"Itu rumah siapa, Mbok? Kok, ada di tengah hutan begini?" Risna berkerut heran dan menghentikan ayunan kakinya ketika menjumpai pondok terpencil saat mencari kayu bakar bersama Mbok Darmi.
Aneh sekali. Ada rumah di tengah-tengah hutan begini. Bangunannya hanya berupa bilik kayu yang sudah mulai lapuk dimakan rayap, mungkin karena telah lama ditinggalkan pemiliknya. Tumbuhan sejenis sulur memanjang hingga ke atap rumah, rumput-rumput liar tumbuh dari halaman hingga ke depan pintunya yang tertutup rapat, juga dedaunan kering yang sudah seperti tumpukan sampah menutupi sisa lantai tanah di teras depan. Rumah itu seolah hanya menunggu giliran untuk merobohkan dirinya.
Risna terpaku selama beberapa saat. Sedikit melangkahkan kaki ketika ada sesuatu yang menariknya untuk mendekat. Hingga akhirnya Mbok Darmi menarik lengan majikannya dan memberi peringatan.
"Jangan didekati, Nduk. Itu rumah setan. Rumah terkutuk yang paling dihindari masyarakat sekitar," jawab Mbok Darmi.
"Rumah setan?"
Mbok Darmi mengangguk. "Mbok juga nggak tahu cerita lengkapnya. Tapi yang pasti, ada anak kecil yang tinggal di dalam rumah tersebut. Orang-orang sini menyebutnya sebagai anak setan. Karena dia selalu marah saat dengar suara adzan. Ya mirip-mirip jelmaan setan begitu. Karena warga selalu terganggu sama kehadiran anak itu, akhirnya dia diasingkan ke rumah ini sendirian. Jadilah sampai sekarang rumah ini disebut rumah setan."
Risna mengangguk-anggukkan kepalanya dan kembali mengamati rumah tersebut.
"Udahlah, Nduk, mending kita pergi aja dari sini. Mbok selalu ngeri waktu lewat di sekitar rumah setan. Lagian ini 'kan udah mau malam, nanti Pak Hasnan sama Den Satria nyariin sampean karena nggak pulang-pulang."
"Sebentar, Mbok, saya jarang-jarang liat yang beginian di kota. Mesti diabadikan biar nanti bisa diceritakan ke teman-teman arisan saya." Risna terkikik geli sambil mengeluarkan ponselnya. Beberapa kali mengambil gambar dari segala sudut. Mbok Darmi yang melihat tingkah majikannya hanya geleng-geleng kepala.
Brak!
Keduanya berjengit kaget ketika tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam rumah. Risna langsung memasukkan ponselnya dan fokus ke arah depan. Sementara Mbok Darmi yang mulai ketakutan malah menarik tangan sang majikan berniat untuk mengajaknya pulang.
"Mbok, dengar sesuatu nggak? Kayaknya dari dalam."
"Iya, Mbok dengar. Udah, Nduk, kita pulang saja. Perasaan Mbok mulai nggak enak. Mbok takut terjadi sesuatu yang buruk sama kita. Kalau terjadi apa-apa, kita susah minta bantuan karena jarak jalan raya sama rumah ini lumayan jauh."
Tapi entah mengapa, Risna tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Perhatiannya masih tersita pada pintu lapuk rumah tersebut. Sejak kedatangannya kemari, Risna merasa seperti ada yang menyedot dirinya untuk mendekati rumah tersebut.
"Mbok, gimana kalau ternyata anak di dalam lagi butuh bantuan? Kita harus bantuin dia, Mbok."
Perempuan setengah baya itu menggeleng tegas dan menjawab cepat, "Enggak! Jangan lakuin apapun! Mbok nggak akan izinin sampean untuk berbuat yang aneh-aneh."
"Tapi, Mbok, Mbok sendiri yang bilang kalau anak itu sendirian di sini. Kalau terjadi sesuatu, nggak ada yang bantuin dia. Kasihan, Mbok."
