"Apa?!" kaget Adelia, "melamarku?" Adelia memperhatikan wajah Arsenio.
"Hhhmmm ... aku ingin melamarmu.""Tapi, Arsen! Aku ... aku belum siap," ucap Adelia lalu menundukkan kepalanya."Kapan siapnya? Aku sudah tidak sabar ingin mempersuntingmu, Adelia.""Kamu yakin dengan keputusanmu? Aku tidak mau kamu melamarku hanya karena keinginan almarhum suamiku dan aku pun begitu.""Aku, 'kan pernah mengatakannya sama kamu. Tanpa almarhum suamimu minta. Aku akan tetap menikahimu karena aku mencintaimu sebelum almarhum suamimu meninggal."Adelia terdiam setelah mendengar ucapan dari Arsenio. Dia menatap wajah sang CEO. Entah kenapa hatinya tiba-tiba berdetak tidak karuan. Baru kali ini hatinya merasakan seperti itu.Namun, tidak dengan Arsenio. Jantung Arsenio selalu berdegup kencang ketika dirinya sedang bersama wanita pujaan hati. Semenjak bertemu kembali dengan Adelia hatinya selalu berdetak tidak karuan.AdeliaGiovanni sedang berenang air hangat bersama sang ayah di kolam renang. Dia begitu senang berada di kolam renang. Begitu pun dengan sang ayah. Arsenio ingin menghabiskan kebersamaannya bersama Giovanni sebelum kembali ke rutinitas pekerjaannya. Adelia yang sedang memperhatikan bersama sang bunda. Kedua matanya sesekali mencuri pandang kepada tubuh Arsenio yang sixpack. "Ma! Ayo turun! Kita berenang bareng sama Om Arsen," teriak Giovanni kepada Adelia yang sedang duduk bersama Bu Wulan di kursi. Arsenio tersenyum mendengar ajakan Giovanni kepada Adelia. Dia kemudian memperhatikan Adelia yang menggelengkan kepalanya. "Ayo, Gio panggil lagi. Biar mamamu mau renang bersama kita." Arsenio melirik ke arah Adelia sambil berbisik kepada Giovanni. "Oke, Om," bisik Giovanni lalu menoleh ke arah Adelia yang sedang duduk memperhatikan Giovanni, "Mama! Ayo ke sini turun. Mama kok diam saja bukannya renang," ajak Giovanni. Arsenio tertaw
Arsenio Kemudian menatap tajam kedua mata Vlora dengan sinis. "Aku mencintaimu, Arsen." Vlora menatap Arsenio penuh harap. "Tapi aku tidak mencintaimu, Vlora! Kamu sudah tahu, 'kan ceritanya dari mama? Jadi jangan buang-buang waktu untuk kamu mencintaiku dan tetap tinggal di sini!" desis Arsenio lalu meninggalkan Vlora begitu saja. "Arsenio!" Vlora menarik lengan Arsenio. "Beri aku kesempatan, Arsen. Aku benar-benar sangat mencintaimu. Kalau aku tidak mencintaimu, buat apa aku berada di rumahmu terus." Arsenio menyunggingkan senyumnya. "Oke, itu terserah kamu. Kamu mau berada di sini atau tidak, tetapi kamu jangan harap mendapat perlakuan baik dariku. Karena kamu sudah tahu alasannya dan kamu sungguh tidak tahu malu walaupun aku sudah mengusirmu. Kamu masih bertahan tinggal di sini," desis Arsenio, "Minggir aku mau istirahat! Karena aku sudah bersenang-senang dengan Adelia di Villa milikku." Arsenio melepaskan tangan Vlo
Adelia langsung membelalakkan matanya ketika melihat Bu Martha tiba-tiba masuk ke ruangannya. Begitu pula dengan Bu Wulan."Saya boleh duduk, 'kan?" Bu Martha langsung duduk di sofa. "Silakan, Tante." Adelia menatap Bu Martha dengan penuh pertanyaan. "Oh, iya, Tante. Perkenalkan ini ibu saya." Adelia menoleh kepada sang bunda. Bu Wulan langsung menundukkan kepalanya sambil tersenyum kepada Bu Martha. Bu Martha pun membalas menundukkan kepalanya kepada Bu Wulan dengan wajah angkuhnya. "Adel. Ibu keluar dulu, ya." Bu Wulan menghampiri Adelia lalu menoleh kepada Bu Martha. "Silakan berbicara dengan anak saya," ucap Bu Wulan lalu meninggalkan mereka berdua. "Ada apa, Tante?" tanya Adelia setelah sang bunda sudah tidak terlihat lalu duduk di sofa besebrangangan dengan Bu Martha. "Kamu mencintai anak Tante?" tanya Bu Martha tanpa basa-basi, "kamu jangan coba-coba menggoda anak Tante!" lanjut Bu Martha. "Memangnya kenapa
Arsenio sedang berdiam diri balkon. Dia menatap langit malam. "Kenapa tiba-tiba aku teringat Adelia?" monolog Arsenio lalu melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam waktu Singapura. "Di Jakarta masih pukul sembilan. Aku harap Adelia belum tidur." Arsenio mengambil benda pipih yang tersimpan di atas meja kemudian menghubungi Adelia. Sementara Adelia. Dia baru saja akan memejamkan matanya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Dia kemudian mengambil dan melihat siapa yang menghubunginya. "Arsen!" ucap Adelia dan tanpa sadar dia tersenyum lalu mengangkatnya, "Hallo, Arsen. Ada apa?" tanya Adelia. "Hallo, Adelia. Aku tidak mengganggumu, 'kan? Maaf malam-malam begini aku menghubungimu," kata Arsenio. "Iya. Tidak apa-apa kok, Arsen. Kebetulan aku belum tidur."
