kalian memar-memar, Bah, Pak?" tebak Gunadi. Dan kedua orang tua itu langsung diam seribu bahasa. Mungkin mereka malu.Ummi pun menceritakan semua kronologi menjelang pagi tadi. Dan membuat yang mendengarnya geleng-geleng kepala. "Katakan, Pak. Apa benar Bapak yang mengirim Iblis itu untuk membawa anakku! cucu Bapak sendiri," sergah Rumana mulai emosi."Apa kamu percaya mentah-mentah semua yang di katakan Abahmu, Rum. Bapak nggak mungkin melakukan semua itu," bantah Rasmadi. "Bohong! Bapak saja tega menamparku, saat aku minta untuk memisahkan jenazah ked
Bab 24 oriMengantar Nyawa 24Selamat membaca, semoga selalu suka."Sadarlah, le. Ini eyang uti. Tenanglah, sayang. Siapa yang mau kamu bawa?" tanya Ratmini terisak."Minggir, Mi. Dia bukan Bagas lagi!" I Ketut Sudikerta menatap lekat cucunya yang kondisinya sangat memprihatinkan.Ratmini yang sadar dengan maksud suaminya, langsung menjauh dari tubuh Bagas. Namun dua perawat laki-laki yang memegangi Bagas tetap berada di posisinya.I Ketut Sudikerta mendekati tubuh Bagas. Mulutnya komat-kamit seperti merapal do'a atau sebuah mantra. Yang jelas, setelah itu, Bagas tidak lagi meronta-ronta seperti sebelumnya."Hrmm... Hrmm... Jangan halangi aku. Aku akan membawa raga anak ini. Minggir...!" Suara Bagas berubah. Bukan lagi sura anak-anak seperti biasanya. Suara yang keluar dari mulut Bagas saat ini terdengar begitu berat, layaknya suara pria dewasa."Siapa, Kau! Beraninya masuk ke tubuh cucuku!" I Ketut Sudikerta mulai mengintrogasi makhluk yang berada dalam raga Bagas. Seraya memegang k
"Dokter wanita itu, sangat dingin dan menyeramkan, gelagatnya aneh dan mencurigakan. Apakah dia benar-benar seorang dokter? Rasanya baru kali ini aku melihat Dokter sedingin dan semengerikan itu. Bagaimana para pasien yang di tanganinya, mungkin bisa tambah parah penyakitnya. Hiiihhh serem," gumam Rumana.Dia pandangi punggung Dokter wanita yang menurutnya sedikit aneh itu. Dia hanya menggunakan scrub suits tanpa membawa peralatan apapun. Pikir Rumana, mungkin baru selesai menangani operasi, atau malah baru akan melakukannya. Tapi terserah lah. Dia percepat langkahnya lagi agar segera sampai di belakang rumah sakit tempat ketiga pria dewasa yang tadi siang dia tinggalkan saat bersitegang.Hari menjelang malam, dimensi alam lain akan segera terbuka. Lamat-lamat Rumana kembali mendengar suara kedua anaknya."Bu..... Sesak, Bu.... Sempit. Huhuhuuu..." Tangisan dan keluh kesah itu sukses mengalihkan perhatian Rumana. Naluri keibuannya bangkit, dan dia mulai mengikuti sumber suara itu.
Saat mendengar kenyataan Ibu dan Ummi meninggal."Dokter pasti salah! Ibu dan Ummi nggak mungkin meninggal, kan, Dok. Coba periksa sekali lagi!" Pinta Rumana pada Dokter Wilson.Dia tak mau percaya begitu saja pernyataan Dokter yang terkesan ngawur bagi Rumana. Bagaimana mungkin mereka meninggal. Sedangkan beberapa menit yang lalu baru saja mereka berbincang dengannya."Sulit di percaya, tetapi itu kenyataannya, Bu, Pak. Kedua Ibu anda sudah tiada. Apa mau di autopsi untuk mengetahui sebab kematiannya?" Dokter Wilson menawari."Tidak! Jangan lakukan itu, Dok," ujar Gunadi yang masih syok.Dia tak percaya dengan semua kenyataan pahit ini. Bagaimana mungkin Ibu dan Ummi meninggal tanpa ada jejak luka atau tanda-tanda pembunuhan. Siapa pelakunya?Tak mungkin Gunadi membiarkan Ibu dan mertuanya di autopsi. Itu sangat menyakitkan baginya."Bagaimana Ibu dan Ummi bisa meninggal secara bersamaan, apa penyebabnya, Dok? Bayi kami juga hilang, aku yakin, pasti seseorang telah membunuh mereka, d
Isak tangis Rumana, Gunadi dan Rasmadi mengiringi kepulangan jenazah Tuminah dan Ratmini di dalam mobil ambulans. Warga yang di gemparkan dengan bunyi nyaring dari sirine berbondong-bondong melihat ke jalan.Mereka memperhatikan kemana mobil dengan sirine itu akan berhenti. Karena memang tak ada yang mengetahui perihal meninggalnya Tuminah dan Ratmini. Baik Rumana, Gunadi apa lagi Rasmadi, tak ada yang mengabari warga sekitar.Salah seorang kerabat Tuminah langsung datang ke kediaman Rasmadi, di mana Ambulan itu berhenti.Rasmadi lebih dulu turun dari mobil, di ikuti Rumana dan Gunadi."Ras, apa Bagas sudah pulang? Kenapa pakai ambulans segala. Mana Tuminah dan Bu Besan?" Ujar Karta, pakde sepupu Tuminah.Bukannya menjawab, Rasmadi malah menangis. Karta bingung sekaligus curiga melihat Rasmadi yang menangis. Tak biasanya dia mengeluarkan air mata, mau se sakit apapun luka di dada."Ibu.... Ibu meninggal, Pakde," jawab Gunadi mewakili.Para warga sudah menunggu di samping mobil dan men
