“Mama? Sedang apa mama disini?” tegur Juwita sambil memutar tubuhnya menghadap nenek Darisa.“Bukan urusanmu, Juwita.”Juwita kembali menatap Ziana yang terlihat enggan. Ziana tampak melindungi bayi di gendongannya saat nenek Darisa berjalan mendekatinya. Dengan cepat Juwita berdiri di antara nenek Darisa dan brankar Ziana.“Minggir, Juwita. Jangan ikut campur.” Nenek Darisa menatap tajam pada Juwita yang tetap tidak mau menyingkir dari hadapannya.“Tidak, mah. Aku tidak bisa membiarkan mama mendekat lebih dari ini.”“Kurang ajar! Tidak tahu sopan santun! Minggir!”Nenek Darisa melotot kesal pada Juwita dan melayangkan tangannya ke wajah wanita itu. Tapi sebelum tangan itu sampai di pipi Juwita, wanita itu menahan tangan nenek Darisa. Tatapan tajam Juwita tidak berkurang sedikit pun pada wanita tua itu.“Jangan coba-coba menyentuh anakku lagi. Apa mama tidak malu? Mama tega meninggalkannya sendirian disaat seharusnya mama membantunya. Apa mama pikir nyawa Ziana dan bayinya tidak penti
“Apa dia baik-baik saja, bunda?” tanya Ziana membuat Juwita menatapnya tidak mengerti. “Seharusnya iya ‘kan. Bebannya sudah terangkat sekarang. Jadi pastinya keadaannya baik-baik saja.”Ziana kembali menekuni huruf braille di depannya meskipun pikirannya tidak lagi fokus. Secara fisik, kondisinya memang sudah membaik. Tapi hati dan pikirannya masih memikirkan alasan kepergian Mahanta. Ziana butuh penjelasan, tapi dia merasa akan sia-sia saja.“Sayang, apa kamu mau bicara dengan Maha?”“Untuk apa, bunda? Untuk dikecewakan lagi? Aku ini terlalu bodoh, bunda. Sejak awal, hubungan kami memang sudah salah. Seharusnya aku sadar diri dan menolaknya terus. Tapi apa? Aku jatuh lagi di lubang yang sama.”Ziana tertawa miris dengan air mata membasahi pipinya. Perempuan itu mengalihkan pandangan ke arah boks bayi berwarna biru muda di dekatnya, sebelum menghela nafas panjang.“Bahkan dia tidak mau menerima putranya yang istimewa. Dia malu mengakui darah dagingnya sendiri. Jadi aku tidak punya ala
Suara panggilan terputus membuat Mahanta sadar dirinya tidak lagi bisa mendengar suara Ziana sekarang. Tubuhnya bersandar pada kursi kerjanya yang nyaman, tapi saat ini terasa sekeras batu karang baginya. Nafasnya terasa sangat sesak seolah paru-parunya diremas dengan sangat kuat.Mahanta mengusap wajahnya kasar lalu menegakkan tubuhnya kembali. Pria itu mengetuk meja kerjanya dengan ujung jari lalu meraih gagang telepon di dekatnya. Mahanta meminta Lintang untuk masuk ke ruang kerjanya.“Ada apa, bos?” tanya Lintang setelah pria itu masuk.“Bagaimana perkembangan proyeknya? Apa sudah ada progress yang masuk?”Lintang terdiam sejenak, lalu mengangguk paham dengan maksud Mahanta. “Belum ada, bos. Aku sudah menanyakan progressnya tapi mereka belum memberi kita jawaban.”“Cepat hubungi mereka. Deadline semakin dekat tapi kita belum mendapatkan informasi apapun,” titah Mahanta dengan ekspresi dingin. “Panggil semua manajer. Kita harus meeting sore ini.”“Baik, bos.”Sepeninggal Lintang, M
