“Aku mengerti. Tolong kamu urus semuanya. Aku akan bicara dengan Ziana.” Mahanta menutup sambungan teleponnya lalu mendekat pada Ziana lagi.Sekali lagi Ziana bertanya pada Mahanta sambil menyentuh paha pria itu. “Kenapa, mas? Kok tegang gitu?”“Itu tadi Lintang bilang kalau Pak Renan akan segera pulang.”“Beneran? Kak Hannah pasti senang sekali. Lalu bagaimana dengan Dita? Apa polisi sudah menangkapnya?”“Aku belum terima kabar dari Arjuna. Coba nanti kuhubungi dia.” Mahanta berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya. Pria itu ingin memberitahu kondisi Renan pada Ziana, tapi takut istrinya itu akan mengalami syok. Saat ini Ziana perlu istirahat demi kesehatannya dan bayi di kandungannya.Ziana yang tidak tahu apa-apa, lanjut mengobrol dengan dokter Kavya. Sampai suster memberitahukan kalau ada pasien darurat yang butuh penanganan dokter wanita itu. Ziana dan Mahanta pun pamit lalu keluar dari ruang praktek dokter itu.“Kita langsung pulang ya. Kamu harus istirahat,” ucap Mahanta
Ziana menuntun Hannah keluar dari kamar untuk mengantar kepergian Renan. Mereka berjalan beriringan bersama Mahanta dan Lintang yang terus mengawal keduanya. Sedangkan si kecil Rania sengaja dibawa jalan-jalan oleh anak buah Mahanta.Kesedihan sangat kental terlihat di pemakaman saat Renan bersatu kembali dengan tanah. Air mata terus mengalir dari mata bening Hannah dan Ziana. Saat semuanya sudah selesai, Hannah menatap papan nisan bertuliskan nama Renan.“Mas, secepat ini kamu pergi. Kalau tahu akan seperti ini, aku nggak akan meninggalkanmu sendirian, mas,” sesal Hannah.“Sudah, kak. Kak Renan akan sedih kalau kakak terus menangis. Kita pulang ya. Kasihan Rania sendirian.”Bujukan Ziana membuat Hannah mau beranjak dari kuburan Renan. Sesekali Hannah menoleh kebelakang, menatap sendu pada tanah basah yang masih dihiasi bunga itu.Ketika mereka tiba kembali ke rumah Hannah, Rania sedang menunggu mereka. Gadis kecil itu tampak gembira dan buru-buru mendekati Hannah dan Ziana.“Mama, bu
“Tadi polisi menjelaskan kalau Pak Renan menjadi korban tabrak lari. Tubuhnya terpental sampai beberapa meter dari lokasi kejadian dan kepalanya terbentur trotoar jalan,” sahut Mahanta.“Tapi saksi mata mengatakan kalau Pak Renan menyebrang jalan dalam keadaan jalanan sedang sepi. Tiba-tiba mobil ini mendekatinya dengan kecepatan tinggi dan langsung menabraknya. Setelah menabrak, bukannya berhenti, malah kabur begitu saja,” lanjut Lintang.“Apa mobil yang menabrak kak Renan sudah diketahui pemiliknya?”“Saat ini polisi sedang melacak keberadaan mobil itu. Dari petunjuk CCTV yang ada di sekitar lokasi kejadian, mereka sudah memperkirakan rute pelarian mobil itu. Semoga saja kita segera menerima kabar baik.”Ziana mengangguk dan berharap pelaku tabrak lari Renan akan segera tertangkap. Setidaknya tidak ada korban lain yang senasib seperti Renan.~~~Beberapa hari kemudian, kondisi Hannah semakin baik dan sudah bisa menerima kepergian Renan. Wanita itu menyibukkan dirinya di toko kue dan
“Mama. Tumben banget. Ada apa ya?” “Jangan tanya aku. Cepat angkat,” pinta Ziana dengan wajah tegang. Perempuan itu segera beranjak dari tempat tidur dan mulai memunguti pakaiannya satu persatu. “Halo, mah. Kenapa?” [“Maha, cepat pulang sekarang. Ajak Ziana. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.”] Mahanta hampir bertanya lagi, tapi Intan sudah menutup teleponnya lebih dulu. Pria itu menatap ponselnya yang sudah kembali ke layar semula dengan tatapan bingung. Ziana yang hampir masuk ke kamar mandi, menoleh ke arah Mahanta. “Kenapa, mas?” “Aku disuruh pulang... Sama kamu.” “Aku? Nggak salah?” Ziana bahkan tidak pernah membayangkan dirinya akan menginjakkan kaki di rumah besar keluarga Hirawan. “Disana ‘kan ada Nyonya Darisa.” “Aku juga bingung. Apa mama bermaksud mempertemukanmu dengan nenek.” Ziana menggeleng pelan dan tanpa sadar melangkah mundur selangkah. Membayangkannya saja membuat Ziana mulai gelisah. Jantungnya berdetak cepat dan keringat dingin membasahi punggungny