"Tarno sudah ketemu, tapi Parjo belum. Malah katanya sama wanita," bisik-bisik para tetangga yang melayat di rumah Rasmadi."Kok bisa barengan, ya. Bu Tuminah meninggal, terus mereka ketemu hari ini juga. Tapi siapa wanita yang bersama Tarno? Masa pacarnya, kayaknya nggak mungkin deh. Dia bujangan lapuk, mana berani pacaran," bisik yang lainnya."Iya betul, pasti bukan pacarnya. Terus siapa, dong.""Ada yang bilang itu mirip kakaknya Bu Rumana, tapi kan nggak mungkin. Wong Katanya kakaknya Bu Rumana itu ada di Bali, kok. Mungkin cuma mirip saja.""Iya juga, ya. Mungkin hanya mirip. Tapi kabarnya wanita itu belum sadar juga, padahal denyut nadinya masih ada.""Terus gimana kondisinya sekarang?""Dia di bawa ke puskesmas Karang sambung. Semoga masih bisa selamat, ya."Begitulah obrolan para pelayat yang di gemparkan dengan penemuan Tarno dan Kinanti.Beberapa warga yang bertugas menggali kubur sudah pulang ke rumah Rasmadi, guna mengabari bahwa liang lahat telah siap.Sudah jadi tradisi
"Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol
"Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke
Setelah melewati berbagai gangguan, Rumana dan dua pemuda tampan itu sudah kembali berada di dalam gua. Rumana mencoba menguatkan diri dan tekad untuk menyentuh ukiran di sisi dinding gua. Kali ini tak ada gangguan berarti yang menghalanginya.Akan tetapi, beberapa saat setelah ia menyentuhkan tangannya ke ukiran tersebut, guncangan kecil mulai ia rasakan. Disusul guncangan hebat yang membuat semuanya panik. "Guanya seperti akan runtuh, kita harus lari dari sini," ujar Raganta dengan wajah panik. "Tidak! Mungkin ini hanya efek dari sentuhan tangan saya. Ini bisa jadi benar-benar pintu masuk ke alam sarpa seperti yang dikatakan Kiai. Aku tidak akan keluar!" teriak Rumana masih kuat dengan pendiriannya. Dia terus berpegang pada dinding gua."Jangan konyol, Mbak. Kita semua bisa mati di sini kalo nggak cepat-cepat lari menyelamatkan diri!" sengit Raganta. Nada Raganta mulai emosi, dia menarik lengan Zaki dan Rumana. Setuju dengan pendapat Raganta, Zaki juga terlihat panik dan mulai m
Rumana mengikuti saran Kiai Hambali untuk menjemput kedua anaknya dan Nandini yang konon dibawa oleh pengikut Gayatri. Dia mulai melangkah menyusuri lorong gua yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang terletak di dalam hutan Larangan yang jarang dijamah manusia. Sensasi mencekam mulai ia rasakan tatkala kakinya semakin maju ke dalam gua. Gelap, lembab, dan sumpak mendominasi nuansa di dalam gua. Rasa takut mulai bergelayut di hati Rumana, tapi ia juga tak mau menghentikan langkah demi kedua buah hatinya. Ia mengamati setiap sudut gua dengan pencahayaan yang terbatas dari cahaya obor. Ada Zaki dan Raganta yang turut menemani atas permintaan kiai Hambali.Perhatian Rumana jatuh pada sebuah dinding gua yang terlihat mencolok. Ada ukiran yang menggambarkan seperti gapura dan beberapa ukiran unik lainnya terpahat di sana. "Apa mungkin ini pintunya, ya?" Gumam Rumana. "Raga, Zaki, coba lihat ini."Kedua pemuda itu sontak mendekat. Mengarahkan cahaya obor mereka ke dinding gua yang dimak
"Allohuma sholi, wa salim 'ala sayyidina, Muhammadin shohibil busyro, solatan tu basyiru Nabiha. Waakhlana waauladana, wa jami'a masyayikhina, wamualimina wathalabatana wa thalibatina. Min yaumina hadzha illaa, yaumil akhiroh." Entah sudah berapa kali Rumana melantunkan selawat Busro yang diyakini bisa membawa kabar bahagia bagi yang mengamalkannya itu. Kedua matanya terpejam, ia duduk di atas sajadah selepas salat Isya di kamar. Berharap segera mendapatkan kabar bahagia seperti yang terkandung dalam selawat tersebut. Kabar baik tentang kedua anaknya yang kembali dalam keadaan sehat selamat. Kabar baik tentang kondisi Kinanti, dan kabar baik tentang kemungkinan Gunadi masih hidup, meski dia telah menyaksikan sendiri prosesi pemakamannya kala itu. Kabar baik yang ia harap membawa kebahagiaan.Dia benar-benar berharap jika semua yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, dan ia ingin sekali ada yang membangunkannya dari tidur panjang ini. Tok ... Tok ..