"Tapi, Nduk–"
Risna tak mempedulikan panggilan Mbok Darmi. Kakinya yang jenjang mengajaknya untuk menaiki tiga undakan tangga kayu sebelum memasuki teras rumah. Ia berdiri di depan pintu, sedikit termangu sampai akhirnya mengetuk pintu tersebut perlahan-lahan.
"Ya Allah Gusti ... Nduk sampean ini keras kepala sekali. Sudah dibilangin jangan mendekat, jangan mendekat, sampean malah maju dan ngetuk pintunya. Masalah, wes masalah tenan iki." Mau tak mau Mbok Darmi menaruh kayu bakarnya ke tanah, lalu menghampiri sang majikan yang masih terus berusaha mengetuk pintu.
"Mbok, kok rumahnya sepi, ya? Jangan-jangan beneran terjadi sesuatu lagi sama anak itu?"
"Ya jelas sepi lah, wong yang di dalam itu anak setan, bukan anak ayam yang berisik karena nggak liat induknya. Udah, Nduk, pulang saja. Nurut sama Mbok."
"Sebentar, Mbok ... saya masih penasaran. Mbok kalau mau pulang, pulang duluan aja nggak apa-apa. Nanti saya nyusul."
Risna memegang gagang pintu yang juga terbuat dari kayu, lantas mendorongnya agak kuat karena pintu itu sedikit macet. Setelah pintu terbuka lebar, Risna membulatkan matanya.
Anak setan itu sedang menatapnya dari balik cahaya temaram. Menghunus netra Risna dengan pandangan seram dan ekspresi yang seolah terganggu dengan kehadirannya.
Akankah sosok menyeramkan itu menyerang Risna?
Risna menyalakan senter pada ponselnya kemudian maju perlahan-lahan, menghampiri sesosok gadis kecil yang tetap memandang ke arahnya dengan tatapan mengerikan."Mbok kalau takut di luar saja, ya, jangan ikut masuk ke dalam. Saya cuma ingin memastikan kalau anak itu nggak kenapa-napa," ujar Risna tak berkedip."Iya, Nduk. Hati-hati. Awas jangan terlalu dekat."Anak itu berada di sudut ruangan. Kondisinya tak berpakaian dengan kulit yang sedikit menghitam karena tak pernah bersentuhan dengan air. Rambutnya panjang dan tak terawat, mungkin ada banyak kutu di dalamnya. Tubuhnya kurus dan matanya menghitam. Sementara kedua tangannya diikat dengan seutas tali yang dikaitkan pada paku besi yang tertancap kuat di dalam tanah.Risna yakin, dia memakan tikus dan serangga-serangga kecil yang melintas di sekitarnya untuk bertahan hidup, mungkin juga mengonsumsi air seninya sendiri karena tak ada pas
"Ki ...! Ki Larmo! Ki ...! Tolongin saya, Ki!" teriak Mbok Darmi di depan sebuah rumah panggung sederhana milik salah satu tetua di desa Keramat.Tak lama, laki-laki yang sudah sepuh berpakaian serba hitam dengan sebuah ikat kepala berupa kain batik berjalan keluar rumah. Menghampiri Mbok Darmi yang kini ngos-ngosan setelah berlari cukup jauh."Ono opo, Darmi?" Laki-laki yang dipanggil Ki Larmo berdiri di undakan teratas rumahnya. Sementara ia harus menunduk karena Darmi berada di bawah undakan tangga."Anu, Ki ... Nduk Risna, majikan saya. Dia nekad masuk ke rumah setan dan nggak bisa keluar. Saya takut terjadi apa-apa sama dia, Ki.""Setan Alas!" Tanpa banyak basa-basi lagi, Ki Larmo bergegas turun dan mengambil obor yang terpasang di samping undakan tangga, lalu berlari masuk ke dalam hutan diikuti oleh Mbok Darmi di belakangnya.Di pertengahan jalan, keduanya tak
"Mengadopsi?" Semua orang serempak bertanya.Risna mengangguk cepat. "Iya, saya pengen punya anak perempuan. Saya janji akan merawat dia seperti anak saya sendiri," ujarnya sendu sambil menatap anak perempuan itu lekat-lekat.Sejak melihat anak perempuan itu pertama kali, Risna memang sudah jatuh hati. Diluar latar belakang dan segala kisah mistisnya, Risna yakin bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang juga membutuhkan kasih sayang. Risna hanya ingin memberikannya sepenuh hati.Tiba-tiba Ki Larmo maju beberapa langkah. "Ojo wani-wani! Sampean nggak ngerti wujud asline. Bahaya. Sudah banyak yang jadi korbannya," bantah Ki Larmo dengan tegas."Tapi dia nggak seseram yang kalian pikir, Ki. Kurasa dia cuma anak kecil yang mengalami gangguan mental karena bertahun-tahun diasingkan. Dia hanya butuh psikolog. Dan saya akan memberikan semua itu untuk kesembuhan dia." Risna tetap bersikeras.