Adelia langsung memperhatikan Arsenio yang sudah berada di hadapannya. "Ada apa?" bingung Arsenio. "Papa bawa apa?" Giovanni tiba-tiba bertanya kepada Arsenio. "Ini, Papa bawa oleh-oleh buat kalian." Arsenio menyerahkan papper bag kepada Gio. "Makasih, Pa." Giovanni langsung membukanya. "Iya, Sayang," jawab Arsenio lalu menoleh kepada Adelia yang masih terpaku memperhatikannya. "Kita akan menikah. Jadi tidak apa-apa Gio memanggilku seperti itu." "Tapi kita belum menikah." Adelia memelankan suaranya. "Tapi aku ayahnya," bisik Arsenio kepada kuping Adelia. Adelia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa kalau Arsenio sudah begitu. *** Bu Martha dan Vlora sedang duduk di kursi taman belakang. "besok kita harus pulang, Vlora,
"Apa kamu bilang? Maksudmu apa, Adelia? Kenapa kamu berkata seperti itu?" Arsenio menatap tajam Adelia dengan wajah kesal. "Mamamu tidak setuju, 'kan? Kalau aku menikah denganmu. Kalau aku menikah denganmu tidak mungkin aku tidak bertemu mamamu. Bagaimana nanti sikap mamamu sama aku jika kamu sudah menjadi suamiku? Aku sudah membayangkan bagaimana nanti perlakuan mamamu terhadapku." "Sudahlah, Adelia. Aku tahu mamaku tidak setuju dengan hubungan kita. Kamu tidak usah memikirkan sejauh itu. Aku yakin mamaku tidak akan begitu. Lambat laun mamaku pasti akan mengerti," ujar Arsenio. "Bagaimana aku tidak memikirkan mamamu, Arsen. Di saat aku menyetujui pernikahan kita justru mamamu malah begitu dan aku merasa takut," timpal Adelia. "Aku sudah bilang. Kamu jangan pedulikan sikap mamaku kepadamu. Jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang mama. Kamu tenang saja, oke!" Arsenio menatap mata Adelia penuh harap. "Bagai
Rangga membelalakkan matanya ketika mendengar ucapan Arsenio. "Iya, Rangga. Arsen calon suamiku." "Memangnya suamimu kenapa?" bingung Rangga. "Eemm, suami ...," jawab Adelia dan tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Sudah meninggal satu setengah tahun lalu karena kecelakaan," timpal Arsenio. Rangga langsung menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Aku turut berduka cita, Adelia." Rangga memperhatikan wajah cantik Adelia. "Iya terima kasih," ucap Adelia, "Oh, iya. Mana istrimu? Kamu sama istrimu, 'kan?" "Aku sudah bercerai dengan istriku," jawab Rangga lalu berbicara dalam hati. "Seandainya saja aku tahu suamimu meninggal. Aku akan mendekatimu lagi. Ternyata ada yang sudah mendahuluiku, padahal aku sudah bercerai dengan istriku. Aku menyesal telah meninggalkanmu." "Maaf, Rangga aku tidak tahu." "Sudah tidak apa-apa," timpal Rangga lalu memperhatika
Arsenio sudah kedatangan kedua orangtuanya. Mereka sedang duduk disofa ruang televisi. Waktu menunjukkan pukul empat sore. "Kamu yakin akan menikahi Adelia?" tanya Pak Arka. "Yakin dong, Pa. Kalau tidak yakin mana mungkin waktu itu Arsen ke singapura." "Ingat kalau kamu sudah menikahinya. Jangan macam-macam! Sayangi istrimu!" perintah Pak Arka. "Pasti dong, Pa. Arsen akan menyayangi dan mencintai Adelia sepenuh hati." "Kesenangan dia tuh. Mentang-mentang Papa setuju." Bu Martha tiba-tiba muncul sambil membawa dua cangkir kopi lalu menyimpannya di atas meja kemudian duduk di samping sang suami. Arsenio tertawa lalu mengambil secangkir kopi lalu menyesapnya. "Kapan kamu siap?" tanya sang ayah. Arsenio langsung menyemburkan kopi di dalam mulutnya lalu menyimpan kopi di atas meja dan mengambil tissue untuk mengusap mulutnya. "Papa benaran mengizinkanku menikah de