Tomo mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang yang berada di dalam mobil itu.“Maha, kamu dimana?” tanya Tomo to the point.[“Aku ada di kantor, om. Ada apa?”]“Jangan bohong. Kalau kamu memang di kantor, bagaimana bisa mobilmu ada di depan mansion om? Kamu mau mampir? Makan malam hampir siap.”Hening. Tidak ada jawaban dari Maha membuat Tomo memperhatikan ponselnya. Sambungannya masih ada, tapi Maha memang tidak mengatakan apapun. Tomo pun menghela nafas panjang.“Om tahu kamu sedang ada masalah yang tidak bisa kamu katakan pada orang lain. Tapi ini darurat, Maha. Ziana sudah siap bercerai dari kamu. Apa kamu sanggup berpisah dengannya?”[“Tolong aku, om.”]Tomo terdiam mendengar suara nyaris tercekik yang terdengar sangat menyedihkan dari Mahanta. Pria paruh baya itu mengalihkan pandangannya ke arah mobil hitam yang masih terparkir di tempatnya semula. Sejurus kemudian, ia mendengar suara tangisan menyayat hati yang sama pergi seperti yang di dengarnya dari Ziana tadi.“Om
“Oh.” Hanya itu reaksi yang terdengar dari Ziana. Perempuan itu bahkan tidak merubah ekspresi wajahnya dan tetap tenang sampai risolesnya habis.“Apa kamu nggak nanya, dia sakit apa?”“Aku bukan dokter. Nggak guna kutanya penyakitnya. Toh, aku nggak tahu obatnya.”“Kamu salah, Na. Kamu adalah obat terbaik untuknya. Maha sangat mencintaimu dan__”“Sepertinya lempernya sudah jadi. Cepat diantarkan sebelum dingin,” potong Ziana lalu mendekati dispenser air. Perempuan itu meneguk segelas air hingga tandas, lalu mengisi gelasnya lagi.Lintang saling pandang dengan Hannah yang memegang paper bag berisi lemper buatannya. Perlahan Hannah menyodorkan paper bag itu pada Lintang lalu memberi tanda agar mereka bicara diluar. Tanpa berpamitan dengan Ziana, Lintang berjalan mengikuti Hannah.“Maafkan sikap Ziana ya. Masalah ini sangat berat baginya. Meskipun aku juga belum tahu apa yang membuat Pak Maha berubah begini.”“Aku mengerti, Hannah. Aku juga tidak bermaksud memaksa Ziana atas Maha. Aku ha
“Tidak. Jangan. Sss...” Ziana mencoba menolak sambil terus menahan rasa sakitnya. Tapi Mahanta sudah melucuti penutup atas tubuhnya. Refleks Ziana menyilangkan kedua tangan di depan tubuhnya. Pandangan mereka kembali bertemu sebelum Mahanta melahap pucuk dada Ziana.Kedua tangan Ziana masih berusaha mendorong Mahanta agar menjauh. Tapi rasa sakitnya bertambah saat pucuk dadanya ikut tertarik.“Ach! Sakit!” desis Ziana lalu memalingkan wajahnya tidak mau menatap Mahanta.Tubuh Ziana merinding ketika perlahan bengkak di kedua bukit kembarnya mulai berkurang. Meriang yang sempat dirasakannya perlahan mulai menghilang. Meskipun sesekali masih terasa panas dingin, setidaknya kondisinya tidak separah tadi.Ziana menggigit bibir bawahnya merasakan sensasi lain yang tiba-tiba muncul. Nafasnya mulai memburu hingga wajahnya merona merah. Terlebih Mahanta sepertinya belum mau menyudahi perlakuannya pada pucuk dada Ziana.Perutnya juga terasa nyeri dan ada cairan panas yang terus keluar dari bagi
“Ah, nggak, Maha. Tante cuma mau nanya apa kalian sudah makan? Kalau belum, biar maid yang mengantar makanan untuk kalian,” ucap Juwita salah tingkah sambil mencoba mengintip ke dalam kamar.“Ziana sedang mandi, tante. Sekalian aku mau minta ijin menginap disini malam ini.”“Loh, ini juga rumahmu, Maha. Kenapa minta ijin segala. Memangnya kalian sudah baikan ya?”Mahanta menggaruk kepalanya yang sedikit gatal. Dia sampai lupa kapan terakhir kali keramas. “Belum sih, tante. Aku lagi usahakan.”