“Kalau kondisimu sudah terasa lebih baik, cepatlah bersiap,” titah Adian saat keluar dari kamar mandi. “Memangnya mau pergi ke mana, Pak?” tanya Erlin. “Ke rumah orang tuamu. Sejak menikah kita belum pernah mengunjungi mereka. Apa kamu tidak rindu?” “Tentu saja rindu,” jawab Erlin bersemangat. “Ya sudah ayo pergi ke sana.” “Baiklah. Saya akan siap dalam waktu singkat,” kata Erlin sembari bersorak riang. Gadis itu pun segera bersiap diri. Entah angin apa yang tiba-tiba membuat Adian mengajaknya berkunjung ke rumah orang tuanya. Erlin tidak tahu kalau Adian melakukan itu hanya untuk menghilangkan kecurigaan orang tua Erlin khususnya Gayatri. Setelah Erlin siap, mereka pun berangkat. Tidak ada pembicaraan khusus selama dalam perjalanan. Mereka hanya saling diam dan berkutat dengan isi pikirannya sendiri. Kedatangan Adian dan Erlin disambut gembira oleh Darman dan Gayatri. Gayatri langsung memeluk erat putri kesayangannya. Apalagi dia sempat sangat khawatir saat harus melepas Erlin
“Kamu bicara apa sih? Saya menyayangimu, Erlin” kata Adian sembari merengkuh tubuh Erlin dan membawa ke dalam pelukannya.Erlin begitu terkejut mendapatkan perlakuan seperti itu secara tiba-tiba. Dia tertegun dalam pelukan Adian. Perasaannya tak jelas seperti apa sekarang.Dia mendengar dengan baik kata-kata yang diucapkan Adian. Tidak tahu apakah dia harus percaya atau tidak. Ucapan Adian terdengar tulus. Tapi Erlin masih merasa heran saja dengan sikap Adian.Tidak hanya memeluk, Adian juga mengusap lembut punggung Erlin. Siapa yang tak merasa nyaman mendapatkan perlakuan demikian. Untuk sejenak Erlin tak mau memikirkan perihal kebenaran dan pertanyaan hati yang membingungkan. Dia memilih untuk menikmati kenyamanan itu.Hatinya berkata seandainya fakta itu berlangsung lama, mungkin Erlin tidak akan begitu menyesali pernikahannya. Meskipun terlihat sangat kaku dan dingin, tapi ternyata Adian adalah seorang laki-laki yang bisa bersikap baik dalam menghadapi wanita. Menikah tak selalu b
Adian tercekat mendapat pertanyaan seperti itu dari ayah mertuanya. Padahal semua sikap yang ditunjukkan Adian hanyalah sandiwara. Sekarang Adian berada dalam kebingungan.Dia senang jika orang tua Erlin percaya dengan sandiwaranya karena memang itu yang dia inginkan. Tapi saat berbicara dari hati ke hati seperti itu, tak dapat dipungkiri ada rasa bersalah yang Adian rasakan. Dia sudah berbohong.“Maksud pertanyaan papa bagaimana ya?” tanya Adian salah tingkah.“Lupakan saja. Maaf tidak seharusnya papa bertanya sesuatu yang terlalu pribadi seperti itu. Papa hanya terbawa perasaan seorang ayah yang ingin putrinya bahagia,” kata Darman.Adian merasa terselamatkan karena Darman tak benar-benar menuntut jawaban. Adian sungguh tak memilikinya selain kebohongan.Meski begitu, perkataan lanjutan yang diucapkan Darman kembali membuat Adian merasa memikul beban.“Intinya hanya satu, saya titip Erlin pada Nak Adian. Tolong jaga dan perlakukan dia dengan baik. Apalagi dalam kondisinya yang harus
“Salah saya apa, Pak?” tanya Erlin tak mengerti karena dia juga diusir dari kelas oleh Adian“Sejak awal kalian berdua memang sudah tidak fokus. Saya tidak mau mempertahankan orang-orang yang bisa mengganggu jalannya perkuliahan. Kasihan mahasiswa lain yang ingin serius belajar,” tegas Adian.Erlin tak bisa membantah kalau sudah seperti itu. Dia pun beranjak dari tempat duduknya walau dengan perasaan sangat jengkel. Sementara Windy justru tersenyum senang karena memiliki teman senasib yang diusir saat perkuliahan.Dua gadis itu kemudian meninggalkan kelas. Windy tertawa lepas. Sementara Erlin masih merasa kesal.“Sialan kamu, Win. Gara-gara kamu nih aku ikut dikeluarkan dari kelas,” keluh Erlin.“Kok jadi aku yang salah? Suami kamu tuh yang sialan,” bantah Windy tak terima.“Istrinya aja diusir apalagi yang cuma mahasiswi biasa seperti aku. Nanti sampai di rumah kasih aja dia pelajaran. Jangan dikasih jatah gitu,” imbuh Windy dengan mengerlingkan mata tanda menggoda.“Jatah apaan sih?