"Nduk, bangun! Nduk! Nduk Risna!" panggil Mbok Darmi seraya mengoleskan minyak angin pada bagian bawah hidung Risna.Perempuan itu mengerjapkan kelopak matanya kemudian terbangun. Setelah sadar, ia melihat ke sekeliling dan terkejut ketika pemandangan hutan yang masih cukup rindang menyapa indra penglihatannya."Mbok, kita ...?""Tenang dulu, kita masih belum sampai di kota. Sampean dan keluarga baru saja mengalami kecelakaan," terang Mbok Darmi membuat Risna terkejut setengah mati."Kecelakaan, Mbok?" Risna terduduk di pinggir jalan dengan alas seadanya. Kemudian mengamati sekitar dan begitu syok ketika mendapati mobil yang ia tumpangi sudah ringsek menabrak pohon. Bagian kap mesin mobil sudah terbuka dan diselubungi asap serta kaca depannya juga retak parah. "Terus yang lainnya gimana, Mbok?""Tenang, Nduk, tenang. Pak Hasnan cuma luka ringan di bagian kepala sama kakinya. Den Satria tadi sempat pingsan sebentar, tapi suda
Menjelang matahari tenggelam, Risna dan keluarganya baru sampai ke rumah. Seusai makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Tak lupa, anak perempuan dengan tatapan seram itu juga ikut bergabung bersama mereka."Karena kalian semua sudah berkumpul di sini, aku mau ngasih tahu hal penting." Risna menggandeng tangan anak perempuan yang duduk di sebelahnya. Kedua sudut bibirnya selalu merekah, melambangkan hatinya yang sedang berbunga-bunga meskipun baru saja tertimpa musibah kecelakaan. "Aku sama Mas Hasnan sudah sepakat, ingin mengadopsi anak perempuan ini dan memberinya nama ... Narnia.""Narnia?" Semua orang serempak bertanya.Mbok Darmi dan Mang Jajang saling tatap. Risna ini, sepertinya sudah terkena pengaruh anak setan sehingga keanehan apapun yang menimpanya hanya dianggap sebuah kebetulan."Tolong sayangi Narnia seperti kalian menyayangi anggota keluar
"Ya Allah Gusti! Sampean makan daging mentah?!"Mbok Darmi terkejut setengah mati sampai membanting cangkir kopi yang hendak ia berikan pada Hasnan. Bagaimana tidak, saat tak sengaja melihat pintu gudang yang terbuka, ia berniat untuk menutupnya kembali. Namun, belum sempat niatnya itu terlaksana, bayangan seorang anak perempuan yang tengah menyantap daging ayam mentah justru mengejutkannya.Kini Narnia sang tersangka, malah tetap asik mengunyah tanpa memedulikan kehadiran orang lain dalam ruangan tersebut. Ia begitu rakus seperti orang kelaparan meskipun yang ia konsumsi bukanlah daging matang yang telah diberi bumbu.Dari arah lain, datang Risna dan Satria yang langsung memasang wajah jijik saat melihat kelakuan Narnia."Kamu kenapa makan daging mentah, Nak? Ayo, muntahkan. Nanti kamu sakit perut." Risna segera menarik anak perempuan itu dan membuang sisa daging yang sudah tinggal separuh. Narnia langsung merengut saat santapanny
Pintu depan berderit pelan. Sosok remaja tanggung menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Gelap. Suasana sunyi. Sepertinya semua orang sudah memasuki alam mimpi. Ia masuk perlahan-lahan, menahan langkah demi langkah agar tak menimbulkan suara yang dapat membuat semua orang terbangun.Hampir berhasil menjalan misi, satu langkah lagi ia akan sampai ke kamar tanpa ketahuan. Padahal ia sudah sangat yakin tidak akan ada orang yang memergokinya. Tapi tiba-tiba suara seseorang mengalun tegas dari balik kegelapan."Apa sekarang anak kelas satu SMP juga ada jam lembur?"Cklek!Semua lampu menyala terang. Kegelapan yang menyembunyikan tubuhnya kini sudah tidak ada lagi. Remaja tanggung itu celingukan mencari sumber suara dan terkejut setengah mati saat menjumpai semua orang yang sudah berkumpul untuk menanti kepulangannya. Tak ada keramahan, masing-masing mereka memasang wajah serius.
