Risna menyalakan senter pada ponselnya kemudian maju perlahan-lahan, menghampiri sesosok gadis kecil yang tetap memandang ke arahnya dengan tatapan mengerikan.
"Mbok kalau takut di luar saja, ya, jangan ikut masuk ke dalam. Saya cuma ingin memastikan kalau anak itu nggak kenapa-napa," ujar Risna tak berkedip.
"Iya, Nduk. Hati-hati. Awas jangan terlalu dekat."
Anak itu berada di sudut ruangan. Kondisinya tak berpakaian dengan kulit yang sedikit menghitam karena tak pernah bersentuhan dengan air. Rambutnya panjang dan tak terawat, mungkin ada banyak kutu di dalamnya. Tubuhnya kurus dan matanya menghitam. Sementara kedua tangannya diikat dengan seutas tali yang dikaitkan pada paku besi yang tertancap kuat di dalam tanah.
Risna yakin, dia memakan tikus dan serangga-serangga kecil yang melintas di sekitarnya untuk bertahan hidup, mungkin juga mengonsumsi air seninya sendiri karena tak ada pasokan air. Hal itu dibuktikan oleh banyaknya bangkai kepala tikus yang sudah membusuk di sekitarnya. Entah bagaimana dia bisa bertahan dengan bau busuk yang menguar. Risna saja yang baru masuk beberapa langkah sudah ingin muntah karena tak kuat menahan aromanya. Apalagi ditambah dengan benda menjijikkan yang ada di dekat anak tersebut. Dari bentuknya, itu sepertinya adalah kotoran sang anak yang sudah mulai mengering meskipun masih tetap berbau.
"Ya ampun, kasihan banget dia, Mbok."
"Sampean kok tahan sama baunya sih, Nduk. Mbok saja yang lihat dari sini sampai mau muntah saking nggak tahannya." Mbok Darmi menjepit hidungnya sendiri, sedikit menjauh dari pintu untuk menghirup udara segar banyak-banyak.
Tanpa sepengetahuan Mbok Darmi, Risna terus berjalan mendekat. Kini jaraknya dan sang anak mungkin hanya berkisar satu meter. Ia mengambil posisi jongkok sambil terus menyenteri wajah sang anak hingga gadis itu menghindar karena silau.
"Kasihan banget kamu, Nak. Hidup sendirian di dalam hutan begini. Andai aku yang ngelahirin kamu, aku pasti akan jagain kamu baik-baik," lirih Risna dengan kalimat sendu. Ia adalah salah satu dari sekian banyak wanita yang menginginkan anak perempuan. Karena di keluarga besarnya, hampir semua wanita melahirkan anak laki-laki.
Risna mengulurkan tangannya, hendak menggapai tubuh anak itu. Akan tetapi, belum sampai niatnya itu terlaksana, anak itu sudah lebih dulu mendekatkan wajahnya dan menggigit telapak tangan Risna hingga berd*rah.
"Arrrgh! Mbok, tolongin saya! Tolong, Mbok!" Ia berusaha berontak, sekuat tenaga mendorong wajah anak kecil itu agar gigitannya terlepas. Tapi tak sedikit pun usahanya berhasil. Bahkan, daging di telapak tangannya sudah mulai koyak hingga menimbulkan sensasi sakit yang luar biasa. Anak itu seakan memiliki tenaga di luar batas.
Sementara di sisi lain, Mbok Darmi yang mendengar suara teriakan Risna langsung panik. Ia hendak masuk ke dalam rumah, tetapi tiba-tiba pintu tertutup rapat dan terkunci dari dalam.
"Nduk! Nduk Risna, sampean kenapa? Nduk tolong buka pintunya! Nduk Risna!"
Tak ada jawaban.
Risna seperti tak mendengar panggilan dari Mbok Darmi membuat wanita setengah baya itu semakin khawatir. Berulang kali ia menggedor pintunya kuat-kuat. Akan tetapi, pintu lapuk yang sudah lelah dimakan usia itu seakan menjelma menjadi besi yang tak dapat dirobohkan.