“Ssttt...jangan keras-keras ngomongnya,” kata Erlin memberi peringatan keras pada Windy. Temanya itu terkadang memang sulit dikondisikan. Erlin sibuk menoleh kanan kiri takut ada orang lain yang mendengar mereka.“Iya, Maaf. Enggak sengaja,” balas Windy dengan santainya. Tidak seperti Erlin yang selalu merasa takut kebenaran hubungannya diketahui banyak orang.“Jadi sebenarnya gimana?” tanya Windy masih menuntut penjelasan.Mau tidak mau Erlin pun menceritakan bahwa dia dan Adian memang menikah karena sebuah insiden. Namun bukan insiden seperti yang terlintas dalam pikiran Windy. Erlin menjelaskan bahwa dia memang hamil sebelum menikah tapi bukan karena hubungan terlarang melainkan karena inseminasi salah sasaran.Penjelasan Erlin tentang inseminasi itu semakin berbuntut panjang. Dia juga harus menceritakan tentang Adian yang memilih jalan inseminasi untuk mendapatkan keturunan karena tidak ingin menikah. Jelas saja Windy merasa sangat aneh dan tidak menyangka hal itu. Sama seperti re
“Saya tahu Pak Adian memberikan cincin pernikahan itu tanpa perasaan apa pun saat kita menikah. Tapi tetap saja cincin itu berharga buat saya. Laki-laki yang enggak peka seperti Pak Adian mana bisa ngerti,” keluh Erlin.Erlin merasa Adian menganggap kehilangan cincin pernikahan adalah sesuatu yang sepele. Padahal menurut Erlin tidak seperti itu. Dia sadar pernikahannya dengan Adian hanya sebatas perjanjian. Tapi tetap saja benda yang menjadi simbol ikatan sakral itu memiliki arti bagi Erlin. Dia mendapatkan cincin itu dari laki-laki yang sudah mengesahkan statusnya sebagai seorang istri.Erlin tak lagi banyak bicara. Dia menunjukkan sikap kesal pada Adian yang tak memahami perasaannya. Bukannya marah, Adian justru berlutut hingga posisinya sejajar dengan Erlin yang sedang duduk di tepi ranjang. Jelas saja hal itu membuat Erlin terkejut.Perlahan Adian meraih tangan kanan Erlin. Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Benda itu ternyata adalah cincin nikah yang sedari tadi sib
“Tetanggaku yang hamil,” jawab Erlin sekenanya hasil memutar otak dengan cepat“Tetangga?” respon Servita sembari mengerutkan kening. Jelas sekali Servita merasa aneh namun Erlin berusaha membuatnya percaya.“Iya. Ada tetanggaku yang sedang hamil. Suaminya sedang keluar kota dan dia hanya tinggal sendiri. Kehamilannya yang sudah membesar membuatnya kesulitan untuk bepergian jadi dia meminta bantuanku,” ujar Erlin berdusta namun dia berharap Servita tidak curiga. Bisa terjadi masalah besar jika gadis biang gosip itu sampai tahu kebenarannya.“Baiklah kalau begitu. Aku sudah mendapatkan barang titipan kakak iparku. Aku duluan ya,” pamit Servita. Erlin hanya membalasnya dengan anggukan dan senyuman yang dipaksa. Sejak tadi memang itu yang dia inginkan.Erlin sudah bisa bernapas lega setelah kepergian Servita. Adian pun keluar dari tempat persembunyiannya. Namun yang terjadi berikutnya adalah sebuah drama yang membuat Adian kebingungan.Adian menghampiri Erlin saat melihat Servita sudah t
Erlin salah tingkah dengan perbuatan Adian yang mengusap perutnya. Bukannya menjawab pertanyaan Erlin, Adian justru berbicara sendiri. Dia seolah mengajak bicara calon bayi dalam kandungan Erlin.“Sayang, anak papa tenang-tenang ya di dalam sana. Kasihan mama,” ujar Adian sembari mengelus perut Erlin. Bersamaan dengan itu, setetes air mata Erlin jatuh begitu saja.Erlin merasa terharu. Dia tidak pernah menyangka ternyata Adian juga bisa bertingkah seperti itu. Perasaannya terenyuh diperlakukan demikian. Sikap Adian yang menunjukkan sisi seorang ayah menyadarkan Erlin bahwa dirinya sebentar lagi juga akan menjadi ibu.“Lho, kenapa menangis?” tanya Adian saat menyadari ekspresi Erlin.“Tidak apa-apa, Pak” elak Erlin.“Beneran?” ujar Adian memastikan. Erlin hanya menawabnya dengan anggukan pelan.Setelah sempat mengalami momen yang cukup mengaduk-aduk perasaan, Adian pun kembali melanjutkan tugasnya menyuapi Erlin. Dia memaksa Erlin agar mau menghabiskan setengah dari makanan yang dibawa