“Makanya jujur kalau ada masalah. Sikap diammu dan menghindar dari masalah hanya akan membuat Ziana salah paham. Lalu ujung-ujungnya apa? Ziana sampai minta cerai ‘kan?”“Aku belum bisa cerita sekarang, tante. Secepatnya...”Tiba-tiba Mahanta menghentikan ucapannya ketika melihat seseorang yang familiar keluar dari dapur. Pria itu memundurkan tubuhnya ke dalam kamar hingga hanya kepalanya saja yang terlihat. Ditariknya tangan Tomo masuk ke dalam kamar, lalu tangan Juwita hingga kini mereka berada
“Bagaimana bisa kamu berpikir begitu? Bayi itu, anak kita, mas,” sambung Ziana yang mulai menangis sedih.Mahanta semakin panik lalu berlutut di hadapan Ziana sambil memegang tangannya. “Maafkan aku, sayang. Sungguh, aku juga memaki diriku sendiri karena bersikap egois seperti itu. Tapi akhirnya aku memilih mengikuti kemauan penculik itu.”“Apa kamu tahu siapa penculik itu, Maha?” tanya Juwita.“Sherena. Apa om benar?”Jawaban Tomo membuat Mahanta mengangguk cepat. “Aku berhasil mendapatkan petunjuk dari perawat yang membersihkan bayi kita saat itu. Dia mengatakan kalau salah satu temannya bertemu diam-diam dengan Sherena. Aku juga sudah memeriksa rekaman CCTV di rumah sakit saat itu. Sherena datang ke ruang bayi dengan memakai pakaian pasien, bersama perawat yang menggendong seorang bayi. Dan keluar lagi masih dengan formasi yang sama.”“Apa itu artinya Sherena menukar bayi kalian saat itu?”“Iya, om. Hanya itu kesempatannya.” Mahanta kembali beralih menatap Ziana yang masih sesengguk
Sapaan dari sekretaris sementara Mahanta membuat Ziana tersenyum. Wanita cantik itu lalu membantu Mahanta membawa perlengkapan bayi Nanda ke dalam ruang kerja Mahanta. “Siapa namamu?” “Nama saya Mela, Bu Ziana. Saya sekretaris pengganti sementara Pak Lintang.” “Mela, apa meetingnya sudah dimulai?” tanya Mahanta yang sibuk di meja kerjanya. “Sudah, pak. Bapak bisa ke ruang meeting sekarang.” “Pesankan makan siang untuk Rania. Tanyakan saja dia mau makan apa,” titah Mahanta lalu mendekati Ziana yang sudah duduk di sofa. “Sayang, aku meeting dulu ya. Santai saja disini dulu.” “Iya, mas. Kamu tenang saja. Ada Mela disini.” Mahanta pun keluar dari ruang kerjanya dan langsung masuk ke ruang meeting. Sesuai perintah Mahanta, Mela segera memesan makanan untuk Rania. Saat makanannya datang, Nanda kembali menangis kencang lantaran haus lagi. Dengan telaten Ziana menyusui bayi itu sambil membayangkan Zaidan di mansion. “Oh, astaga,” ucapnya membuat Mela yang sedang membantu menyuapi Ra
“Siapa, sayang?” Mahanta menatap ke arah yang ditunjuk Ziana dengan kening mengerut. “Itu Pak Jay ‘kan? Dia sama Nanda.”Ziana tidak salah mengenali pria tampan yang sedang menggendong seorang bayi di tangannya. Jay tampak cemas memperhatikan mobilnya sambil sesekali menimang bayi Nanda. “Mas, ayo kita kesana. Sepertinya Pak Jay butuh bantuan.”Mahanta sebenarnya enggan membantu Jay setelah apa yang terjadi pada mereka. Tapi ia tidak bisa menahan Ziana yang sudah lebih dulu menggandeng tangan Rania mendekati pria itu. Mahanta mematikan mesin mobil lalu menyusul Ziana. “Pak Jay, kenapa mobilnya?”Jay menoleh lalu tersenyum menatap Ziana. “Ziana, kamu disini. Mobilku sepertinya mogok. Sopirku sedang mencari bantuan. Kamu ngapain disini?”“Saya baru menjemput Rania, Pak. Kebetulan dia bersekolah disini.” Jay tersenyum pada Rania yang bersembunyi di belakang punggung Ziana. “Kesayangan buna, ayo beri salam sama om Jay.”Rania menggeleng pelan, enggan mengulurkan tangannya pada Jay. Ket