Mbok Darmi mengeluarkan handphone jadul dari selipan kain jarik yang dikenakannya dan menghubungi Hasnan—suami Risna. Namun, situasi seperti tak memihak padanya saat ini. Bahkan satu garis sinyal pun, tidak muncul di layar handphone-nya.
"Ya Allah Gusti, aku kudu piye?"
Dengan sangat terpaksa, akhirnya Mbok Darmi berlari membelah hutan dan meninggalkan Risna di rumah setan untuk mencari bantuan.
Mampukah Mbok Darmi menyelamatkan Risna yang kini berjuang sendirian melawan anak setan?
"Ki ...! Ki Larmo! Ki ...! Tolongin saya, Ki!" teriak Mbok Darmi di depan sebuah rumah panggung sederhana milik salah satu tetua di desa Keramat.Tak lama, laki-laki yang sudah sepuh berpakaian serba hitam dengan sebuah ikat kepala berupa kain batik berjalan keluar rumah. Menghampiri Mbok Darmi yang kini ngos-ngosan setelah berlari cukup jauh."Ono opo, Darmi?" Laki-laki yang dipanggil Ki Larmo berdiri di undakan teratas rumahnya. Sementara ia harus menunduk karena Darmi berada di bawah undakan tangga."Anu, Ki ... Nduk Risna, majikan saya. Dia nekad masuk ke rumah setan dan nggak bisa keluar. Saya takut terjadi apa-apa sama dia, Ki.""Setan Alas!" Tanpa banyak basa-basi lagi, Ki Larmo bergegas turun dan mengambil obor yang terpasang di samping undakan tangga, lalu berlari masuk ke dalam hutan diikuti oleh Mbok Darmi di belakangnya.Di pertengahan jalan, keduanya tak
"Mengadopsi?" Semua orang serempak bertanya.Risna mengangguk cepat. "Iya, saya pengen punya anak perempuan. Saya janji akan merawat dia seperti anak saya sendiri," ujarnya sendu sambil menatap anak perempuan itu lekat-lekat.Sejak melihat anak perempuan itu pertama kali, Risna memang sudah jatuh hati. Diluar latar belakang dan segala kisah mistisnya, Risna yakin bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang juga membutuhkan kasih sayang. Risna hanya ingin memberikannya sepenuh hati.Tiba-tiba Ki Larmo maju beberapa langkah. "Ojo wani-wani! Sampean nggak ngerti wujud asline. Bahaya. Sudah banyak yang jadi korbannya," bantah Ki Larmo dengan tegas."Tapi dia nggak seseram yang kalian pikir, Ki. Kurasa dia cuma anak kecil yang mengalami gangguan mental karena bertahun-tahun diasingkan. Dia hanya butuh psikolog. Dan saya akan memberikan semua itu untuk kesembuhan dia." Risna tetap bersikeras.