"Aaakkk!" Jeritan Kinanti menyadarkan Sudikerta, bahwa yang dia tusuk bukan Gayatri, tapi putrinya sendiri. "Mbak Kinan!" jerit Rumana. Tubuh Kinanti perlahan roboh ke pelukannya. Dia menopang tubuh sang kakak yang sudah bersimbah darah di bagian perutnya. Sudikerta yang semula menggenggam erat pusakanya itu, reflek menjatuhkan keris ke lantai hingga menimbulkan suara dentingan cukup keras. Sudikerta bergetar hebat melihat darah segar yang muncrat dari perut sang putri dan menempel di tangannya. Dia segera meraih tub uh Kinanti dan membawanya dalam pekukan. "K-kenapa ... K-Kinanti ... Kinanti!" raung Sudikerta seakan sangat menyesali perbuatannya, tetapi semua hanya sia-sia.Diletakkannya tub uh bersimbah dar4h itu di atas dipan, dengan berusaha menutupi luka guna menyumbat dar4h yang terus mengucur dari perut bagian atas.Sementara itu, Gayatri tertawa puas melihat penderitaan Sudikerta. Dia beralih pada Rumana yang terus tergugu seakan menyalahkan sang ayah."Kau lihat kan, Rum
Kecurigaan Rumana pada sang ayah semakin menjadi, dia merasa Sudikerta memang telah menyembunyikan sesuatu darinya, atau mungkin dari seluruh keluarganya."Apa yang Abah sembunyikan di kamar itu?" tanya Rumana. Sudikerta menatap sekilas Rumana, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mendiang mertuanya. Di depan pintu di dalam kamar itu, Sudikerta duduk bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra atau doa. Rumana dan Kinanti hanya menyaksikan dengan seksama apa yang tengah dilakukan Sudikerta. Meski ia ingin sekali bertanya, tapi dia menahan diri setelah melihat betapa Sudikerta berkonsentrasi dan tak mungkin untuk di ganggu. Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa membahana dari seorang wanita. Tetapi tak Rumana lihat wujudnya. Suaranya seperti mengudara di dalam ruangan itu. Bau bunga melati juga menelusup ke dalam indra penciuman mereka. Rumana memasang badan waspada, sedangkan Kinanti justru bersembunyi di balik tub uh Rumana. "Siapa di sana!" seru
"Kamu sudah melakukan semua sesuai rencana kan, Galuh!" Seorang wanita berkebaya warna biru laut, dengan rambut disanggul berhiaskan bunga melati di rambutnya, tengah menatap nyi Galuh. Riasan di wajah menambah pancaran cantiknya wanita itu. "Sudah, Ibu Ratu." Galuh membungkuk di depan wanita itu."Bagus! Sudah waktunya Sudikerta menerima akibat dari perbuatannya. Sekaranglah waktumu membayar semuanya, dan kamu harus tau dan mengingat itu, Sudikerta!" Wanita yang dipanggil ibu ratu oleh galuh itu bermonolog lalu menyeringai. Ada gurat kepuasan dari kedua netranya.Sudah puluhan tahun lamanya dia menantikan hari itu datang. Hari dimana dia bisa membalaskan dendam kesumat pada lelaki yang telah meluluhlantakkan kehidupannya dulu. Dimana dia kehilangan satu persatu orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya, dan yang dengan tulus menolongnya, tanpa tahu sebab dari semua petaka yang menimpanya. Hal itu tentu membuatnya amat terpukul, frustasi dan depresi. Hampir saja dia dipasu
Rumana masih bungkam, enggan memberikan keterangan. Kendatai Kinanti terus memaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pulang dalam kondisi mengenaskan seperti ini, tapi Rumana tetap tutup mulut. "Apa seseorang mengancamu?" tanya Kinanti terus memancing Rumana supaya mau bicara.Jawaban Rumana hanya berupa gelengan. Tapi, kenapa dia bungkam?Rumana masih syok dengan semua kenyataan pahit yang dia terima dari mulut Galuh. Entah kenyataan itu benar atau hanya untuk mengecohnya agar membenci sang ayah. Semua tragedi naas dalam hidupnya setelah pulang kampung ke Kebumen, dia pikir mungkin ada kaitannya denhan ayah mertua--Rasmadi. Tapi, nyatanya justru Sudikerta lah yang banyak andil di dalamnya tanpa dia duga sebelumnya.Dia kenal Abah orang yang rajin beribadah, taat menjalankan perintah Allah, tapi kenapa justru masa lalunya seburuk itu hingga berimbas pada keluarganya. Rumana masih tak terima dan mungkin akan menganggap ucapan buruk Galuh tentang Sudikerta hany