[“Lintang, dimana kamu? Jam berapa kita berangkat?”] tanya Mahanta di seberang sana.Lintang melirik jam tangannya, “Setelah makan malam bersama di mansion ya, bos. Papa Sherena juga akan diantar kesana nanti. Mereka akan pergi bersama-sama sebagai satu keluarga.”[“Kapan kalian kesini?”]“Sebentar lagi, bos. Tapi sebelum itu beri aku ucapan selamat, bos. Aku akan menjadi ayah.”[“Apa kau gila, Lintang?! Bagaimana bisa kau menghamili Hannah?!”][“Apa?! Kak Hannah hamil?!”]Lintang menepuk keningnya sembari menjauhkan layar ponselnya dari telinganya. Suara Mahanta dan Ziana terdengar sangat keras hingga nyaris memecahkan gendang telinganya. Perlahan ia mendekatkan kembali layar ponsel itu dan mulai bicara.“Halo, bos? Dengerin dulu, bos. Halo? Halo?” Lintang memeriksa ponselnya dan menyadari sambungan teleponnya sudah terputus.Terdengar dering telepon di belakangnya membuat Lintang menoleh. Tomo meraih ponselnya lalu bicara dengan seseorang yang sepertinya terus menerus bersuara keras
Mahanta dan Ziana sama-sama menoleh ke arah pintu keluar dan mendapati Arjuna menutup matanya dengan kelima jari yang direnggangkan. Pria itu tiba-tiba membuka pintu ruang bayi dan memergoki keduanya sedang berciuman mesra. Bukannya menutup pintunya kembali, Arjuna justru membuka pintu semakin lebar hingga semua orang yang mendengar teriakannya, bergegas mendekati kamar bayi.“Ada apa? Ziana? Kamu tidak apa-apa?” tanya Tomo cemas. Lintang dan Juwita juga muncul di balik pintu dan melihat ke dalam kamar.“Nggak ada apa-apa, ayah. Arjuna rese tuh,” sahut Ziana dengan wajah merona. Ia mendorong pelan tubuh Mahanta agar menjauh darinya.Mahanta segera menegakkan tubuhnya lalu merapikan penampilannya. “Aku pergi dulu ya, sayang.”“Iya, hati-hati di jalan.”Ziana mengekori langkah Mahanta dengan sudut matanya, sebelum kembali bertatapan dengan Arjuna. Wanita itu melotot memperingatkan Arjuna agar tidak berkata macam-macam. Tapi pria itu tidak peduli dan tersenyum jahil.“Maha, bibirmu kenap
“Tante Emma? Ada apa kesini?” tanya Mahanta dingin.Ziana yang merasa tidak enak pada Emma, bangkit lalu menghampiri Mahanta. “Sayang, jangan begitu. Kita dengarkan dulu tante Emma ya.”Ziana menarik tangan Mahanta agar duduk bersamanya di sofa. Juwita gantian bangkit lalu menghampiri Tomo dan mengambil paper bag di tangannya. “Aku akan menyiapkan kue ini. Mas temenin Maha dan Ziana dulu ya.”Tomo hanya mengangguk lalu duduk di sofa tunggal. Mereka kembali menoleh saat Lintang mendekati mereka. “Ah, maaf. Saya permisi pulang dulu ya.”“Tunggu, Lintang. Untuk malam ini, menginap saja disini. Ada yang harus kita selesaikan,” pinta Mahanta sambil melirik ke arah Emma.“Baik, bos.”Lintang pun ikut duduk di kursi yang kosong, menunggu apa yang akan Emma sampaikan kepada mereka. Juwita segera datang bersama maid yang membawa beberapa cangkir teh dan kopi. Kue yang Tomo beli, juga sudah dibagikan ke piring-piring kecil khusus untuk kue.“Silakan dinikmati, mbak,” ucap Juwita pada Emma.“Ter
Ziana melihat guratan kesedihan di wajah Hasan yang membuatnya terlihat sedikit lebih tua dari biasanya. Beban pikiran yang teramat berat dan tanggung jawab yang harus dipikulnya karena kedua istrinya sedang sama-sama tertimpa masalah, mungkin yang membuat Hasan seperti itu. Diraihnya tangan kokoh yang terasa sedikit gemetar.“Iya, pah. Aku mengerti karena papa baru tahu kejadian yang sebenarnya. Aku sudah memaafkan papa sebelum papa minta maaf. Jaga diri papa ya.”“Makasih, Ziana. Papa pulang dulu ya.”Ziana mengangguk lalu mengantar mereka ke pintu depan. Punggung tegap yang biasa ditunjukkan Hasan dan kepala terangkat penuh percaya diri, kini tidak lagi terlihat. Hasan menunjukkan dirinya juga manusia biasa yang bisa lelah dengan semua beban hidupnya.“Hati-hati di jalan, pah, tante. Kabari aku kalau sudah sampai,” ucap Ziana setelah menutup pintu mobil Hasan.“Iya, Na. Sampai jumpa,” sahut Hasan.Mobil pun bergerak menuju pintu gerbang mansion diiringi tatapan Ziana yang tidak lep