“Babe, besok kita ke mansion om Tomo ya. Baju-bajumu masih disana ‘kan?”Arjuna yang baru keluar kamar, menatap bingung pada Rianti yang menelungkupkan wajahnya diatas meja. Mie yang masih mengepulkan asap putih tampak utuh di depannya.“Babe? Kamu tidur?”Arjuna mengguncang bahu Rianti pelan, sambil berusaha melihat wajahnya yang tertutup rambut. Saat Rianti mengangkat wajahnya, Arjuna bisa mencium aroma minuman dari bibir wanita itu.“Babe, kamu minum minumanku?”“Apa? Nggak. Aku baik-baik saja. Pusing, tapi nggak apa-apa.”Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu meraih gelas air minum. “Minum dulu ya. Habis itu kamu tidur.”“Nggak enak!” tolak Rianti saat air minum menyentuh bibirnya.“Minum saja. Siapa suruh nakal. Minumanku nggak bisa kamu minum sembarangan, babe.”Arjuna tetap memaksa Rianti meneguk minumannya sampai tersisa setengah. Ia lalu menggendong Rianti masuk ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur. Usai menyelimuti tubuh Rianti, Arjuna mengecup kening
“Pelan, mas. Sa-sakit,” lirih Hannah dengan suara serak menahan hasratnya.“Tahan, sayang. Aku coba lagi ya.”Lintang yang kepalang tanggung, mendorong tubuhnya hingga berhasil memasuki celah sempit milik Hannah. Pria itu mengerang keras saat miliknya terasa hangat dan terjepit ketat. Kenikmatan luar biasa yang dirasakan Lintang membuatnya menunduk mengecup pipi Hannah.Ditatapnya ekspresi wajah Hannah yang meringis menahan sakit. Dia tidak menyangka efek perawatan yang disarankan Ziana membuat miliknya seperti perawan lagi. Akibatnya Hannah merasakan sakit seperti malam pertamanya dengan Renan.“Sakit, mas,” lirih Hannah membuat Lintang mencium bibirnya lagi.Lintang terus menyentuh tubuh Hannah, membuat wanita itu melupakan rasa sakitnya hingga bisa menerima miliknya di dalam sana. Perlahan Lintang menggerakkan tubuhnya hingga miliknya terasa lebih licin. Suara desahan dan decapan mendominasi kamar yang berhawa sangat dingin itu. Tapi sedingin apapun suhu kamar itu tidak bisa mengur
Pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka tanpa peringatan. Hannah yang kaget, nyaris terjatuh karena refleks mundur dari depan pintu. Lintang dengan sigap meraih pinggang Hannah lalu memeluknya.“Hati-hati, sayang. Sedang apa kamu disini?”“Aku... itu... anu...”Rasa gugup membuat Hannah tergagap. Matanya mencoba melirik ke dalam kamar mandi, tepatnya ke arah koper mereka yang terlihat terbuka lebar. Wajah Hannah semakin pias dengan kemungkinan Lintang sudah melihat baju itu.“Kamu kenapa, sayang? Makanannya sudah datang?”“Iya. Sudah. Kamu mau makan sekarang?”“Ayo,” ajak Lintang.Hannah tidak punya alasan untuk membuatnya kembali masuk ke kamar mandi, hingga memilih mengikuti Lintang. Mereka duduk berdampingan lalu mulai menikmati hidangan makan malam di depan mereka. Lezatnya rasa makanan itu membuat Hannah tidak berhenti mencicipinya.“Enak ya?” tanya Lintang yang diangguki Hannah.“Makanannya enak sekali. Pas di lidah. Aku pikir makanan seperti apa yang ada di hotel mewah seperti ini.