"Nduk, bangun! Nduk! Nduk Risna!" panggil Mbok Darmi seraya mengoleskan minyak angin pada bagian bawah hidung Risna.Perempuan itu mengerjapkan kelopak matanya kemudian terbangun. Setelah sadar, ia melihat ke sekeliling dan terkejut ketika pemandangan hutan yang masih cukup rindang menyapa indra penglihatannya."Mbok, kita ...?""Tenang dulu, kita masih belum sampai di kota. Sampean dan keluarga baru saja mengalami kecelakaan," terang Mbok Darmi membuat Risna terkejut setengah mati."Kecelakaan, Mbok?" Risna terduduk di pinggir jalan dengan alas seadanya. Kemudian mengamati sekitar dan begitu syok ketika mendapati mobil yang ia tumpangi sudah ringsek menabrak pohon. Bagian kap mesin mobil sudah terbuka dan diselubungi asap serta kaca depannya juga retak parah. "Terus yang lainnya gimana, Mbok?""Tenang, Nduk, tenang. Pak Hasnan cuma luka ringan di bagian kepala sama kakinya. Den Satria tadi sempat pingsan sebentar, tapi suda
Menjelang matahari tenggelam, Risna dan keluarganya baru sampai ke rumah. Seusai makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Tak lupa, anak perempuan dengan tatapan seram itu juga ikut bergabung bersama mereka."Karena kalian semua sudah berkumpul di sini, aku mau ngasih tahu hal penting." Risna menggandeng tangan anak perempuan yang duduk di sebelahnya. Kedua sudut bibirnya selalu merekah, melambangkan hatinya yang sedang berbunga-bunga meskipun baru saja tertimpa musibah kecelakaan. "Aku sama Mas Hasnan sudah sepakat, ingin mengadopsi anak perempuan ini dan memberinya nama ... Narnia.""Narnia?" Semua orang serempak bertanya.Mbok Darmi dan Mang Jajang saling tatap. Risna ini, sepertinya sudah terkena pengaruh anak setan sehingga keanehan apapun yang menimpanya hanya dianggap sebuah kebetulan."Tolong sayangi Narnia seperti kalian menyayangi anggota keluar
"Ya Allah Gusti! Sampean makan daging mentah?!"Mbok Darmi terkejut setengah mati sampai membanting cangkir kopi yang hendak ia berikan pada Hasnan. Bagaimana tidak, saat tak sengaja melihat pintu gudang yang terbuka, ia berniat untuk menutupnya kembali. Namun, belum sempat niatnya itu terlaksana, bayangan seorang anak perempuan yang tengah menyantap daging ayam mentah justru mengejutkannya.Kini Narnia sang tersangka, malah tetap asik mengunyah tanpa memedulikan kehadiran orang lain dalam ruangan tersebut. Ia begitu rakus seperti orang kelaparan meskipun yang ia konsumsi bukanlah daging matang yang telah diberi bumbu.Dari arah lain, datang Risna dan Satria yang langsung memasang wajah jijik saat melihat kelakuan Narnia."Kamu kenapa makan daging mentah, Nak? Ayo, muntahkan. Nanti kamu sakit perut." Risna segera menarik anak perempuan itu dan membuang sisa daging yang sudah tinggal separuh. Narnia langsung merengut saat santapanny
Pintu depan berderit pelan. Sosok remaja tanggung menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Gelap. Suasana sunyi. Sepertinya semua orang sudah memasuki alam mimpi. Ia masuk perlahan-lahan, menahan langkah demi langkah agar tak menimbulkan suara yang dapat membuat semua orang terbangun.Hampir berhasil menjalan misi, satu langkah lagi ia akan sampai ke kamar tanpa ketahuan. Padahal ia sudah sangat yakin tidak akan ada orang yang memergokinya. Tapi tiba-tiba suara seseorang mengalun tegas dari balik kegelapan."Apa sekarang anak kelas satu SMP juga ada jam lembur?"Cklek!Semua lampu menyala terang. Kegelapan yang menyembunyikan tubuhnya kini sudah tidak ada lagi. Remaja tanggung itu celingukan mencari sumber suara dan terkejut setengah mati saat menjumpai semua orang yang sudah berkumpul untuk menanti kepulangannya. Tak ada keramahan, masing-masing mereka memasang wajah serius.