Mahanta membaca chat masuk terbaru yang muncul di notifikasi. Ada nomor asing yang mengirimkan informasi tentang pernikahan Ziana dan Mahanta. Bahkan ada foto-foto saat pernikahan mereka. Bukan hanya itu, tapi juga foto saat Ziana dan Mahanta menemui dokter Kavya di rumah sakit.“Apa nenek kenal dengan orang yang mengirimkan semua ini?” tanya Mahanta sambil memperlihatkan chat itu ke arah nenek Darisa.“Mana nenek tahu? Nomornya saja tidak tersimpan. Lupakan siapa pengirimnya. Kamu harus segera bercerai dengan perempuan rendahan itu, Maha,” sahut nenek Darisa sengit.“Nenek! Sudah kubilang jangan menghina Ziana. Dia yang pertama untukku dan begitu juga aku untuknya. Aku sangat yakin anak di dalam kandungannya memang adalah putraku.”Intan dan Hasan mencoba melerai situasi yang mulai panas antara Mahanta dan nenek Darisa. Tapi mereka juga bingung karena nenek Darisa bisa pulih dengan cepat, setelah sebelumnya mengeluh kepalanya sakit.“Kamu membentak nenek, Maha?! Demi perempuan tidak
“Aku tidak mau membahasnya. Tapi aku yakin kamu sudah tahu apa yang keluargaku inginkan.” Ziana menghela nafas panjang, lalu menatap Mahanta yang terlihat sedih. Diusapnya lembut pipi Mahanta yang terasa dingin. “Kita masuk dulu yuk. Tadi kak Hannah membuat lemper untukmu.”Mereka lalu masuk ke rumah Hannah dan disambut keceriaan Rania. Setidaknya kesedihan mereka karena beratnya menunggu restu dari orang tua Mahanta bisa sedikit terobati.~~~Enam bulan kemudian, Ziana sedang berjalan-jalan di halaman mansion Tomo ketika sebuah mobil memasuki pintu gerbang mansion itu. Perempuan itu mengusap perut besarnya dengan lembut. Sambil menahan nyeri di pinggangnya. Sejak seminggu terakhir ini Ziana sering merasa nyeri karena pergerakan bayinya yang semakin turun ke jalur lahirnya.“Siapa yang datang ya?” gumam Ziana lalu berjalan menuju pintu depan.Mobil itu berhenti di depan pintu dan sopirnya keluar dari sana. Kedua netra Ziana membola saat melihat nenek Darisa keluar dari mobil setelah s
“Kavya, apa yang terjadi pada Ziana?” tanya Mahanta mencoba mencari tahu tentang kondisi Ziana.“Maha, tunggu di luar. Aku harus segera memeriksa Ziana,” pinta dokter Kavya.Seorang perawat mendorong Mahanta agar keluar dari ruang bersalin. Mahanta yang tidak ingin beranjak, terpaksa keluar setelah melihat perawat lain memasang jarum infus di pergelangan tangan Ziana. Diluar ruang bersalin, Mahanta bertemu dengan Lintang yang datang bersama Hannah dan Rania.“Pak Maha, bagaimana dengan Ziana?” tanya Hannah cemas. Wanita itu terkejut saat Lintang menjemputnya dan memberitahu tentang kondisi Ziana.“Dokter Kavya sedang memeriksanya. Ziana sudah melahirkan. Bayinya laki-laki.”Jawaban Mahanta tidak lantas membuat Hannah tenang. Pasalnya ekspresi pria itu masih terlihat sangat cemas. Pandangannya tidak lepas dari pintu ruang bersalin yang tertutup rapat. Seorang perawat yang datang membawa kantung darah, segera masuk ke ruang bersalin tanpa menghiraukan Mahanta.“Kenapa ada kantung darah?
Tomo dan Juwita tampak sumringah ketika melihat bayi tampan itu. Walaupun terhalang kaca jendela besar, tapi tidak membuat senyum keduanya surut. Tomo terus mengacungkan jempolnya memuji bayi laki-laki yang masih betah terlelap.Usai melihat bayi Ziana, Tomo, Juwita, dan Mahanta pun berjalan menuju ruang ICU. Hannah, Lintang, dan Rania tampak duduk di depan ruangan sambil sesekali mengobrol. Mereka berdiri ketika melihat Mahanta dan kedua orang tua itu mendekat.“Bagaimana, Pak Maha? Apa kata dokter?”“Ziana kehilangan banyak darah dan butuh istirahat total. Bu Hannah tenang saja ya,” sahut Mahanta lalu menatap Lintang. “Lintang, aku perlu bicara denganmu.”Mahanta mengajak Lintang menjauh bersama Tomo juga. Pria itu baru berhenti setelah mereka sampai di ujung lorong ruang ICU. Sebelum bicara, Mahanta melirik ke arah Hannah, Juwita, dan Rania.“Ada apa, Maha? Kenapa serius sekali?” tanya Tomo.“Om sudah dengar sendiri dari dokter Kavya ‘kan? Sekarang kita harus mencari tahu siapa yan
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti