**Inara masih terisak dan gemetaran ketika Gavin berusaha menghubungi Yanti dan Maulina. Hingga berkali-kali menelepon, dua orang itu tidak merespon. Baru pada percobaan ketujuh atau kedelapan, Ibu Yanti mengangkat teleponnya.“Halo?”“Ibu Yanti? Ibu, mana Aylin? Aylin ada di sana, kan? Aylin nggak kenapa-kenapa, kan?” Gavin bertanya mendesak, bahkan lupa mengucap salam pembukaan atau semacam itu.“Aylin?” Ibu Yanti menjawab dengan gugup. “T-Tuan Gavin, Aylin–”“Putriku baik-baik saja, kan? Tolong katakan putriku baik-baik saja!”“Aylin sudah tidur dari tadi, Tuan. Dia tidur bersama Maulina. Bukankah tadi Tuan sendiri yang mengantarkan Aylin masuk ke mobil saat ikut kami pulang?” Suara Ibu Yanti terdengar heran sekali.“Lihat sekali lagi dan pastikan putriku baik-baik saja. Sekarang!”Hening kemudian, namun Gavin bisa mendengar suara pelan tapak-tapak kaki di seberang sana. Ia menunggu dengan tidak sabar, sampai Bu Yanti kembali bersuara.“Sudah saya lihat, Tuan. Aylin tidur lelap di
**(Mengandung konten 21+)Inara tidak tahu ungkapan cinta dari orang yang benar-benar tulus itu seperti apa. Seumur hidup, ia terlalu menutup diri sehingga tak pernah terlibat urusan asmara dengan lelaki manapun. Namun ungkapan cinta yang ia dengar dari bibir Gavin barusan terasa seperti pelukan Ibu Yanti saat dirinya sedih. Hangat dan nyaman.Perempuan itu mendongak, menatap sepasang manik kelabu jernih milik pria yang saat ini tengah mendekapnya.“Apakah kamu juga mencintaiku, Inara?”Inara tercekat, sejujurnya tidak tahu jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Apakah ia mencintai Gavin? seperti apa rasanya mencintai orang dalam konteks hubungan seperti ini?“S-saya nggak tahu ….”“Kamu nggak tahu bagaimana perasaanmu sendiri?”Inara kembali menatap manik yang berkilauan itu. Dari awal ia tidak bersama Gavin karena keinginannya sendiri. Bisa dibilang sebab paksaan. Namun lambat laun saat menyadari bahwa pria ini tidaklah seburuk yang terlihat, hari Inara mulai mencair.“Tapi saya se
**“Terimakasih banyak, Pak Aldo.” Inara membungkukkan kepala sedikit, mewakili Gavin yang sedang tidak bisa bicara sebab terlalu dikuasai emosi selepas menerima informasi dari sang sahabat, pemilik hotel.“Kalian bisa bikin laporan ke kantor polisi dengan tuntutan tindakan tidak menyenangkan. Barang buktinya sudah sangat jelas.”“Nggak perlu lakukan apapun, Pak. Saya sudah cukup lega dengan tahu keadaan Aylin baik-baik saja.”Gavin yang seakan baru tersadar, buru-buru menoleh kepada wanitanya setelah mendengar kata-kata itu. “Mana bisa begitu, Inara? Aku nggak terima!”“Nggak apa-apa, nanti kita omongin ini lagi, ya. Bisa kita jemput Aylin sekarang, nggak?”gavin berdecih mendapati respon Inara yang terlalu biasa-biasa saja terhadap laporan Aldo terkait pelaku teror boneka berdarah itu. Jessica Freya. Ingin rasanya Gavin terbang mendatangi Jessica saat ini juga untuk menghancurkan perempuan itu seperti ia menghancurkan boneka putrinya, namun tutur lembut sang istri seperti memadamkan
**“Inara, tetap di dalam mobil bersama Rendra. Jangan turun.” Gavin memperingatkan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan dari sang ibu. “Aku masuk dulu. Kalau keadaan aman, baru kamu boleh menyusul ke dalam. Ah, bukan. Aku yang akan menjemputmu ke sini.”“Tolong ….” Inara menahan tangan Gavin yang sudah akan melangkah keluar dari mobil. “Jangan bertengkar sama Nyonya Sanjaya.”“Aku nggak bisa menjanjikan hal itu, tapi akan aku usahakan.” Gavin mendekat dan mengecup sebelah pipi Inara sekilas sebelum benar-benar melangkah keluar dari mobil. Dalam langkah-langkah tegas ia menghampiri sang ibu yang masih duduk bersilang kaki di sofa lobby front office. “Mami?” Gavin menyapa. “Apa yang membuat Mami berada di sini sepagi ini?”Wanita berparas ayu itu mengalihkan atensi dari layar ponselnya. Kerutan halus menghiasi keningnya saat ia memandang sang putra.