Seorang wanita berjas putih berdiri di sisi ranjang sambil mengalungkan stetoskop ke lehernya. Setelah diminta memeriksa keadaan Risna ia tersenyum ke arah Hasnan yang tampaknya sangat mencemaskan sang istri."Ini bukan kabar buruk, Pak Hasnan. Jangan terlalu khawatir."Hasnan mengusap lembut surai istrinya lantas bertanya, "Memangnya istri saya kenapa? Kenapa dia tiba-tiba pingsan, Dok?"Wanita itu lagi-lagi tersenyum. Sambil menyiapkan resep yang harus ditebus, ia mulai menjelaskan keadaan Risna."Istri Pak Hasnan itu ... sedang hamil muda. Usia kandungannya baru satu bulan." Senyumnya kian merekah.Risna dan Hasnan terdiam beberapa detik kemudian saling pandang. "Hamil?" ucapnya berbarengan."Iya. Selamat menanti kehadiran anggota keluarga baru, ya, Pak, Bu. Saya harap kalian menjaga kandungannya dengan baik. Kalian pasti tahu kalau masa-masa tiga bulan pertama itu cukup rentan," jelas wanita itu setelah meny
Anak laki-laki itu berlari tak tentu arah. Menembus gelapnya malam tanpa penerangan yang memadai. Mungkin sesekali, jalanan akan berubah terang ketika kendaraan besar melintas di sisi kirinya."Ayah udah nggak mau ngurusin anak berandalan kayak kamu. Pergi dan jangan pernah balik lagi buat selama-lamanya!" Perkataan Hasnan kembali terngiang dalam benak Satria. Tak pernah ia sangka, ayahnya akan tega berkata seperti itu. Sejak beberapa hari yang lalu, ia memang sudah merasakan kasih sayang dari orangtuanya berkurang. Itu semua terjadi karena kehadiran Narnia. Anak perempuan itu telah merebut semuanya dari Satria. Ia membencinya.Berjam-jam lamanya Satria berjalan di pinggir trotoar. Hingga tiba-tiba suara gaduh terdengar dari arah belakang. Satria berhenti sejenak."Woi, Bro! Itu anak kecil yang tadi gaya-gayaan nyerang kita, tuh. Lo liat nggak?"Satria lant
"Ris, tolong angkatin telpon Mas sebentar! Mas masih mandi!" teriak Hasnan kepada Risna yang hingga saat ini masih berdiri di samping jendela dengan tatapan kosong. Risna hanya menoleh sekilas, tak beranjak sama sekali. Seolah bisu, ia mengabaikan teriakan suaminya dari dalam kamar mandi saat benda pipih di atas nakas terus berdering. "Ris, kamu masih di sana 'kan? Tolong angkatin telpon Mas sebentar!"Perempuan itu masih bergeming.Akhirnya, beberapa saat kemudian Hasnan keluar dari kamar mandi dengan wajah kesal. Ia hanya mengenakan lilitan handuk sebatas pinggang lantas berbicara pada Risna, "Kok, nggak diangkat, Ris? Kasihan yang nelpon. Siapa tahu penting." Masih tak ada jawaban.Hasnan membuang napasnya kasar karena lagi-lagi Risna mengabaikannya. Sejak dua hari yang lalu, perempuan itu memang berubah drastis. Ia dingin dan tak tersentuh. Hanya akan bicara seperlunya saja, itu pun kalau benar-benar penting. Penyebabnya m