Setelah pesta resepsi pernikahan itu selesai, kedua pasang pengantin baru itu pun berangkat dengan mobil masing-masing. Lintang dan Hannah menuju hotel, sedangkan Arjuna dan Rianti menuju apartemen Arjuna.“Wah, hotelnya besar sekali, mas,” puji Hannah kagum. Dia tidak pernah masuk ke hotel sebesar itu selama hidupnya.“Ini hadiah pernikahan dari om Tomo. Hotel ini juga punya om Tomo. Ayo, kita check in dulu.”Lintang menuntun Hannah mendekati resepsionis yang sudah siap menyambut kedatangan mereka. Seorang office boy mengambil alih koper yang dibawa Lintang, lalu mengantar keduanya menuju kamar hotel tempat mereka akan menginap selama tiga hari dua malam itu.“Silakan masuk, tuan, nyonya,” ucap office boy itu setelah pintu kamar terbuka lebar di hadapan mereka.“Terima kasih. Taruh saja kopernya di sini,” sahut Lintang lalu memberikan tip untuk office boy itu.Hannah memasuki kamar lebih dulu dan langsung mendekati jendela besar di dekat tempat tidur. Ia ingin melihat pemandangan dar
“Daripada mereka live show disini? Gimana kalau Rania melihatnya?”Mahanta buru-buru mengeluarkan ponselnya lalu menelpon Arjuna. Dering telepon terdengar jelas dari kantong jas Arjuna, tapi justru diabaikan pria itu yang masih asyik mencumbu Rianti. Belum menyerah, Mahanta mengulangi terus panggilan itu, hingga Rianti menghentikan ciuman Arjuna.“Ada telepon, Ar,” ucap Rianti sambil mendorong pelan bahu Arjuna.“Biarkan saja.”“Tapi sepertinya penting. Kita bisa lanjutkan nanti.”Arjuna menatap wajah Rianti yang sudah memerah sampai ke telinganya. Bibir wanita itu terlihat pucat dan ada sedikit bekas gigitan karena ulahnya. Mau tidak mau Arjuna mengalihkan pandangannya ke arah jasnya yang tergeletak di lantai begitu saja.“Siapa sih, mengganggu saja.” Kening Arjuna mengerut melihat nama Mahanta muncul di layar ponselnya. Pria itu segera mengedarkan pandangannya dan melihat sahabatnya berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kamu ngapain sih? Ganggu saja.”“Heh! Kalau nggak gitu, kamu mau
Hari yang ditunggu-tunggu, hari pernikahan Hannah dan Lintang akhirnya tiba juga. Semua orang sudah berkumpul di halaman mansion Tomo untuk menyaksikan upacara sakral itu. Meskipun tidak banyak tamu undangan, tapi sudah cukup membahagiakan bagi Hannah dan Lintang. Acara akad akan segera berlangsung ketika Arjuna tiba di mansion itu. Tidak seperti biasanya, wajah pria itu terlihat muram dan lelah. Entah kemana perginya Arjuna yang selalu ceria dan bersemangat. Tanpa mempedulikan sekitarnya, Arjuna segera duduk di kursi khusus untuknya. Ia tersenyum tipis saat bertatapan dengan Mahanta yang duduk bersama Ziana.“Lihat itu Arjuna sudah datang,” bisik Mahanta pada Ziana. “Iya, aku sudah melihatnya. Lihat penampilannya kacau sekali.”“Aku dengar sejak kejadian malam itu, Arjuna hanya mengurung diri di apartemennya. Ia hanya makan kalau Lintang membawakannya makanan. Selebihnya hanya diam melamun. Apa Rianti tidak mengatakan apa-apa?”“Mereka sama-sama keras kepala. Sampai sekarang aku be
Tengah malam, Rianti tersentak kaget lalu mengerjakan matanya perlahan. Ia mencoba mengingat keberadaannya saat ini yang masih berada di kamar Zaidan. Saat Rianti memeriksa boks bayi itu, matanya melotot karena Zaidan tidak ada di dalam boks itu. “Zaidan dimana?” Lekas Rianti berlari keluar kamar dan melihat sekitarnya sudah gelap. Sedikit ragu, Rianti menoleh ke arah kamar Ziana dan Mahanta. Besar kemungkinan Zaidan ada disana. Tapi alasan kenapa Ziana tidak membangunkan Rianti membuatnya bingung. “Apa kucoba ketuk saja ya?” Rianti berjalan mendekati pintu kamar dan bersiap mengetuknya. Tapi tangannya melayang di udara karena keraguan yang masih menggantung. Akhirnya Rianti memutuskan untuk mengirimkan chat pada Ziana. {“Malam, nona. Maaf saya ketiduran tadi. Apa sekarang bayi Zaidan bersama nona?”}Rianti mengirimkan chat itu dan menunggu. Ia berharap Ziana masih terbangun dan membalas chatnya. Tapi selang lima menit kemudian, belum juga ada balasan dari Ziana. Pesannya juga ti