Seorang wanita berjas putih berdiri di sisi ranjang sambil mengalungkan stetoskop ke lehernya. Setelah diminta memeriksa keadaan Risna ia tersenyum ke arah Hasnan yang tampaknya sangat mencemaskan sang istri."Ini bukan kabar buruk, Pak Hasnan. Jangan terlalu khawatir."Hasnan mengusap lembut surai istrinya lantas bertanya, "Memangnya istri saya kenapa? Kenapa dia tiba-tiba pingsan, Dok?"Wanita itu lagi-lagi tersenyum. Sambil menyiapkan resep yang harus ditebus, ia mulai menjelaskan keadaan Risna."Istri Pak Hasnan itu ... sedang hamil muda. Usia kandungannya baru satu bulan." Senyumnya kian merekah.Risna dan Hasnan terdiam beberapa detik kemudian saling pandang. "Hamil?" ucapnya berbarengan."Iya. Selamat menanti kehadiran anggota keluarga baru, ya, Pak, Bu. Saya harap kalian menjaga kandungannya dengan baik. Kalian pasti tahu kalau masa-masa tiga bulan pertama itu cukup rentan," jelas wanita itu setelah meny
"Ris, tolong angkatin telpon Mas sebentar! Mas masih mandi!" teriak Hasnan kepada Risna yang hingga saat ini masih berdiri di samping jendela dengan tatapan kosong. Risna hanya menoleh sekilas, tak beranjak sama sekali. Seolah bisu, ia mengabaikan teriakan suaminya dari dalam kamar mandi saat benda pipih di atas nakas terus berdering. "Ris, kamu masih di sana 'kan? Tolong angkatin telpon Mas sebentar!"Perempuan itu masih bergeming.Akhirnya, beberapa saat kemudian Hasnan keluar dari kamar mandi dengan wajah kesal. Ia hanya mengenakan lilitan handuk sebatas pinggang lantas berbicara pada Risna, "Kok, nggak diangkat, Ris? Kasihan yang nelpon. Siapa tahu penting." Masih tak ada jawaban.Hasnan membuang napasnya kasar karena lagi-lagi Risna mengabaikannya. Sejak dua hari yang lalu, perempuan itu memang berubah drastis. Ia dingin dan tak tersentuh. Hanya akan bicara seperlunya saja, itu pun kalau benar-benar penting. Penyebabnya m
Risna mendekati sosok anak laki-laki yang terbaring di atas tandu perlahan-lahan. Beberapa kali ia memejamkan mata lantaran tak sanggup melihat keadaan korban kecelakaan yang begitu mengenaskan. Sebagian wajahnya hancur, bahkan isi kepalanya terburai begitu saja dengan darah yang terus mengalir. Satu bola matanya nyaris keluar, sementara bagian belakang kepalanya sudah menghilang entah kemana. Mungkin hancur saat kendaraan tadi melindasnya. Wajah sang korban sulit dikenali, yang menjadi pengenal hanyalah barang-barang milik korban yang sampai saat ini melekat di tubuhnya. Korban memakai seragam SMP lengkap dengan sepatu. Sementara di area kecelakaan itu terjadi, warga menemukan sebuah tas yang tergeletak di pinggir jalan, diperkirakan tas itu juga milik korban.Tubuh Risna mendadak kaku, hatinya bergetar, dan jantungnya seperti ingin meledak saat itu juga. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa apa yang ia lihat adalah salah. Ibu mana yang sanggup menyaksikan putra