Ziana menutup bibirnya dengan tangan lalu mengalihkan pandangannya dari Hannah dan Lintang. Aneh rasanya memergoki kakaknya bermesraan seperti itu. Pandangannya bertemu dengan Mahanta yang sudah menatapnya sambil tersenyum.“Masih mau disini?” tanya Mahanta.“Kita pergi saja ya. Zaidan sama siapa?”“Tapi tante Juwita yang jagain. Ayo.”Mahanta meraih tangan Ziana lalu menuntunnya kembali ke pintu depan mansion. Saat mereka sampai di depan kamar bayi Zaidan, terdengar tangisan kencang bayi itu. Ziana dan Mahanta buru-buru masuk dan mendapati Juwita sedang mengganti popok Zaidan.“Zaidan kenapa, bunda?” tanya Ziana.“Dia buang air. Ngomel-ngomel sambil merem, gemes banget.”Ziana dan Mahanta sama-sama melempar senyuman melihat kelakuan putra mereka. Setelah tubuhnya kembali bersih dan hangat, Zaidan mulai membuat ulah lagi dengan menangis kencang. Ziana yang mulai memahami kebiasaan Zaidan, menggendong bayi itu.“Haus ya. Sini, sayang,” ucap Ziana lembut. Ia berpindah duduk ke sofa lalu
“Ngomong-ngomong soal kebelet kawin, apa yang kalian lakukan semalam?” tanya Ziana curiga. Lintang dan Arjuna saling pandang dengan ekspresi aneh sebelum sama-sama merinding. “Aku nggak ketemu dia semalam. Siapa yang kau maksud?” tanya balik Lintang.“Tentu saja kamu dan kakakku, Lintang. Siapa yang bilang kamu sama Arjuna sih? Stres.”“Salahmu ‘lah. Kalau nanya yang lengkap dikit. Kan jadi salah paham.”“Berani kamu nyalahin istriku, Arjuna!”Arjuna nyengir kuda ke arah Mahanta yang melotot kepadanya, lalu meraih menu sarapan diatas meja. Pagi itu maid sudah menyiapkan pilihan sarapan roti panggang dan nasi goreng yang lezat. Lintang juga melakukan hal yang sama agar mereka bisa segera berangkat ke rumah sakit. “Pertanyaanku nggak dijawab ‘loh,” ucap Ziana mengingatkan Lintang lagi. “Kenapa, Na? Nggak boleh ya kalau aku ingin lebih mengenal calon istriku sendiri. Lagian beberapa hari lagi, aku akan menjadi kakak iparmu, adik ipar.” Lintang tersenyum manis sambil menaik turunkan al
“Apa kamu mau turun sekarang?” tanya Lintang setelah dua orang yang mereka lihat tadi masuk ke dalam mobil. “Aku tidak menyangka om Hasan dan tante Intan datang bersama untuk menjenguk Jay. Apa kau masih tidak mau bicara dengan mereka, Maha?” Arjuna menoleh ke belakang menatap Mahanta yang menatap keluar jendela dingin.“Tidak ada yang perlu kubicarakan dengan mereka.”“Sampai kapan, Maha?”“Aku tidak tahu. Hatiku masih sakit mengingat perlakuan mereka pada Ziana. Aku tahu mereka tidak tahu, tapi setidaknya jangan menghina Ziana. Darah kotor, rendahan, semua hinaan itu masih memenuhi kepalaku sampai sekarang. Ziana tidak bersalah, tapi keluargaku membencinya.”“Kudengar kalau om Hasan sudah minta maaf pada Ziana. Dan Ziana sudah memaafkannya ‘kan?”“Tetap saja aku masih sakit hati. Ayo kita turun,” ajak Mahanta enggan mendengar ucapan Arjuna dan Lintang lagi. Mereka turun dari mobil lalu berjalan menuju lobby rumah sakit. Dari bagian informasi, mereka mengetahui kalau Jay dirawat di
Rianti menoleh sejenak lalu kembali mencoba melepaskan genggaman tangan Zaidan pada ujung rambut panjangnya. “Bayi Zaidan menarik rambut saya, nona. Genggamannya kuat sekali ya. Agak sulit melepaskannya.”“Oh. Biar aku bantu.”Ziana membantu melepaskan genggaman tangan Zaidan dari rambut Rianti, lalu mengambil alih bayinya. Sambil menimang bayinya, Ziana menatap Rianti yang sedang merapikan rambutnya. “Kita akan ke rumah sakit hari ini. Sudah waktunya Zaidan imunisasi. Bersiaplah.”“Baik, nona.”Rianti dengan cekatan menyiapkan semua keperluan bayi Zaidan. Satu tas khusus untuk perlengkapan bayi Zaidan pun sudah siap mereka bawa. Sekali lagi Rianti mengecek satu persatu barang-barang di dalam tas itu sebelum menatap Ziana lagi. “Semuanya sudah lengkap, nona. Kita berangkat sekarang?”“Iya. Tapi sebelum itu ganti baju Zaidan dulu ya. Aku harus menelpon seseorang dulu.”Rianti mengangguk lalu mengambil alih bayi Zaidan lagi. Ziana yang baru teringat belum memberitahu Mahanta, menjauh