Risna mendekati sosok anak laki-laki yang terbaring di atas tandu perlahan-lahan. Beberapa kali ia memejamkan mata lantaran tak sanggup melihat keadaan korban kecelakaan yang begitu mengenaskan. Sebagian wajahnya hancur, bahkan isi kepalanya terburai begitu saja dengan darah yang terus mengalir. Satu bola matanya nyaris keluar, sementara bagian belakang kepalanya sudah menghilang entah kemana. Mungkin hancur saat kendaraan tadi melindasnya. Wajah sang korban sulit dikenali, yang menjadi pengenal hanyalah barang-barang milik korban yang sampai saat ini melekat di tubuhnya. Korban memakai seragam SMP lengkap dengan sepatu. Sementara di area kecelakaan itu terjadi, warga menemukan sebuah tas yang tergeletak di pinggir jalan, diperkirakan tas itu juga milik korban.Tubuh Risna mendadak kaku, hatinya bergetar, dan jantungnya seperti ingin meledak saat itu juga. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat adalah salah. Ibu mana yang sanggup menyaksikan putra
Anak laki-laki itu berlari tak tentu arah. Menembus gelapnya malam tanpa penerangan yang memadai. Mungkin sesekali, jalanan akan berubah terang ketika kendaraan besar melintas di sisi kirinya."Ayah udah nggak mau ngurusin anak berandalan kayak kamu. Pergi dan jangan pernah balik lagi buat selama-lamanya!" Perkataan Hasnan kembali terngiang dalam benak Satria. Tak pernah ia sangka, ayahnya akan tega berkata seperti itu. Sejak beberapa hari yang lalu, ia memang sudah merasakan kasih sayang dari orangtuanya berkurang. Itu semua terjadi karena kehadiran Narnia. Anak perempuan itu telah merebut semuanya dari Satria. Ia membencinya.Berjam-jam lamanya Satria berjalan di pinggir trotoar. Hingga tiba-tiba suara gaduh terdengar dari arah belakang. Satria berhenti sejenak."Woi, Bro! Itu anak kecil yang tadi gaya-gayaan nyerang kita, tuh. Lo liat nggak?"Satria lant
Seorang wanita berjas putih berdiri di sisi ranjang sambil mengalungkan stetoskop ke lehernya. Setelah diminta memeriksa keadaan Risna ia tersenyum ke arah Hasnan yang tampaknya sangat mencemaskan sang istri."Ini bukan kabar buruk, Pak Hasnan. Jangan terlalu khawatir."Hasnan mengusap lembut surai istrinya lantas bertanya, "Memangnya istri saya kenapa? Kenapa dia tiba-tiba pingsan, Dok?"Wanita itu lagi-lagi tersenyum. Sambil menyiapkan resep yang harus ditebus, ia mulai menjelaskan keadaan Risna."Istri Pak Hasnan itu ... sedang hamil muda. Usia kandungannya baru satu bulan." Senyumnya kian merekah.Risna dan Hasnan terdiam beberapa detik kemudian saling pandang. "Hamil?" ucapnya berbarengan."Iya. Selamat menanti kehadiran anggota keluarga baru, ya, Pak, Bu. Saya harap kalian menjaga kandungannya dengan baik. Kalian pasti tahu kalau masa-masa tiga bulan pertama itu cukup rentan," jelas wanita itu setelah meny
Pintu depan berderit pelan. Sosok remaja tanggung menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Gelap. Suasana sunyi. Sepertinya semua orang sudah memasuki alam mimpi. Ia masuk perlahan-lahan, menahan langkah demi langkah agar tak menimbulkan suara yang dapat membuat semua orang terbangun.Hampir berhasil menjalan misi, satu langkah lagi ia akan sampai ke kamar tanpa ketahuan. Padahal ia sudah sangat yakin tidak akan ada orang yang memergokinya. Tapi tiba-tiba suara seseorang mengalun tegas dari balik kegelapan."Apa sekarang anak kelas satu SMP juga ada jam lembur?"Cklek!Semua lampu menyala terang. Kegelapan yang menyembunyikan tubuhnya kini sudah tidak ada lagi. Remaja tanggung itu celingukan mencari sumber suara dan terkejut setengah mati saat menjumpai semua orang yang sudah berkumpul untuk menanti kepulangannya. Tak ada keramahan, masing-masing mereka memasang wajah serius.