Anak laki-laki itu berlari tak tentu arah. Menembus gelapnya malam tanpa penerangan yang memadai. Mungkin sesekali, jalanan akan berubah terang ketika kendaraan besar melintas di sisi kirinya."Ayah udah nggak mau ngurusin anak berandalan kayak kamu. Pergi dan jangan pernah balik lagi buat selama-lamanya!" Perkataan Hasnan kembali terngiang dalam benak Satria. Tak pernah ia sangka, ayahnya akan tega berkata seperti itu. Sejak beberapa hari yang lalu, ia memang sudah merasakan kasih sayang dari orangtuanya berkurang. Itu semua terjadi karena kehadiran Narnia. Anak perempuan itu telah merebut semuanya dari Satria. Ia membencinya.Berjam-jam lamanya Satria berjalan di pinggir trotoar. Hingga tiba-tiba suara gaduh terdengar dari arah belakang. Satria berhenti sejenak."Woi, Bro! Itu anak kecil yang tadi gaya-gayaan nyerang kita, tuh. Lo liat nggak?"Satria lant
Seorang wanita berjas putih berdiri di sisi ranjang sambil mengalungkan stetoskop ke lehernya. Setelah diminta memeriksa keadaan Risna ia tersenyum ke arah Hasnan yang tampaknya sangat mencemaskan sang istri."Ini bukan kabar buruk, Pak Hasnan. Jangan terlalu khawatir."Hasnan mengusap lembut surai istrinya lantas bertanya, "Memangnya istri saya kenapa? Kenapa dia tiba-tiba pingsan, Dok?"Wanita itu lagi-lagi tersenyum. Sambil menyiapkan resep yang harus ditebus, ia mulai menjelaskan keadaan Risna."Istri Pak Hasnan itu ... sedang hamil muda. Usia kandungannya baru satu bulan." Senyumnya kian merekah.Risna dan Hasnan terdiam beberapa detik kemudian saling pandang. "Hamil?" ucapnya berbarengan."Iya. Selamat menanti kehadiran anggota keluarga baru, ya, Pak, Bu. Saya harap kalian menjaga kandungannya dengan baik. Kalian pasti tahu kalau masa-masa tiga bulan pertama itu cukup rentan," jelas wanita itu setelah meny
Pintu depan berderit pelan. Sosok remaja tanggung menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Gelap. Suasana sunyi. Sepertinya semua orang sudah memasuki alam mimpi. Ia masuk perlahan-lahan, menahan langkah demi langkah agar tak menimbulkan suara yang dapat membuat semua orang terbangun.Hampir berhasil menjalan misi, satu langkah lagi ia akan sampai ke kamar tanpa ketahuan. Padahal ia sudah sangat yakin tidak akan ada orang yang memergokinya. Tapi tiba-tiba suara seseorang mengalun tegas dari balik kegelapan."Apa sekarang anak kelas satu SMP juga ada jam lembur?"Cklek!Semua lampu menyala terang. Kegelapan yang menyembunyikan tubuhnya kini sudah tidak ada lagi. Remaja tanggung itu celingukan mencari sumber suara dan terkejut setengah mati saat menjumpai semua orang yang sudah berkumpul untuk menanti kepulangannya. Tak ada keramahan, masing-masing mereka memasang wajah serius.