“Sedang apa Mami di sini?” ulangnya retorik. “Ini kantor milik Mami, Gavin. Jadi terserah Mami mau ada di sini jam berapa.”Gavin terdi
**(Mengandung konten 21+)Di tengah konflik yang semakin memanas antara Gavin dengan ibunya dan Jessica, pria itu malah nekat membawa Inara berangkat ke Jepang untuk bulan madu singkat. Tentu saja Inara tidak bisa menolak, sebab sejak kapan Gavin bisa ditolak? Lagi pula Inara juga ingin tahu Jepang itu seperti apa.Maka malam ini, sepasang suami istri itu telah berada di dalam burung besi yang melayang di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki dari permukaan bumi, untuk bertolak ke negeri matahari terbit.“Kamu baik-baik saja, Sayang? Nggak pusing, kan ?” Gavin bertanya dengan cemas kepada Inara. “Kita harus terbang selama kurang lebih delapan jam, soalnya.”“Selama itu?” Inara terbelalak.“Jepang kan bukan hanya kota sebelah, Inara. Makanya, ayo tidur saja. Nanti kita bangun kalau sudah hampir landing. Mau makan sesuatu dulu, nggak?”Inara menggeleng. Ia memandang berkeliling private jet yang sedang dirinya dan Gavin kendarai saat ini. Jujur saja, ini adalah pertama kali dalam hi
**Sisa hari dalam masa-masa bulan madu itu Gavin lewatkan dengan sebaik-baiknya. Tidak membiarkan pekerjaan mengganggu intimate time bersama istri tercinta. Ia bahkan tidak peduli dengan banyaknya e-mail yang masuk. Lima hari ini akan menjadi kenangan yang ia ingat seumur hidup. Gavin melepas masa lajang agak sedikit terlambat, jadi saat ini ia puas-puaskan melakukan apa yang orang lain lakukan pada usia dua puluhan terkait kehidupan asmara.“Apa aku boleh belikan Aylin boneka yang baru?” Inara bertanya sesaat sebelum mereka bertolak ke bandara untuk kembali pulang ke tanah air. “Bisa saja beli di rumah, tapi mungkin rasanya akan beda kalau kita belikan dia satu yang dari sini. Satu saja, nggak apa-apa.”“Apa kamu bercanda, Inara?” Gavin mendekati perempuan yang sedang memakai jaketnya itu. Melingkarkan lengan di sekeliling pinggang ramping istrinya dan menyatukan kening keduanya. “Kamu bilang cuma mau beli satu boneka saja buat putriku?”“Ya, terus berapa banyak? Aylin satu saja sud
**Inara masih menatap lekat kepada wanita asing bermata biru cemerlang itu. Bergantian dengan sosok tinggi tegap dan berwibawa di sampingnya. Ia mencoba mengingat-ingat apakah benar dirinya tidak pernah berjumpa dengan kedua orang tua Aldo ini. Pasalnya, Inara benar-benar merasa familiar. Entah di mana ia pernah berjumpa. Atau barangkali kedua orang ini pernah menjadi donatur di panti asuhan tempatnya tinggal dulu?Merasa bahwa itu masuk akal, Inara kemudian memutuskan setuju dengan benaknya. Sepanjang membicarakan tentang bisnis, Inara hanya diam dan menyimak. Ia tidak paham tentang ini, jadi lebih senang menjadi pendengar saja.Barulah setelah pembicaraan bisnis berakhir, wanita bernama Eliza itu beralih kepada yang paling muda.“Bagaimana kamu bisa meluluhkan hati orang kaku ini, Inara?” tanya Eliza dengan hangat. “Kamu pasti punya kesabaran seluas samudera, aku tebak. Gavin adalah orang yang sangat sulit diatasi.”Inara hanya tersenyum mendengar itu, meski dalam hati ia sependap
**“Selamat pagi.”Inara menelan saliva. Perasaannya mendadak tidak nyaman saat melihat tamunya yang datang pagi ini. Ia mengernyit, masih terlalu pagi untuk bertamu, kalau menurut Inara.“Selamat pagi, Jessica.”Perempuan di depan pintu itu mengerutkan dahi. Tampak tidak suka dengan bagaimana cara Inara memanggilnya. Istri Gavin ini memanggilnya hanya dengan nama saja tanpa embel-embel nona sekarang? Dan ia berani tersenyum dengan dagu terangkat begitu? Mendadak saja Jessica merasa sangat kesal.“Ada apa, kamu datang sepagi ini?” Inara melanjutkan, tak peduli pada wajah kesal satu yang lain. Ia justru berkata dengan riang, “Mau sarapan bersama, Jess? Masuklah.”“Aku hanya butuh ketemu dengan Gavin segera setelah beberapa hari dia nggak masuk kantor,” tandas Jessica dengan angkuh. Ia memeluk MacBook, lagaknya seperti orang penting yang banyak pekerjaan. Tanpa menunggu Inara persilahkan lagi, ia menerobos masuk ke dalam rumah.“Di mana Gavin?”Inara yang mengikuti dari belakang hanya
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be