"Ya Allah Gusti! Sampean makan daging mentah?!"Mbok Darmi terkejut setengah mati sampai membanting cangkir kopi yang hendak ia berikan pada Hasnan. Bagaimana tidak, saat tak sengaja melihat pintu gudang yang terbuka, ia berniat untuk menutupnya kembali. Namun, belum sempat niatnya itu terlaksana, bayangan seorang anak perempuan yang tengah menyantap daging ayam mentah justru mengejutkannya.Kini Narnia sang tersangka, malah tetap asik mengunyah tanpa memedulikan kehadiran orang lain dalam ruangan tersebut. Ia begitu rakus seperti orang kelaparan meskipun yang ia konsumsi bukanlah daging matang yang telah diberi bumbu.Dari arah lain, datang Risna dan Satria yang langsung memasang wajah jijik saat melihat kelakuan Narnia."Kamu kenapa makan daging mentah, Nak? Ayo, muntahkan. Nanti kamu sakit perut." Risna segera menarik anak perempuan itu dan membuang sisa daging yang sudah tinggal separuh. Narnia langsung merengut saat santapanny
Menjelang matahari tenggelam, Risna dan keluarganya baru sampai ke rumah. Seusai makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Tak lupa, anak perempuan dengan tatapan seram itu juga ikut bergabung bersama mereka."Karena kalian semua sudah berkumpul di sini, aku mau ngasih tahu hal penting." Risna menggandeng tangan anak perempuan yang duduk di sebelahnya. Kedua sudut bibirnya selalu merekah, melambangkan hatinya yang sedang berbunga-bunga meskipun baru saja tertimpa musibah kecelakaan. "Aku sama Mas Hasnan sudah sepakat, ingin mengadopsi anak perempuan ini dan memberinya nama ... Narnia.""Narnia?" Semua orang serempak bertanya.Mbok Darmi dan Mang Jajang saling tatap. Risna ini, sepertinya sudah terkena pengaruh anak setan sehingga keanehan apapun yang menimpanya hanya dianggap sebuah kebetulan."Tolong sayangi Narnia seperti kalian menyayangi anggota keluar
"Nduk, bangun! Nduk! Nduk Risna!" panggil Mbok Darmi seraya mengoleskan minyak angin pada bagian bawah hidung Risna.Perempuan itu mengerjapkan kelopak matanya kemudian terbangun. Setelah sadar, ia melihat ke sekeliling dan terkejut ketika pemandangan hutan yang masih cukup rindang menyapa indra penglihatannya."Mbok, kita ...?""Tenang dulu, kita masih belum sampai di kota. Sampean dan keluarga baru saja mengalami kecelakaan," terang Mbok Darmi membuat Risna terkejut setengah mati."Kecelakaan, Mbok?" Risna terduduk di pinggir jalan dengan alas seadanya. Kemudian mengamati sekitar dan begitu syok ketika mendapati mobil yang ia tumpangi sudah ringsek menabrak pohon. Bagian kap mesin mobil sudah terbuka dan diselubungi asap serta kaca depannya juga retak parah. "Terus yang lainnya gimana, Mbok?""Tenang, Nduk, tenang. Pak Hasnan cuma luka ringan di bagian kepala sama kakinya. Den Satria tadi sempat pingsan sebentar, tapi suda
"Mengadopsi?" Semua orang serempak bertanya.Risna mengangguk cepat. "Iya, saya pengen punya anak perempuan. Saya janji akan merawat dia seperti anak saya sendiri," ujarnya sendu sambil menatap anak perempuan itu lekat-lekat.Sejak melihat anak perempuan itu pertama kali, Risna memang sudah jatuh hati. Diluar latar belakang dan segala kisah mistisnya, Risna yakin bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang juga membutuhkan kasih sayang. Risna hanya ingin memberikannya sepenuh hati.Tiba-tiba Ki Larmo maju beberapa langkah. "Ojo wani-wani! Sampean nggak ngerti wujud asline. Bahaya. Sudah banyak yang jadi korbannya," bantah Ki Larmo dengan tegas."Tapi dia nggak seseram yang kalian pikir, Ki. Kurasa dia cuma anak kecil yang mengalami gangguan mental karena bertahun-tahun diasingkan. Dia hanya butuh psikolog. Dan saya akan memberikan semua itu untuk kesembuhan dia." Risna tetap bersikeras.