"Ya Allah Gusti! Sampean makan daging mentah?!"Mbok Darmi terkejut setengah mati sampai membanting cangkir kopi yang hendak ia berikan pada Hasnan. Bagaimana tidak, saat tak sengaja melihat pintu gudang yang terbuka, ia berniat untuk menutupnya kembali. Namun, belum sempat niatnya itu terlaksana, bayangan seorang anak perempuan yang tengah menyantap daging ayam mentah justru mengejutkannya.Kini Narnia sang tersangka, malah tetap asik mengunyah tanpa memedulikan kehadiran orang lain dalam ruangan tersebut. Ia begitu rakus seperti orang kelaparan meskipun yang ia konsumsi bukanlah daging matang yang telah diberi bumbu.Dari arah lain, datang Risna dan Satria yang langsung memasang wajah jijik saat melihat kelakuan Narnia."Kamu kenapa makan daging mentah, Nak? Ayo, muntahkan. Nanti kamu sakit perut." Risna segera menarik anak perempuan itu dan membuang sisa daging yang sudah tinggal separuh. Narnia langsung merengut saat santapanny
Menjelang matahari tenggelam, Risna dan keluarganya baru sampai ke rumah. Seusai makan malam, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membicarakan sesuatu. Tak lupa, anak perempuan dengan tatapan seram itu juga ikut bergabung bersama mereka."Karena kalian semua sudah berkumpul di sini, aku mau ngasih tahu hal penting." Risna menggandeng tangan anak perempuan yang duduk di sebelahnya. Kedua sudut bibirnya selalu merekah, melambangkan hatinya yang sedang berbunga-bunga meskipun baru saja tertimpa musibah kecelakaan. "Aku sama Mas Hasnan sudah sepakat, ingin mengadopsi anak perempuan ini dan memberinya nama ... Narnia.""Narnia?" Semua orang serempak bertanya.Mbok Darmi dan Mang Jajang saling tatap. Risna ini, sepertinya sudah terkena pengaruh anak setan sehingga keanehan apapun yang menimpanya hanya dianggap sebuah kebetulan."Tolong sayangi Narnia seperti kalian menyayangi anggota keluar
"Nduk, bangun! Nduk! Nduk Risna!" panggil Mbok Darmi seraya mengoleskan minyak angin pada bagian bawah hidung Risna.Perempuan itu mengerjapkan kelopak matanya kemudian terbangun. Setelah sadar, ia melihat ke sekeliling dan terkejut ketika pemandangan hutan yang masih cukup rindang menyapa indra penglihatannya."Mbok, kita ...?""Tenang dulu, kita masih belum sampai di kota. Sampean dan keluarga baru saja mengalami kecelakaan," terang Mbok Darmi membuat Risna terkejut setengah mati."Kecelakaan, Mbok?" Risna terduduk di pinggir jalan dengan alas seadanya. Kemudian mengamati sekitar dan begitu syok ketika mendapati mobil yang ia tumpangi sudah ringsek menabrak pohon. Bagian kap mesin mobil sudah terbuka dan diselubungi asap serta kaca depannya juga retak parah. "Terus yang lainnya gimana, Mbok?""Tenang, Nduk, tenang. Pak Hasnan cuma luka ringan di bagian kepala sama kakinya. Den Satria tadi sempat pingsan sebentar, tapi suda
"Mengadopsi?" Semua orang serempak bertanya.Risna mengangguk cepat. "Iya, saya pengen punya anak perempuan. Saya janji akan merawat dia seperti anak saya sendiri," ujarnya sendu sambil menatap anak perempuan itu lekat-lekat.Sejak melihat anak perempuan itu pertama kali, Risna memang sudah jatuh hati. Diluar latar belakang dan segala kisah mistisnya, Risna yakin bahwa ia hanyalah seorang anak kecil yang juga membutuhkan kasih sayang. Risna hanya ingin memberikannya sepenuh hati.Tiba-tiba Ki Larmo maju beberapa langkah. "Ojo wani-wani! Sampean nggak ngerti wujud asline. Bahaya. Sudah banyak yang jadi korbannya," bantah Ki Larmo dengan tegas."Tapi dia nggak seseram yang kalian pikir, Ki. Kurasa dia cuma anak kecil yang mengalami gangguan mental karena bertahun-tahun diasingkan. Dia hanya butuh psikolog. Dan saya akan memberikan semua itu untuk kesembuhan dia." Risna tetap bersikeras.